Satu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya.
"Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!"
Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang.
Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka.
"Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!"
Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang.
Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarga mempelai justru menari di atas penderitaan Nayla dan Shaka. Tidak tahu kalau Nayla sudah sadar sejak mencium aroma minyak kayu putih yang dioleskan Shaka di hidungnya.
"Ah, kamu udah siuman? Syukurlah!"
Nayla kaget bangun-bangun melihat Shaka di sampingnya. Pakaian pengantin masih melekat di badan mereka dan Nayla tahu apa yang telah terjadi.
Dia pingsan setelah ijab kabul. Kemudian, Shaka membantunya. Artinya mereka hanya berdua saja di kamar? Mengingat hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Eee, ayah sama ibu mana?" Nayla sedikit celingukan.
"Mereka di depan. Dari tadi cuma aku yang ada di sini." jawab Shaka pelan sambil tersenyum.
Hancur hati Nayla. Apa orang tuanya tidak lagi peduli padanya? Tetapi inilah kenyataan. Mereka hanya berharap dia menikah karena usianya yang sudah hampir kadaluarsa di mata masyarakat.
Dia melirik Shaka yang sibuk membersihkan handuk kecil dan minyak kayu putih di laci. Paras rupawan itu terlihat sangat tampan memakai jas hitam walaupun memasang wajah datar. Sesekali hanya tersenyum kalau sedang berbicara dengannya.
"Shaka ... keberatan nggak, ya?" lirih Nayla hampir tak terdengar.
Shaka berganti sibuk memasukkan pakaian kotor ke dalam koper. Dia membawa banyak pakaian ganti karena kemarin belum sempat membongkar kopernya sudah keburu dilamar Nayla diajak langsung nikah.
Terlalu mendadak, tapi sepertinya tidak ada pilihan lain. Mereka sama-sama dituntut karena berada di usia yang genap tiga puluh tahun.
Akhirnya koper dan baju kotor Shaka ada di rumah Nayla dan dia harus memisahkannya di koper lain agar mudah untuk membawanya pindah besok. Rencananya mereka akan pergi setelah fajar.
Setiap pergerakan Shaka tidak lepas dari mata Nayla. Meskipun dalam hati masih bergejolak merasa gila telah melamar teman sendiri.
"Shaka, habis ini kita tinggal di rumahmu aja, ya, yang di Jakarta. Kamu nggak keberatan, 'kan?"
"Asal kamu yang minta aku nggak keberatan," jawab Shaka tanpa berhenti dari aktivitasnya.
Nayla diam sejenak.
"Kalau nikah sama aku ... kamu keberatan?" suaranya mulai memelan.
Pergerakan Shaka terhenti. Dia menoleh membuat Nayla tersentak.
"Kenapa? Kamu kecewa?"
"E-enggak, bukan gitu maksudnya." Nayla panik.
Shaka terkekeh lalu duduk di tepi ranjang dan menepuk kepala Nayla.
"Asalkan itu kamu aku terima apapun keadaannya."
Pipi Nayla langsung memerah. Dia menepis tangan Shaka dan berpaling, sedangkan Shaka kembali berbenah.
Melihat punggung itu yang terus bekerja tanpa sadar menghanyutkan pandangan Nayla. Gadis itu terus meragukan keputusannya.
Hanya karena frustasi akan desakan keluarga, dia sampai mengorbankan perasaan dan hidup temannya tanpa bertanya terlebih dahulu.
Nayla tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Shaka. Sedikit menyeramkan, tetapi diamnya cukup membuat Nayla nyaman. Caranya bicara selalu menghangatkan hati. Apa mungkin di masa depan Nayla bisa jatuh cinta dengan laki-laki ini. Secara Shaka adalah teman masa kecilnya.
Keesokan harinya ketika sibuk memasukkan barang-barang ke mobil, Nayla mendapat surel dari pekerjaannya.
"Nona Shakia Nayla Bestari yang terhormat, selamat atas pernikahannya. Anda diizinkan untuk mengambil cuti pernikahan selama satu pekan."
