“Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.
Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.
Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin.
Kekanak-kanakan?
Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?
Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.
Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh.
Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.
Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”
Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang akan mengambil berkas kantor di meja, kemudian menoleh ke arah Naina. Kedua alisnya terangkat tanda bahwa ia ingin mendengar lebih lanjut ucapan sang istri.
“Kamu menerima perjodohan itu, jadi untuk apa pernikahan ini? Tolong talak aku sekarang juga,” ucap Naina lagi.
Dhafin mengangguk samar. Ia menyandarkan tubuhnya pada meja sembari bersedekap dada. “Aku tidak akan menceraikanmu.”
“Kenapa, Mas? Bukankah Freya udah kembali dalam kehidupanmu? Aku cuma nggak ingin menjadi penghalang dalam hubungan kalian,” ujar Naina.
“Aku sadar kok, aku cuma istri pengganti yang sampai kapanpun nggak akan pernah bisa mendapatkan hatimu.”
Dhafin menurunkan tangannya lantas berjalan mendekat hingga berdiri tepat di hadapan Naina. Ia menatap lekat kedua bola mata indah milik istrinya yang memancarkan kesungguhan.
“Kubilang, kita tak akan bercerai” ujar Dhafin datar tanpa ekspresi.
Naina tertawa sumbang lalu kembali menatap Dhafin. “Maumu apa sih, Mas? Aku sudah lelah.”
Tatapannya meredup. Terlihat jelas sorot mata itu menyimpan luka begitu dalam. Ia menunduk sembari menangkupkan tangan.
“Jadi, tolong, ceraikan aku. Bebaskan aku dari pernikahan yang menyiksa ini, Mas Dhafin,” pintanya.
Dhafin menghela napas kasar. Tangannya terulur lantas memegang erat bahu Naina. Sedikit menunduk untuk melihat ekspresi wajah istrinya.
“Dengar, Naina. Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Kamu tetap menjadi istriku,” tegasnya disertai penekanan dalam setiap kata-katanya.
Naina mendongak membuat tatapan keduanya kembali bertemu. Seharusnya ia senang mendapat pengakuan dari Dhafin. Namun, entah kenapa hatinya malah semakin sakit.
“Istri yang nggak dianggap maksudmu? Atau istri rasa pembantu?” Naina tersenyum miring menekan rasa sesak yang terus mengalir dalam dadanya.
Alih-alih menjawab, pria itu justru berlalu keluar kamar meninggalkan Naina sendirian yang menangisi apa yang terjadi padanya.
Dari kecil hidupnya dipenuhi oleh ujian dan cobaan. Kebahagiaan seolah enggan mendekat walau hanya sekedar menyapanya. Bahkan Naina lupa kapan terakhir ia merasakan kebahagiaan itu.
Kehadiran Altair bagaikan cahaya yang menerangi hidupnya yang gelap gulita. Tak peduli semua orang membencinya, asalkan bersama Altair ia merasa cukup.
Sayangnya, kebahagiaan itu hanya sementara. Tepat di usia yang ke-3 tahun, Naina harus ikhlas melepas Altair kembali ke sisi Tuhan.
Sumber kekuatannya telah tiada. Jiwanya kembali rapuh, hilang tujuan dan arah. Mengapa ia harus mengalami semua ini?
Sekarang, giliran Naina yang meminta pisah, Dhafin malah menolaknya. Sungguh, ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran suaminya.
Statusnya terasa digantung. Menjadi istri, tetapi selalu diabaikan. Begitu pula dengan mertua yang sangat membencinya.
Sebenarnya apa yang diinginkan Dhafin?
Mungkin Dhafin ingin melakukan poligami sehingga mempunyai dua istri. Pria itu bisa kembali kepada Freya tanpa harus melepaskannya.
Egois!
Tentu saja Naina tidak akan sanggup. Belum apa-apa sudah terlihat sangat jelas Dhafin lebih condong kemana apalagi kalau mereka beneran menikah.
