Cucu dari Hasyim Hardana. Perempuan macam apa Rubinia ini? Attar harus membuat perempuan itu tahu, bahwa kekayaan keluarga Hardana jauh di atas keluarga perempuan itu, menurut majalah Forbes tahun ini. Atau… perempuan itu tidak peduli?
Perempuan itu telah berpacaran dengan pria kelas menengah. Attar mengenalnya di kelompok alumni Stanford di Indonesia. Tidak dekat memang, tapi setidaknya, mereka saling mengenal. Dan mudah bagi Attar untuk meminta nomor ponsel Ruby, dengan dalih ia ingin menawarkan pekerjaan pada Ruby.
Sebelum ke NYC, Attar sudah menyelidiki kehidupan Ruby; pekerjaannya, tempat tinggalnya, dan kekasihnya. Namun ia simpan itu semua dari keluarga perempuan itu. Mungkin, itu bisa menjadi senjatanya untuk mengancam perempuan itu agar mau menikah dengannya.
“Apakah saya belum memberitahu nama saya, Rubinia?“ desis Attar menahan marah.
Perempuan itu mengangkat bahu. “Mungkin?“
Benarkah, benarkah, benarkah, ia harus menikah dengan perempuan ini? “Nama saya Attar, Ruby.“
“Langsung to the point aja. Jadi, gimana caranya, pria asing sepertimu bisa mendapatkan nomor telepon saya? Dari… Adam?” Suara Ruby memelan ketika melisankan nama mantan kekasihnya.
“Kamu adalah calon istriku. Sudah seharusnya kan aku mengancam pria yang ingin menghalangi hubungan kita?“ Senyum licik tersungging di bibir Attar. “Aku bilang aku kehilangan nomor calon istriku, dan ia memberikannya…”
“Kamu mengancamnya?” Kedua mata Ruby membesar. “Oh, benarkah?” Perempuan itu kemudian tergelak, membuat Attar bingung. Sudah gilakah perempuan ini?
“Ya, dan kamu.. marah?”
“No! Of course no!” Ruby tertawa lagi. “Kamu tahu, tidak ada yang pernah melakukan itu sebelumnya. Lalu apa reaksinya? Apakah dia cemburu?”
“Tidak, dia tidak cemburu. Ia justru memberikan selamat pada pernikahan kita.”
Tawa Ruby mengembang di udara. “Apa?”
Dalam hati Attar ingin tertawa. Mudah sekali membuat perempuan itu kesal. Dan entah mengapa, Attar senang melihatnya, meskipun ia harus berdusta. “Ya, dia terlihat biasa saja. Yang jelas, dia berpesan padaku untuk menjagamu, agar kamu tidak menemuinya lagi.”
Ruby memukul lengan Attar. “Trik apa yang kamu lakukan padanya? Mengapa dia bisa melakukan hal itu? Adam tidak akan pernah bisa melupakan aku, meski dia tidak bisa menikahiku!”
Attar berusaha untuk menutupi kesakitan di lengannya. Perempuan ini pasti pernah ikut kegiatan olahraga tinju atau semacamnya. Benar-benar sakit. “Kamu bisa marah padaku atas kesakitan yang ia torehkan pada hatimu.”
Jawabannya membuat Ruby tercengang. Seketika perempuan itu sadar. “Maaf, apakah terasa sakit?” Ruby menjatuhkan semua belanjaannya dan memeriksa lengan Attar, namun Attar menepisnya.
“Tidak ada yang luka,” sahut Attar. Ya, sedikit sakit, dan ia rasa akan sulit menemukan tukang urut seperti langganannya di Jakarta di kota seperti NYC ini. “Kecuali harga diriku yang terluka.”
“Oh, benarkah?” Perempuan itu mengambil semua plastik belanjaannya dan menatap Attar dengan tatapan meremehkan. “Hanya karena dijodohkan denganku, harga dirimu terluka?”
“Ya, rasanya seperti kamu yang tak kunjung dilamar oleh mantan kekasihmu.”