Nayla syok membaca surel itu sampai Handphone-nya hampir jatuh.
"Nah, kebetulan aku juga dalam masa libur. Kita sama-sama nggak kerja." Shaka menjentikkan jari.
"Kamu malah seneng?" balas Nayla tidak habis pikir.
Nayla justru ingin bekerja untuk mengalihkan perhatian dari kenyataan. Terlebih lagi dari mana perusahaan tahu kalau dia tiba-tiba menikah.
Dilema yang terpaksa Nayla terima. Baru hendak masuk ke mobil, seseorang melambaikan tangan di depan rumahnya.
"Shaka!"
Nayla mendongak. Seketika terpesona dengan kehadiran sosok perempuan cantik yang memakai dress mahal itu. Lain dengan Shaka yang berdiam kaku.
"Verlin?"
"Hmm?" Nayla melirik bingung.
"Ternyata benar kamu." perempuan itu segera berlari menghampiri Shaka.
Dalam hati Nayla terkejut. Shaka hanya diam, tapi perlahan-lahan senyum tipisnya muncul ragu-ragu. Gerak-gerik Shaka terlihat aneh membuat Nayla sedikit penasaran. Siapa sebenarnya Verlin itu?
Dua cangkir kopi panas mengepul di meja, tetapi di balik tirai penghubung antara ruang tamu dan dapur ada yang jauh lebih panas daripada kopi.
Nayla menguping pembicaraan mereka berdua sambil memegang ujung tirai takut ketahuan, padahal suara mereka tidak bisa didengar sama sekali.
Setelah beberapa menit berbincang perempuan itu nampak sedih meskipun disembunyikan. Tersirat di wajahnya begitu jelas terlebih lagi ketika pergi dari rumah Nayla.
Nayla segera mendekati Shaka yang berdiri di ambang pintu melihat kepergian Verlin.
"Bentar amat ngobrolnya. Siapa dia?" tanya Nayla santai.
"Mantan aku."
"Apa?!" kedua bola mata Nayla hampir lepas.
Shaka bergegas ke mobil.
"Se-sejak kapan kamu punya pacar?! Jangan bilang dia sedih gara-gara kamu nikah sama aku. Eh, kejar, dong, kasihan itu dia nangis." Nayla menunjuk kepergian Verlin.
Shaka berhenti melangkah, "Emangnya kamu mau aku ngejar dia?"
Nayla tersentak tatapan laki-laki itu tajam.
"Tenang aja, kita udah putus lama. Ini nggak ada hubungannya sama kamu."
Pintu mobil dibuka dan Shaka menjadi sangat dingin, berbeda dengan tadi malam. Nayla membiarkan laki-laki itu di dalam mobil, sedangkan dia sendiri sedang berkecamuk. Sudah Nayla duga, Shaka pasti menyesal telah menikahinya.
Lewat pukul sepuluh pagi, Nayla resmi meninggalkan kota Bekasi. Perasannya semakin tidak karuan semenjak acara kemarin ditambah kemunculan mantan pacar Shaka. Sejak itu Shaka diam tidak mau bicara dengannya.
Nayla tahu laki-laki bernama Shaka Arya Wiratama itu sudah pendiam sejak kecil dan hanya bicara seperlunya saja, tetapi diamnya kali ini merubah suasana menjadi hening. Terlebih lagi canggung karena posisi mereka bukan lagi teman biasa, melainkan suami-istri.
"Dasar es batu!" gerutu Nayla semu.
"Apa?" Saga mengernyit.
"Ha? Emangnya aku ngomong, ya?" Nayla menoleh pura-pura bodoh.
Shaka berdecak cuek kembali fokus mengemudi. Nayla juga mencebikkan bibirnya membuang muka ke jendela.
Tidak bisa diajak kompromi, langit mendadak mendung dan teror petir mulai menghujam. Mereka masih dalam perjalanan sudah dihadang angin kencang. Mobil Shaka bergoyang ketika berhenti di lampu merah.
"Shaka, kayaknya mau hujan. Kita neduh dulu apa gimana?"