Hidupnya pasti akan lebih menderita. Freya tentunya tidak akan tinggal diam. Perempuan itu pasti akan melakukan segala cara untuk menyingkirkannya.
Naina mengusap wajahnya kasar. Apa yang harus ia lakukan? Apa harus ia menggugat cerai seperti rencananya tadi?
Diabaikannya dering ponsel yang tiba-tiba terdengar.
Satu kali.
Dua kali.
Bahkan, tiga kali.
Hal ini membuat Naina penasaran. Ia pun mengambil ponselnya dan menemukan temannya menelpon dengan panik.
“Naina, gawat! Freya memposting sesuatu yang bisa membuatmu dipenjara.”
“Apa maksudmu?”
“Cek link yang kukirimkan lewat chat.”
Menahan degup jantung, Naina pun mengklik tautan itu.
Di sana, ada video yang berdurasi satu menit tiga puluh detik yang menampilkan dirinya menambah sesuatu di makanan sang putra.
Seharusnya, itu biasa saja, tapi caption di bawahnya sungguh provokatif.
[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]
Dhafin tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir yang menyimpan banyak luka. Pandangannya kosong, terarah pada gelas di depannya. Jari-jarinya bergerak memutar sedotan dalam minuman, seperti mencari pelarian dari kekalutan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. “Bahkan sejak bercerai dari Lora, saya sudah hancur, Grissham,”ucapnya lirih, “hidup saya berantakan. Tidak ada arah, tidak ada tujuan.” Matanya sedikit berkaca, tapi ia cepat mengedipkannya. Ia tidak ingin terlihat rapuh. “Sekarang yang tersisa hanyalah anak-anak. Si kembar… mereka satu-satunya hal paling berharga yang saya punya.” Ia menghela napas, panjang dan berat. “Yang penting bagi saya, saya masih diperbolehkan bertemu mereka, masih bisa memeluk mereka, menjadi seorang ayah yang baik. Itu sudah lebih dari cukup.” Grissham menyandarkan tubuh di sandaran kursi, melipat tangan di depan dada. Satu kakinya disilangkan di atas yang lain, sikapnya tenang tapi tak sepenuhnya dingin. Tatapannya menyorot pe
Ngotea AjaTempat yang dipilih oleh Grissham untuk memenuhi janji bertemu dengan seseorang. Kafe teh yang berlokasi di pusat kota ini sedang naik daun dan menjadi primadona di berbagai kalangan.Nuansanya kekinian dengan interior bergaya hangat dan nyaman, sangat cocok untuk tempat berkumpul bersama teman, keluarga, maupun untuk sekadar me time. Meski terbilang baru berdiri, kafe ini telah berhasil menarik banyak pengunjung berkat strategi pemasaran yang jitu dan atmosfer yang menyenangkan.Setiap hari, kafe ini selalu ramai. Pengunjung datang silih berganti, apalagi saat sore seperti ini.Bukan hanya anak muda, para pekerja kantoran pun kerap menyempatkan diri mampir untuk melepas penat selepas bekerja seharian penuh.Grissham termasuk salah satu pelanggan di kafe ini. Ia sudah beberapa kali datang kemari, terutama saat ingin menyendiri atau mengerjakan proyek-proyek yang bersifat rahasia. Contohnya seperti sekarang.Laki-laki itu duduk sendirian di salah satu meja dekat jendela kac
Grissham tidak langsung menjawab, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Ia terdiam, menyusun kata-kata yang tepat sebagai jawaban. “Karena aku belum menemukan waktu yang tepat, Ayah. Aku berencana mempertemukan Lora dan Annelies, lalu menceritakan semuanya.”“Ayah tahu sendiri akhir-akhir ini kami sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga belum sempat,” ucapnya menjawab pertanyaan sang ayah.Pak Albern mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh penilaian. “Kali ini Ayah tidak setuju dengan tindakanmu itu.”“Seharusnya sejak awal kau sudah menjelaskannya. Ketika kau memutuskan untuk meminang Lora, di situlah seharusnya kau membuka semuanya tentang Annelies.”“Bukannya menunda-nunda yang justru memberi celah bagi musuh untuk menghancurkanmu,” balasnya.Grissham menghela napas panjang, lalu mendongak menatap langit-langit kamar. “Aku juga tidak menyangka kalau akan berakhir seperti ini.”“Kedatangan Annelies ke sini, awalnya memang aku rencanakan untuk mempertemukan
