Share

Married For Sale
Married For Sale
Author: Gana Dahayu

Awal Pertemuan

“Ini adalah rumah saya dan di sini hanya ada aturan saya, orang asing sudah semestinya tidak ikut campur. Anda kira apa? Saya akan menerima perjanjian bodoh itu? Cuih! Saya tidak seburuk itu sampai menjual diri pada pria tidak tahu diri seperti anda!” Amarah yang berapi-api tidak membuat sang lawan bicara merasa terpojok.

Pria yang berpenampilan rapi maju beberapa langkah, mengunci pergerakan gadis yang ada di hadapannya.

“Apa yang anda lakukan!”

Tubuh mereka semakin mendekat hingga gadis itu tidak ada pilihan lain selain mundur sampai punggungnya menabrak tembok.  Matanya melotot dan tangan yang memeluk tubuh adalah cara gadis itu mempertahankan kehormatannya. Perasaannya tidak enak saat melihat mata tajam milik pria berjas itu menatapnya.

“Mundur!” lirihnya.

Reaksi yang ditampilkan gadis mungil di depannya membuat ujung bibir pria tersebut tertarik sebelah.

Tubuh yang saling berdekatan hingga deru napas masing-masing dapat terdengar membuat sang gadis kian merasa dirinya dalam bahaya.  “Anda jangan kurang ajar, saya bukan perempuan yang bisa anda dekati dengan sesukanya,” ucapnya dengan bibir gemetar.

Tidak ada reaksi dari lawan bicara. Hanya mata yang menatap Nea tanpa tahu arti dari tatapan aneh itu. “Ini rumah saya, kapan saja saya bisa berteriak.” Suara bergetar yang dikeluarkan Nea tentu tidak mengancam pria itu.

“Silakan, jika kamu ingin dicap wanita nggak baik.” Tentu saja, pria itu mempunyai banyak cara untuk menyerang balik lawan bicaranya.

Akhirnya setelah diam cukup lama, gadis itu mendengar suaranya. Suara tegas dan berat yang entah mengapa sangat memanjakan telinga. Untuk sesaat gadis itu kagum hanya dengan mendengar suaranya saja, tetapi ia langsung menggeleng dan fokus akan apa yang ada di hadapannya.

“Nea Halina, saya tidak meminta banyak. Hanya tanda tangan surat itu dan selesai.”

Gadis yang dipanggil Nea tersebut langsung mendorong tubuh kekar yang mendekat ke tubuhnya. Setelah mengumpulkan segenap keberaniannya, Nea dengan mata bergejolak maju beberapa langkah.

“Atas dasar apa anda mempermainkan sebuah pernikahan?” tanya Nea pada pria itu.

“Saya tidak lagi bermain,” jawabnya enteng.

“Apakah anda tidak pernah sekali saja terbesit untuk punya pernikahan yang didasarkan oleh cinta? Atau punya pernikahan impian? Kenapa pria terhormat seperti Anda mengemis pada gadis miskin seperti saya?”

Terlihat wajah pria berjas itu memerah padam dan tangannya terkepal kuat. Sepertinya ucapan Nea mampu membuat harga dirinya terluka.

“Saya datang bukan untuk mengemis, tetapi memberikan penawaran. Jika kamu menolak, saya tidak akan memaksa,” ucapnya tegas.

Sesaat napas Nea tertahan mendengar suara tegas nan lantang tersebut. Nyalinya menciut. Walaupun begitu ia tidak bisa menunjukkan wajah takutnya pada pria itu.

Di sela perdebatan panjang mereka, terdengar suara gaduh dari luar. Mereka yang saat ini berada di halaman belakang rumah langsung bertanya-tanya. Apa yang terjadi di luar sana?

Suara teriakan perempuan dan barang yang jatuh ke lantai membuat Nea panik. Tanpa berpikir panjang, ia berlari sekencang mungkin meninggalkan pria yang berbicara padanya.

“Saya janji besok akan dibayar,” ucap seorang wanita paruh baya pada pria bertubuh kekar yang terus melempar semua barang yang ada di ruang tamu ke luar.

“Besok, besok, besok. Setiap kali ke sini selalu saja besok. Keluar dari rumah ini sebelum saya suruh anak buah saya bergerak,” ucapnya tegas membuat wanita paruh baya itu terduduk lemas.

“Setidaknya biarkan kami tinggal di sini sampai menemukan tempat tinggal baru,” bujuk seorang pria yang duduk di kursi roda.

“Menunggu? Mau sampai kapan?! Saya udah nggak bisa lagi kasih kalian kesempatan.” Pria itu memberi aba-aba pada anak buahnya untuk mengeluarkan semua barang yang ada di dalam rumah ini serta mengusir wanita dan pria yang terus memohon itu.

