“Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!”
Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.
“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”
“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.”
Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”
Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.
“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”
Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai membunuh. Aku nggak sekejam itu sampai harus membunuh anakku sendiri.”
Dhafin menghela napas. “Kalau bukan kamu, terus siapa?”
“Freya! Freya yang udah membunuh putra kita.”
Plak!
Naina memegang pipinya. Ia menoleh ke arah ibu mertua yang tiba-tiba datang dan langsung menamparnya. Diikuti oleh Freya di belakang yang menampilkan raut wajah sendu seolah seolah-olah terluka.
“Atas dasar apa kamu menuduh calon menantuku, hah?!” ucap Bu Anita marah.
“Aku bukan menuduh, tapi bicara fakta, Ma. Dia!” Naina menunjuk Freya dengan jari telunjuknya. “Dia yang udah melenyapkan nyawa anakku.”
“Ada bukti?” tanya Dhafin datar.
Naina terdiam tak mampu menjawab karena memang dirinya tidak mempunyai bukti.
“Jangan melibatkan orang lain atas kesalahanmu sendiri,” kata Dhafin lagi lebih dingin.
“Lagi pula untuk apa Freya membunuh Altair?” sambung Bu Anita sambil bersedekap dada.
“Untuk menyingkirkanku. Dengan membunuh Altair, otomatis dia bisa menyingkirkanku lebih mudah karena nggak ada lagi alasan Mas Dhafin mempertahankanku menjadi istrinya.”
“Nai.... Aku nggak tau apa salahku padamu sampai-sampai kamu malah menuduhku.” Raut wajah Freya terlihat sedih.
Namun, Naina tahu itu hanya pura-pura demi mendapatkan simpati.
“Hentikan omong kosongmu itu, Naina!” bentak Dhafin sepertinya sudah muak.
“Freya nggak mungkin melakukan hal itu. Aku yang lebih mengenalnya bertahun-tahun. Berhenti menuduh orang.”
Naina terkekeh miris bersamaan dengan butiran bening yang kembali lolos. Di depan mata, ia melihat suaminya yang mati-matian membela wanita lain.
“Kamu memang mengenalnya bertahun-tahun, tapi aku yang tinggal serumah bersamanya dari kecil. Aku tau bagaimana karakternya ketika di dalam dan di luar rumah.”
“Freya itu perempuan jahat, Mas! Dia melakukan apapun demi bisa mendapatkanmu, termasuk membunuh Altair!” teriaknya meluapkan amarah yang ditahan sejak tadi.
Dhafin semakin mengeraskan rahangnya hingga giginya bergemeletuk. “Jangan pernah menjelekkan Freya di depanku. Dia perempuan baik-baik.”
“Bukan sepertimu! Seorang ibu yang tega membunuh anaknya sendiri!” tekannya sambil menudingkan telunjuk tepat di depan muka Naina.
Naina memandang Dhafin dengan tatapan penuh kepedihan. Hatinya hancur berkeping-keping mendengar kalimat menyakitkan yang dilontarkan oleh suaminya.
Lukanya semakin menganga dan berdarah-darah. Perih sekali seolah ada garam yang bertabur di atasnya.
Plak!
Lagi, tamparan keras kembali ia dapatkan dari Bu Anita. Tubuhnya juga didorong hingga jatuh di atas kasur.
“Wanita gila! Pembunuh! Kau sudah mencoreng nama baik keluarga! Kupastikan kau akan membusuk di penjara!”
“Ayo, Dhafin.” Bu Anita menyeret lengan Dhafin lalu membawanya keluar kamar meninggalkan Naina berdua bersama Freya.
Prok... prok... prok!
“Pertunjukan yang sangat menakjubkan.”
Naina beranjak duduk di tepi ranjang. Ia menatap Freya yang sedang bertepuk tangan bahagia. Raut wajah itu dalam sekejap berubah usai kepergian Dhafin dan ibunya.
“Udah puas kamu?”
“Belum. Aku nggak akan pernah puas sebelum kamu menderita sampai hancur.”
Freya tertawa. “Akhirnya sebentar lagi aku berhasil menyingkirkanmu. Bagaimana rasanya dibenci suami?”
Ia berjalan mendekat. “Ututu... kasihan banget sih,” katanya sambil mengusap kepala Naina.
Naina menepis kasar tangan Freya. Mati-matian ia menahan air matanya agar tidak lagi tumpah. Ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan Freya.
