Share

Marriage Contract: My Jerk Bestfriend
Marriage Contract: My Jerk Bestfriend
Penulis: Al_lucard

Retaknya Persahabatan Kita

Retaknya Persahabatan Kita

“Aku ingin mengatakan kebenaran ini padamu!”

Seorang laki-laki paruh baya mengatakan itu secara tiba-tiba di depan seorang pemuda yang baru saja turun dari mobilnya—ketika sang sopir datang membawa payung untuk melindungi pemuda itu dari guyuran hujan. Pemuda itu dibuat terkejut oleh pria paruh baya yang merupakan tetangganya—menghampirinya di tengah hujan deras seperti ini. tak sampai di situ, beberapa saat kemudian seorang gadis berlari ke arah mereka yang semakin membuat pemuda itu keheranan.

“Nak, maafkan aku menghampirimu seperti ini. Tetapi aku tak sanggup lagi jika harus merahasiakan ini,” ucap pria paruh baya itu setengah berteriak.

“Ayah, sebaiknya kita pulang. Saat ini sedang hujan dan aku tidak ingin ayah sakit nanti.” Dia adalah Lyra, seorang gadis yang merupakan tetangga sekaligus sahabat Efram sejak masih duduk di bangku sekolah itu kini tengah membujuk ayahnya. Lyra tidak mengerti harus bagaimana menghentikan aksi ayahnya ini. Ayahnya itu sangat mencintainya sehingga cintanya mampu membuat Lyra dalam masalah sekarang.

“Tidak, Nak, biarkan Ayah bicara. Jangan khawatir.” Pria paruh baya itu meyakinkan putrinya. Lyra tak bisa berbuat apa-apa lagi.

Melihat perdebatan antara anak dan ayah itu membuat Efram mengerutkan kening. Ia tak memahami apa yang sedang terjadi. Ia mengangkat dagu seolah sedang bertanya kepada Lyra, tetapi gadis itu malah menunduk dan menggeleng.

“Paman Zen, mari kita masuk ke dalam. Nanti Paman dan Lyra bisa sakit karena kehujanan seperti ini.” Efram ikut berteriak karena suara hujan mampu meredam suaranya.

“Tidak! NakEfram, aku harus mengatakan ini sekarang. Aku tidak ingin menundanya lagi.” Zen masih bersikukuh menghentikan Efram.

“Ayah ...,” lirih Lyra atas sikap ayahnya yang keras kepala.

“Baiklah, jika Paman ingin mengatakan sesuatu padaku, katakan. Tetapi berjanjilah setelah itu Paman dan Lyra akan berteduh.”

Zen mengangguk atas pernyataan Efram, sementara wajah Lyra sudah pias di tempat. “Berjanjilah padaku, Nak, kau tidak akan marah setelah mendengar kebenaran ini.”

Entah kenapa perasaan Efram menjadi tidak enak setelah mendengar kalimat terakhir Zen. Sebelumnya Zen tak pernah melakukan tindakan seperti ini padanya. Meski keluarga mereka sangat dekat, tetapi Zen tak pernah sampai senekat ini menyusulnya di tengah hujan deras hanya untuk berbicara kepadanya. Zen bersikap seolah-olah esok hari sudah tidak ada lagi.

“Aku berjanji.”Eframmengangguk.

Lyra meremas roknya yang basah karena hujan. Ia menggigit bibirnya dengan kuat—mengalirkanrasa takutnya. Ia tidak siap menerima apa pun yang terjadi selanjutnya.

“Nak,” panggil Zen pada Efram.“Putriku Lyra, dia ... sebenarnya telah mencintaimu sejak lama.”

Bagai disambar petir, kalimat itu berhasil membuat Efram terkejut bukan main. Ia tak percaya apa yang tengah di dengar oleh telinganya sendiri. Sementara Lyra, gadis itu telah menunduk untuk menyembunyikan wajahnya.

