Home / Rumah Tangga / Mari Berpisah, Aku Menyerah / 5. Kepercayaan yang Lenyap

Share

5. Kepercayaan yang Lenyap

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-07-22 21:39:59

“Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!” 

Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.

“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”

“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.” 

Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”

Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.

“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”

Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai membunuh. Aku nggak sekejam itu sampai harus membunuh anakku sendiri.”

Dhafin menghela napas. “Kalau bukan kamu, terus siapa?”

“Freya! Freya yang udah membunuh putra kita.”

Plak!

Naina memegang pipinya. Ia menoleh ke arah ibu mertua yang tiba-tiba datang dan langsung menamparnya. Diikuti oleh Freya di belakang yang menampilkan raut wajah sendu seolah seolah-olah terluka.

“Atas dasar apa kamu menuduh calon menantuku, hah?!” ucap Bu Anita marah.

“Aku bukan menuduh, tapi bicara fakta, Ma. Dia!” Naina menunjuk Freya dengan jari telunjuknya. “Dia yang udah melenyapkan nyawa anakku.”

“Ada bukti?” tanya Dhafin datar.

Naina terdiam tak mampu menjawab karena memang dirinya tidak mempunyai bukti.

“Jangan melibatkan orang lain atas kesalahanmu sendiri,” kata Dhafin lagi lebih dingin.

“Lagi pula untuk apa Freya membunuh Altair?” sambung Bu Anita sambil bersedekap dada.

“Untuk menyingkirkanku. Dengan membunuh Altair, otomatis dia bisa menyingkirkanku lebih mudah karena nggak ada lagi alasan Mas Dhafin mempertahankanku menjadi istrinya.”

“Nai.... Aku nggak tau apa salahku padamu sampai-sampai kamu malah menuduhku.” Raut wajah Freya terlihat sedih. 

Namun, Naina tahu itu hanya pura-pura demi mendapatkan simpati.

“Hentikan omong kosongmu itu, Naina!” bentak Dhafin sepertinya sudah muak.

“Freya nggak mungkin melakukan hal itu. Aku yang lebih mengenalnya bertahun-tahun. Berhenti menuduh orang.”

Naina terkekeh miris bersamaan dengan butiran bening yang kembali lolos. Di depan mata, ia melihat suaminya yang mati-matian membela wanita lain.

“Kamu memang mengenalnya bertahun-tahun, tapi aku yang tinggal serumah bersamanya dari kecil. Aku tau bagaimana karakternya ketika di dalam dan di luar rumah.”

“Freya itu perempuan jahat, Mas! Dia melakukan apapun demi bisa mendapatkanmu, termasuk membunuh Altair!” teriaknya meluapkan amarah yang ditahan sejak tadi.

Dhafin semakin mengeraskan rahangnya hingga giginya bergemeletuk. “Jangan pernah menjelekkan Freya di depanku. Dia perempuan baik-baik.” 

“Bukan sepertimu! Seorang ibu yang tega membunuh anaknya sendiri!” tekannya sambil menudingkan telunjuk tepat di depan muka Naina.

Naina memandang Dhafin dengan tatapan penuh kepedihan. Hatinya hancur berkeping-keping mendengar kalimat menyakitkan yang dilontarkan oleh suaminya.

Lukanya semakin menganga dan berdarah-darah. Perih sekali seolah ada garam yang bertabur di atasnya.

Plak! 

Lagi, tamparan keras kembali ia dapatkan dari Bu Anita. Tubuhnya juga didorong hingga jatuh di atas kasur.

“Wanita gila! Pembunuh! Kau sudah mencoreng nama baik keluarga! Kupastikan kau akan membusuk di penjara!”

“Ayo, Dhafin.” Bu Anita menyeret lengan Dhafin lalu membawanya keluar kamar meninggalkan Naina berdua bersama Freya.

Prok... prok... prok! 

“Pertunjukan yang sangat menakjubkan.”

Naina beranjak duduk di tepi ranjang. Ia menatap Freya yang sedang bertepuk tangan bahagia. Raut wajah itu dalam sekejap berubah usai kepergian Dhafin dan ibunya.

“Udah puas kamu?”

“Belum. Aku nggak akan pernah puas sebelum kamu menderita sampai hancur.” 

Freya tertawa. “Akhirnya sebentar lagi aku berhasil menyingkirkanmu. Bagaimana rasanya dibenci suami?”

Ia berjalan mendekat. “Ututu... kasihan banget sih,” katanya sambil mengusap kepala Naina.

Naina menepis kasar tangan Freya. Mati-matian ia menahan air matanya agar tidak lagi tumpah. Ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan Freya.

“Apa maumu?” tanyanya datar.

“Tentu saja aku ingin mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Udah cukup aku memberikan posisiku sebagai nyonya Wirabuana padamu.”

Freya menatap Naina dengan sinis disertai senyuman remeh.

“Dan yang paling penting, tak lama lagi kamu akan terusir dari rumah ini dengan cara tidak terhormat. Oh, atau mungkin dipenjara?” 

Perempuan itu menunduk untuk melihat wajah Naina lebih dekat. “Lihatlah, seluruh dunia mengenalmu sebagai pembunuh. Ibu yang sangat kejam yang tega membunuh anaknya sendiri.” 

“Kau yang kejam, Freya! Kamulah pelaku yang sebenarnya!” balas Naina dengan berani tak lupa dengan tatapan tajamnya.

“Ups! Ketahuan deh!” Freya menutup mulut seolah keceplosan. “Sayangnya, nggak ada orang yang mempercayaimu. Kamu udah menjadi tersangka utama.”

“Aku akan membuktikannya.”

“Dan aku nggak akan membiarkanmu mendapatkan bukti itu. Selamat menikmati kehancuranmu, Naina.” Freya balik badan dan berjalan hendak keluar kamar.

“Video yang kamu posting itu nggak benar. Kamu sengaja merekamnya untuk memfitnahku.” Naina bangkit berdiri.

Freya kembali mendekati Naina. Ia tersenyum miring. “Oh ya? Bagaimana kalau bukti itu benar? Tanpa kamu sadari, yang kamu masukkan sebenarnya adalah racun.”

Tubuh Naina gemetar, menahan marah. “Apa maksudmu?!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
Freya BINATANG pasti dia yang menukar vitamin dengan racun semoga kamu umur panjang untuk menerima KARMA LAKNAT perempuan EGOIS mirip PELACUR
goodnovel comment avatar
Eny Zain
paling benci, dengan novel model begini menindas istri. menindas menantu. males bacanya
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
naina dibikin bodoh kisah othor sendiri
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   349. Menanti Kabar

    “Kau dari mana saja, Lora?”Lora sontak menghentikan langkahnya di ruang tamu dan memandang ke depan. Tanpa sadar, tangannya menggenggam erat tali tas selempang yang dipakaianya.Di sana, seorang pria tua yang masih terlihat gagah dan bugar berjalan mendekat dengan langkah penuh wibawa. Beliau merupakan orang nomor satu di keluarga ini yang paling disegani dan dihormati. Segala keputusan harus melalui pertimbangannya karena beliau yang memegang kekuasaan penuh atas rumah ini. Seluruh anggota keluarga tidak ada yang berani menentangnya.“Opa?” gumam Lora menyerupai bisikan seraya tersenyum kikuk. Ia mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan sang kakek ketika sudah berhenti di hadapannya.“Kau dari mana?” Pria tua yang biasa dipanggil Opa Arya itu kembali bertanya. Ia menatap cucunya sembari bersedekap dada.“Aku habis dari mengantar Kak Sham ke bandara, Opa. Setelah itu, aku ngantar Annelies ke kantor Om Albern. Cuma mengantar aja terus langsung pulang,” jawab Lora apa adanya.Op

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   348. Sampai Jumpa, Sayang

    Lora ikut tersenyum meskipun matanya berkhianat. Tatapannya terkunci ke arah bola mata abu-abu yang terlihat indah itu. “Aku–”“Perhatian kepada penumpang Qatar Airways dengan nomor penerbangan QR 957 tujuan London melalui Doha. Proses boarding kini dimulai di Gate 5D.”“Kami mohon penumpang dengan kursi baris 25 hingga 45 untuk segera menuju gate. Pastikan boarding pass dan paspor Anda telah siap diperiksa. Terima kasih.”Suara pengumuman yang menggema di seluruh penjuru bandara berhasil memotong ucapan Lora yang belum terselesaikan. Dua kali pengumuman tersebut diucapkan sebelum akhirnya berhenti.Lora memandang ke arah pintu keberangkatan yang posisinya beberapa meter di belakang Grissham sebelum kembali menatap laki-laki itu. “Udah ada pengumuman boarding. Itu kan nama pesawat sama nomor penerbanganmu, Kak,” ucapnya mengingatkan.Grissham mengibaskan tangannya santai. “Tenang saja, Sayang, tak perlu terburu-buru. Lagi pula tempat dudukku bukan di baris kursi yang disebutkan dalam

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   347. Hanya Pergi Sebentar

    Mentari siang menggantung tinggi di langit dan menyelinap melalui atap kaca bandara, memantul di lantai marmer yang mengkilap, menciptakan kilauan lembut di tengah lalu-lalang manusia. Suara roda koper yang berderak, langkah kaki terburu-buru, dan pengumuman boarding yang bergema bersahutan membentuk simfoni sibuk khas terminal internasional.Ada yang baru mendarat, lalu disambut dengan pelukan hangat dari keluarga maupun orang terkasih. Ada pula yang bersiap lepas landas dan berpamitan sebagai salam perpisahan sebelum berangkat. “Sayang, sejak tadi kau sama sekali belum bersuara. Kenapa?” tanya Grissham sembari menatap Lora yang berdiri di hadapannya. Ia merasa heran dengan sikap sang calon istri yang membungkam sejak bertemu dengannya. Bahkan saat makan siang di restoran bandara tadi juga Lora enggan bersuara dan hanya fokus menikmati makanan.Jadi, ia hanya bisa mengobrol dengan Annelies yang ikut dengan mereka hari ini. Hingga sekarang tiba di depan pintu keberangkatan, Lora te

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   346. Batas Kesabaran Dhafin

    Bu Anita langsung merubah raut wajahnya menjadi datar. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas. “Kami melakukan semua ini demi kebaikanmu, Dhafin.”Dhafin tertawa sarkas. Ia menatap ibunya dengan sorot dingin bercampur sendu. “Kebaikan? Kebaikan apa yang Mama maksud? Bagian mana yang menjadi kebaikan untukku, Ma?”Bu Anita maju satu langkah. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi sang anak. “Dhafin, Mama mengerti banget perasaanmu yang sangat mencintai Lora. Mama ingin menyatukan kalian berdua.”Dhafin menurunkan tangan ibunya, lalu menggeleng pelan. “Aku memang mencintai Lora, tapi nggak gini caranya, Ma. Harus berapa kali aku bilang, aku udah merelakan Lora bersama yang lain.”“Aku ikhlas demi kebahagiaan Lora sendiri dan anak-anak. Karena aku tau bahagianya Lora bukan bersamaku lagi,” ucapnya masih mempertahankan intonasi agar tidak meninggi, tetapi jelas ada nada geregetan di sana.“Jangan bohong, Dhafin!” Bu Anita berseru dengan suara lantang. Ia menatap tepat di kedua b

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   345. Hanya Topeng Semata

    Pukul delapan malam, Dhafin memarkirkan mobilnya dengan sempurna di garasi rumah. Ia tidak langsung turun melainkan menumpukan kepalanya pada stir mobil dengan tangan yang masih bertengger di sana.Matanya terpejam lelah dengan dada naik-turun, mengatur pernapasan yang memburu. Tiba-tiba sekelebat perkataan Pak Ridwan saat di telepon tadi kembali terngiang.“Saya tidak tahu permainan apa yang sedang mereka jalankan, Mas. Tapi saya tahu satu hal, kontrak ini bukan ditulis untuk menyelamatkan perusahaan. Ini disusun untuk mengambilnya secara sah.”Dhafin mendesah kasar, lalu menarik tubuhnya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat stir hingga tampak bergetar dengan memperlihatkan ototnya.Meski sudah lewat beberapa jam lalu, tetapi kalimat itu terus-menerus bergema di benaknya melebihi vonis hukuman mati. Kerja sama yang ia pikir akan sangat menguntungkan ternyata menjadi awal kehancurannya. Rasanya sangat sulit untuk percaya. Namun, setelah ditelusuri lebih dalam,

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   344. Kejanggalan yang Terlambat Terbaca

    “Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini?”Dhafin menatap layar laptop di depannya yang menampilkan kembali lembar-lembar MoU yang sebenarnya sudah ditandatangani beberapa minggu lalu. Meski sudah membacanya berkali-kali, tetapi ia merasa harus membacanya lagi. Baris demi baris, pasal demi pasal, seperti sedang mencari serpihan yang sempat luput dari matanya. Dan sekarang mulai terasa ada sebuah kejanggalan.Ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Ada pesan masuk dari salah satu manajer logistik.[Pak Dhafin, vendor pengiriman luar negeri sudah ganti. Koordinasi awal dari pihak The Bright Group langsung ke tim.]Dhafin mengerutkan keningnya dengan alis yang nyaris menyatu. Ia tidak pernah menyetujui perubahan vendor. Bahkan, dalam rapat terakhir, keputusan itu ditunda karena audit kelayakan masih berjalan.Tangannya langsung bergerak cepat. Dhafin menelusuri ulang folder-folder laporan internal, lalu membuka sistem manajemen proyek. Memang benar, terdapat serangkaian keputusan y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status