Share

Malam Pertama

Isna tercengang, hubungan mereka memang sudah dekat tapi ia tak menyangka Indra akan meminta haknya nanti malam. Sejujurnya dirinya masih takut, tapi tujuan utama mereka ingin Indra menikah lagikan supaya Indra bisa mendapatkan keturunan yang tidak bisa diberikan oleh Arini.

"Baiklah, kita lihat nanti malam." Isna segera bangkit dan kembali ke mejanya. Ia berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak tak karuan.

Pekerjaannya usai, jam pulang kerja sudah kelewat hampir setengah jam. Ia masih duduk santai menunggu semua orang pulang, bukan karena ingin molor tapi ia menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Ia tak mau ada yang menergoki dirinya berangkat dan pulang bersama Indra. Hal itu ia hindari karena Indra belum mengumumkan pernikahan, Isna menghela napas pelan. Tak mungkin juga hal itu akan terjadi, Indra sangat mencintai Arini. Yang ada malahan dirinya yang akan mendapat berbagai ucapan negatif dari teman kantornya.

"Isna, ayo pulang."

Isna terperanjat saat tiba-tiba ada yang memanggilnya, sepertinya ia terhanyut dalam pikirannya sehingga tak menyadari kedatangan Indra. Setelah dirasa cukup aman, Isna dan Indra keluar kantor bersamaan.

.

.

Setibanya di rumah, Isna lngsung pergi ke kamarnya, ia ingin berendam. Berendam membuat tubuhnya terasa rileks kembali, setelah membersihkan diri ia membuka lemari pakaian dan mengambil satu set pakaian malam. Melihat pakaian yang kurang bahan semua, ia mengambil warna merah yang dirasa lebih tertutup ia pakai.

Isna menatap pantulan tubuhnya di cermin besar yang ada di kamarnya. Ia memang sering memakai pakaian minim ketika di kamar, dan itupun tak ada satu orang pun yang melihat. Namun malam ini, ia akan bersama Indra. Dalam hatinya masih ada kebimbangan karena ia belum tau bagaimana perasaan Indra kepadanya.

Isna terlonjak kaget saat tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang. "Pak Indra?"

"Apa kamu tak pernah mengunci kamarmu saat sedang berganti pakaian? Bagaimana jika yang masuk bukan aku tapi orang lain?" Kelopak mata Indra terpejam menikmati aroma rambut dan wangi parfum yang dipakai Isna, wanginya menyatu tak bertabrakan. Membuat suatu gairah besar dalam dirinya.

Ia memutar tubuh Isna supaya mereka saling berhadapan. "Bolehkah Isna? Aku sudah tidak tahan."

Indra tak sabaran, tanpa menunggu jawaban Isna, Indra langsung melancarkan aksinya. Membuat Isna langsung kewalahan, Isna bahkan hampir limbung karena tubuhnya terhuyung ke belakang. Mereka berhenti sejenak, Indra menggendong tubuh Isna dan membaringkan di tempat tidur.

***

Indra terdiam, netranya menatap sekeliling kamar istri keduanya. Baru saja ia merasakan suatu hal yang berbeda, suatu hal yang ia sendiri tidak tau, sesuatu yang belum pernah ia dapatkan ketika berhubungan dengan Arini.

Bukan karena ingin membandingkan, hanya saja ia sangat tau bagaimana rasanya saat pertama kali berhubungan dengan Arini. Berbeda dengan Isna, ia merasakan ada yang lebih menantang. Membuat dirinya seperti muda kembali.

Indra menoleh ke sampingnya, melihat Isna yang tertidur pulas, tanpa sadar guratan garis lengkung membentuk bulan sabit menghiaai wajahnya. Ia memiringkan tubuhnya, menikmati pemandangan menyejukkan, Indra tertawa pelan. Mengingat Isna yang sering menampilkan wajah juteknya di kantor, kini ia melihat wajah damai Isna kala tertidur. Indra menaikkan selimut hingga batas leher Isna supaya baju putih mulusnya tak terekspos. Padahal hanya ada dirinya di sini. Indra mengikis jarak diantara mereka, memeluk pinggang Isna dan menyusul istri mudanya itu ke alam bawah sadar.

.

.