“Tentu saja berbeda. Dari dulu aku tahu aku tidak akan bisa menikah dengannya. Tapi kamu.. kita, maksudku. Tidak pernah tahu kan kalau kita akan dijodohkan. Dan seperti yang sudah kubilang, kedatanganmu hanya sia-sia. Kita tidak akan menikah.”
“Kenapa?”
“Mungkin kamu bisa menjelaskan mengapa kamu tidak memberikan itu.” Ruby menunjuk gelas kopi yang ada di tangan Attar.
“Well, my bad.” Attar menyodorkan segelas kopi itu untuk perempuan itu. “Aku terlalu asyik melihat wajahmu yang lucu.”
“Lucu?” Ruby tertawa. “Banyak yang bilang wajahku seperti anak kecil karena sikap manjaku. Jadi, jangan menghiburku dengan bilang aku lucu.”
“Sekarang giliranku yang bertanya. Kenapa kita tidak bisa menikah, Ruby?”
“Kamu benar-benar bodoh atau pura-pura?” Ruby menghela napas panjang. Ia memutuskan duduk di bangku yang kosong, disusul oleh Attar yang duduk di sebelahnya. “Aku baru saja putus dengan kekasihku,” lanjut Ruby. “Orang yang sudah lama denganku saja tidak ingin menikah denganku. Apalagi.. kamu.”
“Aku tidak keberatan jika harus menunggu beberapa tahun,” sahut Attar tenang. “Aku juga tidak ingin menikah dengan terpaksa.”
“Aku bisa bilang pada kakekku agar pernikahan itu dibatalkan. Kamu tidak harus terikat denganku.”
Oh, tidak bisa. Itu artinya Attar tidak mendapatkan warisan serta istri yang cantik jelita seperti Ruby. “Mengapa kamu sangat pesimis, Ruby? Aku tidak mencari perempuan yang sempurna, kok.”
Kebohongan untuk beberapa kali mungkin bisa membantunya. Atau mungkin, akan sesering mungkin ia berdusta di depan Ruby. Attar pandai dalam segala hal, termasuk meninggikan hati wanita dengan berbohong.
"Omong kosong," gumam Ruby.
“Maaf?”
“Semua pria bisa berkata demikian jika memiliki maksud terselubung. Apalagi kamu. Kalau kamu bukan bagian dari keluarga Hardana, mungkin aku akan mengecapmu sebagai pria bajingan.”
“Boleh aku tahu kenapa?”
Ruby menatapnya dengan sinis.
“Bagaimana dengan kontrak itu? Ketika kamu bilang mengenai lamaran itu, aku teringat pada kontrak itu.” “Curse the contract. Kamu tidak akan meninggalkan suamimu yang satu ini, kan?” Attar terus mencium, menggigit, leher serta bahu istrinya. “I will never give up on you, Rubiniaku. You’re the light of my life, I love you so much. Way too much.” “Attar, katakan dulu apa yang terjadi dengan kontrak itu.” Ruby membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya dengan penuh tuntutan. “Apa yang kamu lakukan dengan perjanjian itu?” “Well, aku tidak peduli dengan perjanjian itu. Kakekmu juga sudah tidak ada, bukan? Bahkan notaris yang menyaksikan perjanjian itu sudah pergi juga. Dan aku.” Attar terdiam sejenak. “Aku tidak perlu kontrak atau jaminan apa pun untuk memilikimu dan anak-anak.” “Benarkah?” “Mau taruhan? Sebelumnya, aku ingin tahu apakah aku masih kuat menggendongmu atau tidak.” Dengan tubuhnya yang kekar Attar ma
ItaliaPemuda dengan memakai kemeja kotak-kotak menggandeng gadis kecil berambut panjang. “Papa!” teriak gadis kecil itu.“Miriam!” Attar menghampiri putri kecilnya dan menggendongnya. “Bagaimana jalan-jalannya dengan Kak Eda?”Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Attar bersyukur, dengan kesehatannya yang semakin membaik, dan di usianya yang menginjak empat puluh, ia mendapat semuanya—anak-anak yang cantik dan tampan yang pintar—istri yang begitu sabar menghadapinya. Kehidupannya sangat sempurna tujuh tahun terakhir, setelah puluhan tahun sebelumnya ia habiskan dengan kebohongan dan kemarahan yang tak terkendali.Attar menamakan anak keduanya Miriam. Sebagai tanda hormatnya pada sang nenek yang sudah lama pergi. Nenek yang dicintai kakeknya, yang akan selamanya Attar kenang akan kebaikan sang kakek semasa hidupnya.Sebelum meninggalkan Hardana Land dan tinggal di Singapura, Attar melakuk
