Share

3. Mari Berpisah

Penulis: Putri Cahaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-22 21:38:13

“Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.

Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.

Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin. 

Kekanak-kanakan?

Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?

Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.

Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh. 

Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.

Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”

Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang akan mengambil berkas kantor di meja, kemudian menoleh ke arah Naina. Kedua alisnya terangkat tanda bahwa ia ingin mendengar lebih lanjut ucapan sang istri.

“Kamu menerima perjodohan itu, jadi untuk apa pernikahan ini? Tolong talak aku sekarang juga,” ucap Naina lagi.

Dhafin mengangguk samar. Ia menyandarkan tubuhnya pada meja sembari bersedekap dada. “Aku tidak akan menceraikanmu.”

“Kenapa, Mas? Bukankah Freya udah kembali dalam kehidupanmu? Aku cuma nggak ingin menjadi penghalang dalam hubungan kalian,” ujar Naina. 

“Aku sadar kok, aku cuma istri pengganti yang sampai kapanpun nggak akan pernah bisa mendapatkan hatimu.” 

Dhafin menurunkan tangannya lantas berjalan mendekat hingga berdiri tepat di hadapan Naina. Ia menatap lekat kedua bola mata indah milik istrinya yang memancarkan kesungguhan. 

“Kubilang, kita tak akan bercerai” ujar Dhafin datar tanpa ekspresi.

Naina tertawa sumbang lalu kembali menatap Dhafin. “Maumu apa sih, Mas? Aku sudah lelah.” 

Tatapannya meredup. Terlihat jelas sorot mata itu menyimpan luka begitu dalam. Ia menunduk sembari menangkupkan tangan. 

“Jadi, tolong, ceraikan aku. Bebaskan aku dari pernikahan yang menyiksa ini, Mas Dhafin,” pintanya. 

Dhafin menghela napas kasar. Tangannya terulur lantas memegang erat bahu Naina. Sedikit menunduk untuk melihat ekspresi wajah istrinya.

“Dengar, Naina. Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Kamu tetap menjadi istriku,” tegasnya disertai penekanan dalam setiap kata-katanya.

Naina mendongak membuat tatapan keduanya kembali bertemu. Seharusnya ia senang mendapat pengakuan dari Dhafin. Namun, entah kenapa hatinya malah semakin sakit.

“Istri yang nggak dianggap maksudmu? Atau istri rasa pembantu?” Naina tersenyum miring menekan rasa sesak yang terus mengalir dalam dadanya.

Alih-alih menjawab, pria itu justru berlalu keluar kamar meninggalkan Naina sendirian yang menangisi apa yang terjadi padanya.

Dari kecil hidupnya dipenuhi oleh ujian dan cobaan. Kebahagiaan seolah enggan mendekat walau hanya sekedar menyapanya. Bahkan Naina lupa kapan terakhir ia merasakan kebahagiaan itu.

Kehadiran Altair bagaikan cahaya yang menerangi hidupnya yang gelap gulita. Tak peduli semua orang membencinya, asalkan bersama Altair ia merasa cukup. 

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya sementara. Tepat di usia yang ke-3 tahun, Naina harus ikhlas melepas Altair kembali ke sisi Tuhan. 

Sumber kekuatannya telah tiada. Jiwanya kembali rapuh, hilang tujuan dan arah. Mengapa ia harus mengalami semua ini?

Sekarang, giliran Naina yang meminta pisah, Dhafin malah menolaknya. Sungguh, ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran suaminya.

Statusnya terasa digantung. Menjadi istri, tetapi selalu diabaikan. Begitu pula dengan mertua yang sangat membencinya.

Sebenarnya apa yang diinginkan Dhafin?

Mungkin Dhafin ingin melakukan poligami sehingga mempunyai dua istri. Pria itu bisa kembali kepada Freya tanpa harus melepaskannya.

Egois! 

Tentu saja Naina tidak akan sanggup. Belum apa-apa sudah terlihat sangat jelas Dhafin lebih condong kemana apalagi kalau mereka beneran menikah.

Hidupnya pasti akan lebih menderita. Freya tentunya tidak akan tinggal diam. Perempuan itu pasti akan melakukan segala cara untuk menyingkirkannya. 