“Apa maumu?” tanyanya datar.
“Tentu saja aku ingin mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Udah cukup aku memberikan posisiku sebagai nyonya Wirabuana padamu.”
Freya menatap Naina dengan sinis disertai senyuman remeh.
“Dan yang paling penting, tak lama lagi kamu akan terusir dari rumah ini dengan cara tidak terhormat. Oh, atau mungkin dipenjara?”
Perempuan itu menunduk untuk melihat wajah Naina lebih dekat. “Lihatlah, seluruh dunia mengenalmu sebagai pembunuh. Ibu yang sangat kejam yang tega membunuh anaknya sendiri.”
“Kau yang kejam, Freya! Kamulah pelaku yang sebenarnya!” balas Naina dengan berani tak lupa dengan tatapan tajamnya.
“Ups! Ketahuan deh!” Freya menutup mulut seolah keceplosan. “Sayangnya, nggak ada orang yang mempercayaimu. Kamu udah menjadi tersangka utama.”
“Aku akan membuktikannya.”
“Dan aku nggak akan membiarkanmu mendapatkan bukti itu. Selamat menikmati kehancuranmu, Naina.” Freya balik badan dan berjalan hendak keluar kamar.
“Video yang kamu posting itu nggak benar. Kamu sengaja merekamnya untuk memfitnahku.” Naina bangkit berdiri.
Freya kembali mendekati Naina. Ia tersenyum miring. “Oh ya? Bagaimana kalau bukti itu benar? Tanpa kamu sadari, yang kamu masukkan sebenarnya adalah racun.”
Tubuh Naina gemetar, menahan marah. “Apa maksudmu?!”
Di tempat lain, Bu Anita berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan langkah cepat. Ia bersedekap dada sembari menggigit kukunya gusar. Keringat dingin membasahi wajahnya yang pucat dengan napas memburu.Setelah mendapatkan telepon dari Grissham, hatinya menjadi tidak tenang dan diselimuti kegelisahan. Ditambah lagi dengan ancaman laki-laki yang membuatnya menggigil ketakutan.Sebagian dirinya yang lain mencoba menenangkan bahwa itu hanya ancaman. Grissham hanya menggertak saja dan tidak benar-benar melakukannya. Namun, bagaimana jika Grissham menjalankan ancamannya?“Sial!” Wanita paruh baya itu berdecak kesal seraya menghentakkan kakinya. Ia harus memutar otak untuk menggagalkan rencana Grissham.Sebuah tepukan di bahu membuatnya terlonjak kaget dan langsung berbalik badan. Dengan gerakan refleks, ia memukul lengan sang suami yang menjadi pelaku utamanya. “Astaghfirullahalazim, Pa! Bikin Mama kaget aja.” Bu Anita memegang dadanya yang berdegup sangat kencang. Ia mengikuti langkah s
Grissham kembali bersandar sembari menggerakkan kursinya. “Lalu, bagaimana dengan Wirabuana Group? Apa sudah ada kabar terkait gonjang-ganjing yang terjadi dalam perusahaan itu?”“Sampai saat ini, belum ada kabar apapun yang berkaitan dengan perusahaan itu. Dari luar, semuanya terlihat normal-normal saja, Pak. Beberapa karyawan yang sudah saya tanya juga mengatakan hal yang sama.”Grissham menyunggingkan senyum miring sambil geleng-geleng kepala. “Rupanya mereka masih menyembunyikan kondisi yang sebenarnya dari publik. Mereka bahkan menekan karyawannya agar tutup mulut.”“Saya minta maaf, Pak, tidak bisa mengakses perusahaan itu lebih dalam. Keamanan di sana sangat ketat dan sama sekali tidak membocorkan informasi internal mereka.”Grissham menghela napas pelan. “Tidak apa-apa, Radit. Tugasmu hanya di bagian bukti hingga tiba waktunya diunggah.”“Untuk masalah internal Wirabuana Group, saya akan berkoordinasi dengan Uncle Raynald. Saya hanya ingin tahu apakah masalah itu sudah terendu
Ting! Pintu lift terbuka setelah tiba di lantai paling atas yang menjadi tempat pemimpin perusahaan bekerja. Grissham melangkah keluar dari lift dengan penuh wibawa menuju ke ruang kerjanya usai melaksanakan rapat.Ia berjalan bersama dengan seseorang yang dipercaya untuk mengelola GTC pusat semenjak dirinya pindah ke Indonesia. Pria itu bernama Nathaniel Carrington. Ia merupakan sahabat dekat Grissham dari kecil, tepatnya setelah Annelies dijemput ayahnya. Meskipun pernah berpisah, tetapi persahabatan mereka tetap terjalin sangat erat hingga sekarang.Keduanya sudah seperti saudara bahkan keluarga mereka pun saling menerima dan memiliki hubungan yang sangat dekat karena sama-sama dari keluarga pebisnis. Oleh sebab itu, Grissham mempercayakan perusahaan ini pada sahabatnya setelah melalui banyak pertimbangan dan diskusi dengan dua keluarga.Ia tentu saja tidak akan menyerahkan perusahaan yang dirintisnya dari nol kepada sembarang orang. Ia juga tidak asal memilih hanya semata-ma
Lora mengerutkan kening dengan alis yang nyaris menyatu usai membaca pesan dari mantan suaminya itu. Bantuan apa yang dimaksud? Bola matanya bergerak mulai menebak tujuan utama Dhafin meminta bantuannya.Wanita itu menghela napas panjang lantas mengetikkan balasan. Baru beberapa huruf yang terketik, layar ponselnya berubah diikuti panggilan masuk dari orang yang sama. Ia pun menggeser tombol hijau untuk mengangkatnya.“Assalamu'alaikum, Lora.”“Wa'alaiakumsalam, ada apa?” Lora membalas dengan nada suara tanpa intonasi. Sejak pertemuan dengan Dhafin saat di restoran waktu itu, sikapnya berubah. Lebih dingin dan acuh tak acuh.Terdengar helaan napas berat dari seberang sana seolah Dhafin sedang memikul banyak beban. “Aku sedang menghadapi masalah yang sangat besar, lebih tepatnya perusahaanku.”“Ini akibat dari kerja sama dengan The Bright Group. Di balik kerja sama itu ternyata Om Raynald punya tujuan lain, ingin mengakuisisi Wirabuana Group. Aku sangat butuh bantuanmu sekaligus minta
“Dor!”Lora terlonjak kaget hingga ponsel di tangannya terlepas kemudian jatuh di pangkuan. Ia menoleh ke belakang, menatap tajam pelaku utama yang baru saja mengagetkannya. “Abang…!” teriaknya kesal apalagi melihat orang itu yang malah tertawa terpingkal-pingkal penuh kepuasan. Ia melempar kasar satu bantal di sofa yang langsung ditangkap dengan sempurna oleh abang jahilnya siapa lagi kalau bukan Affan.Pria yang mengenakan kemeja rapi itu meredakan tawanya lalu menghempaskan tubuh duduk di samping Lora.“Lagi ngapain? Aku perhatikan kamu terus mengecek ponsel tiap detik. Lagi nunggu kabar dari Grissham, ya?” tanyanya sekaligus menebak.Lora mengangguk lesu dengan bibir melengkung ke bawah. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa. “Kak Sham sama sekali belum mengabariku. Padahal kan harusnya jam segini udah sampai.”Affan mengubah posisi duduknya menjadi serong menghadap adik sepupunya ini. “Lora, adikku sayang. Kamu nggak lupa kan kalau ada perbedaan waktu yang signifikan antara Ind
“Kau dari mana saja, Lora?”Lora sontak menghentikan langkahnya di ruang tamu dan memandang ke depan. Tanpa sadar, tangannya menggenggam erat tali tas selempang yang dipakaianya.Di sana, seorang pria tua yang masih terlihat gagah dan bugar berjalan mendekat dengan langkah penuh wibawa. Beliau merupakan orang nomor satu di keluarga ini yang paling disegani dan dihormati. Segala keputusan harus melalui pertimbangannya karena beliau yang memegang kekuasaan penuh atas rumah ini. Seluruh anggota keluarga tidak ada yang berani menentangnya.“Opa?” gumam Lora menyerupai bisikan seraya tersenyum kikuk. Ia mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan sang kakek ketika sudah berhenti di hadapannya.“Kau dari mana?” Pria tua yang biasa dipanggil Opa Arya itu kembali bertanya. Ia menatap cucunya sembari bersedekap dada.“Aku habis dari mengantar Kak Sham ke bandara, Opa. Setelah itu, aku ngantar Annelies ke kantor Om Albern. Cuma mengantar aja terus langsung pulang,” jawab Lora apa adanya.Op