Share

TUJUH

“Kamu kira aku tidak memperhatikanmu sejak di restoran kemarin malam? Kamu disiram minuman oleh si pirang itu. Kamu pasti pria yang sangat bajingan sampai seorang wanita melakukan hal itu.”

“Bajingan. Tidak tahukah kamu, kalau itu kata yang kasar?”

“Untuk orang sepertimu, tidak. Apakah dia kekasihmu? Kalau itu benar, dan kalian putus karena pernikahan yang tiba-tiba ini, sebaiknya kamu kembali padanya. Aku benar-benar tidak tertarik dengan segala jenis pernikahan setelah putusnya hubunganku dengan Adam.”

“Ya, si pirang itu adalah kekasihku. She was. Dia sudah memiliki suami, dan kurasa kita bernasib sama. Sama-sama tidak bisa memiliki orang yang kita cintai.” Cintai? Attar tertawa dalam hati. Ia sama sekali tidak pernah mencintai siapapun!

Ruby menyeruput kopinya. “Hm, ini cappuccino kesukaanku.”

Attar tidak percaya dengan perempuan itu. Gila. Perempuan itu tidak peduli dengan kehidupannya, meski itu adalah kebohongan. Atau perempuan itu tahu bahwa Attar berbohong? Atau… Ruby hanya tidak ingin membahasnya, mengingat rasa sakit yang masih dirasakan perempuan itu? “Apakah ini kebetulan?” Attar memaksakan dirinya untuk tertawa. “Aku juga menyukai cappuccino di Ace Hotel.”

It’s so highly recommended. Adam tidak pernah kuajak ke sana. Kebetulan, dia tidak menyukai kopi. Apakah kamu suka kopi?”

Tidak. “Ya, tentu saja. Siapa yang tidak menyukai kopi?”

Ruby tersenyum. Yeah, dia tersenyum! Ada kebanggaan tersendiri bagi Attar untuk membuat perempuan itu tersenyum.

“Ada kafe yang enak selain di Stumpton. Di Brooklyn, namanya…”

“Gorilla Coffee, huh?”

Senyum Ruby melebar. “Kamu penggemar kopi, ya?”

Tidak, ia bukan penggemar kopi. Namun saat ia berpacaran dengan Lucy, ia sering diajak ke sana oleh wanita pirang itu. Brooklyn adalah tempat yang pas untuk pasangan yang memiliki hubungan gelap seperti mereka.

“Kamu ingin ke sana? Sekarang?”

“Tidak,” jawab Ruby. “Hari ini aku harus latihan bernyanyi di apartemenku. Aku akan tampil di The Living Room.”

“Kamu seorang penyanyi? Like Beyonce?”

“Hanya penyanyi indie, and not as famous as her.

“Kenapa harus menjadi penyanyi indie?”

Ruby mengangkat bahunya. “Aku hanya senang melakukannya. Apa pekerjaanmu? Penerus usaha keluarga?”

“Sekarang aku menjadi direktur di perusahaan kakekku.”

“Oh, ya, I know. Itu seperti garis takdir, ya? Anakmu kelak akan meneruskan usahamu, dan begitulah seterusnya. Aku hanya wondering, kenapa harus seperti itu. Di keluargakupun juga menganut kebiasaan itu. Itulah sebabnya aku tidak mau kembali ke Jakarta.”

“Kamu tidak ingin menjadi penerus usaha keluargamu? Atau setidaknya, menjadi sosialita seperti ibumu?”

“Tidak.”

“Kenapa?” tanya Attar penasaran. “Bukankah itu adalah kebanggaan seorang wanita? Memamerkan hartanya di acara arisan? Atau menunjukkan kecantikannya di pesta?”

Tergelak Ruby mendengarnya. “Itu sangat membosankan, Hardana.” Ruby bangkit dari duduknya. “Meet on Monday at The Living Room, okay?”

What time?”

Seven pm. Have a nice day.”

Lengan Ruby ditahan oleh Attar. “Hey, kamu tidak sesibuk itu, kan? Hari ini aku tidak memiliki kegiatan, mungkin aku bisa mendengarkan ceritamu mengenai kegiatan sosialita yang membosankan. Mungkin dengan begitu kamu bisa memanggil nama kecilku saja.”

Sesaat Ruby mempertimbangkan atas tawaran Attar. “Well, just promise me one thing.”

Ruby duduk kembali di sebelah pria itu. “Jangan tidur saat aku bicara. Karena sekian banyak orang yang mendengarkanku bicara, mereka jatuh tertidur. Yah, hanya Adam yang bisa bertahan. Apakah kamu bisa melakukannya?”

Tidak ada yang bisa dilakukan Attar selain menerima syarat itu. Dan ia tidak menyesal sempat membeli kopi untuk dirinya. Ya, dan belum sampai setengah jam bicara, perempuan itu merasakan kebosanan yang dirasakan Attar. “Ok, I’m sorry. Aku terlalu banyak bicara, ya.”

Just keep talking. Ini caraku untuk fokus mendengarkan orang.” Attar menguap, lalu memaksakan untuk tersenyum manis.

“Kamu tidak perlu menggodaku, Har—Attar. Kamu lebih baik jujur daripada talking some shit. Itu membuatku muak, oke?”

Untuk sesaat Attar cemberut karena Ruby sempat memanggilnya dengan Hardana, namun ia mencoba untuk bersikap tenang dan rasional. “I’m serious, Nia. Lanjutkan ceritamu.”

Nia?”

Rubinia?”

“Ya, tapi tidak ada yang memanggilku itu sebelumnya.” Ruby merasa aneh dengan panggilan itu, apalagi Attar-lah yang pertama kali memanggilnya Nia. Dan cara pria itu melisankannya seolah… entahlah, seperti seseorang yang telah lama mengenalnya.

“Apakah kamu keberatan?”

“Tidak sama sekali.”

“Kalau begitu tolong jelaskan padaku mengapa kamu kesal sekali dengan kehidupan socialite. Karena pendapatku sangat bersebrangan denganmu. Memiliki banyak teman adalah hal yang menyenangkan, Ruby, apalagi teman yang berasal dari kalangan yang sama.”

“Oh, benarkah? Dulu sebelum aku mengenal Adam, aku berteman dengan orang-orang seperti mereka. Pernah sekali aku iseng bilang perusahaan keluargaku bangkrut, dan sehari kemudian mereka tidak menyapaku lagi. Lalu ketika mereka tahu apa yang aku katakan bohong, mereka memintaku untuk mentraktir mereka di Dragonfly, tempat clubbing. Sebenarnya, bukan uang atau tempat yang mereka pilih, tapi cara mereka berpikir yang membuatku kapok berteman dengan orang-orang seperti mereka.”

“Jadi kamu trauma. Apakah itu alasanmu untuk tinggal di sini?”

Ruby memandang Attar sesaat, seolah memastikan apakah laki-laki ini bisa dipercaya atau tidak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status