Share

Permintaan Sang Putri

"Max, apa kabar?"

Dia adalah Giska, wanita yang mengajak Maxime bertemu sore ini.

"Baik," jawab Maxime singkat.

Giska pun duduk di kursi yang ada di depan Maxime. "Makasih karena kamu mau datang.".

Maxime sebenarnya malas menemui Giska. Tapi dia tidak punya alasan menolak untuk datang. Sudah ke sekian kali Giska mengajaknya ketemuan. Baru kali ini Max menerima ajakan gadis itu.

"Ya, jadi apa yang ingin kamu katakan.

"Santai saja dong, kita udah lama kan gak ketemu. Ngobrol santai aja dulu," kata Giska, ramah.

"Ya, tapi saya tak punya banyak waktu." Maxime lantas berdiri sambil melihat arloji di tangannya. "Saya harus pergi sekarang."

"Max, ayolah." Giska ikut berdiri dia memegang tangan Maxime.

Kontan Maxime melepaskan genggaman tangan Giska.

"Maaf Max. Tapi masa kamu mau pergi sih? Kita gak bisa ngobrol dulu?"

Max menggeleng. "Saya kira kamu punya tujuan mengajak saya datang."

"Ya tujuan aku salah satunya untuk ngobrol sama kamu."

"Tidak bisa, saya tak ada waktu."

"Maxime, kenapa kamu gak berubah sih dari dulu? Kamu kayak gini semenjak Maria meninggal. Kamu sadar, kamu itu pria normal, kan?"

Maxime mengerutkan kening. "Maksud kamu apa berkata begitu?"

"Max, kamu gak mau coba memulai hubungan baru?"

Maxime tidak suka jika ada orang yang ikut campur dengan urusan pribadinya. Menurutnya kali ini Giska tak dapat di biarkan begitu saja.

"Not you bussiness! Jangan pernah hubungi saya lagi, apalagi membuang waktu saya."

Maxime pergi begitu saja meninggalkan Giska. Sebagai seorang gadis, dia merasa harga dirinya sudah diinjak oleh Maxime.

"Max, kamu sangat keterlaluan!"

Tidak munafik. Tadinya Maxime ingin melihat apa Giska mungkin menjadi pendampingnya, karena permintaan Natasha yang makin mendesaknya. Tapi dia sadar, gadis seperti Giska bukan sama sekali menjadi tipenya. Dia rasa dan yakin seratus persen dia tak akan tahan dengan gadis seperti itu.

Tiba-tiba teringat lagi janjinya dengan Natasha. Maxime mulai kebingungan sekarang. Dia tak mau mengingkari janji yang hanya akan membuat putrinya kecewa.

***

MAXIME POV

Siang ini aku sudah janji pada Nat, untuk membawa seorang gadis, untuk dikenalkan kepadanya, sebagai calon mama barunya, tapi aku sendiri belum tahu, di mana aku dapat menemukan seorang gadis yang tepat.

“Astaga! Aku bisa gila!”

Memang banyak wanita yang coba mendekatiku, tapi aku sama sekali tidak tertarik, bahkan aku sendiri heran, kenapa aku seolah mati rasa. Mungkinkah, aku menjadi tidak normal, karena kepergian Maria?

Perkataan Giska jujur membuatku berpikir. Apa benar aku jadi tidak normal karena menduda terlalu lama?

Padahal hubunganku dan Maria pada awalnya hanya sebuah perjodohan, tapi Maria sudah melahirkan Natasha, sampai mengorbankan nyawanya sendiri. Aku ingin mengabdikan diriku, hanya untuk menjaga Natasha, tapi Nat bilang, Maria datang ke mimpinya, meminta agar aku menikah lagi.

Mimpi itu tidak masuk di akal. "Maria, kenapa saya harus menikah lagi. Padahal kamu tahu, saya baru menyadari cinta saya kepada kamu, setelah kamu tiada."

