Cahaya bintang jatuh di telapak tangan. Teras malam ini dingin tanpa perubahan cuaca. Nayla termenung terbayang akan dengung suara yang tak bisa hilang meski detik telah berlalu.
Rambut terurainya pun mengingat setiap perkataan di mobil itu.
"Apa maksudnya ... dambakanlah aku?"
Apa Shaka sudah gila? Nayla mendongak masih dengan telapak tangan terbuka.
"O-obat?"
Lantunan lirih kian keluar, kerutan di dahi pun bertambah.
"Untuk trauma?"
Sengatan kecil muncul ketika dia mengucapkan kata itu. Mata melebar dan bibirnya membulat, lintasan memori pun berputar di otaknya.
Nayla menghela napas dalam sambil menatap bintang, "Aku tau sekarang."
Tangannya mengepal mencoba meraih salah satu bintang.
"Tidak akan kubiarkan Shaka menjadi obat meskipun itu ubat paling mujarab sekalipun."
Mengatakan hal itu rasanya seperti menelan sesuatu yang sulit. Nayla hanya tidak ingin Shaka terjerumus ke dalam dunianya.
Di sisi lain, Shaka sedang membeli makanan di dekat rumahnya. Dia terkejut karena Nayla menunggunya pulang di teras.
Sebelumnya tidak ada yang pernah menunggunya dan rumahnya selalu kosong. Sekarang, sekali lagi Shaka dapati bahwa kehidupannya telah berbeda.
Senyumnya mengembang, bersyukur Nayla yang dia lihat ketika pulang.
"Wah, ayam goreng!" Nayla semangat membuka bungkus makanan yang sudah mereka bawa ke ruang tamu.
"Nasinya juga ada, loh." Shaka ikut-ikutan membukanya.
"Haha, aku lapar banget. Mari makan!" Nayla memakannya lahap seiring tatapan manis Shaka tak terlepas darinya.
Nayla pun menoleh kesal, "Hei, lihatin aku terus nggak bakal perut kamua kenyang, loh. Kalau enggak mau aku makan semuanya."
Shaka terkekeh pelan, "Jangan diambil semuanya." ikut memakan hak-nya meskipun sesekali melirik Nayla, "Nayla, aku beruntung kamu yang nikah sama aku."
Sontak seluruh ayam di mulut Nayla menyembur keluar. Dia terbatuk tak karuan dan sibuk meraih air dingin di botol.
Shaka melongo sebelum terkekeh lebih banyak, "Jelek banget kagetnya." suara tawanya membuat Nayla melotot.
"Kamu ... kamu sengaja mau jahilin aku lagi, 'kan?!" Nayla menunjuk Shaka kesal. Pipinya memerah.
"Mana ada? Aku cuma jujur sedikit." Shaka memberikan air lagi pada Nayla dan Nayla menerimanya begitu saja.
"Dasar aneh!" Nayla melengos setelah membalas.
Namun, hinaan itu bukanlah sebuah hinaan, lebih terdengar seperti candaan yang berasal dari hati.
Pipinya tak kunjung padam saat meminum air dari Shaka. Nayla terus memikirkannya. Perkataan-perkataan manis mereka yang terlontar tipis-tipis ternyata berdampak buruk bagi Nayla. Irama jantungnya bertambah tiap kali Shaka berulah.
Tak selesai dari itu, ketika mau tidur pum ranjang terasa panas dan aneh tidak seperti biasanya. Apa karena malam ini tidak hujan?
Duduk di tepi ranjang sambil melempar senyum redup yang manis.
"Nayla, boleh aku meluk kamu?"
"Ha?!" Nayla bergidik sekujur badan.
Shaka langsung tertawa dan berpose tidur miring dengan sebelah tangan menahan kepala, "Sebentar aja."
Sudut mata berkedut melihat tingkah Shaka yang di luar ekspektasi. Dia mengerang geregetan dan melempar wajah Shaka dengan bantal.
"Dasar gila! Kamu kenapa, sih? Aneh banget tau!"
"Aduh!" Shaka mengaduh mengambil bantal itu, "Cuma mau lebih dekat sama kamu nggak boleh?" Shaka sok sedih.
"Nggak!" pekik Nayla.
Nayla langsung merendahkan suhu ruangan. Kamar Shaka menjadi sangat dingin.
"Sshhh, dingin banget. Nggak kedinginan apa?" Shaka pura-pura menggigil.
"Enggak." Nayla menyibak selimut dan bersiap tidur.
"Padahal aku mau cuma mau menenangkan keadaan aja. Ini dingin banget, Nayla. Aku naikin suhunya, ya. Aku nggak kuat."
Nayla tidak peduli Shaka merubah suhu udara kamare menjadi seperti semula, dia hanya memejamkan mata lebih kuat tak mau mengindahkan setiap perbuatan Shaka.
Mengapa orang itu tiba-tiba berpikir ingin memeluknya? Membuat jantung Nayla hampir mati saja.