Panik sambil menutupi telinga erat-erat takut akan suara petir. Shaka bukannya menjawab dia langsung melepas Seat Belt Nayla dan menarik Nayla lebih dekat.
"Sini!"
Shaka menekan kedua tangan Nayla ikut menutupi telinga Nayla.
"Kamu takut petir, 'kan? Diam aja, nggak apa-apa aku di sini," ujar Shaka begitu hangat.
Suara petir jatuhnya terdengar seperti kembang api. Gadis itu terkejut karena Shaka masih ingat tentang dirinya.
Shaka mendadak pusing dan semakin lama semakin tak terkendali. Penglihatannya mulai buram. Dia tidak dapat melihat dengan jelas jika Nayla dan Verlin sedang bersitegang di depannya. Namun, Shaka mencoba untuk tetap terjaga. "Kau biadab! Kau bahkan sampai meracuni minuman Shaka?!" Nayla naik pitam. Shaka sendiri kaget karena Nayla tiba-tiba menaikkan nada bicaranya."Aku tidak akan segan-segan lagi kali ini, Verlin! Hari ini kau sudah sangat keterlaluan! Demi mendapatkan Shaka kembali kau sampai meracuninya? Di mana otakmu?! Dasar tidak waras!" Verlin terbungkam dengan mata membulat. Dalam hati dia bingung bagaimana Nayla bisa menyusulnya masuk. Bukankah dia sudah disibukkan dengan teman-temannya di bawah. Nayla langsung menarik tangan Shaka membuat Shaka kaget untuk yang kedua kalinya. "Ayo, Shaka, kita pergi." Namun, Shaka melenguh dan tubuhnya lemas. Dia terus memegangi kepala sambil menggeleng supaya penglihatannya tetap tajam. "Nayla?" bicara dengan nada lemah nan bingung.
Benar, dia Verlin yang sama seperti yang mereka duga. Detak jantung Nayla serasa tidak bisa dirasa. Mengapa wanita itu datang? Tidak mungkin dia menyusul dirinya sampai ke tempat ini bukan. "Dasar penguntit. Kenapa dia berkeliaran dimana-mana," gerutu Nayla dalam humaman. Dentuman sepatu Verlin semakin dekat ke pusat tempat mereka duduk. Seluruh pandangan pun tertuju padanya. "Hai, Tuan. Maaf aku terlambat karena masih ada hal kecil yang harus ku selesaikan di pemotretan, haha. Kuharap aku tidak membuatmu menunggu lama." Verlin menjabat tangan kolega Shaka dan memberi salam melalui pipi ke pipi. Sudut bibir Nayla langsung menungging. "Ha?" heran Nayla. "Hahaha, mana mungkin aku menunggu lama. Duduk, duduklah. Eee, pelayan, tambah lagi alkoholnya!" seru orang itu. "Oh, maaf, aku sedang diet. Alkohol bisa membuatku terlihat jelek di kamera." bisik Verlin manja dan manis dan orang itu tertawa ringan. Mulut Nayla semakin terbuka mendengar penolakan halus apa Verlin. Jelas dia tahu
Di tengah kota, ada satu tempat yang tidak pernah Nayla kunjungi. Itu bernama Great Waterfall. Dan Shaka diundang di sana. Mengulak-ulik surat undangan dari kolega, jas kantor masih melekat di badan Shaka sore dini hari. Di meja dekat nakas ruang tamu Nayla menghampirinya dengan kondisi rambut basah habis mandi. "Apa itu?" Shaka terkejut tiba-tiba Nayla ada di sampingnya. Rambut Nayla masih sedikit basah. Handuk kecil tersampir di pundak. Aroma mawar merah muda mencuat kuat dari tubuhnya.Shaka terdiam sejenak."Nayla..." suaranya hampir berbisik, "Kenapa bisa basah begini?"Nayla meringis, "Kamu aja yang nggak langsung mandi. Habis pulang kerja enaknya tuh mendinginkan akal sehat di kamar mandi tau. Itu apa?"Shaka meneguk ludahnya pahit lalu menggeleng kecil, "Ini undangan dari kolega kantor.""Hmm? Undangan?" Nayla mengambil undangan itu sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecilnya, "Kok, bentuknya agak aneh?""Ya ... namanya emang agak aneh. Itu di ... Great Waterfall." Sh
