“Ran, kudengar kalian akan bekerja sama dengan orang-orang dari Perusahaan Babeldaob yang mendunia itu, apa benar?” Bibi Patricia membuka percapakan pada sarapan pagi rutin keluarga Seibert.
“Bukan orang-orang dari Perusahaan Babeldaob, Bu, tapi bekas saja. Mereka sudah habis kontrak,” timpal Zale, anak dari Bibi Patricia dengan nada yang jelas-jelas merendahkan.
“Ah, begitu? Sayang sekali,” tambah Ronald, sang suami, sembari sibuk menyumpal makanan ke mulutnnya. Seolah yang dilakukan oleh Delmara Company adalah memungut sampah.
“Orang-orang jenius itu adalah tim pengembangan yang membuat Perusahaan Babeldaob sebesar sekarang.” Ranesha menjawab tanpa melihat wajah orang-orang di meja makan ini. Memuakkan semua. Pasti mereka sengaja membahas topik yang paling tidak Ranesha sukai ini hanya untuk merendahkan harga diri Ranesha atau semacam hobi wajib yang menyenangkan bagi mereka.
Wajah Patrcia, Zale, dan Ronald tampak begitu terkejut dengan sikap tidak sopan Ranesha. Memang biasanya perempuan itu hanya diam saja atau bahkan meminta maaf walau bukan salahnya.
“Wah, kau sangat hebat,” puji Zale tersenyum masam.
“Terima kasih banyak, Kak,” balas Ranesha memamerkan sekilas senyuman manis pada sepupunya itu lalu melanjutkan sarapan.
“Oh, akhirnya Kak Ran ikut makan bersama kita lagi!” sapa Olivia, adik dari Zale, yang baru saja bergabung di meja makan. Ia tahun ini resmi menjadi seorang mahasiswi hukum di salah satu universitas terkenal tentu saja.
“Selamat pagi,” balas Ranesha malas. Adik sepupunya itu bahkan lebih menyebalkan dari pada Zale.
Olivia menarik piring makannya dan duduk di sebelah Ranesha tanpa permisi. “Aku cari tahu orang yang Kak Ran ingin rekrut ada Alexi, si jenius super dengan rambut silvernya yang tampan, apa benar?” tanyanya begitu antusias.
“Alexi, ya?” Ranesha berpikir sejenak. “Oh, si putih itu,” sebutnya mengingat momen rapat di mana Ranesha hampir tidak fokus karena ditatap seperti seorang pembunuh oleh Alexi yang ironisnya memiliki kulit lebih putih dari pada Ranesha sendiri. Dari pada tampan, Alexi lebih ke kata cantik bagi gadis ini.
Olivia menjentikkan jari terlihat heboh. “Jadi benar? Wah! Sangat luar biasa! Alexi itu—"
“Pfft!”
Tiba-tiba suara tawa yang meremehkan menyerang indera penderangan, memotong pembicaraan Olivia, mengalihkan pusat perhatian semua orang.
“Apa yang luar biasa? Kelima orang itu memutuskan kontrak kerja dengan Babeldaob karena masalah internal, mereka adalah pilihan yang buruk,” cela sang penguasa di mansion ini, Tuan Besar Seibert, Caspian, ayah Ranesha sendiri.
Yah, selain memiliki masalah ancaman kematian antara hidupnya dan Hail, Ranesha memiliki masalah keluarga serumit ini. “Saya akan lebih berusaha lagi, Ayah.” Sebenarnya Ranesha ingin melemparkan piringnya ke wajah orang tua sialan itu.
Menghiraukan putri satu-satunya, Caspian beralih pada Zale. “Pembuat onar kemarin sudah kau bereskan?”
Zale sempat saling melempar pandang dengan Ranesha, seolah memberi ejekan, lalu ia membalas tatapan Caspian. “Sudah,” sahut lelaki berambut hitam kelam itu dengan penuh rasa bangga.