“Grissham!”Grissham yang tengah merapikan rambutnya di depan cermin meja rias menoleh ketika pintu kamarnya di buka dengan keras.Ia meletakkan sisir, lalu membalikkan badan hanya untuk mendapati sang ayah yang berjalan cepat ke arahnya dengan raut menahan amarah.Plak!Tamparan keras mendarat di pipinya.“Kau ini benar-benar membuat malu!” bentak Pak Albern tajam. Di tangan kirinya tergenggam sebuah iPad yang menyala, menampilkan sebuah tayangan.Grissham memegang pipinya yang terasa panas menyengat. Matanya menatap ayahnya penuh keterkejutan. “Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?”“Ada apa, katamu? Lihat ini!” Pak Albern menyodorkan iPad itu kasar ke arah Grissham. Rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangannya kuat, menahan diri agar tidak kembali melayangkan tangan pada sang anak yang sepertinya belum tahu apa-apa.Grissham memperbaiki posisi iPad dan mulai menyimak tayangan di dalamnya. Seketika, bola mata abu-abunya membulat.Ia dibuat sangat terkejut menonton video berdurasi
Lora menghembuskan napas, lalu mengangguk patuh. “Iya, Ayah.”Melawan pun percuma. Mereka pasti akan tetap memaksanya untuk istirahat di rumah. Jika dilanggar, ayahnya pasti akan menyuruh bodyguard untuk membatasi pergerakannya.“Mama!”Lora menoleh dan mendapati dua buah hatinya berlari ke arahnya. Senyum di bibirnya mengembang lebar. Ia segera berpindah posisi menjadi berlutut sambil merentangkan tangan, bersiap menyambut keduanya.Bersamaan dengan itu, para pelayan dari dapur mulai mengantarkan sarapan yang sudah matang. Aroma sedap langsung memenuhi ruangan saat makanan ditata di atas meja.“Mama!” Dua balita itu menghambur ke pelukan ibunya, seolah baru saja bertemu setelah berpisah lama.Lora membalas pelukan mereka erat-erat, mencium kepala keduanya satu per satu. Sejak kemarin, ia sama sekali belum bertemu dengan si kembar. Rasa rindu disertai perasaan bersalah menyelinap di hatinya.Masalah yang terjadi benar-benar menguras emosi dan pikirannya. Ditambah lagi kondisi tubuh ya
“Hu-hubungan yang sangat dekat? Tanggung... jawab?”Lora tertawa pelan. Bukan karena lucu, melainkan tawa getir yang sarat kepedihan. Perkataan Grissham mungkin terdengar ambigu dan butuh penjelasan lebih lanjut. Namun, dirinya sudah tidak sanggup lagi mendengarkan apa pun yang justru hanya akan makin mencabik-cabik hatinya. Ia tak bisa lagi berpikir jernih, apalagi positif. Entah hubungan dekat macam apa yang mereka jalani, yang pasti hal itu membuat kepercayaannya hancur berkeping-keping. Ditambah lagi dengan tanggung jawab. Semua orang pun pasti akan berpikir yang tidak-tidak.“Apa… Kak Sham menyayanginya?” tanyanya lagi, seolah masih belum puas. Ia sudah tak mampu menggambarkan bagaimana bentuk hatinya kini. Terlalu sakit, sampai rasanya kebas.Grissham mengangkat kepala, menatap Lora sendu. Ia tak ingin menjawab, tetapi sorot mata wanita itu seperti memaksanya. Tatapan yang tak bisa dibantah. “Iya, aku sangat menyayanginya. Tapi–”“Cukup!” potong Lora sambil mengangkat tangan m