Share

Bersaing

Bu Bertha sudah menyiapkan kamar untuk Isna sesuai intruksi Mama Sukma, termasuk kamar yang dibuat kedap suara supaya Isna bisa tidur dengan nyenyak. Isna memiliki pendengaran yang sangat tajam, itu sebabnya ia butuh kamar yang kedap suara supaya bisa istirahat dengan tenang. Isna melihat kamar sekelilingnya, kamarnya dibuat seperti kamar miliknya di kediaman Rakabumi. Bahkan ornamen-ornamen kesukaannya juga ditempatkan di sana.

"Kamu menyukai kamarnya?" tanya Indra menatap Isna yang terlihat diam saja. "Maaf, rumahku tak seluas rumahmu. Mungkin kamar ini juga tak sebanding dengan kamar milikmu."

Isna berbalik menatap Indra, "Nggak apa-apa kok, aku suka kamarnya."

"Baiklah kalau kamu suka, silakan istirahat dulu. Saya mau keluar, kupanggil art untuk membantumu berberes."

Isna menjawab dengan anggukan kepala, kemudia Indra keluar kamar meninggalkan Isna sendiriann. Ia membuka lemari dan laci, keperluannya sudah lengkap.Tak banyak yang harus dibereskan, ia berjalan menuju balkon kamar. Balkonnya menghadap di mana sunset akan muncul. Dia sangat menyukainya. Isna menatap langit biru yang cerah, sedikit awan mendung menambah keindahan langit yang ia tatap.

"Nona Isna."

Isna langsung berbalik begitu namanya dipanggil. Keningnya berkerut, tadi Indra bilang akan ada art yang membantunya berberes, apakah ini asistennya?

"Kamu yang ditugaskan Pak Indra untuk membantuku?" tanya Isna pelan, tatapannya menelisik orang yang ada dihadapannya, sebenarnya ia kurang nyaman jika ada orang baru yang mengurusi segala keperluannya. Mungkin ia akan bilang kepada mamanya supaya Mila diperbolehkan ikut denngannya.

"Barusan Tuan Indra menyuruh saya untuk mempersiapkan apapun yang Nona butuhkan."

"Siapa namamu?" tanya Isna pada wanita tersebut.

"Saya Devi, Nona," jawabnya.

Isna mengangguk paham, "Baiklah." Isna tersenyum, berjalan mendekati asisten rumah tangga  yang sudah Indra pilihkan untuknya. "Aku selalu berendam menggunakan air hangat sepulang kerja, akan kuberitau apa saja yang aku butuhkan," ucap Isna pada Devi.

Isna memberitahu apa saja yang ia butuhkan dari bangun tidur sampai akan tidur. Isna juga memberitahu untuk selalu membuat jus buah tanpa gula beserta roti kering. Hal itu dikarenakan Isna tak terbiasa sarapan berat dipagi hari.

Menjelang malam, Indra, Isna serta Arini sudah ada di meja makan. Ini adalam makan malam pertama mereka bertiga. Arini terlihat acuh terhadap Isna, Arini tak menganggap keberadaan Isna, meskipun tak diperlihatkan secara langsung. Namun Isna dapat mengetahui hal itu. Isna memaklumi, jika kemarin mereka adalah seorang bawahan dan bos, sekarang mereka harus berbagi suami dan tinggal dalam satu atap.

Usai makan malam, ketiganya nampak terlihat santai. Mereka memakan buah sebagai makanan penutup malam ini. Isna yang ada di sana merasa tak nyaman dengan Arini yang bergelanyut manja di lengan Indra. Bukan karena cemburu tapi rasanya kurang baik apalagi ada beberapa art di belakang mereka.

"Mas, aku dapat undangan dari perusahaan. Aku diajak ke Bandung untuk fashionn show. Aku boleh pergikan?" tanya Arini dengan kepala yang disenderkan di bahu Indra.

"Berapa hari?"

"Hanya dua hari, bolehkan? Aku janji tidak akan macam-mcam Mas. Ada Sela dan Meliya yang ikut pergi denganku. Bolehkan, Mas?"

Rasanya Isna ingin menenggelamkan wajahnya, ia dianggap tidak ada oleh mereka berdua.

Setelah Indra diam sejenak, ia akhirnya mengangguk. "Hanya dua hari, kau tidak boleh pergi terlalu lama."

Arini terlihat tersenyum puas, ia memang masih menjadi model hingga saat ini. Meskipun umurnya dibilang tak lagi muda, namun kecantikan paripurnanya membuat siapa pun akan tersihir oleh kecantikannya. Indra pernah meminta Arini untuk berhenti menjadi model, namun Arini mengancam akan bercerai dengannya kalau sampai Indra memaksanya untuk berhenti menjadi model.

