"Mama,, Stell lelah." Aku merajuk manja pada Mamaku dengan memeluknya dari belakang.
"Ya sudah sebaiknya kamu mandi biar segar terus makan. Mama akan hangatkan makanan untukmu."
"Oke Ma." Aku berlalu pergi meninggalkan Mama, dan sedikit berlari menuju kamarku.
30 menit sudah aku habiskan dengan berendam air hangat di dalam bathup untuk menetralisir pikiranku tentang dosen TMII itu. Akupun segera menuju ke ruang makan, karena perutku sudah berdrum band meminta upah.
"Ayo sayang makan." Sesampainya aku di meja makan, aku melihat Mama tengah menyajikkan makanan ke dalam piring untukku.
"Makasih Mamaku sayang," aku menampilkan senyuman terbaikku padanya. Mama duduk di dekatku dan menemaniku makan nasi dengan lauk pauknya ayam goreng. Makanan favoritku dan harus pahanya, kalau bukan pahanya aku tidak mau memakannya. Jangan tanya alasannya, yang jelas upin ipin saja menyukainya, kenapa aku tidak. Simple,
"Sayang,"
"Ya Ma." aku menengok ke arah Mama sambil menggigit ayamku.
"Besok malam bisakah kamu meluangkan waktu."
"Memang ada acara apa, Ma?" tanyaku sangat penasaran, wajah Mama terlihat serius.
"Kami ada pertemuan dengan teman lama, bisakah kamu ikut ke acara makan malam kami?"
"Jam berapa? Besok aku ada latihan bulu tangkis."
"Pukul 08.00 malam, kami akan makan malam bersama."
"Baiklah Mamaku sayang, apa kau senang sekarang?" Mama terlihat tersenyum merekah membuatku bahagia melihatnya. Senyuman Mama adalah kebahagiaanku. Melihat senyuman indahnya itu hatiku terasa sangat damai dan sejuk.
***
Pagi itu aku sampai di kampus dan langsung di sambut oleh Lenna. Dia terlihat senang sekali hari ini, entah karena apa. "Kenapa dengan wajah loe?" tanyaku yang sudah sangat kepo.
"Apa gue sudah terlihat sangat cantik? Apa parfum gue ke cium?" tanyanya begitu antusias membuatku memutar bola mataku malas. Apalagi alasan si Lenong bisa sebahagia ini kalau bukan karena dosen TMII itu.
"Loe berdandan seperti ini untuk si Dosen TMII itu."
"TMII? Apaan tuh? Taman Mini?" tanya Lena.
"Bukan, dengarkan baik-baik nona Lena yang cantik. Dosen TMII itu adalah dosen tengil, menyebalkan, idiot, idihhhh udah gitu tua Bangka." Seketika tawa Lena pecah mendengar ocehanku. Apanya yang lucu? Kata-kataku benarkan?
"Awas lho, terlalu benci lama-lama bisa jadi terlalu cinta. Lagian loe langsung benci karena di hukum kemarin." Lenna masih mentertawakanku.
"Pokoknya hari ini gue sudah menobatkan dosen itu sebagai pria yang harus gue jauhi dan gue benci. Pria arogant dan tengil itu sungguh pengen gue bejek-bejek." Aku sungguh gemas karena pria itu.
"Memangnya loe di hukum apaan kemarin?" tanya Lenna masih terkekeh.
"Kemarin gue di suruh nulis di 10 kertas HVS bolak balik, dan setelah selesai dia membuangnya begitu saja dan dia berkata tulisanku seperti ceker ayam, dan sulit di baca. Dia menyuruhku untuk mengetik ulang menggunakan laptop. Sialan bukan?" aku mengucapkannya dengan penuh dendam dan berapi-api dan Lenna malah semakin tertawa ngakak membuatku ingin mengumpankannya ke ikan Dugong biar di telen bulat-bulat.
"Serius itu?" kekehnya. "Jahil juga tuh dosen."
"Pokoknya gue akan menarik kembali semua pemikiran yang baik padanya. Sekarang dia hanya seorang dosen TMII yang gue benci!" ucapku dengan begitu berapi-api.