“Dia mencintaimu sejak lama. Dia menyembunyikan perasaannya terhadapmu sejak kalian masih di bangku sekolah. Namun, cintanya terpaksa harus dipendam karena kau telah memilih perempuan lain sebagai pasanganmu.” Zen masih melanjutkan.

“Saat cintanya tak terbalas, putriku begitu kuat menahan rasa sakit itu sendirian selama bertahun-tahun. Namun, aku tak tahan melihatnya menderita saat kau akan bertunangan dengan gadis lain.”

Efram kehilangan kata-katanya. Tangannya yang berada di sisi jarit celana mengepal seketika. Entah kenapa kebenaran ini berhasil membuat luka di relung hatinya.

“Maafkan aku karena telah lancang mengatakan ini kepadamu, Nak. Jika aku bisa berharap, aku ingin putriku mendapatkan kebahagiaannya bersama dengan orang yang dicintainya—”

“Cukup!” Efram mengangkat tangannya yang seketika membuat Zen menutup mulutnya. Mereka terdiam sesaat. Pria paruh baya itu hendak membuka mulut lagi, tetapi Lyra menghentikannya dengan menarik lengannya. Melalui tatapan matanya yang terluka, Lyra memberitahu agar ayahnya tidak berbicara lebih banyak lagi.

“Apa ini? Apa kalian sedang bercanda saat pertunanganku tinggal sebentar lagi?"

Efram menatap Lyra yang bersembunyi di balik punggung ayahnya. Rambut dan pakaian gadis itu sudah basah akibat hujan yang terus mengguyurnya.

“Lyra, ada apa ini? Kenapa kau diam? Kalian bercanda, bukan?” Suara itu menusuk telinga Lyra. Gadis itu mendongak seketika. Saat matanya beradu dengan netra tajam milik Efram, tiba-tiba ia menjadi sangat gugup.

“Lyra, katakan padaku kalau kalian sedang bercanda. Ayolah, hujan sangat deras. Kalian bisa sakit. Sebaiknya pulang dan hangatkan tubuh kalian,” kata Efram mencoba tak mempercayai perkataan Zen.

“Tetapi Paman tidak bercanda. Untuk apa aku menyusulmu di tengah hujan seperti ini jika hanya untuk mengatakan sebuah lelucon?” Zen bersuara kembali. Sorot matanya benar-benar serius sehingga Efram hanya melihat kejujuran di mata itu. Selama ini, Zen sangat mencintai Lyra dan rela melakukan apa pun untuk kebahagiaan putrinya. Bukan hal yang mustahil jika pria paruh baya itu tiba-tiba mengatakan kebenaran tentang putrinya kepadanya. Yang pasti, Efram merasa Zen berharap agar ia tak menikahi gadis lain selain putrinya.

Efram benar-benar tak menyangka. Ia benar-benar dibuat terkejut saat pesta pertunangannya hanya tinggal menghitung jam, seorang ayah tiba-tiba mengatakan bahwa putrinya mencintainya. Terlebih lagi, gadis itu adalah sahabat baiknya sejak mereka masih remaja. Sementara kedua keluarga ini sangat berhubungan baik layaknya hubungan saudara, tetapi apa ini? Apakah ini adalah tanda-tanda bahwa pernikahannya sedang terancam?

“Diammu menjawab semuanya Lyra.” Efram jelas kecewa kepada gadis itu. Mengapa harus kepadanya Lyra jatuh cinta? Selama bertahun-tahun, mengapa baru sekarang ia tahu tentang perasaan gadis itu?

“Aku tidak menyangka akan mendengar kenyataan ini. Aku akan melangsungkan pertunanganku malam ini dan tiba-tiba Paman mengatakan hal ini kepadaku. Sebenarnya apa tujuan Paman? Kalian ingin aku membatalkan pertunanganku di saat semuanya sudah dipersiapkan?”

Lyra menggeleng cepat. Kedua matanya hampir melebar,karena tak pernah sebersit pun terpikirkan olehnya untuk menghentikan pertunangan Efram. “Tidak,” lirihnya.