Suara alarm yang berdering perlahan menyadarkan Isna, Isna menatap sekelilingnya. Ia terkejut kalau melihat Indra masih tertidur memeluknya. Pikirannya berkelana waktu semalam, membuat Isna tersipu. Perlakuan Indra sangat lembut sehingga mampu membuatnya terbuai. Indra seolah menjadi sosok yang berbeda dari Indra yang ia kenal. Isna mencoba bangkit dengan hati-hati supaya tak membangunkan Indra, namun sepertinya usahanya gagal. Tiba-tiba Indra semakin mengeratkan pelukannya.

"Kau mau ke mana?" tanya Indra dengan mata yang masih terpejam.

"Aku akan bersiap, bagaimana kalau kita terlambat berangkat?"

Isna berusaha melepaskan tangan Indra, hal tersebut justru membuat Indra semakin mengeratkan pelukannya.

"Kita libur saja , sayang. Aku bosnya, kamu istirahat saja."

Mendengar Indra memanggilnya dengan panggilan mesra seperti semalam membuatnya semakin tersipu. "Kau yakin meliburkanku?"

"Tentu saja. Bahkan kalau kamu minta libur seterusnya akan kukabulkan. Ingatlah, seorang Indra bunuh selalu memegang kata-katanya."

Isna mencibir mendengar setiap kalimat yang terucap dari mulut Indra. "Sudahlah aku akan bersih-hersih. Kau juga ya,"

"Bagaimana kalau mandi bareng. Lebih menghemat waktukan?"

Isna mendelik kesal, ia melemparkan bantal ke wajah Indra dan segera beranjak ke kamar mandi.

Di depan kaca, Isna mendesah kesal melihat banyaknya tanda di leher yang dibuat oleh Indra. "Ini pasti akan lama hilangnya. Gimana nutupinnya ya?" Isna terus saja menggosok cukup keras bagian tanda kepemilikan yang sudah dibuat Indra.

Akhirnya Indra dan Isna tak berangkat kerja, tentunya karena Indra yang terus mengulur waktu supaya mereka bisa menghabiskan waktu bersama.

*

Isna berjalan menuju gazebo yang berada dekat kolam renang, pagi ini dirinya dan Indra hanya bersantai di rumah. Isna datang menyusul Indra yang sudah lebih dulu berada di gazebo.

"Katanya mau santi, kok masih terus, Pak?" Isna duduk di samping Indra. Meletakkan piring berisi potongan buah dan dua jus alpukat kesukaannya.

"Kenapa kamu membawanya sendiri, di mana Devi dan yang lainnya?"

Isna tersenyum simpul, "Gapapa, hanya sepiring buah. Nggak berat." Isna mengambil potongan buah yang dibawanya tadi, menyuapkannya ke mulut Indra.

"Lagi ngapain? Tadi bilang mau santai nggak ngurusin kantor?"

Indra tersenyum mendengar pertanyaan Isna, "Ngecek email yang dikirim Aswin tadi. Kamu mau lihat? Ini laporan dari divisi marketing yang pernah kamu bimbing."

Dengan raut wajah terkejut, ia menggeser duduknya sehingga lebih dekat dengan Indra. Isna terlihat seksama membaca laporan yang dikirim Aswin. Tak lama kemudian ia menampilkan senyum puas. Isna terlihat bangga dengan pencapaian orang-orang yang ia bimbing.

"Saya bangga sama kamu Isna, kamu wanita hebat yang sangat cerdas. Semoga kecerdasanmu menurun pada anak kita nantinya."

Dalam hati, Isna mengamiinkan harapan yang diucapkan Indra. Isna paham, dalam hati kecil Indra, Indra sangat ingin sekali memiliki seorang anak. Meskipun setiap harinya ia selalu bilang hanya dengan bersama Arini, semua akan membaik.

Isna terlonjak kaget saat tiba-tiba sebuah benda kenyal menyentuh bibirnya. Isna menggerutu dalam hatinya, kenapa Indra selalu membuatnya terkejut. Keduanya saling terbuai, Indra melepas ciumannya.

"Mau melanjutkan yang semalam?"

Pertanyaan Indra hanya dijawab anggukan kepala oleh Isna. Isna sudah terlanjur terbuai sehingga ada hasrat yang harus disalurkan, begitupun dengan Indra.

"Mas Indra."

Indra dan Isna terkejut, keduanya berbalik menuju sumber suara.

"Mbak Arini."

Langsung saja Indra berlari menghampiri Arini meninggalkan Isna yang masih berada di gazebo. Dalam hati Isna, ia merasa seperti ada bongkahan besar yang membuat dadanya sesak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status