Home / Romansa / Married to My Childhood Friend / 2. Adegan Tegang Menjemput Maut

Share

2. Adegan Tegang Menjemput Maut

Author: Aloegreen
last update Last Updated: 2024-12-31 16:10:50

Pada akhirnya mereka nekat menerobos hujan deras bercampur angin kencang yang membuat siang menjadi malam. Gelap gulita tak mengurangi kemampuan Shaka dalam berkendara. Nayla memegang lengan Shaka kuat sambil terus berdoa. 

Petir kian mengamuk. Dada Nayla ikut bergemuruh. 

Dalam hati Nayla berteriak, apa harus separah ini situasinya di hari pertama menikah? Dia juga ingin merasakan sensasi menegangkan kayak pengantin baru, bukan tegang sungguhan seperti hampir menjemput maut. 

"Eh, tapi kalau sama Shaka kayaknya nggak bakal kejadian adegan begituan," gumamnya. 

"Ha? Adegan apa?" Shaka bingung tanpa berhenti menyetir. 

"A-apa? Ahaha, bukan apa-apa, kok. Shaka, awas di depan ada tikungan!" Nayla menunjuk jalan.

Shaka langsung memutar setir dan syukurlah mereka masih aman terkendali. Sayangnya karena jalanan licin mobil di belakang tidak bisa belok dengan lancar sehingga menabrak mobil mereka. 

"Aaaaa!" teriak Nayla.

Shaka menabrak pohon dan keduanya terbentur dashboard. Namun, mereka baik-baik saja. Beruntung kecepatan Shaka di bawah rata-rata sehingga kecelakaan itu tidak serius. Hanya bagian depan mobil Shaka yang penyok. 

Namun, si pelaku tidak bertanggungjawab dan melarikan diri. Nayla panik melepas Seat Belt mereka.

"Shaka, kamu nggak apa-apa?" 

"Nayla, kamu baik-baik aja? Ada yang luka? Ada yang sakit?" 

Awalnya Nayla hendak memeriksa keadaan Shaka, tapi Shaka terlebih dahulu memotong pergerakannya dan mengoreksi seluruh wajah Nayla.

"Aku nggak apa-apa. Cuma syok aja." geleng Nayla.

Shaka mengangguk cepat, "Syukurlah!" 

Shaka menarik Nayla dan memeluknya erat membuat Nayla melotot. Dia bisa merasakan detak jantung Shaka yang berdegup sangat cepat. 

"Aku juga oke." 

Ini pertama kalinya mereka bersentuhan begitu dekat. Mungkin karena refleks akibat kecelakaan atau karena saling takut kehilangan. Nayla tidak mengerti. 

Guntur kembali menyambar cukup keras mengejutkan Nayla.

"Shaka, kita terjebak. Mobil kamu udah nggak bisa jalan." 

"Ayo cari tempat aman. Hati-hati." Shaka membuka pintu tanpa melepaskan tangan Nayla.

Mereka buru-buru keluar hujan-hujanan tanpa payung berlari ke sebuah bangunan terdekat dan berteduh di terasnya. Tidak ada seorang pun di sana. Bangunan itu tutup, bahkan jalan raya pun sepi. Hanya mobil mereka yang terpojok menabrak pohon saja yang terlihat. 

"Woah, pemandangan yang sangat mengerikan." Nayla mengusap lengannya kedinginan. Napasnya saja berasap karena terlalu dingin.

Shaka melepas jaketnya dan menaruhnya ke pundak Nayla. 

"Pakai aja." 

Shaka sendiri menggosok telapak tangan sambil meniupnya pelan.

"Tapi kamu juga kedinginan," heran Nayla.

"Aku cowok, lebih kuat dari kamu." 

Nayla melongo, "Oh, sombong, tapi maaf aku bukan cewek lemah, ya. Makasih!" mengembalikan jaket itu pada Shaka. 

"Ck!" decak Shaka.

Ujung-ujungnya dipakai payung untuk mereka berdua. Nayla terpaku dengan perilaku Shaka. Dia memutar ingatan beberapa tahun lalu ketika mereka masih bermain bersama. Apakah sikap Shaka memang sebaik ini. 

Nayla tahu sosok yang telah menjadi suaminya itu pendiam, hangat, baik, dan juga terlalu santai menanggapi apapun, tetapi sejak menikah kemarin rasanya Shaka agak berubah menjadi lebih pengertian bahkan terlalu baik.