“Paman,” suara Efram melembut. Ia tidak akan lupa sedang berbicara dengan ayah Lyra yang sudah ia anggap sebagai ayahnya juga. “Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi soal ini. Lupakan kejadian ini dan aku harap kita tidak akan membahasnya lagi karena aku akan segera bertunangan. Maafkan aku jika aku telah menyakiti kalian.” Efram menyatukan tangannya berniat meminta maaf.

Mata Zen berkaca-kaca. Efram ikut merasakan sedih karenanya. Zen selalu menempatkan posisi Efram seperti putra sulungnya sendiri dan sebagai kakak laki-laki yang dia percayai untuk melindungi putrinya. Dan hari ini adalah hari yang menyakitkan baginya. Ayah mana yang akan tega melihat putri kesayangannya berduka.

Efram tak bisa mengambil risiko. Laki-laki berusia 22 tahun itu memerintahkan sopirnya untuk memberi payungnya kepada Zen dan mengantarnya pulang. Meski Zen sempat menolak, tetapi ia menurut kemudian saat Lyra yang memintanya.

“Tunggu.” Efram menahan lengan Lyra saat Zen dibawa pergi oleh sopirnya. Kini air hujan juga membasahi tubuh Efram yang tanpa perlindungan apa-apa. Lyra memandang lengannya, tangan Efram, lalu beralih pada matanya yang begitu tajam menatapnya.

“Aku tidak tahu aku harus percaya atau tidak, tetapi yang jelas aku kecewa pada dirimu. Katakan padaku bahwa itu tidak benar, Lyra.”

Entah kenapa Lyra marah mendengarnya. Efram begitu apatis dan menganggap bahwa perasaannya hanya lelucon belaka. “Sayangnya ayahku tidak bercanda, Efram.”

Sebenarnya Efram masih berharap Lyra akan mengatakan bahwa mereka sedang bercanda, tetapi jawaban Lyra benar-benar membuatnya kesal pada gadis itu. “Aku akan segera menikah, Lyra. Bagaimana bisa tiba-tiba kau mencintai calon suami orang?”

Mata Lyra terasa panas meski udara semakin membuat tubuhnya kedinginan. Pertanyaan itu menyakiti hatinya. Menampar Lyra pada kenyataan yang sesungguhnya. Lyra memejam sesaat membuat air matanya luruh seketika. Beruntung hujan telah menyamarkannya sehingga Efram tak perlu melihat rasa sakit yang amat melukainya.

“Jika kau berpikir bahwa aku mencintai calon suami orang, kau salah. Aku hanya sedang mencintai sahabat yang sama yang masih kucintai sejak bertahun-tahun lalu. Aku mencintaimu bukan ingin merebutmu dari orang lain. Aku tahu diri kau tidak mencintaiku, oleh karena itu aku menyembunyikan perasaanku dan rencananya akan tetap seperti itu.”

“Berbeda dengan ayahku. Dia tidak bisa melihatku bersedih sendirian, maka dari itu, aku tak bisa menahannya untuk tidak mengatakan kebenaran ini kepadamu. Dia mungkin berharap ... agar rasa sakitku bisa dibagi.” Lyra tersenyum dalam tangisnya.Efram terdiam lama mendengar itu.

“Aku tidak menyangka kalian ingin merusak hari pertunanganku,” ucap Efram. Nada suaranya terdengar begitu dingin. Lyra menutup mulutnya, tak percaya Efram berpikir demikian.

“Apa kau bilang?” tanya Lyra, tak percaya. “Dengar, aku memang mencintaimu, tetapi aku tidak pernah ingin bersama dengan orang yang tidak pernah mencintaiku.”

“Terserah apa pun itu,” balas Efram. Ia menaik tangan gadis di hadapannya sehingga membuat tubuh mereka sangat dekat. Lyra terkejut. Efram menunduk, membisikkan sesuatu di telinga Lyra yang mampu membuat gadis itu semakin terluka.

“Jangan sampai kau dan ayahmu menjadi penyebab pesta pertunanganku gagal malam ini. Atau jika perlu jangan pernah menampakkan diri kalian lagi.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status