"Jangan benci orang sampai segitunya, nanti jadi cinta lho," goda Lenna membuatku bergidik ngeri mendengarnya. Yang benar saja,
"Imposibble!" Aku mulai mengeluarkan bukuku dari dalam tas setelah menjawab ucapan Lenna.
"Lucu jargon dari loe, panjang kali lebar, luas banget" tawanya pecah membuatku mencibir, daritadi dia hanya memikirkan Jargonnya saja. "Tapi ada yang perlu di ralat, dia gak idiot dan tua. Dia masih muda. Baru juga 27 tahun, dan dia juga seorang Dokter. Oh my God !! bukankah itu sangat sempurna Stell. Gue bahkan bisa terserang asma mendadak saat berada di sampingnya. Ya Allah kenapa kau menciptakan makhluk sesempurna Mister Adrian."
Aku memutar bola mataku malas, dia mengatakan sesuatu yang membuatku mendadak mual dan ingin memuntahkan semua isi sarapanku tadi pagi. "Alay loe semakin akut yah, gue khawatir loe makin kritis kalau ke alayan loe sudah memasuki stadium akhir."
"Sialan !!" ucapnya memukul pundakku.
Aku semakin meringis dan mengernyit melihat para siswi hampir semuanya yang ada di kelas kecuali aku tentunya, tengah bercermin dan berdandan, karena sekarang pelajaran Mister TMII itu. Astaga kenapa menyambut dosen saja seperti menyambut seorang pangeran dari negri jiran.
"Good Morning All," sapaan itu menyadarkanku dan dialah si dosen TMII yang baru ku nobatkan sebagai musuhku. Dia tampak berjalan santai dengan senyuman sok coolnya berjalan menuju mejanya. Bukannya langsung ke materi, dia malah berbasa basi dulu dengan kata-kata menyebalkannya.
***
"Ada apa sih ini?"
Aku bertanya pada Lenna yang tampak sibuk dengan makanannya. Lenna menoleh ke sekitarnya saat beberapa gerombolan wanita memenuhi akses masuk Kantin.
"Meneketehe," ucap Lenna mengedikkan bahunya acuh.
Suara para wanita mulai memekan telingaku dan rasanya aku ingin mengguyur mereka semua dengan air comberan biar pada diam. Oh, sekarang aku tau apa alasan semua keributan di sini yang sangat mirip dengan acara jumpa pers.
"Mister Adrian," ucap Lenna dengan mie yang masih menggantung di bibirnya.
"Telen dulu mie nya, Lenna." Aku menegurnya tetapi tatapannya masih tertuju pada dosen sok tampan itu. Dosen itu terlihat memesan makanan untuknya dan tatapannya mengarah kepadaku membuatku langsung membuang muka. Aku tidak ingin bertatapan dengan musuhku.
***
“Pendek,” gumam Adrian meraba-raba kasur di bagian sisinya. Karena tak menemukan apapun, ia membuka matanya dan pandangannya langsung tertuju pada seseorang yang berdiri di hadapannya dengan memegang sesuatu. “Pendek,” gumamnya dengan suara serak khas baru bangun tidur. Ia mengucek matanya dan bangun dari rebahannya. “Ngapain kamu berdiri di sana? Kamu mau bersih-bersih?” tanya Adrian setelah matanya terbuka sempurna dan terlihat Stella sedang memegang peralatan bersih-bersih. “Pagi ini memang harus beres-beres, karena aku meliburkan ART yang suka membersihkan apartement kita.” Stella berucap dengan tenang. “Tetapi kenapa?” tanya Adrian. “Kamu ingin bersih-bersih sendiri?” “No, bukan aku y