"Cih," desis Ranesha pelan.
Satu lagi bertambah daftar orang yang ingin Ranesha lemparkan piring ke wajah. Wah, ia benar-benar kehilangan selera makannya. Tubuhnya memang sesensitif itu. Gadis ini bahkan mati-matian kelihatan tegar dan tidak gemetar sekarang.
Apa … Ranesha yang asli sungguh selemah ini terhadap hal begitu? Entah kenapa kini ia sedikit mensyukuri kehidupannya dulu sebagai Julia. Punya keluarga pun kalau begini apa bedanya dengan neraka?
“Saya jadi kenyang berkat dukungan Ayah,” ceplos Ranesha meletakkan sendok dan garpunya ke meja dengan sedikit hentakkan.
“Lihatlah anak ini! Semakin tidak sopan!” hardik Patricia terperangah menyaksikkan hal baru dalam diri Ranesha.
“Terserah, deh. Saya permisi dulu,” pamit Ranesha begitu saja, meninggalkan ruang makan yang tiba-tiba jadi tegang.
“Huek!” Ranesha memuntahkan isi lambungnya di toilet sekembali ke kamar. Bisa mati dia kalau begini terus.
“Ah, dasar kalian semua brengsek! Memangnya ada dendam apa, kalian padaku?” bentaknya pada pantulan di cermin.
“Aku akan membedah isi otak kalian suatu saat nanti lalu membagikan potongannya di kebun binatang! Tunggu saja, dasar keparat!” sumpah serapah Ranesha penuh emosi, mengamuk sendiri.
Setelah puas mengeluarkan isi perut, Ranesha melangkah gontai ke luar, menuju mobilnya untuk tetap bekerja. Ya, bagaimana pun ia adalah seorang sekretaris, harus profesional. Terkutuklah kehidupan.
***
Rumah yang megah layaknya istana, dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi dan marmer yang berkulitas. Besar tapi terasa kosong dan dingin. Tiada suasana hangat sedikit pun di dalamnya.
Di sana, berdiri rapuh seorang wanita yang menatap nanar pada jendela. Ia seperti matahari yang redup tapi bukan senja. Berkat keberadaannyalah rumah tadi terlihat hidup.
“Selamat ulang tahun.” Suara berat dari belakang membuat wanita tadi menoleh. Ia lalu memasang senyuman yang dapat menggetarkan hati kaum adam.
“Terima kasih, Hail.”
“Maaf terlambat, padahal ulang tahunmu kemarin.”
“Tidak apa-apa.” Meriel tersenyum cerah.
Telinga Hail langsung memerah. Degupan jantungnya berpacu seperti atlet yang habis berlari maraton. Debaran yang hanya bisa ia dapatkan dari satu makhluk bumi. Pesona mematikan dari seorang Meriel.
“Tiup kuenya.” Ia menyodorkan kue ulang tahun kecil nan cantik ke arah sang istri.
Tertawa renyah, Meriel mendekat selangkah. “Bukankah lilin yang di tiup? Bukan kue,” godanya.
Membuat Hail menjadi malu bukan main. Wajah lelaki itu ikut memerah, pipinya terasa panas seakan dibakar.
“Aku tiup, ya.” Meriel pun meniup lilin ulang tahunnya setelah berdo’a dalam hati beberapa saat.
Netra Hail menangkap segala keindahan Meriel dengan teliti. Pandangannya yang hangat membuat siapa pun bisa tahu bahwa lelaki tersebut mencintai wanita ini setengah mati.
“Kalau boleh tahu, apa harapanmu?”
Mengerjapkan mata beberapa kali, Meriel mengusap dagu. “Rahasia.” Perlahan sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman yang dapat menyaingi keindahan senja.
Terpana. Raut wajah kosong tak berdaya Hail begitu ketara. Otaknya tidak dapat bekerja dengan baik jika di hadapan Meriel. “Ah, begitu," jawabnya gagap jadi terlihat sangat menggemaskan.