Nayla harap itu hanya perasannya saja. Dia terus mencuri pandang pada suaminya itu sambil memikirkan masa lalu.

Dua jam lamanya hujan menerjang kota Jakarta. 

Setibanya di rumah Nayla merebahkan diri di kamar Shaka dan tidak sengaja tertidur sampai sore menjelang malam. Bangun-bangun mendengar suara kran air menyala dari kamar mandi yang pintunya tertutup, artinya Shaka sedang mandi. Nayla langsung kembali ke kamar menutup kepala dengan bantal. 

"Aku harus gimana sekarang?" 

Melihat sekeliling perabotan dan aroma ruangan sangat berbeda dengan miliknya.

"Ini kamar Shaka?!" Nayla tepuk jidat.

Dia tidak sadar mengapa bisa ketiduran di situ. Saking lelahnya sampai menurunkan penjagaan diri dan langsung tidur di kamar seorang pria. 

Pintu pun terbuka mengejutkan Nayla yang sibuk melamun. Shaka muncul dengan penampilan yang lebih segar nan sederhana dengan kaos oblong serta celana olahraga. Tersenyum berjalan menuju ke arah Nayla sambol membawa segelas air dan beberapa obat-obatan. 

"Masih syok?" tanya Shaka.

"Eee, udah mendingan." Nayla garuk-garuk kepala.

Shaka duduk di tepi ranjang membuat Nayla mundur. 

"Minum obat dulu, buat jaga-jaga kalau ada bagian dalam yang sakit. Besok kita periksa aja sekalian." 

"Periksa? Nggak, nggak perlu periksa segala, haha. Minum obat aja udah cukup, kok, lagian aku nggak kenapa-napa." Nayla buru-buru mengambil obat itu dan meminumnya meskipun sulit ditelan.

"Kamu sendiri gimana?" menaruh air dan obat itu di nakas.

"Dengan kekebalan tubuhku apa yang bisa membuatku terluka?" senyum Shaka mengejek.

Nayla menganga. Tidak mengira Shaka bisa setengil itu. 

Nayla membuang pandangan ke jendela, "Nggak bertanggung jawab banget orang barusan. Udah nabrak main langsung kabur." 

"Biarin aja, lagian udah berlalu," balas Shaka.

"Ngomong-ngomong aku tidurnya di mana?" celetuk Nayla.

Shaka mengernyit, "Ya ... di sini. Di mana lagi?" 

Nayla berkedip polos, "Di sini?" 

Shaka mengangguk. 

"Sama kamu?" 

Shaka mengangguk lagi. 

Rahang Nayla hampir jatuh menimpa lantai. Ini mengganggu pikirannya sejak kemarin. Bagaimana bisa dia tidur dengan laki-laki yang sejak kecil dia kenal. 

"Enggak, nggak bisa, mendingan aku tidur di gudang. Minggir, aku mau beresin gudang kamu." Nayla sibuk mau turun dari ranjang.

"Ck, Nay, ini yang membuat kamu bermasalah sampai nggak bisa dekat sama laki-laki. Kamu kurang membiarkan dirimu terbuka. Sama aku aja begini gimana sama cowok lain."

Nayla terdiam di tempat ketika Shaka menahannya untuk pergi.

"Pokoknya kita tidur seranjang, titik, nggak menerima bantahan. Ini aku Shaka, bukan orang asing," lanjut Shaka.

Kedua bola mata Nayla melebar kala pandangan mereka bertemu. Jarak mereka hanya beberapa inci membuat Nayla menunduk.

"Setelah sekian lama nggak bertemu rasanya tetap aja kayak orang asing," cicitnya.

"Hmm?" alis Shaka terangkat.

Bibir Nayla menekuk, "Berapa tahun kamu sekolah terus kerja di Jakarta nggak pulang-pulang. Sekalinya pulang cuma beberapa hari waktu liburan. Hubungan kita nggak sedekat dulu waktu kecil. Sejak remaja rasanya kita sudah terpisah ... sangat jauh. Jangankan bicara, buat menyapa kamu aja hanya cukup dengan senyum di depan teras. Gimana aku bisa kembali nyaman sama kamu?" 

