Share

Masalah Utama (Warning! 21+)

“Ran, kudengar kalian akan bekerja sama dengan orang-orang dari Perusahaan Babeldaob yang mendunia itu, apa benar?” Bibi Patricia membuka percapakan pada sarapan pagi rutin keluarga Seibert.

“Bukan orang-orang dari Perusahaan Babeldaob, Bu, tapi bekas saja. Mereka sudah habis kontrak,” timpal Zale, anak dari Bibi Patricia dengan nada yang jelas-jelas merendahkan.

“Ah, begitu? Sayang sekali,” tambah Ronald, sang suami, sembari sibuk menyumpal makanan ke mulutnnya. Seolah yang dilakukan oleh Delmara Company adalah memungut sampah.

“Orang-orang jenius itu adalah tim pengembangan yang membuat Perusahaan Babeldaob sebesar sekarang.” Ranesha menjawab tanpa melihat wajah orang-orang di meja makan ini. Memuakkan semua. Pasti mereka sengaja membahas topik yang paling tidak Ranesha sukai ini hanya untuk merendahkan harga diri Ranesha atau semacam hobi wajib yang menyenangkan bagi mereka.

Wajah Patrcia, Zale, dan Ronald tampak begitu terkejut dengan sikap tidak sopan Ranesha. Memang biasanya perempuan itu hanya diam saja atau bahkan meminta maaf walau bukan salahnya.

“Wah, kau sangat hebat,” puji Zale tersenyum masam.

“Terima kasih banyak, Kak,” balas Ranesha memamerkan sekilas senyuman manis pada sepupunya itu lalu melanjutkan sarapan.

“Oh, akhirnya Kak Ran ikut makan bersama kita lagi!” sapa Olivia, adik dari Zale, yang baru saja bergabung di meja makan. Ia tahun ini resmi menjadi seorang mahasiswi hukum di salah satu universitas terkenal tentu saja.

“Selamat pagi,” balas Ranesha malas. Adik sepupunya itu bahkan lebih menyebalkan dari pada Zale.

Olivia menarik piring makannya dan duduk di sebelah Ranesha tanpa permisi. “Aku cari tahu orang yang Kak Ran ingin rekrut ada Alexi, si jenius super dengan rambut silvernya yang tampan, apa benar?” tanyanya begitu antusias.

“Alexi, ya?” Ranesha berpikir sejenak. “Oh, si putih itu,” sebutnya mengingat momen rapat di mana Ranesha hampir tidak fokus karena ditatap seperti seorang pembunuh oleh Alexi yang ironisnya memiliki  kulit lebih putih dari pada Ranesha sendiri. Dari pada tampan, Alexi lebih ke kata cantik bagi gadis ini.

Olivia menjentikkan jari terlihat heboh. “Jadi benar? Wah! Sangat luar biasa! Alexi itu—"

“Pfft!”

Tiba-tiba suara tawa yang meremehkan menyerang indera penderangan, memotong pembicaraan Olivia, mengalihkan pusat perhatian semua orang.

“Apa yang luar biasa? Kelima orang itu memutuskan kontrak kerja dengan Babeldaob karena masalah internal, mereka adalah pilihan yang buruk,” cela sang penguasa di mansion ini, Tuan Besar Seibert, Caspian, ayah Ranesha sendiri.

Yah, selain memiliki masalah ancaman kematian antara hidupnya dan Hail, Ranesha memiliki masalah keluarga serumit ini. “Saya akan lebih berusaha lagi, Ayah.” Sebenarnya Ranesha ingin melemparkan piringnya ke wajah orang tua sialan itu.

Menghiraukan putri satu-satunya, Caspian beralih pada Zale. “Pembuat onar kemarin sudah kau bereskan?”

Zale sempat saling melempar pandang dengan Ranesha, seolah memberi ejekan, lalu ia membalas tatapan Caspian. “Sudah,” sahut lelaki berambut hitam kelam itu dengan penuh rasa bangga.

"Cih," desis Ranesha pelan.

Satu lagi bertambah daftar orang yang ingin Ranesha lemparkan piring ke wajah. Wah, ia benar-benar kehilangan selera makannya. Tubuhnya memang sesensitif itu. Gadis ini bahkan mati-matian kelihatan tegar dan tidak gemetar sekarang.

Apa … Ranesha yang asli sungguh selemah ini terhadap hal begitu? Entah kenapa kini ia sedikit mensyukuri kehidupannya dulu sebagai Julia. Punya keluarga pun kalau begini apa bedanya dengan neraka?

“Saya jadi kenyang berkat dukungan Ayah,” ceplos Ranesha meletakkan sendok dan garpunya ke meja dengan sedikit hentakkan.

“Lihatlah anak ini! Semakin tidak sopan!” hardik Patricia terperangah menyaksikkan hal baru dalam diri Ranesha.

“Terserah, deh. Saya permisi dulu,” pamit Ranesha begitu saja, meninggalkan ruang makan yang tiba-tiba jadi tegang.

“Huek!” Ranesha memuntahkan isi lambungnya di toilet sekembali ke kamar. Bisa mati dia kalau begini terus.

“Ah, dasar kalian semua brengsek! Memangnya ada dendam apa, kalian padaku?” bentaknya pada pantulan di cermin.

“Aku akan membedah isi otak kalian suatu saat nanti lalu membagikan potongannya di kebun binatang! Tunggu saja, dasar keparat!” sumpah serapah Ranesha penuh emosi, mengamuk sendiri.

Setelah puas mengeluarkan isi perut, Ranesha melangkah gontai ke luar, menuju mobilnya untuk tetap bekerja. Ya, bagaimana pun ia adalah seorang sekretaris, harus profesional. Terkutuklah kehidupan.