“Haha!” Meriel terkekeh. “Aku hanya bercanda.” Ia berbalik. Menatap ke luar dari jendela.
“Harapanku adalah … kebahagiaanmu dan kebahagiaanku dapat terwujud sempurna.” Tangan Meriel menyentuh kaca jendela. “tanpa saling terluka," lanjutnya entah kenapa terdengar menyedihkan.
Pupil Hail bergetar. Cepat-cepat ia meletakkan kue tadi di meja. Lalu meraih pisau dan mulai memotong kue itu kecil-kecil. “Ayo, coba makan ini. Enak, lho. Aku membuatnya sendiri," pinta sang suami mengalihkan pembicaraan.
Meriel berbalik. Tersenyum lebar sampai memperlihatkan sederet gigih putihnya yang rapi. “Kau setuju, kan? Iya, kan?”
Tidak membalas pertanyaan Meriel, Hail hanya berdehem kecil. Lalu mengangkat sesendok kue, mengarahkannya pada mulut sang istri. “Buka mulutmu. Makan kuenya.”
Dengan senang hati, Meriel menerima suapan itu. “Kemari, Hail juga harus dapat suapan, kan?” Ia menarik tangan Hail, membawanya untuk duduk di kursi. Mengambil potongan kue lalu menyodorkannya ke mulut Hail.
“Ayo, aaa ….”
Mata mereka bertemu. Hail tidak pernah puas memandangi sepasang netra biru bak telaga terindah di muka bumi milik Meriel. Hatinya, jiwanya, segala miliknya siap untuk dipersembahkan kepada sang kekasih pujaan.
“Cantik.” Hail meraih tangan Meriel. Lalu menerima suapan kue tadi. Gerakan erotis yang membangun suasana romantis.
Untuk beberapa saat, waktu seakan berhenti. Kedua pasang mata yang saling menatap makin mendekatkan diri. Sampai deru nafas antara keduanya saling bertabrakan di permukaan kulit wajah.
“Ha-Hail ….” Meriel menunduk malu dengan pipi yang merona. “sedang ingin melakukan itu?” sambungnya bertanya memastikan.
Sempat terdiam sejenak, Hail pun akhirnnya menjawab, “Iya, sebagai suami,” Suara Hail terdenngar tegas.
"Oh, untung aku sudah bersih hari ini," ucap Meriel malu-malu, surai pirang keemasannya tampak berkilauan.
Pupil Pria di hadapannya itu membola sempurna, terkesiap akan pesona sang istri. "Boleh, kan?"
Namun walau bagaimana pun … bahkan jika Meriel hannya terpaksa menjawab iya sebagai tugas seorang istri, Hail ingin memiliki Mereil sepenuhnya. Hail bisa memafkan kelakuan menyimpang istrinya yang tidur dengan pria lain dalam sekejap mata, memang sangat lucu.
Hail benar-benar sudah dibutakan akan cinta, kepintarannya seolah tak berguna lagi. Segila itu dia mengagumi sosok Meriel
Lelaki ini kemudian dengan lembut menarik wajah sang istri mendekat. Perlahan mengelus tengkuk Meriel. Hail lalu memiringkan wajahnya. Memejamkan mata, mengecup bibir istrinya dengan mesra.
Kecupan yang awalnya lembut, lambat laun memainkan ritmenya menjadi cepat dan sangat panas. Hail berhasil membuai Meriel dalam permainan ini. Wanita itu akhirnya membuka mulut. Memberikan akses lebih banyak pada Hail. Lidah mereka pun beradu hebat. Saling mengisap dan memutar satu sama lain serta bertukar saliva.
Begitulah pasangan ini melewati waktu dengan panas di pagi hari yang mendung.