Naina mengusap wajahnya kasar. Apa yang harus ia lakukan? Apa harus ia menggugat cerai seperti rencananya tadi?

Diabaikannya dering ponsel yang tiba-tiba terdengar.

Satu kali.

Dua kali.

Bahkan, tiga kali.

Hal ini membuat Naina penasaran. Ia pun mengambil ponselnya dan menemukan temannya menelpon dengan panik.

“Naina, gawat! Freya memposting sesuatu yang bisa membuatmu dipenjara.”

“Apa maksudmu?”

“Cek link yang kukirimkan lewat chat.”

Menahan degup jantung, Naina pun mengklik tautan itu.

Di sana, ada video yang berdurasi satu menit tiga puluh detik yang menampilkan dirinya menambah sesuatu di makanan sang putra.

Seharusnya, itu biasa saja, tapi caption di bawahnya sungguh provokatif.

[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
ahhh selalu perempuan jadi objek yg tolol karna cintaaa ...
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
kasian Naina othornya mana
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampus ajalah kau nayna. otakmu g berfungsi krn terlalu bucin dan cinta sendirian. cuma bisa menye2 dan berharap diberi cinta kayak pengemis.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   346. Batas Kesabaran Dhafin

    Bu Anita langsung merubah raut wajahnya menjadi datar. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas. “Kami melakukan semua ini demi kebaikanmu, Dhafin.”Dhafin tertawa sarkas. Ia menatap ibunya dengan sorot dingin bercampur sendu. “Kebaikan? Kebaikan apa yang Mama maksud? Bagian mana yang menjadi kebaikan untukku, Ma?”Bu Anita maju satu langkah. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi sang anak. “Dhafin, Mama mengerti banget perasaanmu yang sangat mencintai Lora. Mama ingin menyatukan kalian berdua.”Dhafin menurunkan tangan ibunya, lalu menggeleng pelan. “Aku memang mencintai Lora, tapi nggak gini caranya, Ma. Harus berapa kali aku bilang, aku udah merelakan Lora bersama yang lain.”“Aku ikhlas demi kebahagiaan Lora sendiri dan anak-anak. Karena aku tau bahagianya Lora bukan bersamaku lagi,” ucapnya masih mempertahankan intonasi agar tidak meninggi, tetapi jelas ada nada geregetan di sana.“Jangan bohong, Dhafin!” Bu Anita berseru dengan suara lantang. Ia menatap tepat di kedua b

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   345. Hanya Topeng Semata

    Pukul delapan malam, Dhafin memarkirkan mobilnya dengan sempurna di garasi rumah. Ia tidak langsung turun melainkan menumpukan kepalanya pada stir mobil dengan tangan yang masih bertengger di sana.Matanya terpejam lelah dengan dada naik-turun, mengatur pernapasan yang memburu. Tiba-tiba sekelebat perkataan Pak Ridwan saat di telepon tadi kembali terngiang.“Saya tidak tahu permainan apa yang sedang mereka jalankan, Mas. Tapi saya tahu satu hal, kontrak ini bukan ditulis untuk menyelamatkan perusahaan. Ini disusun untuk mengambilnya secara sah.”Dhafin mendesah kasar, lalu menarik tubuhnya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat stir hingga tampak bergetar dengan memperlihatkan ototnya.Meski sudah lewat beberapa jam lalu, tetapi kalimat itu terus-menerus bergema di benaknya melebihi vonis hukuman mati. Kerja sama yang ia pikir akan sangat menguntungkan ternyata menjadi awal kehancurannya. Rasanya sangat sulit untuk percaya. Namun, setelah ditelusuri lebih dalam,

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   344. Kejanggalan yang Terlambat Terbaca

    “Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini?”Dhafin menatap layar laptop di depannya yang menampilkan kembali lembar-lembar MoU yang sebenarnya sudah ditandatangani beberapa minggu lalu. Meski sudah membacanya berkali-kali, tetapi ia merasa harus membacanya lagi. Baris demi baris, pasal demi pasal, seperti sedang mencari serpihan yang sempat luput dari matanya. Dan sekarang mulai terasa ada sebuah kejanggalan.Ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Ada pesan masuk dari salah satu manajer logistik.[Pak Dhafin, vendor pengiriman luar negeri sudah ganti. Koordinasi awal dari pihak The Bright Group langsung ke tim.]Dhafin mengerutkan keningnya dengan alis yang nyaris menyatu. Ia tidak pernah menyetujui perubahan vendor. Bahkan, dalam rapat terakhir, keputusan itu ditunda karena audit kelayakan masih berjalan.Tangannya langsung bergerak cepat. Dhafin menelusuri ulang folder-folder laporan internal, lalu membuka sistem manajemen proyek. Memang benar, terdapat serangkaian keputusan y

