Share

Married with My Best Friend (INDONESIA)
Married with My Best Friend (INDONESIA)
Author: Pixie

Bab 1. Malam yang Tak Biasa

“Akh! Sakit, Ridan! Pelan-pelan masuknya,” pekik Vela sembari meringis. Mata bulatnya kini melotot jengkel.

“Ini pelan, kok. Sekarang, jangan gerak-gerak, ya! Tadi aku sudah masuk sedikit. Karena kamu bergerak, ini jadi keluar lagi,” timpal Eridan sambil tetap fokus dengan tangannya.

Nononooo! Ridan! Masuknya yang benar, dong. Itu enggak kena lubang,” protes sang wanita seraya menepuk lengan kekar dalam jangkauannya.

“Sabar, Bawel! Ini tuh susah. Ujungnya rada bengkok, sedangkan lubangnya sempit banget,” gerutu sang pria.

“Memangnya, itu enggak bisa diluruskan?”

“Mana bisa? Ini aslinya memang bengkok.”

Vela pun menghela napas pasrah. Akhirnya, perempuan itu menunggu tanpa suara. Apakah keheningan itu berlangsung lama? Tentu saja tidak. Belum lewat lima detik, Eridan sudah kembali mendapat protes darinya.

“Kamu tuh sebenarnya bisa enggak, sih?”

Alis si laki-laki pun berkerut tak terima. “Bisa,” sahutnya yakin.

“Tapi, ini sudah lima menit dan lubangnya masih belum tembus juga. Padahal, barangnya kecil begitu,” celetuk Vela menyindir.

Kesabaran Ridan akhirnya terkikis habis. Laki-laki itu kini menatap sang wanita dari sudut atas matanya. “Kamu mau menusuknya sendiri?” tanya pria itu datar.

Senyum usil Vela pun mengembang. “Hehe …. Enggak,” gelengnya.

“Kalau begitu, diam,” ujar Ridan sambil menjepit bibir perempuan itu dengan jari-jarinya.

“Ih, Ridan! Awas kalau sampai lipstik aku berantakan, ya,” omel Vela lagi-lagi melengking.

“Kalian berdua ini kenapa, sih? Berisik banget. Tetangga yang dengar bisa salah sangka, tahu?” ujar Roger, teman serumah kontrakan Eridan. Laki-laki berkaus oblong itu hanya menampakkan kepala dari celah pintu.

“Itu berarti, pikiran tetangga kalian perlu dibersihkan. Coba dicuci pakai detergen, deh,” timpal sang wanita sambil mengerucutkan bibir.

“Nah, setuju!” angguk Ridan yang sudah kembali fokus pada benda kecil di tangannya.

Sementara itu, Roger hanya bisa menggeleng. Ia tak habis pikir dengan kekompakan dua orang itu. “Kalian mau pinjam mobil gue, kan?” tanya pria itu kemudian.

“Ya!” jawab Vela dan Ridan serempak.

“Oke, kunci mobilnya di rak depan, ya. Gue mau pergi dulu. Kalian berdua … selamat bersenang-senang,” ujar laki-laki berambut cepak itu.

Seperginya Roger dari kamar, sepasang sahabat itu mulai cekikikan.

“Kamu sih, enggak bisa kontrol suara,” bisik Ridan.

“Eh, kamu juga, ya. Bukan cuma aku yang salah,” timpal si perempuan seraya meruncingkan telunjuk ke wajah temannya.

“Lagian, kamu kenapa, sih? Vela yang aku kenal tuh enggak pernah pakai anting, enggak pernah pakai gaun, apalagi make up. Tapi malam ini, kamu beda banget,” tutur laki-laki yang akhirnya berpindah ke sisi kanan Vela. Sebuah bulatan emas besar sudah tergantung di daun telinga kiri perempuan itu.

“Ya, kamu kan tahu sendiri keluarga besarku seperti apa. Mereka selalu mengomentari penampilanku. Aku enggak mau dipandang sebelah mata lagi sama mereka,” jawab Vela mengutarakan kekhawatirannya.

“Eh, tunggu dulu. Memangnya, apa yang salah sama penampilan kamu yang biasa?” tanya Ridan heran.

“Terlalu cupu, kurang berkelas, kurang wah,” sahut sang wanita seraya memutar bola mata.