Berhubung ternyata kantin di kantor sangat penuh, Hail dan Ranesha memilih makan di pinggiran jalan kantor terdekat sembari menyusun jadwal kerja mereka pada hari ini.“Seperti prediksi Bapak, tiga dari lima orang yang ingin kita rekrut untuk tim pengembangan menghubungi saya tadi, pagi-pagi sekali,” jelas Ranesha di sela menunggu makan siang mereka datang. Hal itulah yang membuat perasaannya sedikit membaik tadi pagi.Hail ikut senang mendengar kabar baik tersebut. “Berarti kita bisa melakukan upgrade pada My Teacher dan menjalankan proyek baru, kan?” timpal pria itu tersenyum lega.Ranesha mengamati pemandangan indah dari pesona laki-laki yang sayangnya sudah beristri ini. “Iya, kita bisa membuat My Asisstan atau My Friend, tinggal didiskusikan kembali yang mana duluan sebaiknya.”Makan siang mereka sudah di antar, dua piring nasi goreng spesial dengan b
“Di mana Juan?” tanya seorang lelaki dengan wajah datar dan rambut silvernya yang khas.Semua orang di ruangan tersebut terkesima dengan mulut yang membentuk huruf O besar. Mereka bertujuh, tim pengembangan, tidak pernah menyangka akan kehadiran makhluk berembut silver tersebut di tempat mereka, secepat ini.“Di kantin,” jawab salah satu dari mereka setelah dipelotot dari awal.Tanpa mengucapkan kata terima kasih, lelaki itu langsung melenggak pergi, berjalan angkuh seolah suudah tahu di mana letak kantin kantor.“Kopi tanpa gulanya satu.”Setelah mengambil pesanan, lalaki itu memutar kepala, menyapu bersih seisi kantin guna menemukan sosok manusia yang dari awal dia cari. Iya, Juan, ketua dari tim pengembangan Delmara Company.“There you are.”Lelaki berambut silver dengan ma
Setelah memastikan pekerjaannya selesai, Ranesha pamit undur diri. Untuk apa? Tentu saja menyiapkan segala hal seperti setelan jas dan gaun beserta tetek bengeknya untuk pesta.Ranesha yang kini berada di salah satu toko dari mall mewah, menatap dengan teliti deretan gaun-gaun indah yang bertengger di sana.“Anda ingin gaun yang seperti apa?” tanya pelayan toko sopan.“Yang ini saja!” tunjuk Ranesha sumringah padahal gaun tersebut bukan untuknya.Ia memilih tema biru malam yang elegan. Sebenarnya belanja seperti ini juga menyenangkan, sih. Jadi tidak apa-apa, toh, Hail nanti di pesta malah akan bersama dirinya, bukan Meriel.“Ingin yang ini atau jenis lainnya?” tanya pelayan tadi menunjuk gaun-gaun lain yang malah lebih terbuka.“Silahkan rekomendasikan yang lebih tertutup tapi tetap bisa terlihat elegan saat memakain
Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam lewat lima belas menit. Orang-orang kecil yang berusaha keras dalam dunia bisnis sibuk menyapa dan menjilat para petinggi. Menjual senyum atau melempar pujian ringan.Sedangkan manusia-manusia yang berada di atas awan itu sibuk memilah mana orang yang dapat menjadi batu baru untuk membangun gedung tinggi menjulang ke langit, atau mana yang orang yang cocok untuk dijadikan babu.Pesta relasi memang di buat dengan tujuan begitu, mungkin juga untuk beberaapa orang khusus, mereka hanya ingin memerkan diri dan menikmati pesta.“Wah, saya masih pangling dengan istri Anda, kedatangan kalian tadi benar-benar seperti pasangan emas yang turun dari langit.”Orang ini wartawan yang sering menyiarkan isu buruk, dicoreng. Batin Hail.“Setuju. Kalian mengeluarkan aura khas yang membuat iri pasangan manapun di sini.”
