Share

Cemburu

"Mas Indra."

Indra dan Isna terkejut, keduanya berbalik menuju sumber suara.

"Mbak Arini."

Langsung saja Indra berlari menghampiri Arini meninggalkan Isna yang masih berada di gazebo. Dalam hati Isna, ia merasa seperti ada bongkahan besar yang membuat dadanya sesak.

Isna lekas turun dari gasebo, menghampiri Arini yang sudah pulang. Dalam hati Isna bertanya-tanya bukankah Arini pergi dia hari, ini baru satu hari. Kenapa sudah balik.

"Mbak Arini katanya pergi dia hari?" tanya Isna yang berdiri di sebelah Indra.

Pertanyaan Isna hanya dibalas senyuman oleh Arini. "Aku sangat merindukan Mas Indra, aku tidak bisa berjauhan lama-lama dengannya." Arini mengalungkan lengannya di leher Indra. Mendapat perlakuan seperti itu, Indra merasa tak nyaman. Ia menatap Isna yang memalingkan wajahnya menatap arah lain.

"Ayo, Mas. Kita masuk ke dalam, hari ini aku ingin selalu bersamamu, menghabiskan waktu denganmu tentunya." Arini langsung menarik lengan Indra supaya pergi dengannya, ia tak memperdulikan Isna yang masih ada di sana.

Arini mengajak Indra masuk ke kamar mereka, setelah keduanya sampai, Indra melepaskan tangan Arini. "Kamu kok tiba-tiba pulang, Ar?"

Kening Arini berkerut, ia heran kenapa Indra bertanya seperti itu. "Kamu nggak suka kalau aku pulang cepet? Kamu bilang nggak bisa jauh-jauh dariku Mas, makanya selesai acara semalam aku langsung pulang. Aku nggk ikut temenku liburan. Kamu kok kayak nggak suka gitu sih? Atau karena sekarang sudah ada istri mudamu itu Mas?"

Arini tersenyum miring, ia merasa bahwa Indranya mengalami beberapa perubahan.

"Kamu nggak bener, sebelum kamu pergi aku udah bilang ya kalau aku akan bersikap adil dengan kalian. Aku nggak mau lagi ada perseteruan di keluarga kita lagi, dan kamu juga yang ngizinin. Terus sekarang bagaimana? Kamu sepertinya nggak suka kalau aku juga memperhatikan Isna. Kamu biasanya betah kalau sama temen-temen kamu, kenapa kamu sekarang ingin bersamamu terus? Kenapa Ar? Kamu cemburu kalau aku lagi sama Isna?"

Mendengar rangkaian kalimat yang diucapkan Indra membuatnya semakin sedih. Apalagi semalam ia mendapat laporan dari art kepercayaannya bilang bahwa Indra dan Isna menghabiskan malam bersama. Hal itulah yang membuatnya ingin cepat pulang dan mencancel kegiatannya.

Arini terduduk di tepi ranjang, ia mengamati Indra. Tanpa sengaja ia melihat tanda merah di leher suaminya itu. Hatinya semakin teriris, ia tidak bisa membayangkan bagaimana kejadian semalam yang mereka lalui. Arini takut dirinya akan dicampakkan oleh Indra, karena dari umur saja Isna jauh lebih muda. Justru Arinilah yang minder.

"Mas Indra." Arini berdiri mendekati Indra, ia memeluk Indra dari belakang. "Aku takut kau akan meninggalkanku karena Isna lebih dari segalanya, dia punya segalanya sedangkan aku tidak. Aku takut sendirian."

Indra memejamkan matanya, mengatur emosinya supaya tak meledak. Setelah emosinya bisa terkendali, ia berbalik memeluk Arini. Indra mengelus surai coklat milik Arini. "Aku tahu kamu sebenarnya juga nggak rela kalau aku nikah lagi, tapi mau gimana lagi Ar. Ini sudah jalannya, aku minta sama kamu buat rela ya kalau lagi sama dia. Sekarang apa yang kuberikan sama kalian harus sama rata."

"Apa itu termasuk mencintainya, Mas?"

Indra mengangguk, "Aku sedang berusaha memberikan cintaku padanya. Seperti cinta yang kuberikan untukmu, tenanglah Arini. Aku nggak akan pergi, kamu nggak akan sendirian. Kamu tetaplah menjadi prioritasku.