Rasanya aku sangat pusing. Tak menyangka hanya karena mimpi bisa membuat Natasha mendesak ku untuk menikah lagi.

“Apa maksud mimpi Natasha itu? Mana mungkin itu benar keinginan Maria? Apa benar Maria yang menginginkan agar aku menikah lagi?”

Padahal aku kira Maria mencintaiku. Bahkan ingin kembali kepadaku di kehidupan berikutnya. Tapi kenapa Maria ingin aku menikah dengan wanita lain.

"Maria, saya sangat mencintai kamu."

Namun, apa pun akan kulakukan demi dia yang paling berarti dalam hidupku. Kalau bukan aku yang membahagiakan dia, lalu siapa lagi? Tidak penting apakah aku bahagia atau tidak, yang aku inginkan dia tidak bersedih dan bahagia selalu.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.

“Daddy!!” Natasha masuk sambil berlarian ke arahku, memelukku dengan erat, dia menangis.

“Kenapa Sayang? Kenapa kamu nangis?”

“Daddy, kenapa Mama Maria marah sama Nat. Ini semua karena Daddy, kenapa Daddy tidak secepatnya memberikan mama baru untuk Nath, Daddy berbohong!”

Aku memeluknya, tubuhnya gemetaran. Seperti sedang ketakutan, aku kaget. Padahal ini masih pagi. Apa mungkin dia baru saja bermimpi lagi?

“Nath, katakan pada Daddy, apa maksudnya dengan Mama Maria marah dengan Nat?”

Dia hanya terus menangis, sesekali tersengal-sengal seolah sangat bersedih. “Nat, katakan pada Daddy.”

“Nat bermimpi, Mama Maria pergi meninggalkan Nat. Mama tidak mau berbalik padahal Nat sudah memanggilnya, Nat kangen Mama, Nat ingin di peluk oleh Mama, walau hanya dalam mimpi. Daddy, kenapa Nat tidak punya Mama, kenapa Dad?”

Hatiku hancur saat mendengar ucapan putriku barusan. Sebegitu sedihnya kah dia, karena tidak memiliki mama? Aku tidak tega, selama ini aku selalu berusaha memberikan kebahagiaan untuknya, karena memang dia harta yang aku punya.

“Maafkan Daddy, Sayang ....”

Aku memeluk tubuh kecilnya, aku tidak ingin melihat air matanya terjatuh. Aku harus menemukan mama untuk Nat. “Daddy akan mencarikan mama untuk Nat, jangan sedih Sayang, Nat akan punya mama, Nat jangan menangis. Daddy tidak mau melihat air mata Nat, okey Sayang?”

Putri cantikku tersenyum dan mengangguk tipis.

“Terima kasih Dad, Nat sayang Daddy, Nat juga ingin Daddy bahagia.”

Alangkah mulianya hati Natasha, putriku bersama Maria. Bahkan dia masih memikirkan kebahagiaanku, di usianya yang masih kecil.

“Daddy juga sayang Natasha, jangan sedih ya, hapus air mata Nat, nanti cantiknya semakin bertambah, bisa-bisa Daddy malah jatuh cinta pada Nat.”

Dengan manisnya, ia tertawa begitu riang. Hingga wajah cantiknya yang menyerupai Maria, terlihat semakin memesona.

“Daddy, jangan menggoda Nat, simpan saja godaan itu untuk calon mama baru untuk Natasha.”

Natasha begitu polos. Aku tak akan membiarkan siapa pun membuatnya bersedih. Maria, terima kasih sudah melahirkan putri yang begitu cantik dan berhati malaikat seperti Natasha.

Ketika Nat masuk ke kamarnya. Aku mengambil pigura Maria yang tertata di atas meja. Sungguh aku rindu sosok Maria, seandainya saja ia masih ada, pasti Natasha akan tumbuh dengan kasih sayang lengkap dari kedua orang tuanya.

“Maria, tenanglah di sana. Aku janji, akan menjaga putri kita dengan sebaik-baiknya.”

Aku meletakkan lagi pigura tersebut. Lalu kembali lagi ke ruang kerjaku. Saat itu tiba-tiba aku teringat oleh rekanku yang berprofesi sebagai produser. Mungkin saja rekanku itu bisa mengenalkan aku dengan seorang yang mau di ajak bekerja sama untuk menjadi ibu sambung Natasha.

Aku pun segera menghubunginya, dan memutuskan untuk menemuinya ke studio tempat ia bekerja.

***

“Hanung. Apa kita bisa bertemu?” Suara bariton Max begitu terdengar tegas. Senyuman tipisnya mengembang, sambil menganggukkan kepalanya dengan handphone yang menempel di dekat telinga.

“Ah, baiklah. Besok, aku bisa. Aku akan ke tempatmu. Jadi, kita ngobrol-ngobrol tentang wanita yang kamu bilang oke itu.” Max tertawa kecil, sambil memainkan bolpoin di tangannya.

“Ya, aku percaya. Mungkin saja, kita lihat besok,” komentar Max ketika temannya itu mengatakan bahwa wanita yang akan dikenalkannya itu, teramat cocok untuk Max.

“Hm, kamu tau kan? Aku tidak berniat menikah lagi. Kalau saja bukan karena Nathasha yang inginkan hal itu. Hartaku yang paling berharga, kalau dia marah. Aku bisa apa.”

Max menelepon sambil memperhatikan foto Natasha yang ada di atas meja kerjanya. Ia tersenyum lalu mengangguk.

“Oke, terima kasih atas waktumu. Sampai ketemu besok.”

Max menaruh ponselnya ke atas meja, lalu mengambil foto putri kecilnya.

“Haah ... ini semua Daddy lakukan, atas keinginan kamu. Baby girl.”

Satu kecupan mendarat pada foto tersebut. Ia memijat pelipisnya. Semua ini cukup membuatnya tegang, membayangkan dirinya yang selama tujuh tahun menduda, dan sekarang ia harus menuruti keinginan putrinya untuk menikah lagi.

***

PRATAMA KENCANA GRUP

“Selamat siang, Pak.”

“Siang, apa meeting kali ini sudah siap?” tanya Max pada sekretarisnya yang bernama Meggie.

“Sudah, Pak. Semuanya telah saya susun sesuai dengan perintah Bapak. Apa ada hal lain yang bisa saya lakukan untuk Bapak?” Meggie tersenyum simpul, dengan wajah berbinar.

“Hm, tidak.” Max menjawabnya dingin.

“Segelas kopi, atau teh, mungkin?” Meggie masih berusaha menawarkan sesuatu untuk bossnya itu.

“No. Kembali ke ruanganmu.” Max tetap dingin.

“Baik, Pak.” Meggie menghela napas berat.

Padahal ia begitu menyukai bosnya itu. Selama kurang lebih lima tahun ia bekerja di perusahaan Max dan ia begitu mengagumi bosnya. Maxime adalah sosok idaman untuknya, tapi, bak punuk merindukan bulan, cintanya bertepuk sebelah tangan.

Max begitu sibuk setiap hari karena itu ia bahkan lupa terhadap urusan hati dan juga kebutuhan biologisnya. Meskipun terkadang hasratnya bangkit, dan ia harus menyelesaikannya, tapi ia tidak tergoda untuk bermain wanita di luar sana. Meskipun bisa dikatakan dirinya sangat berpotensi memiliki banyak wanita muda, yang begitu menggilainya sebagai hot Daddy, tapi hal itu bukan ketertarikannya. Ia lebih memilih fokus terhadap anaknya dan juga pekerjaan. Bisa dibilang, Max adalah workaholic yang begitu sibuk, setiap hari.

“Ah, aku sampai lupa. Siang ini ada janji dengan Hanung. Aku harus segera menyelesaikan ini semua, dan menemuinya,” ucap Maxime yang tak membuang waktu, langsung menyelesaikan beberapa pekerjaannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status