“Kata Tante Nina, Oom Attar tidak bisa bawa yang berat-berat dulu sejak serangan kayak Kakek.”Anak kecil tidak mungkin berbohong. Agar tidak membahas lebih lanjut, Attar bangkit dan mengajak istrinya untuk ke kamarnya yang berada di lantai yang sama. Sebelumnya ia menitip pesan pada Eda untuk menemani Kakek Malik dan Nenek Lenny di sana.Ketika Attar mendorong kursi roda istrinya ke kamar, sosok Kakek Gun dan keluarga Adiwangsa lainnya muncul. Mereka menjelaskan bahwa di luar macet sekali hingga Kakek Gun harus naik helikopter dari Menara Adiwangsa yang lokasinya tak jauh dari rumah.Kakek Gun meminta Ruby untuk beristirahat dulu sementara keluarga Adiwangsa menjenguk Hasyim. Ruby menolak, namun tak punya pilihan karena Edo dan Shera ikut mengkhawatirkan keadaannya.Begitu sampai kamar Attar membantu istrinya untuk bangun dan berbaring di tempat tidur. Dipastikannya kepala istrinya sudah nyaman dengan bantalnya. Kemudian ia duduk di tepi temp
“Kakek saya tidak pernah terlihat sakit.”“Anda pun juga begitu. Tapi Anda pernah serangan juga, bukan?” Dokter Prapto, dokter yang sama yang menangani Attar ketika ia dirawat. “Sekarang temuilah anggota keluarga yang lain di lorong, Pak Attar.”Dengan lemas Attar keluar dari kamar kakeknya. Di lorong sudah ada semua anggota keluarga Hardana, termasuk dari keluarga menantu. Adam, Fariz, dan sepupu yang lain memeluknya, memberi semangat padanya.Attar menghampiri istrinya yang duduk di atas kursi roda di pojok sebelah ibunya. Sebelumnya Attar memeluk mama-papanya, dan meminta Eda untuk mendoakan kakek buyutnya agar cepat sembuh.Ia duduk di kursi yang paling dekat dengan istrinya. “Bagaimana ceritanya? Kata Pak Mahdi dia serangan di kamarmu.”Ruby mengangguk. “Kakek mengakui semuanya di depanku.”“Apakah kamu menyakitinya?”Mata Ruby menyipit. Apakah suaminya berni
“Kakek Hasyim,” kata Ruby. “Ada perlu apa kemari?” Tidak perlu bertanya sebenarnya. Ia tahu apa yang ingin dikatakan kakek. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya. Tapi Ruby tidak tertarik. Yang diinginkannya adalah menemui Attar, membahas jenis kelamin bayinya.“Apakah Attar belum memberitahu bahwa aku…”“Kakekku? Sudah.”Ketenangan yang ditunjukkan Ruby membuat Hasyim terbelalak. “Kamu tidak marah atau benci padaku, Rubinia…”“Saya tidak punya pilihan, bukan,” jawab Ruby sinis. “Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan. Attar tidak dipenjara, dan saya telah menikah atas kehendak Anda.”“Ruby, saya tidak menyangka kamu berpikir seperti itu mengenai saya…” Hasyim mengira dirinya sudah baik pada cucunya yang satu ini. Ia telah lama berdiam diri dengan fakta yang ditelannya puluhan tahun. Dan reaksi Ruby adalah beban besar untuk