Arini semakin menumpahkan tangisannya, ia tak rela berbagi segalanya dengan orang lain. Namun sekarang takdir membuatnya harus memiliki madu.

*****

Waktu semakin berlalu, Isna tak menyangka bahwa dirinya sudah menjalani pernikahan ini sudah dia bulan. Tak banyak kejutan yang ia alami, hanya kerja dan istirahat di rumah. Ia bahkan jarang berlibur semenjak menikah, jika dulu setiap dua minggu sekali akan liburan bersama adiknya. Namun sekarang ia hanya bisa berdiam diri di kamar, ditemani buku-buku favoritnya.

Isna mendengus kesal, kenapa ia merasa sangat bosan hari ini. Padahal tugasnya masih banyak, ia menoleh ke samping. Melihat Aswin yang sedari tadi sibuk dengan komputernya. Tiba-tiba bayangan bebek bakar depan kantor membuatnya lapar. Isna melirik arloji di tangannya, tinggal beberapa menit lagi menuju jam istirahat.Isna berdiri menghampiri Aswin.

"Win, kamu sibuk?"

"Nggak terlalu. Kenapa?" Tanya Aswin dengan mata masih fokus pada komputer.

"Udahan yuk. Lanjut nanti itu kerjaan kamu, ayo makan di luar."

"Ehh?" Kening Aswin berkerut, tumben sekali Isna mengajaknya makan di luar. Padahal biasanya Isna hanya ingin makan di kantin. "Tumben banget, Na."

"Ayo, Win. Pengen banget aku, udah nggak bisa ditunda. Kerjaan bisa lanjut nanti! Aswin buruan!"

Aswin mendengus kesal, ia menyimpan file yang sudah ia buat, mengambil ponsel dan mengikuti Isna. Aswin tak ingin lagi mencari gara-gara dengan Isna, karena beberapa hari ini dirinya sudah menjadi sasaran empuk kemarahan Isna. Bahkan Isna juga bisa langsung marah hanya karena masalah sepele.

.

"Pelan-pelan, Na. Aku nggak akan minta punya kamu." Aswin menatap Isna tak percaya, satu porsi bebek bakar paket komplit di piringnya hampir habis. Padahal biasanya Isna hanya makan setengah porsi dari makanannya.

Isna meneguk es jeruknya hingga tandas, membuat Aswin menggeleng tak percaya. "Lo kayak nggak makan satu minggu. Tumben banget langsung abis gitu. Mana cepet banget makannya." Aswin menggerutu kesal.

Tawa Isna semakin membuat Aswin bertambah kesal. "Beberapa hari ini kok aku gampang laper ya, Win. Kamu inget nggak kemarin aku bawa bubur ayam, belum sampe jam istirahat aku udah laper pengen beli nasi uduk."

"Kayak orang ngidam lo, Na. Kakak aku waktu hamil juga bawaannya laper mulu. Mana mintanya yang aneh-aneh."

Isna langsung terdiam, pikirannya mundur beberapa waktu lalu. Ia langsung mengingat kapan terakhir kalinya ia datangbulan.

"Win, kamu nebak aku hamil?"

"Ehhh." Aswin tergelak, keterkejutannya bertambah melihat Isna yang menjadi melow seperti ini. "Bu-bu-kan gitu Na. Kamu jangan salah paham dulu."

Isna mendengus kesal, ia mengambil ponselnya dan menghubungi adiknya.

[Hallo. Ndro, kamu di rumah?]

[Di rumah, Mbak. Kenapa?]

[Jemput Mbak di kantor ya Ndro. Mbak tunggu sekarang.]

Isna masih sibuk dengan pembicaraannya dengan ponsel, Aswin yang berada di sampingnya semakin kesal. Jika Isna sudah menghubungi adiknya itu mengartikan bahwa semua tugas kantor kepadanya. Aswin tau, Isna memang bukan orang sembarangan. Itu sebabnya Aswin tidak berani macam-macam dengan Isna.

Pernah beberapa waktu lalu ia melaporkan Isna kepada bosnya, Indra. Mengatakan bahwa Isna akhir-akhir ini kinerjanya menurun, bahkan Aswin juga melapor bahwa Isna pergi dijemput oleh adiknya. Namun bosnya tak merespon apapun, justru bosnya itu meminta supaya Isna. Aswin semakin kesal, apakah tugasnya juga merangkap menjadi penjaga sekretaris bosnya ?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status