Ada yang mengatakan hanya orang gila yang akan mengerti orang gila. Itu berarti hanya orang mesum yang akan mengerti orang mesum, kan?“Jujur saja ….” Tangan kekar Hail terulur, menarik pinggang Ranesha mendekat. “dia tidak hanya jadi sekretaris,” beonya dengan senyuman bangga. Tidak mengacuhkan wajah syok sang sekretaris.Ricardo langsung tergelak dan mengangguk paham, setuju. Ia mengacungkan jempolnya. “Kau sangat hebat, haha!”Tentu orang mesum ini mengira Hail bermain api di belakang sang istri, bersama sekretaris sendiri.“Sudah jelas, kan?” jawab Hail tersenyum sampai kehilangan matanya. Ia semakin mendekap Ranesha untuk menempel. Tidak peduli perempuan itu sedang mengalami gejolak perang batin yang lebih besar dari pada perang dunia ketiga sekali pun.“Kalau begitu aku pergi dulu, bersenang-senanglah, ya?”
“Aku pulang.” Hail memasuki rumah megahnya yang terlihat begitu kosong. Yah, para pekerja di sana cukup sedikit dan memiliki tempat tinggal yang sengaja Hail bedakan. Pria ini tidak terlalu suka kebisingan.“Oh? Hail, pulang cepat hari ini. Aku tidak tahu.” Meriel tampak masih canggung. Interaksi antara keduanya cukup renggang semenjak kejadian kala pesta itu. Dia merasa bersalah sekaligus tak berdaya. Hail pasti akan membenci—CUP.Hail mencium sekilas kening Meriel. berusaha mengikis rasa canggung di antara mereka akhir-akhir ini. “Maaf, lain kali akan kukabari,” ucapnya begitu lembut.Lagi-lagi begini.Meriel terlihat masih sangat kaget, ia bahkan tetap diam membeku dengan tangan menyentuh kening ketika Hail sudah beranjak pergi dari ruangan.Apa akan terus seperti ini?&ldquo
Bosan, tidak ada yang suka dengan kata menunnggu, tak terkecuali Ranesha. Setelah mengobrol singkat dengan kepala pelayan rumah megah ini, ia diharuskan duduk diam menunggu sang atasan bersiap-siap hanya untuk makan.“Yah, salahku juga datang tiba-tiba, sih,” koreski gadis itu pada kekesalannya sendiri. Sebenarnya ia hanya tidak sabar ingin menanyakan perihal wanita di lukisan tadi pada Hail secara langsung.Terhitung sudah hampir dua jam berlalu dari awal Ranesha menunggu, bahkan hari sudah tidak bisa dikatakan pagi lagi, ini sudah siang. Sebenarnya Hail sedang siap-siap untuk makan atau menikahinya? Tidak wajar sekali.“Ran, kau ternyata masih di sini.”Apa maksudnya itu?Kekesalan Ranesha seketika surut saat ia menoleh, mendapati sosok Hail dengan kaos hitam dan celana jeans dengan warna senada, ia hampir tidak pernah melihat pria ini berpakaia
Gerimis hujan membuat jendela apartemen yang membatasi antara balkon dan ruangan di dalam mengembun. Seorang wanita yang hanya mengenakan baju putih polos kedodoran—sampai selutut—menatap sendu pemandangan di luar. Tangan mungilnya menyentuh kaca dingin itu. Mata biru bak telaga paling damai di muka bumi ini menerawang jauh di balik jendela besar tersebut.“Sangat cocok denganmu,” sindir Aron yang baru saja ke luar dari kamar mandi. Menampilkan tubuh kekar berotot hasil dari perawatan. Ia melangkah gontai mengampiri sang kekasih. Memeluk tubuh mungil itu dari belakang dan menempelkan rambutnya yang masih sangat basah di pundak Meriel.“Aron yang sembunyikan semua baju-bajuku, kan?” kesal perempuan itu, mengacak gemas rambut Aron. “Basah sekali, keringkan pakai handuk sana dulu!”Laki-laki yang sedang sibuk mendaftar kuliah itu tersenyum manis. “Keringkan,” bisik