Armand memiliki temper yang sulit diduga. Ketika Edo masuk usia remaja, sikap Armand berubah pada putranya. Kasih sayang yang dulu disalurkannya pada anak-anaknya sirna begitu saja. Berganti dengan kemarahan karena anak-anaknya tidak ada yang menghargainya sebagai kepala rumah tangga, kebenciannya pada Gunawan yang tak pernah bersikap tegas padanya, bahkan seakan menunjukkan sikap tidak sayang pada anaknya dengan mendukung hubungan Armand dengan Hasyim.Hingga suatu hari Hasyim melakukan kesalahan.Dia tidak bisa mengekang dirinya untuk mengakui Armand. Pada acara open house Lebaran yang diadakan keluarga Adiwangsa, ia memanggil Ruby dengan sebutan yang tak biasa. “Hai, gadis kecil. Tidak salam pada kakekmu?”Ruby menoleh padanya dengan heran. Saat itu ia sudah remaja dan dia bukan cucu Hasyim. “Saya bukan Nina,” kata Ruby kikuk.“Tentu saja. Kamu Rubinia. Cucuku.”Percakapan mereka tidak berlanjut tatka
“Mustahil untuk membuka pintu maafmu,” bisik Attar di lehernya. “Aku insyaf, lelaki yang kini menjadi suamimu lelaki yang serakah, meraup apa yang diinginkannya, dan sekarang kamu menyadarkan aku bahwa malaikat pun tak sanggup memaafkan aku.”“Aku bukan malaikat,” jawab Ruby, masih memunggungi suaminya. “Aku hanya wanita tolol yang mencintaimu.”“Aku tetap suamimu, Nia. It’s my duty to ease your ache, and…” “Berhentilah mengesankan kamu melakukan ini karena statusmu,” bentak Ruby. Ia berbalik menatap suaminya. “Bisakah sekali saja kamu katakan padaku, kamu merawatku, menolongku, karena kamu seorang manusia yang memiliki hati nurani? Seorang suami yang mencintai istrinya?”“Kalau pun aku mengatakannya, kamu tidak akan percaya lagi padaku,” jawab Attar kaku. “Aku tidak perlu membusakan mulutku dengan janji-janji lagi. Aku akan buktika
“Mengapa kamu di sini?”“Mengapa aku di sini?” Suara Attar meninggi mendengar pertanyaan istrinya. “Well, kenapa aku harus di tempat lain di saat istriku sedang dirawat?”“Kamu terbiasa di kantor setiap akhir tahun atau bersama Nina dan yang lainnya berpesta menyambut tahun baru.”“Aku tidak begitu semangat di Hardana Land untuk saat ini. Bagaimana menurutmu jika aku pindah ke perusahaan Stephen? Hm, Stephen ini teman Fariz yang waktu itu kuceritakan. Dia yang menawarkan aku jadi CEO di Osvaldo Property.”Ruby mengernyit tanda tidak setuju. “Itu artinya kita akan tinggal di Singapura?”“Kita bisa berpisah dan aku bisa pulang setiap akhir minggu. Yah, mungkin juga tidak, karena uangku tidak akan sebanyak saat di Hardana Land dan aku tidak bisa memesan pesawat pribadiku sesukaku di sana.”“Aku tidak setuju jika kita harus berpisah. Maksudku, kita
“Mengapa tidak kamu saja yang melakukan proyek ini? Aku yakin kamu bisa menggantikan aku di sini. Kamu lebih berhak.”“Oh, Tara, bahkan aku tidak merasa ada bedanya kamu cucu Kakek atau bukan,” dengus Fariz. “You’re always my leader, cousin. Aku menyesal telah mengantarkan pesan Stephen mengenai tawaran itu. Mereka selalu welcome kapan pun kamu menerima mereka.”“Tidak ada ketegasan sekali. Mengapa tidak mencari CEO lain saja?”“Memang banyak pengusaha properti yang sukses, tapi mereka memilih untuk menjaga perusahaan mereka sendiri. Stephen berpikir dengan anggota keluarga Hardana yang banyak, melepasmu bukanlah masalah besar untuk kita. Tapi nyatanya, itu masalah juga.”“Aku percaya padamu.”“Tidak, Attar,” jawab Fariz tegas. “Aku akan sangat membencimu jika kamu meninggalkan perusahaan ini. Aku tahu passion-ku bukan di sini.