Keesokan harinya Nayla bingung karena Shaka sangat buru-buru ingin berangkat bekerja. Dia bilang ada masalah serius yang harus segera ditangani.
Shaka juga berpesan jika mungkin dirinya tidak bisa menjemput Nayla tepat waktu karena itu Shaka meminta agar Nayla menunggu dirinya sedikit lebih lama di kantor.
"Kenapa Mbak Nay, kok, kelihatannya lemes begitu. Ada yang salah sama arsipnya?"
Mendengar suara Gilang, Nayla yang hanya berdiri bengong di depan rak arsip sambil memegang catatan surat yang terkumpul beberapa minggu lalu menjadi terjingkat.
"Oh, nggak ada apa-apa ini cuma lihat-lihat aja siapa tau ada yang keliru." Nayla tersenyum tipis.
Gilang memicing, "Lagi banyak pikiran, ya?"
Nayla tersentak dan Gilang pum tertawa.
"Hahaha, benar, ya? Pasti gara-gara masalah rumah."
Gigi Nayla mengetat seketika. Berhasil ditebak dengan mudah membuatnya malu bukan kepalang, tetapi lebih baik diam saja. Nayla sedang tidak ingin membahas kegundahannya.
"Udah balik kerja sana. Ntar dimarahin bos, loh." usir Nayla pelan dan Gilang pun pergi.
Ketika jam pulang tiba, semua karyawan sudah berhamburan melarikan diri dari kantor, hanya Nayla yang masih duduk rapi dengan komputer yang sudah mati di mejanya.
Vira yang buru-buru keluar harus rela berhenti di ambang pintu.
"Nayla, kamu nggak pulang?" suara Vira sedikit keras.
Nayla menoleh, "Oh, kamu duluan aja. Aku masih lama."
Kening Vira berkerut, "Shaka belum jemput kamu?"
Nayla hanya tersenyum. Dia menghela napas panjang. Bahkan teman-temannya dapat mengidentifikasi raut wajahnya dengan mudah.
Nayla hanya kepikiran mengenai perilaku Shaka padanya. Terkadang cuek, terkadang sangat perhatian, dan terkadang aneh. Seolah-olah ingin mempererat hubungan mereka yang sudah terpisah bertahun-tahun.
Namun, bisakah Nayla menerimanya? Bahkan Nayla sempat berpikir bahwa Shaka mulai menyukainya.
Siapa tahu Shaka masih ada di situ. Sembari menyusuri tiap lorong dia membuka pintu yang bisa dibuka sambil menelepon Shaka. "Shaka, ayo angkat teleponnya." panik Nayla. Namun, tidak ada jawaban. Kalau begitu Nayla pulang. Dia ngebut tidak peduli lagi dengan peraturan lalu lintas asalkan bisa sampai rumah dengan cepat dan ternyata pintu rumahnya masih terkunci. Tidak ada mobil Shaka juga di sana. "Shaka?!" Nayla membuka pintunya dan berteriak, tetapi kosong. Sosok yang dia cari seakan menghilang tanpa jejak. Nayla gelisah menepuk dahi dengan sangat keras. "Kenapa aku nggak bisa nemuin kamu di mana-mana? Kenapa kamu nggak ada kabar seharian?" Suaranya sudah jatuh seperti langit saat ini. Angin menambah beban Nayla. Ia menyerang membuat pusaran di langit dan mengacaukan sekitar. Dedaunan mulai berterbangan bahkan suaranya berdengung di telinga Nayla. Dia menoleh ke segala arah. Kondisinya makin parah, detak jantungnya tak karuan, dan dia bingung. "Shaka ...," terus menggunakan n
"Kenapa nanya begitu? Mbak pikir aku orangnya kejam, ya, sampai nyuruh-nyuruh cewek yang aku suka? Ngomong-ngomong aku udah putus, loh, sama pacarku." Gilang syok. "Eits, nggak usah panik, tenang, tenang. Aku cuma nanya doang apa salahnya?" Nayla menyodorkan segelas air dingin kepada Gilang dan Gilang menerimanya dengan senang hati meskipun tatapannya masih memicing tajam. "Jangan-jangan ada motif tersembunyi." Gilang sudah payah menelan airnya. Beberapa detik saling pandang tanpa menemukan titik terang. Nayla tetap bersikeras berkata hanya ingin tahu. "Okay, kalau cuma itu gampang. Tapi hadiahnya segini banyak bukannya berlebihan apa?" mulut berbicara demikian, tapi tangan lain jawaban. Sibuk mencongkel es krim di dalam gelas. Wajahnya seketika membeku karena dinginnya es krim yang lumer di mulut. Dia bahagia sekali. "Ah, nggak apa-apa udah nikmatin aja. Buruan jawab keburu malam," singkat Nayla. Gilang berdecak pelan sambil berpikir, "Eee, kalau aku punya cewek yang cantik, s