Tepat satu jam setelah Shaka pulang, Nayla tiba di rumah. Namun, situasi sedang tidak baik-baik saja. Ini seperti perang dingin yang sangat membingungkan. Shaka tidak bertanya bagaimana Nayla bisa pulang. Kenapa tidak ada pembicaraan di antara mereka dan setiap kali Nayla mendekat Shaka selalu menghindar. Apakah Shaka benar-benar akan menunggu sampai jam dua belas malam? Nayla pun tidak habis pikir dengan laki-laki itu. "Baiklah kalau mau menunggu. Aku juga mau menunggu. Sambil tidur." Nayla meringkuk di sofa ruang tamu dan membiarkan TV menyala. Sayangnya, keduanya tidur sampai pagi menjemput di ruang yang berbeda. Sadar-sadar Nayla sudah bangun di pagi hari dan Shaka sudah tidak ada. Brak! "Astaga! Kenapa lagi ini anak? Datang-datang ngamuk meja?" Vira terjingkat sampai menghentikan tangannya yang menari di atas keyboard. Nayla cemberut, duduk di kursinya sambil menghidupkan komputer, "Shaka marah tau.""What?! Cowok setenang itu bisa marah?! Kamu apain?!" Vira sampai ikutan
Perasaan aneh muncul di setiap menit berkendara. Rasanya Nayla ingin putar arah dan melihat ke belakang. Pandangan kabut berasap di jalanan semakin menyibak penasaran. "Jangan-jangan Shaka benar-benar mau dihasut olehnya. Aku bukan takut Shaka mau direbut, tapi ... untuk jaga-jaga saja. Apa yang cewek itu lakukan ke Shaka." Akhirnya Nayla putar arah. Toko itu sepi, dinding seolah punya telinga, dan Nayla bersembunyi di balik pintu penyekat antara ruang depan dengan lorong menuju dapur dan ruangan kerja Verlin. Mata Nayla melebar kala melihat situasi Shaka yang semakin dekat dengan Verlin. Mereka tengah memantau rekaman cctv dari laptop. Bukan itu yang Nayla resahkan, tetapi jarak di antara yang begitu dekat. Semakin Nayla lihat semakin tak sadar tangannya menekan pada dinding tempat dia bersandar. Nayla heran mengapa dahi Shaka berkerut. Seharusnya rekaman cctv itu baik-baik saja bukan. Dia telah merekayasanya. "Tunggu! Hentikan adegan itu!" Shaka menunjuk layar laptop. "Yang
"Bagaimana bisa mereka keracunan?! Siapa yang berani melaporkan tuduhan itu?! Kenapa berita bodoh ini langsung menyebar ke seluruh kota?!" Verlin marah besar. Semua karyawannya menunduk bingung sekaligus takut. Ini pertama kalinya Verlin marah sejak menjabat sebagai bos baru. Belum lagi di luar terjadi kericuhan. Petugas dari balai pengawas obat dan makanan datang untuk memeriksa beserta beberapa instansi lainnya. Tidak sedikit pula para pelanggan semalam yang tidak terima karena dibuat sakit perut selama tiga jam. Mereka bahkan membawa surat keterangan dari rumah sakit. "Sshhh, jangan diam saja lakukan sesuatu!" Verlin mondar-mandir naik darah. "Eee, meskipun sakitnya hanya tiga jam, tetapi nama kita sudah tercemar," ujar salah satu karyawan takut-takut. "Se-semua pelanggan juga mengalami hal yang sama. Du-durasi yang sama pula," sahut temannya. "Kita harus bagaimana, Nona? Pihak berwajib di depan sudah tidak tahan ingin kita membuka pintu. Kalau mereka terus memaksa pintunya b