“Eh, akhirnya … Vela mengaku,” ledek sang pria seraya mencolek ujung hidung lancip sahabatnya. Sudut bibir yang semula terkulai pun spontan terangkat semringah.

“Bukan begitu, Ridan. Itu kan pendapat mereka. Aku cuma lelah saja dikomentari terus. Mungkin dengan tampil seperti ini, mereka enggak bakal mengatur-atur hidupku lagi,” terang Vela dengan nada ringan.

“Oke, oke, aku mengerti. Tapi … apa karena itu juga, kamu mengajakku ke acara malam ini? Biar enggak ada yang bilang kamu jomlo seumur hidup? Atau jangan-jangan, kamu takut dijodohkan lagi?” simpul Ridan tanpa perlu berpikir panjang. Tawa datar sang wanita pun terdengar.

“Jangan mengada-ada, deh. Aku enggak minta kamu pura-pura jadi pacarku, ya. Kamu cuma perlu menemaniku saja, karena aku enggak nyaman kalau datang ke sana sendirian,” jelas Vela seraya memutar badan menghadap si penanya. Anting-anting berwarna emas kini telah terpasang pada kedua telinganya, terlihat sangat cocok dengan gaun merah marun yang membalut tubuh langsingnya.

“Lalu, bagaimana kalau nanti ada yang tanya, aku siapa?” tanya Ridan sambil menarik ringan hiasan pada kuping sahabatnya. Setelah yakin hasil kerjanya sempurna, barulah ia menempatkan tangan pada kedua pinggangnya.

“Kamu hanya perlu menjawab jujur,” sahut sang wanita tanpa beban.

“Sahabat?”

“Ya,” angguk Vela cepat.

Tiba-tiba saja, sebuah desah tawa terlepas dari mulut Ridan. “Vel, kamu tahu, kan? Enggak semua orang percaya kalau cewek dan cowok bisa bersahabat,” tutur laki-laki yang kini mengayun-ayunkan telunjuknya.

“Aku tahu. Kalau mereka enggak percaya, berarti itu urusan mereka. Yang penting, kita sudah jujur,” ujar Vela sebelum mengembangkan senyum manisnya.

Selang satu kedipan, mata perempuan itu tertuju pada kalung yang belum pernah terlihat di leher Ridan. Tanpa ragu, Vela menarik rantai kecil itu keluar dari balik kemeja merah. Sebuah cincin kini berada di atas telapak tangannya.

“Ini cincin yang mau kamu kasih ke Cassie, kan? Kenapa masih kamu bawa-bawa?” selidik Vela dengan nada tak senang. “Jangan bilang kamu masih berharap padanya?”

“Enggak, kok,” sanggah sang pemilik kalung sembari merebut cincin itu dan menyembunyikannya ke tempat semula. “Untuk apa mengharapkan cewek mata duitan? Dia pasti sudah menemukan cowok lain yang kaya dan bisa memenuhi semua keinginannya,” sambung Ridan dengan suara pelan.

“Bagaimana kalau Cassie kembali saat kamu sudah dapat kerja lagi? Kalian putus karena kamu berhenti kerja, kan?” gumam Vela menguji perasaan sahabatnya.

“Cih, mustahil!” timpal Ridan seraya melirik ke arah lain. Tanpa sengaja, indra penglihatannya terpaku pada jam dinding. Ia baru sadar sudah terlalu lama bermain-main dengan anting sahabatnya. “Vel, berangkat sekarang, yuk!” ajaknya kemudian.

“Ayo!” angguk sang wanita seketika lupa dengan pembahasan tentang mantan kekasih Ridan.

Tanpa basa-basi lagi, Vela meraih tas di atas meja lalu melangkah keluar kamar. Perempuan itu tidak sadar bahwa sang sahabat sempat menghela napas berat. Setelah menelan ludah pahit, Ridan pun menyusul keluar kamar. Bersama-sama, mereka pergi ke acara yang akan menguji ketulusan hati mereka. Malam ini sungguh akan berbeda dari biasanya.

***

“Halo, Oma!” sapa Vela begitu tiba di hadapan seorang wanita berambut putih dengan bando hitam yang menghiasi kepalanya.

“Eh … Vela?” timpal wanita tua yang tersenyum canggung. Ia tampak terkejut dengan kehadiran cucunya.

Sadar akan respon yang sama sekali tidak hangat itu, