Share

Bab 3 : Dia Yang Mencoba Kembali

Nisa baru saja tiba dirumah dan menyadari ketegangan yang terjadi didepan tempat tinggalnya itu. Terlihat Aruna yang sedang berdiri didepan seorang laki-laki asing yang baru kali ini dilihat perempuan itu. Dan ketika Nisa sedikit melongokan kepalanya kedalam, perempuan itu lebih terkejut lagi ketika mendapati tubuh tinggi Raditya sedang berdiri tidak jauh dibelakang sambil memandang ke arah Aruna.

Nisa belum sempat mengatakan salam apapun ketika suara Raditya terdengar, memecah keheningan. "Sepertinya kamu kedatangan tamu lain. Aku pamit pulang dulu kalau begitu."

Aruna terlihat mengalihkan pandangan dari laki-laki yang berdiri dipintu, balas menatap Raditya. "Terimakasih buat cemilannya, Adhisty pasti menyukainya."

Nisa tidak mendengar Raditya mengatakan apapun untuk menjawab, hanya anggukan kepala pelan yang diberikan laki-laki itu sebagai jawaban atas ucapan Aruna.

Raditya terlihat lain dari yang kemarin Nisa lihat. Karena ketika laki-laki itu lewat didepan Nisa, dia hanya tersenyum pada Nisa sebagai sapaan. Nisa hanya balas tersenyum, tidak mencoba menyapa lebih apalagi menanyakan apa yang terjadi. Dari yang Nisa lihat, mungkin Raditya sedang berada disuasana hati yang buruk.

Nisa berdeham pelan, mengusap tengkuk dengan gugup sebelum bersuara. "Aku masuk dulu, menemani Adhisty didalam."

Aruna membuang napas pelan ketika melihat Nisa melangkah memasuki rumah. Perempuan itu masih setia berdiri di ambang pintu, diam disana dengan laki-laki yang juga berdiri kaku tepat didepannya.

"Bisa izinkan aku masuk?" tanya laki-laki bernama Dipta itu dengan suara pelan. Nisa hampir mengumpat karena mendengar nada suara itu. Kapan terakhir kali dirinya mendengar suara sehalus itu keluar dari mulut laki-laki yang berdiri didepannya saat ini?

"Nggak. Sebentar lagi malam, aku dan Mbak Nisa perlu istirahat."

"Aku cuma ingin bertemu dengan Adhisty. Kalau kamu lupa, Adhisty juga anakku. Aku sangat ingin menemuinya karena terakhir kali aku menemuinya ketika dia masih bayi."

Aruna mendengus pelan tanpa sadar, merasa sedikit kesal karena kalimat panjang Dipta. "Seingatku, kamu nggak lagi kuanggap sebagai Ayah dari anakku karena telah menyakitinya. Dan apa salahku kalau kamu hanya menemuinya saat bayi? Itu terjadi karena kesalahan kamu."

"Aku tahu. Aku menyesal karena sudah mengkhianati pernikahan kita. Aku menyesal karena sudah meninggalkan kamu dan Adhisty. Aku menyesal karena sudah melukai kamu dan membiarkan kamu sembuh dari luka itu sendirian. Aku menyesal, dan aku minta maaf untuk itu, Aruna."

Aruna mengalihkan wajah. Kedua matanya yang tiba-tiba memanas berkedip beberapa kali, mencoba menahan buliran bening yang seakan bersiap untuk turun. "Maaf mengecewakan kamu, tapi aku nggak sedang berminat untuk mendengarkan kisah menyedihkan yang akan kamu bicarakan."

"Aku minta maaf karena memberikan kamu banyak kenangan buruk selama pernikahan kita. Aku minta maaf, Aruna."

"Lebih baik kamu pergi sekarang karena sebanyak apapun kamu mengatakan permintaan maaf nggak akan membuatku berubah pikiran dan mengizinkan kamu masuk menemui Adhisty."

"Aruna ..,"

"Pergi, Mas." nada suara Aruna terdengar tegas ketika mengatakan itu. Kedua mata bulatnya terlihat penuh kesakitan ketika melanjutkan kalimatnya, "Aku nggak akan membiarkan kamu bertemu dengan Adhisty."

"Aruna ,.."

"Permisi." Aruna membalikan tubuhnya, masuk kedalam rumah dan segera menutup pintu dengan sedikit bantingan.

Tubuh Aruna melemas. Perempuan itu jatuh terduduk dibalik pintu, kedua tangannya memeluk lututnya yang ditekuk, isakan pelan mendadak keluar dari mulutnya yang bergetar.

"Aku minta maaf karena menyakiti kamu, Aruna. Aku minta maaf .,." suara Dipta terdengar dari balik pintu, laki-laki itu terdengar menyesal ketika melanjutkan ucapannya. "Aku tahu seberapa keraspun usahaku meminta maaf, nggak akan mengurangi rasa sakit yang kuberikan pada kamu."

Aruna berkedip cepat. Air mata sudah mengalir dari kedua matanya, turun dengan deras membasahi wajahnya.

"Aku pamit. Semoga lain kali ketika aku datang lagi kesini, kamu mau mengizinkanku masuk untuk bertemu dengan Adhisty."

Aruna masih terisak ketika langkah kaki terdengar menjauh. Aruna masih memeluk kedua lututnya ketika suara deru mobil terdengar meninggalkan sekitar rumahnya. Aruna masih diam disana sampai air matanya benar-benar berhenti dan dirinya jadi lebih tenang.

Aruna membuang napas dengan berat. Perempuan itu mengusap wajahnya, membersihkan sisa-sisa air mata yang sempat mampir disana. Setelah merasa lebih baik, barulah dirinya bangkit berdiri.

Langkah Aruna tertuju ke arah ruang tengah, tempat dimana tadi dirinya meninggalkan Adhisty. Anak perempuannya masih disana, duduk ditemani Nisa sambil memakan cemilan yang dibawakan Raditya tadi.

"Belum selesai?" tanya Aruna sambil ikut duduk disebelah Adhisty. Anak perempuannya itu sedang sibuk mengunyah cokelat ditangannya.

"Sudah pulang?" tanya Nisa sambil menatap Aruna. Ketika melihat Aruna mengangguk pelan sebagai jawaban, perempuan itu melanjutkan dengan suara sedikit lebih pelan. "Siapa?"

"Mas Dipta. Mantan suamiku. Papanya Adhisty."

Nisa mengangguk, seakan memahami situasinya sekarang. "Kalau gitu, aku mau mandi dulu."

Aruna kembali mengangguk dan membiarkan Nisa meninggalkannya berdua dengan Adhisty.

"Kamu makan banyak cemilan hari ini. Awas gendut." goda Aruna pada Adhisty yang sibuk mengunyah. Ketika dilihatnya Adhisty sudah selesai, Aruna segera mengusap tangan mungil anaknya dengan tissu basah.

Aruna mengusap rambut hitam Adhisty yang sama persis dengan miliknya. Tatapannya meneduh ketika kembali mengingat kejadian barusan. Kenapa Dipta mendadak kembali? Apa hubungan laki-laki itu dengan selingkuhannya tidak berjalan baik? Apa mereka berpisah, makanya Dipta mendadak kembali mengingat anak dan istri yang sempat ditinggalkannya?

Aruna mendengus pelan tanpa sadar. Mengingat Dipta seakan menumbuhkan kembali rasa bencinya pada laki-laki. Dipta benar-benar berhasil membuat Aruna kehilangan kepercayaannya pada laki-laki. Aruna bahkan sempat mengira kalau Raditya mungkin akan memiliki sifat yang sama seperti Dipta.

Aruna kembali membuang napas, suaranya terdengar yakin ketika berkata pada Adhisty. "Apapun yang terjadi nanti, Mama pasti akan selalu sama kamu. Iya, kan, sayang?"

****

"Ada yang mau kamu ceritakan?"

"Mbak pasti udah nggak bisa menahan rasa penasaran, makanya sampai mengatakan itu."

Nisa terkekeh pelan. "Sangat penasaran."

Aruna menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Kedua matanya menatap tidak fokus ke arah layar tv yang sedang menampilkan acara tentang kisah cinta remaja. Adhisty sudah tertidur nyenyak setelah makan malam tadi, menyisakan Aruna dan Nisa yang masih menikmati waktu istirahat mereka.

"Ada yang belum kuceritakan pada Mbak." Aruna berkedip, menoleh pada Nisa yang sedang menatapnya dan melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. "Sebenarnya aku dan Mas Dipta belum resmi berpisah. Aku hanya menganggap begitu karena memang selama beberapa tahun belakangan Mas Dipta tidak memberiku kabar dan tidak bertanggungjawab padaku dan Adhisty."

Nisa tidak langsung menjawab. Perempuan itu diam sebentar sambil mencerna informasi yang baru didengarnya dari Aruna. "Apa Dipta tinggal bersama selingkuhannya?"

Aruna mengangkat bahu. "Saat aku masih tinggal disana, perempuan itu beberapa kali datang. Aku selalu merasa risih tiap kali melihatnya bersikap manis dengan Mas Dipta, makanya aku memilih pergi dari rumah. Tapi kalau sekarang, aku nggak tahu."

"Apa mungkin hubungan mereka juga berantakan, makanya Dipta mulai mencari kamu kembali?"

"Aku nggak tahu, Mbak." Aruna kembali membuang napas, terdengar begitu kelelahan. "Padahal aku sudah merasa cukup bahagia dengan kehidupanku saat ini. Tapi kenapa laki-laki brengsek itu tiba-tiba kembali datang? Apa dia berusaha mengganggu ketenangan hidupku?"

"Bersabarlah, Aruna. Aku yakin kamu pasti bisa melewati ini semua. Lagipula ada Adhisty dan aku yang akan selalu menemani kamu."

Aruna mengangguk. Tangannya terulur untuk memeluk Nisa, menyembunyikan wajahnya dibahu kurus perempuan itu. "Terimakasih, Mbak."

"Memang tugasku, kan?" Nisa balas memeluk Aruna, tangannya bergerak mengusap kepala Aruna. "Dan jangan lupa, ada Raditya yang juga akan selalu memihak kamu."

Aruna merapatkan bibir ketika mendadak teringat soal Raditya. Apa yang sedang dipikirkan laki-laki itu sekarang setelah melihat Dipta tadi? Apa Raditya akan memilih mundur karena mengira kalau Aruna masih memiliki hubungan dengan laki-laki lain? Kenapa mendadak, Aruna sedikit berharap Raditya tetap bersamanya?

"Aku pikir, Raditya mungkin nggak mau bertemu denganku lagi."

Dan Aruna mungkin keliru dengan pemikirannya. Perempuan itu belum mengenal seberapa gigih seorang Raditya karena ketika pagi-pagi dirinya hendak keluar untuk membeli sarapan, Raditya sudah berdiri dibalik pintu rumahnya. Laki-laki itu tersenyum seperti biasa pada Aruna, lengkap dengan bawaan ditangannya.

"Kamu datang?"

"Kenapa kamu kelihatan heran?" Raditya mengangkat sebelah alis lalu mengangkat kantong plastik putih ditangannya. "Kubelikan sarapan, bubur ayam. Untuk kamu, Mbak Nisa juga Adhisty."

Aruna menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan bingung. Rasanya aneh melihat Raditya masih mau datang menemuinya setelah kejadian kemarin. Rasanya aneh melihat laki-laki itu masih bersikap seperti biasa pada Aruna sekalipun Aruna berpikir sudah melakukan hal jahat padanya.

"Boleh masuk? Aku juga membelikan satu untukku. Kita bisa sarapan bersama, kan?"

Aruna menyingkir sedikit dari pintu, memberikan ruang untuk Raditya masuk ke dalam rumahnya. "Silahkan."

Kedua mata Raditya mengamati Aruna yang sibuk memakan bubur ayam. Sebenarnya mulut laki-laki itu sudah gatal sejak pertama dirinya tiba dirumah Aruna. Ada banyak pertanyaan dalam kepala laki-laki itu, tapi Raditya berusaha menahan diri untuk tidak memaksa Aruna mengatakan yang belum ingin diceritakan perempuan itu.

"Kamu langsung pulang setelah ini?" pertanyaan Aruna membuat Raditya tersadar, apalagi ketika laki-laki itu menyadari kalau Aruna sedang menatap lekat ke kedua matanya.

Raditya berdeham pelan. "Kamu mengusirku?"

"Bukan begitu. Setelah ini, aku dan Mbak Nisa akan berangkat bekerja. Kamu juga pasti punya pekerjaan, kan? Makanya aku mengatakan itu."

"Iya, aku akan pergi bekerja setelah ini." Raditya mengangguk pelan, memasukan kembali sesuap bubur ayam ke dalam mulutnya sebelum kembali bersuara. "Terus gimana dengan Adhisty?"

"Biasanya aku akan menitipkan Adhisty pada pemilik rumah. Beliau punya cucu yang seumuran dengan Adhisty, mereka senang bermain bersama."

Raditya menganggukan kepalanya. Pandangannya beralih sebentar pada Adhisty yang sedang disuapi Aruna, dan tiba-tiba saja ingatannya kembali berputar pada kejadian kemarin.

Sebenarnya, apa hubungan Aruna dengan laki-laki yang datang kemarin? Raditya bisa merasakan ketegangan yang mendadak tercipta kemarin setelah kedatangan laki-laki itu dirumah Aruna. Dan meskipun samar, Raditya bisa merasakan ketidak nyamanan yang dirasakan Aruna karena kehadiran laki-laki itu.

"Aku pamit berangkat duluan." Nisa bangkit berdiri, mengambil tas miliknya dan mengalihkan pandangan sebentar pada Raditya. "Terimakasih untuk sarapannya."

Raditya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Sama-sama. Hati-hati, Mbak."

Nisa balas mengangguk lalu segera pergi dari sana dengan langkah ringan.

Raditya kembali memandang Aruna, berusaha mencari kalimat yang tepat untuk menanyakan soal kejadian kemarin. Laki-laki itu tidak ingin terkesan terlalu memaksa, tapi juga cukup penasaran sebenarnya. Dan Raditya lebih takut lagi kalau dirinya salah memilih kata yang justru membuat Aruna merasa terluka.

"Kamu akan bersiap untuk pergi kerja juga?"

Aruna mengangguk sambil memasukan suapan bubur ayam terakhir miliknya. Perempuan itu sudah selesai sarapan, dan mungkin sebentar lagi juga akan bersiap untuk pergi ke tempat kerja.

"Sebenarnya, aku sangat ingin menanyakan sesuatu ke kamu."

"Tentang kejadian kemarin?"

"Eh?"

Aruna mendengus pelan. "Nggak mungkin kalau kamu nggak penasaran."

Raditya mengusap tengkuk, merasa malu secara tiba-tiba. "Tapi kalau kamu nggak berniat menceritakannya, aku juga nggak akan memaksa."

"Dia suamiku."

Raditya merasa waktu seakan berhenti ketika kalimat itu tiba-tiba tertangkap kedua telinganya. Laki-laki itu merasa napasnya mendadak memberat dan lidahnya menjadi kelu untuk memberikan jawaban atas pernyataan yang baru saja diberikan Aruna.

Jadi, perempuan itu masih bersuami?

"Aku tahu kamu pasti terkejut. Tapi maaf karena kupikir akan lebih baik kalau aku mengatakan yang sebenarnya pada kamu."

"Bukannya .. Setahuku kamu sudah bercerai?"

"Aku yang merasa begitu karena memang Mas Dipta nggak lagi memberiku kabar, juga melepas tanggungjawabnya padaku dan Adhisty."

"Tapi kalian belum berpisah secara resmi?"

