[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]
Deg!
Sejenak, detak jantung Naina terasa berhenti. Tubuhnya lemas hingga membuatnya langsung luruh ke lantai. Badannya gemetar hebat.
Tanpa dosa, Freya juga men-tag akunnya untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa dialah pelakunya.
Beberapa saat terunggah, postingan itu langsung diserang komentar netizen.
[Wanita gila! Yang tega meracuni anaknya sendiri sampai meninggal. Dia tak layak menjadi ibu. Pembunuh!!!]
Naina merasakan ada pukulan kuat yang menghantam dadanya ketika membaca komentar kakak iparnya di bagian paling teratas.
Belum lagi berbagai komentar jahat di bawahnya membuat ia semakin diliputi rasa kecewa.
[Binatang aja masih punya rasa sayang untuk anaknya. Ini sih bukan binatang lagi, tapi iblis!]
[Iblis berkedok manusia]
[Dasar pembunuh!]
[Wanita seperti itu nggak pantas hidup. Lebih baik mati!]
[Anj lo! Lo tuh yg seharusnya mati! Bukan anak lo yg nggak salah apa-apa]
[Pembunuh!!!!]
[Mati saja kau!]
Jantungnya berdegup kian cepat disertai dengan denyutan menyakitkan. Seakan ada sebilah pedang yang menghunus di sana. Tangannya bergetar tanpa bisa dikendalikan.
Cairan bening mengalir deras dari mata indahnya. Naina tak mampu lagi menyembunyikan kesedihannya.
Ya Tuhan, sakit sekali.... Mereka berkomentar sesuka hati tanpa memikirkan perasaannya.
Sosial medianya pun tak luput dari hujatan dan makian. Bukan hanya di kolom komentar, tetapi juga lewat pesan pribadi yang masuk silih-berganti.
Seakan belum cukup, muncul lagi postingan video dari orang lain yang berisi Naina ketika ditampar Bu Anita sepulang dari pemakaman. Di caption tertulis....
[Awalnya saya takut mengunggah video ini karena dia menantu di keluarga Wirabuana. Tau sendiri kan se berpengaruh apa keluarga mereka? Tapi karena didorong oleh seseorang, akhirnya saya berani upload biar nggak ada korban lagi]
Akibatnya, sejumlah orang yang mungkin datang melayat di hari itu berbondong-bondong meng-upload video yang serupa meski dari posisi yang berbeda.
Hal itu menunjukkan bahwa video tersebut asli bukan editan semata. Tak lupa akunnya pun di-tag. Komentar-komentar pedas semakin banyak berdatangan.
[Penjarakan dia!]
[Hukum mati sekalian!]
Naina menjatuhkan ponselnya. Tangannya tak sanggup lagi menggenggam ponsel yang terus-menerus bergetar.
Ia duduk meringkuk sambil memeluk lututnya. Tangisannya tak kunjung berhenti dengan isakan memilukan.
Apa belum cukup luka yang diterimanya selama ini? Kenapa harus ditambah lagi?
Ponsel kembali berdering. Dengan tangan yang masih gemetar, wanita berusia 27 tahun itu mengangkat panggilan dari sahabatnya.
“Nai, kamu nggak papa?” tanya Zelda terdengar sangat khawatir.
“Zel….” Naina menyahut pelan. Suaranya serak dan bergetar.
“Kamu tenang, ya. Kita cari solusi bareng-bareng, oke?”
“Gimana aku bisa tenang? Semuanya menyerangku, Zel.” Naina menggigit bibir bawahnya gusar.
“Iya, aku sangat mengerti perasaanmu. Tapi kamu nggak boleh panik. Ingat janin dalam perutmu masih sangat rentan. Tenangkan dirimu dulu, ya.”
Zelda benar. Naina tidak boleh stress yang berakibat buruk pada kandungannya. Ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan. Begitu terus hingga dirinya merasa lebih baik.
“Udah tenang?”
Naina berdehem sebagai balasan membuat Zelda melanjutkan ucapannya. “Sebelumnya aku mau tanya. Video itu beneran kamu?”
“Iya, tapi bukan racun yang kumasukkan.” Naina pun menceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi.
“Freya brengs*k!” Zelda mengumpat kesal.
“Aku harus apa, Zel? Aku… aku bingung.”
Zelda berdehem pelan. “Gini, kamu abaikan semua komentar sama pesan mereka. Jangan dilihat ataupun dibaca demi menjaga perasaanmu.”
“Terus yang kedua, kamu bisa bikin klarifikasi tentang kebenaran yang kamu ceritakan barusan,” jelasnya memberikan solusi.
“Klarifikasi? Apa mereka bakal percaya? Semua orang udah kemakan sama omongan Freya dan Kak Devira.”
“Percaya nggak atau nggak percaya itu hak mereka, Nai. Yang terpenting kita udah berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Daripada nggak sama sekali. Yang ada malah kamu terkesan membenarkan tuduhan itu.”