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   343. Kesempatan yang Disia-siakan

    Pak Raynald memutus kontak mata itu, lalu mengalihkan atensinya pada layar laptop. Ia membuka folder yang berisi berisi progres kerja sama dari sisi yang tak pernah akan masuk dalam laporan resmi.“Legal dan finansial hampir selesai. Amandemen sudah ditandatangani, dan penyertaan modal tahap kedua pun sudah masuk,” katanya pelan namun terdengar tajam.Grissham mengangguk dan ikut menatap ke arah layar. “Berapa posisi kita sekarang?”“Sekitar tiga puluh persen,” jawab Pak Raynald cepat. “Cukup untuk suara dominan di RUPS luar biasa. Meski belum mayoritas, tapi cukup untuk membuat suara keluarga Wirabuana tak lagi mutlak.”Ia menyeringai kecil lantas menambahkan, “legalitas sudah aman. Sekarang tinggal kita buktikan bahwa mereka bahkan tak benar-benar mengenal perusahaan mereka sendiri.”Grissham kembali bersandar dengan tatapan mata yang menelisik. “Dan dari dalam? Apa kita sudah menempatkan orang di posisi yang strategis?”Pak Raynald tersenyum lebar. “Sudah. Dan itu cukup untuk mulai

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   342. Di Balik Kerja Sama

    Mentari tergelincir ke ufuk barat. Cahayanya yang kekuningan menyebar hangat sebagai tanda bahwa jam kerja hari ini telah usai. Para karyawan satu-persatu mulai meninggalkan meja kerjanya untuk pulang. Ada pula karyawan yang memilih menetap dikarenakan banyak pekerjaan yang mengharuskannya lembur.Seperti itulah suasana di kantor pusat The Bright Group yang ada di Indonesia. Sama seperti perusahaan pada umumnya yang membatasi jam kerja hanya sampai pukul empat sore. Bedanya, semua karyawan di sini benar-benar terpilih dan berkualitas.Grissham duduk satu sofa luar yang ada di lantai paling atas gedung kantor ini. Sebelah kakinya ditekuk dan bertumpu pada kaki satunya, dengan tangan mengutak-atik tab. Sembari menunggu kedatangan sang pemilik perusahaan, ia tidak ingin membuang waktu dan memilih mengerjakan sesuatu. Tatapannya begitu fokus menekuri isi dalam tab tanpa terdistraksi oleh suasana sekitarnya.Lagi pula, suasana di lantai ini sangat lenggang, berbeda jauh dengan suasana d

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   341. Di Antara Harapan dan Bahaya

    Dhafin kembali mengurungkan niatnya dan memilih untuk duduk sejenak di sofa single. Sepertinya akan ada pembicaraan yang lebih serius. “Tentang apa, Pa?”Pak Daniel menegakkan tubuhnya yang semula bersandar. Ia menatap Dhafin dengan wajah yang tampak serius. “Tentang kerja sama dengan The Bright Group. Bagaimana progresnya sejauh ini? Lancar?”Dhafin meletakkan tangannya di lengan sofa dan tersenyum singkat. “Progresnya cukup signifikan, Pa. Sampai saat ini semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Tim mereka responsif dan sangat profesional.”“Proyek ekspansi sedang masuk tahap finalisasi desain operasional. Suntikan dana tahap kedua sudah cair minggu lalu, dan beberapa proposal infrastruktur sedang kita tinjau ulang bareng tim mereka.”“Aku juga cukup optimis karena komunikasi antar tim sejauh ini kondusif. Kita bahkan sedang diskusi kemungkinan perluasan ke pasar Asia Timur.”Ia menatap ayahnya dengan serius namun tenang. “Kalau nggak ada halangan, kita bisa mulai running penuh bul

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status