Napas Shaka tertahan mendengar keluh kesah Nayla secara terbuka, sedangkan dalam hati Nayla ingin mengubur diri hidup-hidup lantaran malu, tetapi dia tidak menyesal, Shaka berhak mengetahui belenggu di hatinya.

Nayla mundur kembali memeluk bantal, "Kamu berasa sangat jauh dari jangkauanku, Shaka." 

Shaka berkedip-kedip tak percaya. Lalu, tersenyum manis memegang tangan Nayla. 

"Tapi kamu tetap menikahi ku, 'kan?" 

Nayla kaget menatapnya tak berkedip karena yang dikatakan Shaka itu benar. 

"Dan aku ada di depanmu sekarang." 

Tatapan mereka semakin mengikis kekosongan. Manik hitam pekat menyerupai berlian hitam itu telah menyihirnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Married to My Childhood Friend   127. Shaka Menghilang

    Siapa tahu Shaka masih ada di situ. Sembari menyusuri tiap lorong dia membuka pintu yang bisa dibuka sambil menelepon Shaka. "Shaka, ayo angkat teleponnya." panik Nayla. Namun, tidak ada jawaban. Kalau begitu Nayla pulang. Dia ngebut tidak peduli lagi dengan peraturan lalu lintas asalkan bisa sampai rumah dengan cepat dan ternyata pintu rumahnya masih terkunci. Tidak ada mobil Shaka juga di sana. "Shaka?!" Nayla membuka pintunya dan berteriak, tetapi kosong. Sosok yang dia cari seakan menghilang tanpa jejak. Nayla gelisah menepuk dahi dengan sangat keras. "Kenapa aku nggak bisa nemuin kamu di mana-mana? Kenapa kamu nggak ada kabar seharian?" Suaranya sudah jatuh seperti langit saat ini. Angin menambah beban Nayla. Ia menyerang membuat pusaran di langit dan mengacaukan sekitar. Dedaunan mulai berterbangan bahkan suaranya berdengung di telinga Nayla. Dia menoleh ke segala arah. Kondisinya makin parah, detak jantungnya tak karuan, dan dia bingung. "Shaka ...," terus menggunakan n

  • Married to My Childhood Friend   126. Dessert

    "Kenapa nanya begitu? Mbak pikir aku orangnya kejam, ya, sampai nyuruh-nyuruh cewek yang aku suka? Ngomong-ngomong aku udah putus, loh, sama pacarku." Gilang syok. "Eits, nggak usah panik, tenang, tenang. Aku cuma nanya doang apa salahnya?" Nayla menyodorkan segelas air dingin kepada Gilang dan Gilang menerimanya dengan senang hati meskipun tatapannya masih memicing tajam. "Jangan-jangan ada motif tersembunyi." Gilang sudah payah menelan airnya. Beberapa detik saling pandang tanpa menemukan titik terang. Nayla tetap bersikeras berkata hanya ingin tahu. "Okay, kalau cuma itu gampang. Tapi hadiahnya segini banyak bukannya berlebihan apa?" mulut berbicara demikian, tapi tangan lain jawaban. Sibuk mencongkel es krim di dalam gelas. Wajahnya seketika membeku karena dinginnya es krim yang lumer di mulut. Dia bahagia sekali. "Ah, nggak apa-apa udah nikmatin aja. Buruan jawab keburu malam," singkat Nayla. Gilang berdecak pelan sambil berpikir, "Eee, kalau aku punya cewek yang cantik, s

  • Married to My Childhood Friend   125. Upaya Nayla Belum Usai

    Ingin dibilang rindu, tapi kebosanan lebih cenderung mendominasi, "Aku cuma bosan, bukan frustasi." Hanya mendengar sebaris pembelaan itu saja mata Shaka sudah terpejam. "Astaga! Cepet banget tidurnya. Dia pasti kecapean banget." perlahan Nayla menarik Shaka agar kepalanya dapat menyentuh bantal. Dia menyelimuti pria yang telah menjadi suaminya itu dengan hati-hati. Nayla terkikik sendiri, "Ternyata membuatmu senang itu terlalu mudah."Kemudian, dia ikut tidur dalam selimut yang sama. ~~~Nayla baru mengembalikan kamera ke Gilang karena kemarin lupa. Lagipula Gilang juga seharian tidak ada di kantor kemarin. "Makasih, ya, kameranya." dengan senyum lebar Nayla mengembalikannya. Gilang berdecak mengecek kameranya, "Kenapa mesti pinjam aku, sih? Mas Shaka juga pasti punya." "Hah, dia mana punya." Nayla mengibaskan tangannya. Gilang tidak percaya, "Mana mungkin nggak punya. Orang kaya begitu." "Shaka bukan tipikal cowok pengumpul barang-barang kaya gitu. Dah, ah, Bye-bye!" Nayla m