Stella sengaja pulang cepat ke apartement sebelum Adrian. Ia hendak mengambil semua pakaian dan beberapa kebutuhannya. Ia masuk ke dalam kamar dirinya bersama Adrian. Memang setelah mereka kembali dari kegiatan Baksos itu, mereka memutuskan untuk menempati satu kamar bersama dan kamar yang dulu di tempati Stella, kini di jadikan ruang kerja. Stella menatap ranjang yang tampak rapi di depannya. Ranjang itu adalah saksi mereka berbagi cinta, saling bercumbu dan menyalurkan hasrat cinta mereka. Banyak kejadian lucu dan indah yang tak bisa Stella lupakan. Air mata itu kembali mengalir tanpa bisa di cegah lagi. Stella memalingkan wajahny dan mengusap air mata di pipinya. Ia berjalan menuju ruangan pakaian dirinya dan Adrian. Ia menatap deretan kemeja Adrian yang tertata rapi dalam lemari. Tak bisa ia pungkiri kalau ia sangat merindukan suaminya itu. Kini mereka seperti dua
“Stella!” seru Lenna dengan kernyitan di dahinya. Stella datang dengan isakan tangis dan badan yang menggigil karena basah kuyup. “Astaga Stell, lu kenapa?” Lenna segera menggiring Stella untuk masuk ke dalam dan mengambil handuk menyelimuti tubuh Stella. “Sebaiknya lu langsung bersih-bersih di kamar mandi, gue akan siapkan baju buat lu.” Stella bergegas masuk ke dalam kamar mandi di kostan Lenna. Lenna menyiapkan baju bersih untuk Stella. Setelah menyerahkannya ke Stella, ia membuatkan teh hangat. 5 menit berlalu, Stella keluar dengan wajah yang pucat dan begitu sembab. “Sini gue udah buatkan teh hangat buat lu,” ucap Lenna. Stella menurut dan duduk di kursi meja makan. Ia menggenggam mug
Semua Dokter bersama suster dan perawat kembali pulang ke Jakarta dan akan mulai bekerja di AMI Hospital. Setelah kembali ke Jakarta, anggota Khoas semakin sibuk bekerja di AMI Hospital tanpa libur seperti para Dokter yang juga bersama mereka. Walau Adrian libur, ia tetap ke rumah sakit untuk menemani Stella, mengantar jemputnya juga. “Hai,” sapa Adrian saat menjemput Stella dari rumah sakit. Stella duduk di kursi penumpang setelah di bukakan pintu mobilnya oleh Adrian. “Astaga lelah sekali rasanya,” keluh Stella menyandarkan kepalanya ke sandaran jok. “Sabar, sebentar lagi kamu akan melewati masa terberat ini,” ucap Adrian mengusap kepala Stella diiringi senyumannya. “Kapan sih UGD di sin
Stella perlahan membuka pintu kamar mandinya dan menjulurkan kepalanya ke arah ranjang. Adrian tampak asyik bermain game di atas ranjang. Ia kembali masuk ke kamar mandi dengan menghela nafasnya dan menatap ke bawahnya yang hanya menggunakan jubah handuk. Ia sungguh tidak mungkin tidur dengan pakaian yang sejak pagi ia gunakan beraktivitas, Stella mendengus dan merasa bodo amat, ia akhirnya keluar dari kamar mandi dan berpura-pura santai walau sebenarnya ia berdebar-debar dan merasa salting. Adrian melirik ke arah Stella yang terus membenarkan jubah handuk yang hanya sebatas paha itu. Ia hanya tersenyum kecil dan kembali fokus bermain game. Stella berjalan mendekati ranjang tetapi karena ia begitu canggung sampai ia tidak melihat kakinya menyandung karpet lantai dan ia tersungkur ke arah tubuh Adrian.&
Stella yang keras kepala memaksakan diri untuk bangun dari blangkar dan menenteng infusannya. Baru saja ia membuka pintu, tatapannya beradu dengan Adrian yang juga berdiri di sana dengan pakaian pasien dan sama-sama menenteng infusan. Keduanya saling bertatapan penuh arti. “Hai,” sapa Adrian “Eh, hai,” jawab Stella tersipu. “Boleh aku masuk,” ucap Adrian yang di angguki Stella. “Hai Lenna,” sapa Adrian saat sudah masuk ke dalam ruangan. “Hai pak Adrian,” jawab Lenna dengan sedikit canggung. Suasana di sana kini begitu hening dan canggung, membuat ketiganya kikuk. “Ah St