Nea tidak tahan lagi, ia maju beberapa langkah mendekat ke arah pria berbadan kekar tersebut. “Tolong beri kami waktu, kami bukan orang yang tidak bertanggung jawab sampai-sampai tidak membayar hutang. Saya masih belum mendapatkan pekerjaan—“

“Menunggu kamu dapat kerjaan? Kalaupun dapat seyakin apa dapat gaji gede?”

“Lusa saya ada wawancara kerja di salah satu perusahan besar, saya yakin bisa lolos dan bekerja di sana.”

“Cih! Gaya keterima di perusahaan besar. Kamu bakal kalah sama yang masuk pake orang dalam.”

Mereka kembali mendorong tubuh kedua orang tua Nea hingga gadis itu tidak ada pilihan lain selain meminta bantuan pada pria berjas hitam yang berdiri santai di pojok ruangan.

Nea tidak peduli lagi akan harga dirinya yang hancur.

“Pak saya mohon, tolong orang tua saya,” pinta Nea. Ia tidak sanggup melihat mereka diseret oleh pria berbadan kekar. Selain tidak ingin melihat orang tuanya diusir, Nea ingin mempertahankan rumah yang menjadi kenang-kenangan terakhir almarhumah neneknya.

“Saya akan lakukan apa pun, saya rela kerja jadi pembantu sekali pun di rumah anda. Saya mohon, bantu saya,” pinta Rea sambil menangkupkan kedua telapak tangannya sambil menatap harap.

“Kamu memilih menjadi pembantu ketimbang jadi istri saya?” tanyanya mengejek.

Sungguh Nea ingin sekali memukul wajah pria di hadapannya, jika bukan karena orang tuanya ia tidak akan menurunkan harga dirinya seperti ini.

“Pak, saya mohon.”

“Tanda tangan kontrak dan menikah dengan saya atau melihat orang tua kamu diusir dan menjadi gelandangan.”

Kepalan tangan Nea kian erat, wajahnya memerah padam. Apakah ini akhir hidupnya? Siapa sangka, Nea yang memiliki sejuta keinginan mengenai pernikahan harus berakhir seperti ini.

“Pertimbangkan semuanya baik-baik, saya tidak akan memberikan penawaran lagi setelah ini.”

Gadis itu menoleh ke belakang menatap pada orang tuanya yang menangis sambil memohon.  “Baik, saya akan lakukan apa pun itu.”

Jawaban Nea sudah cukup bagi pria itu. Ia pun langsung menghampiri debkolektor yang terus memaksa orang tua Nea keluar rumah.

“Berapa jumlah semua hutang mereka?” tanyanya pada pria berbadan kekar yang sibuk pada ponselnya.

“Siapa kamu? Mau jadi pahlawan?”

“Saya Aciel Cale, CEO dari Adelard Construction. Anda bisa datang ke kantor saya dan membahas semua hutang yang dimiliki keluarga ini.”

Hadirnya Aciel di antara mereka menjadikannya sebagai pusat perhatian. Terutama orang tua Nea yang merasa heran orang asing yang baru pertama kali datang ke rumah ini mau membayarkan semua hutang yang dimiliki mereka.

“Siapa dia? Kenapa muncul dan mau melunaskan hutang kita?” tanya ibu Nea pada suaminya yang duduk di kursi roda.

Ayah Nea melihat ke arah anaknya yang berdiri dengan kepala menunduk. “Sepertinya terjadi sesuatu, setelah mereka keluar tanyakan Nea apa yang terjadi.”

“Iya.”

“Wah, keren. Anak kalian sangat mahir dalam memanfaatkan tubuhnya,” ucap pria berbadan kekar itu sambil bertepuk tangan.

Ucapan sembrono menuduh Nea yang tidak-tidak mampu membuat orang tuanya melotot tidak terima.

“Jaga ucapan anda, anak saya tidak akan pernah melakukan sesuatu yang tidak benar!” tegas ibu Nea.

“Bukankah masalahnya sudah selesai, apakah kalian akan menginap di sini? Ah iya, sebelum pulang saya harap kalian membersihkan kerusuhan ini sebelum saya melaporkannya pada pihak yang berwajib,” tegas Aciel.

Ucapan Aciel tentunya tidak dibantah sedikit pun. Mereka membenarkan letak benda-benda yang berantakan.

Nea menarik napas dalam dan mengembuskannya berat. “Hidup aku udah hancur,” gumam Nea.

Apakah dengan menerima tawaran ini sama saja Nea menjual tubuhnya? Nea takut, sangat takut. Apa tanggapan orang-orang akan dirinya saat mengetahui faktanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status