Ingin dibilang rindu, tapi kebosanan lebih cenderung mendominasi, "Aku cuma bosan, bukan frustasi." Hanya mendengar sebaris pembelaan itu saja mata Shaka sudah terpejam. "Astaga! Cepet banget tidurnya. Dia pasti kecapean banget." perlahan Nayla menarik Shaka agar kepalanya dapat menyentuh bantal. Dia menyelimuti pria yang telah menjadi suaminya itu dengan hati-hati. Nayla terkikik sendiri, "Ternyata membuatmu senang itu terlalu mudah."Kemudian, dia ikut tidur dalam selimut yang sama. ~~~Nayla baru mengembalikan kamera ke Gilang karena kemarin lupa. Lagipula Gilang juga seharian tidak ada di kantor kemarin. "Makasih, ya, kameranya." dengan senyum lebar Nayla mengembalikannya. Gilang berdecak mengecek kameranya, "Kenapa mesti pinjam aku, sih? Mas Shaka juga pasti punya." "Hah, dia mana punya." Nayla mengibaskan tangannya. Gilang tidak percaya, "Mana mungkin nggak punya. Orang kaya begitu." "Shaka bukan tipikal cowok pengumpul barang-barang kaya gitu. Dah, ah, Bye-bye!" Nayla m
Nayla pulang lebih dulu. Di rumah tidak ada orang, sangat sepi belum lagi Shaka mengirim pesan kalau dirinya lembur. Dia bosan dan tidak ada pekerjaan. Jadilah sisa-sisa penghujung hari ini dijadikan sesi bersih-bersih dadakan. Menyapu, membersihkan debu, mengepel lantai, sampai mencuci ulang pakaian dan piring yang sudah bersih. Tirai-tirai pun diganti dengan yang baru sehingga rumahnya terlihat seperti baru dibangun. Nayla tersenyum lebar puas dengan hasil kerja kerasnya dan tidak ada lagi yang bisa dikerjakan. Rambut hitamnya tergerai panjang, kaos putih yang agak kebesaran dan celana longgar selutut menjadi pilihan dalam hidup santainya. Di kamar Nayla hanya duduk bersandar ranjang dan menunggu. Memainkan Handphone sampai bosan sambil sesekali melirik jam. Bisa dibilang hampir setiap menit dia melirik jam. "Huft, kapan Shaka pulang?" Saat layar Handphone-nya mati karena terlalu lama dibiarkan, terlihat pantulan bayangan dari kalung kristal yang dia kenakan. Senyum Nayla ter
Keesokan harinya Nayla sudah ketar-ketir bagaimana harinya dimulai nanti di pukul dua belas siang. Segala macam pikiran buruk mampir di benak Nayla. Seperti menyapu, mengepel lantai, meskipun dia melakukannya sehari-hari tetapi rasanya mendengar perintah disuruh dari mulut orang lain itu menyakitkan. Nayla tidak mau melakukan itu lagi. Dia sudah lelah menjadi babu. Namun, apa yang dia dapat bukanlah seperti apa yang dia bayangkan. Di jam istirahat di mana seharusnya Shaka mulai menuntut janjinya, Shaka justru memberi pesan jika sebaiknya ditunda hari minggu saja karena Shaka ada banyak pekerjaan hari ini. "Apa?!" Nayla berteriak di mejanya membuat semua orang menoleh kaget. Nayla tersenyum minta maaf sebelum kembali berkutat dengan Shaka. "Shaka, kamu udah bikin aku pusing tujuh keliling jangan asal main batalin aja, dingz" begitu balasnya ke pesan Shaka. Lalu, jawaban Shaka terlalu singkat yaitu sebuah kata maaf. Nayla ingin membanting Handphone rasanya, tetapi kasihan Handphone-
Mendung tiba-tiba menjarah cerahnya langit. Kenapa setiap hal yang terlihat begitu baik harus dihapus sesegera mungkin. Nayla belum puas bermain apalagi foto jeleknya di Handphone Shaka belum berhasil dibuang. Nayla menatap awan-awan kelabu tua itu dengan sangat gelisah, "Apa bakal turun hujan ekstrim lagi?" Tanpa dia sadari Shaka menariknya untuk terlentang berdua. Nayla terkesiap dan lengan kokoh Shaka menjadi bantalannya. Nayla menoleh, wajahnya sangat dekat dengan Shaka sehingga dia kembali menatap langit. Tidak bisa bangkit juga meskipun Shaka tidak menahan. Itu terasa sangat tenang di bawah mendung yang erus menyibak langit biru. "Kita begini aja sebentar," suara Shaka berbisik di telinga Nayla. Nayla terasa geli dan anehnya dia tidak protes. Angin yang bertiup bukan terasa panas lagi, tetapi dingin. Dingin yang sejuk seperti aroma hujan. "Kalau kita kehujanan gimana?" tangan Nayla menengadah seolah dapat meraih salah satu awan yang mulai saling menyambung, "Aku bisa menci