"Belum." Aruna memandang Raditya, suaranya terdengar lirih ketika melanjutkan. "Mungkin akan segera kuurus."

"Kenapa?" Raditya mengerjap lambat, merasa bodoh dengan pertanyaannya sendiri. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya pada Adhisty sebentar sebelum melanjutkan. "Maksudku, apa kamu nggak merasa sedih karena mungkin keputusan kamu akan melukai Adhisty juga?"

"Ini bukan hal baru untukku dan Adhisty. Kami sudah berhasil bertahan sejauh ini. Jadi, mana mungkin kami nggak bisa bertahan sedikit lebih lama lagi?"

***

Kedua mata Dipta memandang tajam ke arah Aruna yang sedang berjalan berdampingan dengan seorang laki-laki. Ada Adhisty juga disebelah Aruna, ikut berjalan beriringan dengan tangan yang saling bergandengan dengan sang Mama.

Tadinya Dipta ingin turun dari mobil, datang menemui Aruna dan kembali ingin membawa perempuan itu dan Adhisty pulang. Tapi Dipta terpaksa mengurungkan niatnya ketika mendapati sebuah mobil sudah terparkir di halaman depan rumah Aruna, mobil yang sama persis dengan yang dilihat Dipta kemarin.

Dan Dipta juga masih yakin, kalau laki-laki itu juga laki-laki yang sama dengan yang dilihatnya kemarin sore dirumah Aruna.

Dipta masih belum mengalihkan pandangannya ketika melihat laki-laki itu mengatakan sesuatu pada Aruna. Sekalipun jauh, Dipta masih bisa melihat dengan jelas laki-laki itu melempar senyum menggoda pada Aruna yang dibalas perempuan itu dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Dipta menahan senyum. Entah kenapa dirinya juga merindukan ekspresi itu dari Aruna.

Dipta masih disana, mempertahankan pandangannya sampai laki-laki itu masuk ke dalam mobil. Dipta masih setia mengawasi, sampai dilihatnya mobil milik laki-laki itu sudah menghilang dari pandangannya. Barulah ketika Aruna hanya tinggal berdua dengan Adhisty, Dipta mulai melajukan mobilnya mendekat ke arah rumah Aruna.

Dipta memarkirkan mobilnya tepat disebelah Aruna. Laki-laki itu keluar dari mobil dan segera berdiri didepan Aruna. Pandangannya sempat beralih pada anak perempuan yang menatap polos ke arahnya, yang membuat hatinya seketika menghangat.

"Apa lagi?"

Nada sinis yang didengarnya membuat Dipta kembali mengangkat wajah, menatap Aruna yang sedang menatapnya dengan dagu terangkat. "Siapa laki-laki tadi? Calon Papa baru untuk Adhisty?"

"Aku rasa, itu bukan urusan kamu. Lupa kalau aku bahkan nggak pernah mengganggu hubungan kamu dengan selingkuhan kamu itu?"

"Dan apa kamu lupa kalau statusku masih suami kamu? Kita masih sepasang suami-istri secara resmi. Jadi sepertinya perlu kuingatkan, kalau aku nggak mengizinkan istriku dekat dengan laki-laki lain."

Bukannya merasa tersudut dengan kalimat Dipta, Aruna justru tertawa geli begitu mendengar kalimat laki-laki itu. "Kamu mengatakan itu karena hubungan kamu dengan Dara nggak berjalan baik, kan? Maaf, Mas, ini masih terlalu pagi dan aku nggak ingin mendengar lelucon garing apapun dari kamu."

"Aruna .."

"Satu lagi, sekalipun kamu berpikir aku masih istri kamu, aku nggak pernah merasa kalau aku masih memiliki seorang suami." Dipta mengalihkan pandangannya ke arah tangan Aruna yang menggandeng tangan mungil Adhisty, dan laki-laki itu seakan bisa merasakan kalau Aruna mengeratkan gandengannya tanpa sadar. "Karena sejujurnya, aku merasa nggak membutuhkan kamu lagi dikehidupan kami."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status