***

Rumah yang megah layaknya istana, dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi dan marmer  yang berkulitas. Besar tapi terasa kosong dan dingin. Tiada suasana hangat sedikit pun di dalamnya.

Di sana, berdiri rapuh seorang wanita yang menatap nanar pada jendela. Ia seperti matahari yang redup tapi bukan senja. Berkat keberadaannyalah rumah tadi terlihat hidup.

“Selamat ulang tahun.” Suara berat dari belakang membuat wanita tadi menoleh. Ia lalu memasang senyuman yang dapat menggetarkan hati kaum adam.

“Terima kasih, Hail.”

“Maaf terlambat, padahal ulang tahunmu kemarin.”

“Tidak apa-apa.” Meriel tersenyum cerah.

Telinga Hail langsung memerah. Degupan jantungnya berpacu seperti atlet yang habis berlari maraton. Debaran yang hanya bisa ia dapatkan dari satu makhluk bumi. Pesona mematikan dari seorang Meriel.

“Tiup kuenya.” Ia menyodorkan kue ulang tahun kecil nan cantik ke arah sang istri.

Tertawa renyah, Meriel mendekat selangkah. “Bukankah lilin yang di tiup? Bukan kue,” godanya.

Membuat Hail menjadi malu bukan main. Wajah lelaki itu ikut memerah, pipinya terasa panas seakan dibakar.

“Aku tiup, ya.” Meriel pun meniup lilin ulang tahunnya setelah berdo’a dalam hati beberapa saat.

Netra Hail menangkap segala keindahan Meriel dengan teliti. Pandangannya yang hangat membuat siapa pun bisa tahu bahwa lelaki tersebut mencintai wanita ini setengah mati.

“Kalau boleh tahu, apa harapanmu?”

Mengerjapkan mata beberapa kali, Meriel mengusap dagu. “Rahasia.” Perlahan sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman yang dapat menyaingi keindahan senja.

Terpana. Raut wajah kosong tak berdaya Hail begitu ketara. Otaknya tidak dapat bekerja dengan baik jika di hadapan Meriel. “Ah, begitu," jawabnya gagap jadi terlihat sangat menggemaskan.

“Haha!” Meriel terkekeh. “Aku hanya bercanda.” Ia berbalik. Menatap ke luar dari jendela.

“Harapanku adalah … kebahagiaanmu dan kebahagiaanku dapat terwujud sempurna.” Tangan Meriel menyentuh kaca jendela. “tanpa saling terluka," lanjutnya entah kenapa terdengar menyedihkan.

Pupil Hail bergetar. Cepat-cepat ia meletakkan kue tadi di meja. Lalu meraih pisau dan mulai memotong kue itu kecil-kecil. “Ayo, coba makan ini. Enak, lho. Aku membuatnya sendiri," pinta sang suami mengalihkan pembicaraan.

Meriel berbalik. Tersenyum lebar sampai memperlihatkan sederet gigih putihnya yang rapi. “Kau setuju, kan? Iya, kan?”

Tidak membalas pertanyaan Meriel, Hail hanya berdehem kecil. Lalu mengangkat sesendok kue, mengarahkannya pada mulut sang istri. “Buka mulutmu. Makan kuenya.”

Dengan senang hati, Meriel menerima suapan itu. “Kemari, Hail juga harus dapat suapan, kan?” Ia menarik tangan Hail, membawanya untuk duduk di kursi. Mengambil potongan kue lalu menyodorkannya ke mulut Hail.

“Ayo, aaa ….”

Mata mereka bertemu. Hail tidak pernah puas memandangi sepasang netra biru bak telaga terindah di muka bumi milik Meriel. Hatinya, jiwanya, segala miliknya siap untuk dipersembahkan kepada sang kekasih pujaan.

“Cantik.” Hail meraih tangan Meriel. Lalu menerima suapan kue tadi. Gerakan erotis yang membangun suasana romantis.

Untuk beberapa saat, waktu seakan berhenti. Kedua pasang mata yang saling menatap makin mendekatkan diri. Sampai deru nafas antara keduanya saling bertabrakan di permukaan kulit wajah.

“Ha-Hail ….” Meriel menunduk malu dengan pipi yang merona. “sedang ingin melakukan itu?” sambungnya bertanya memastikan.

Sempat terdiam sejenak, Hail pun akhirnnya menjawab, “Iya, sebagai suami,” Suara Hail terdenngar tegas.

"Oh, untung aku sudah bersih hari ini," ucap Meriel malu-malu, surai pirang keemasannya tampak berkilauan.

Pupil Pria di hadapannya itu membola sempurna, terkesiap akan pesona sang istri. "Boleh, kan?"

Namun walau bagaimana pun … bahkan jika Meriel hannya terpaksa menjawab iya sebagai tugas seorang istri, Hail ingin memiliki Mereil sepenuhnya. Hail bisa memafkan kelakuan menyimpang istrinya yang tidur dengan pria lain dalam sekejap mata, memang sangat lucu.

Hail benar-benar sudah dibutakan akan cinta, kepintarannya seolah tak berguna lagi. Segila itu dia mengagumi sosok Meriel

Lelaki ini kemudian dengan lembut menarik wajah sang istri mendekat. Perlahan mengelus tengkuk Meriel. Hail lalu memiringkan wajahnya. Memejamkan mata, mengecup bibir istrinya dengan mesra.

Kecupan yang awalnya lembut, lambat laun memainkan ritmenya menjadi cepat dan sangat panas. Hail berhasil membuai Meriel dalam permainan ini. Wanita itu akhirnya membuka mulut. Memberikan akses lebih banyak pada Hail. Lidah mereka pun beradu hebat. Saling mengisap dan memutar satu sama lain serta bertukar saliva.

Begitulah pasangan ini melewati waktu dengan panas di pagi  hari yang mendung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status