Isna yang sudah tidak tahan dengan kemesraan mereka, memilih untuk kembali ke kamar. "Aku sudah selesai, aku akan kembali ke kamar sekarang. Isna pergi dari sana meninggalkan Indra dan Arini. Sekilas, Isna dapat melihat Arini tersenyum sinis penuh arti. Tatapannya seperti mencemooh dirinya.

Pagi ini Indra keluar dengan menarik koper kecil milik Arini, semalam Indra tidur bersama Arini, padahal Bu Bertha sudah memberitahu supaya Indra banyak menghabiskan waktu bersama Isna.

"Kamu mau berangkat sendiri? Atau perlu kuantar?" Tanya Indra memeluk Arini. "Dua hari tanpamu, aku pasti sangat merindukanmu."

Arini berdecih, "Bagaimana kau bisa rindu, ada Isna yang menemani. Mungkin aku yang akan dilupakan." Arini mengalihkan tatapannya, menampilkan raut wajah muram. Membuat Indra terenyuh.

"Jangan bersedih, aku takkan melupakanmu. Kamu adalah belahan jiwaku, kamu takkan kehilangan posisimu." Indra mengikis jarak di antara mereka. Tiba-tiba langsung mengambil kesempatan, ia memangut bibir Arini singkat. Indra hanyut dalam perasaannya, namun tidak dengan Arini. Arini menoleh ke samping, melihat Isna yang terdiam melihat adegan mereka. Dalam hati Arini bersorak ria, ia menang lagi. Ia berjanji dengan dirinya sendiri akan selalu mempertahankan posisinya.

Ciuman mereka terlepas, Indra memeluk Arini sangat erat. "Udah, Mas. Aku berangkat dulu, kamu juga udah ditunggu Isna," ucap Arini.

Indra terkejut, ia melihat ke samping ternyata sudah ada Isna yang entah sejak kapan berada di sana.

"Aku berangkat dulu ya, kalian hati-hati di rumah." Arini beralih menatap Isna. "Isna, jaga suami kita ya," bisik Arini.

Mendengar hal itu, Isna rasanya ingin pergi saja dari sana. Ia sangat kesal berada di posisi seperti ini. Arini berpelukan dengan Indra, kemudian ia pergi keluar karena sudah ditunggu teman-temannya.

Setelah kepergian Arini, Indra dan Isna langsung berangkat ke kantor. Mereka berada di mobil yang sama, meskipun status mereka masih belum dipublikasikan di kantor, tapi keluarganya meminta mereka untuk berangkat dan pulang bersama. Di tempat ia bekerja, Isna sudah disibukkan dengan pekerjaannya yang menumpuk.

"Na. Mau nanya boleh?" Aswin tiba-tiba menghampiri Isna dengan membawa dua cangkir kopi.

"Tanya apa?"

"Muka lu kusut, nih ngopi dulu."

Isna mengambil kopi yang diberikan Aswin. "Makasih ya, Win." Niat Isna untuk menyeruput kopinya langsung terurungkan kala melihat asap yang masih mengepul, menciptakan aroma sedap khas kopi.

"Kamu tau seminggu ini aku kayak orang gila ngurus kerjaan sendirian. Semuanya keteteran!"

Mendengar ocehan Aswin, isna tertawa pelan. Aswin termasuk orang yang tidak mengetahui pernikahan ini. "Sorry ya, Win. Aku beneran ada acara keluarga kemarin. Kamu nggak liat kemarin story punyaku gimana? Kerabatku ada yang nikah."

Aswin mendengus kesal, masalahnya Isna meminta Izin bertepatan dengn bosnya juga tidak berangkat.

Isna yang melihat Aswin terdiam hanya tersenyum. Ia merapikan berkas laporannya sebelum menghadap Indra.

Isna bangkit berjalan menuju ruangan Indra. "Selamat siang, Pak."

Isna melihat Indra yang nampak sibuk menatap layar laptop sehingga tak menyadari kehadirannya. "Pak Indra!" Isna sedikit meninggikan suaranya, membuat Indra terperanjat karena terkejut.

"Ada apa, Isna?"

Isna langsung menyerahkan berkas laporannya. Indra membaca dengan seksama laporan yang dibuat Isna. Setelah membaca laporan pemberian Isna, Indra meminta Isna untuk mendekatinya.

"Isna ke sinilah," Isna menurut. Ia berdiri di samping Indra, namun tiba-tiba Indra langsung menarik pinggang Isna sehingga Isna duduk dipangkuan Indra.

"Ehh," Isna yang tidak tau niat Indra tentu saja terkejut gerakan Indra yang tiba-tiba.

"Isna, bolehkah malam ini aku mengambil hakku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status