  • Married to My Childhood Friend   124. Air Hangat

    Nayla pulang lebih dulu. Di rumah tidak ada orang, sangat sepi belum lagi Shaka mengirim pesan kalau dirinya lembur. Dia bosan dan tidak ada pekerjaan. Jadilah sisa-sisa penghujung hari ini dijadikan sesi bersih-bersih dadakan. Menyapu, membersihkan debu, mengepel lantai, sampai mencuci ulang pakaian dan piring yang sudah bersih. Tirai-tirai pun diganti dengan yang baru sehingga rumahnya terlihat seperti baru dibangun. Nayla tersenyum lebar puas dengan hasil kerja kerasnya dan tidak ada lagi yang bisa dikerjakan. Rambut hitamnya tergerai panjang, kaos putih yang agak kebesaran dan celana longgar selutut menjadi pilihan dalam hidup santainya. Di kamar Nayla hanya duduk bersandar ranjang dan menunggu. Memainkan Handphone sampai bosan sambil sesekali melirik jam. Bisa dibilang hampir setiap menit dia melirik jam. "Huft, kapan Shaka pulang?" Saat layar Handphone-nya mati karena terlalu lama dibiarkan, terlihat pantulan bayangan dari kalung kristal yang dia kenakan. Senyum Nayla ter

  • Married to My Childhood Friend   123. Ditunda

    Keesokan harinya Nayla sudah ketar-ketir bagaimana harinya dimulai nanti di pukul dua belas siang. Segala macam pikiran buruk mampir di benak Nayla. Seperti menyapu, mengepel lantai, meskipun dia melakukannya sehari-hari tetapi rasanya mendengar perintah disuruh dari mulut orang lain itu menyakitkan. Nayla tidak mau melakukan itu lagi. Dia sudah lelah menjadi babu. Namun, apa yang dia dapat bukanlah seperti apa yang dia bayangkan. Di jam istirahat di mana seharusnya Shaka mulai menuntut janjinya, Shaka justru memberi pesan jika sebaiknya ditunda hari minggu saja karena Shaka ada banyak pekerjaan hari ini. "Apa?!" Nayla berteriak di mejanya membuat semua orang menoleh kaget. Nayla tersenyum minta maaf sebelum kembali berkutat dengan Shaka. "Shaka, kamu udah bikin aku pusing tujuh keliling jangan asal main batalin aja, dingz" begitu balasnya ke pesan Shaka. Lalu, jawaban Shaka terlalu singkat yaitu sebuah kata maaf. Nayla ingin membanting Handphone rasanya, tetapi kasihan Handphone-

  • Married to My Childhood Friend   122. Selfie Terbaik

    Mendung tiba-tiba menjarah cerahnya langit. Kenapa setiap hal yang terlihat begitu baik harus dihapus sesegera mungkin. Nayla belum puas bermain apalagi foto jeleknya di Handphone Shaka belum berhasil dibuang. Nayla menatap awan-awan kelabu tua itu dengan sangat gelisah, "Apa bakal turun hujan ekstrim lagi?" Tanpa dia sadari Shaka menariknya untuk terlentang berdua. Nayla terkesiap dan lengan kokoh Shaka menjadi bantalannya. Nayla menoleh, wajahnya sangat dekat dengan Shaka sehingga dia kembali menatap langit. Tidak bisa bangkit juga meskipun Shaka tidak menahan. Itu terasa sangat tenang di bawah mendung yang erus menyibak langit biru. "Kita begini aja sebentar," suara Shaka berbisik di telinga Nayla. Nayla terasa geli dan anehnya dia tidak protes. Angin yang bertiup bukan terasa panas lagi, tetapi dingin. Dingin yang sejuk seperti aroma hujan. "Kalau kita kehujanan gimana?" tangan Nayla menengadah seolah dapat meraih salah satu awan yang mulai saling menyambung, "Aku bisa menci

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status