“Tapi… aku nggak yakin akan berhasil.” Naina berkata dengan lesu.
“Dicoba aja dulu. Aku akan bantu kamu. Sekarang kamu bikin kalimat yang bagus untuk klarifikasi terus kamu posting.”
“Iya.” Naina menutup panggilan telepon. Baru saja ia hendak menjalankan saran dari Zelda tetapi….
Brak!
“Naina!”
Naina terlonjak kaget. Ia mendongak dan mendapati suaminya yang tampak dikuasai amarah.
“Jadi benar, kamu yang udah meracuni Altair?” Dhafin menunjukkan video yang diposting Freya.
Sekuat tenaga, Naina berusaha bangkit berdiri sambil berpegangan pada tepi ranjang. Tubuhnya masih lemas dan gemetar.
“Jawab, Naina!”
“I-itu… itu….” Naina tergagap. Sejenak, otaknya tiba-tiba blank bingung memulai penjelasan dari mana.
“Jelaskan!” tekan Dhafin tidak sabaran.
Naina menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan diri lantas menatap suaminya.
“Di video itu memang benar aku. Tapi bukan racun yang kumasukkan, melainkan vitamin. Kamu tau sendiri, Altair sering mengalami GTM.”
“Jadi, aku tambahkan vitamin dalam makanan ataupun minuman Altair. Itu pun nggak setiap hari. Kamu sendiri yang membelikannya langsung atas saran dari dokter.”
Dhafin terbungkam mendengar penjelasan Naina. Pria itu pasti sedang mengingat ketika pertama kali Altair mengalami GTM sampai berhari-hari, ia sangat panik dan langsung membawanya ke dokter.
Sang dokter pun merekomendasikan sebuah vitamin yang bisa dicampurkan dalam makanan atau minuman kesukaan Altair serta mampu memenuhi nutrisi dalam tubuh.
“Bahkan saat vitaminnya hampir habis, kamu buru-buru membeli lagi buat stok. Apa kamu lupa?”
Naina tahu, Dhafin sangat menyayangi Altair dan pastinya tidak akan melupakan apapun yang berkaitan dengan anaknya.
“Coba kamu amati lebih jeli. Di situ ada kemasan vitamin yang tak jauh dari posisi tanganku. Meski tampak samar, kamu pasti mengenalnya.”
Naina memperhatikan ekspresi Dhafin yang sedang meneliti video itu. Raut wajahnya terlihat datar membuat ia tidak bisa menebak isi pikiran sang suami.
Besar harapannya Dhafin akan mempercayainya. Namun, kenyataannya…. Dhafin kini tersenyum miring padanya.
“Aku tetap nggak percaya. Bisa jadi kamu salah memasukkan vitamin.” Dhafin menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celana.
Deg!
Bu Anita langsung merubah raut wajahnya menjadi datar. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas. “Kami melakukan semua ini demi kebaikanmu, Dhafin.”Dhafin tertawa sarkas. Ia menatap ibunya dengan sorot dingin bercampur sendu. “Kebaikan? Kebaikan apa yang Mama maksud? Bagian mana yang menjadi kebaikan untukku, Ma?”Bu Anita maju satu langkah. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi sang anak. “Dhafin, Mama mengerti banget perasaanmu yang sangat mencintai Lora. Mama ingin menyatukan kalian berdua.”Dhafin menurunkan tangan ibunya, lalu menggeleng pelan. “Aku memang mencintai Lora, tapi nggak gini caranya, Ma. Harus berapa kali aku bilang, aku udah merelakan Lora bersama yang lain.”“Aku ikhlas demi kebahagiaan Lora sendiri dan anak-anak. Karena aku tau bahagianya Lora bukan bersamaku lagi,” ucapnya masih mempertahankan intonasi agar tidak meninggi, tetapi jelas ada nada geregetan di sana.“Jangan bohong, Dhafin!” Bu Anita berseru dengan suara lantang. Ia menatap tepat di kedua b
Pukul delapan malam, Dhafin memarkirkan mobilnya dengan sempurna di garasi rumah. Ia tidak langsung turun melainkan menumpukan kepalanya pada stir mobil dengan tangan yang masih bertengger di sana.Matanya terpejam lelah dengan dada naik-turun, mengatur pernapasan yang memburu. Tiba-tiba sekelebat perkataan Pak Ridwan saat di telepon tadi kembali terngiang.“Saya tidak tahu permainan apa yang sedang mereka jalankan, Mas. Tapi saya tahu satu hal, kontrak ini bukan ditulis untuk menyelamatkan perusahaan. Ini disusun untuk mengambilnya secara sah.”Dhafin mendesah kasar, lalu menarik tubuhnya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat stir hingga tampak bergetar dengan memperlihatkan ototnya.Meski sudah lewat beberapa jam lalu, tetapi kalimat itu terus-menerus bergema di benaknya melebihi vonis hukuman mati. Kerja sama yang ia pikir akan sangat menguntungkan ternyata menjadi awal kehancurannya. Rasanya sangat sulit untuk percaya. Namun, setelah ditelusuri lebih dalam,
“Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini?”Dhafin menatap layar laptop di depannya yang menampilkan kembali lembar-lembar MoU yang sebenarnya sudah ditandatangani beberapa minggu lalu. Meski sudah membacanya berkali-kali, tetapi ia merasa harus membacanya lagi. Baris demi baris, pasal demi pasal, seperti sedang mencari serpihan yang sempat luput dari matanya. Dan sekarang mulai terasa ada sebuah kejanggalan.Ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Ada pesan masuk dari salah satu manajer logistik.[Pak Dhafin, vendor pengiriman luar negeri sudah ganti. Koordinasi awal dari pihak The Bright Group langsung ke tim.]Dhafin mengerutkan keningnya dengan alis yang nyaris menyatu. Ia tidak pernah menyetujui perubahan vendor. Bahkan, dalam rapat terakhir, keputusan itu ditunda karena audit kelayakan masih berjalan.Tangannya langsung bergerak cepat. Dhafin menelusuri ulang folder-folder laporan internal, lalu membuka sistem manajemen proyek. Memang benar, terdapat serangkaian keputusan y
Pak Raynald memutus kontak mata itu, lalu mengalihkan atensinya pada layar laptop. Ia membuka folder yang berisi berisi progres kerja sama dari sisi yang tak pernah akan masuk dalam laporan resmi.“Legal dan finansial hampir selesai. Amandemen sudah ditandatangani, dan penyertaan modal tahap kedua pun sudah masuk,” katanya pelan namun terdengar tajam.Grissham mengangguk dan ikut menatap ke arah layar. “Berapa posisi kita sekarang?”“Sekitar tiga puluh persen,” jawab Pak Raynald cepat. “Cukup untuk suara dominan di RUPS luar biasa. Meski belum mayoritas, tapi cukup untuk membuat suara keluarga Wirabuana tak lagi mutlak.”Ia menyeringai kecil lantas menambahkan, “legalitas sudah aman. Sekarang tinggal kita buktikan bahwa mereka bahkan tak benar-benar mengenal perusahaan mereka sendiri.”Grissham kembali bersandar dengan tatapan mata yang menelisik. “Dan dari dalam? Apa kita sudah menempatkan orang di posisi yang strategis?”Pak Raynald tersenyum lebar. “Sudah. Dan itu cukup untuk mulai
Mentari tergelincir ke ufuk barat. Cahayanya yang kekuningan menyebar hangat sebagai tanda bahwa jam kerja hari ini telah usai. Para karyawan satu-persatu mulai meninggalkan meja kerjanya untuk pulang. Ada pula karyawan yang memilih menetap dikarenakan banyak pekerjaan yang mengharuskannya lembur.Seperti itulah suasana di kantor pusat The Bright Group yang ada di Indonesia. Sama seperti perusahaan pada umumnya yang membatasi jam kerja hanya sampai pukul empat sore. Bedanya, semua karyawan di sini benar-benar terpilih dan berkualitas.Grissham duduk satu sofa luar yang ada di lantai paling atas gedung kantor ini. Sebelah kakinya ditekuk dan bertumpu pada kaki satunya, dengan tangan mengutak-atik tab. Sembari menunggu kedatangan sang pemilik perusahaan, ia tidak ingin membuang waktu dan memilih mengerjakan sesuatu. Tatapannya begitu fokus menekuri isi dalam tab tanpa terdistraksi oleh suasana sekitarnya.Lagi pula, suasana di lantai ini sangat lenggang, berbeda jauh dengan suasana d
Dhafin kembali mengurungkan niatnya dan memilih untuk duduk sejenak di sofa single. Sepertinya akan ada pembicaraan yang lebih serius. “Tentang apa, Pa?”Pak Daniel menegakkan tubuhnya yang semula bersandar. Ia menatap Dhafin dengan wajah yang tampak serius. “Tentang kerja sama dengan The Bright Group. Bagaimana progresnya sejauh ini? Lancar?”Dhafin meletakkan tangannya di lengan sofa dan tersenyum singkat. “Progresnya cukup signifikan, Pa. Sampai saat ini semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Tim mereka responsif dan sangat profesional.”“Proyek ekspansi sedang masuk tahap finalisasi desain operasional. Suntikan dana tahap kedua sudah cair minggu lalu, dan beberapa proposal infrastruktur sedang kita tinjau ulang bareng tim mereka.”“Aku juga cukup optimis karena komunikasi antar tim sejauh ini kondusif. Kita bahkan sedang diskusi kemungkinan perluasan ke pasar Asia Timur.”Ia menatap ayahnya dengan serius namun tenang. “Kalau nggak ada halangan, kita bisa mulai running penuh bul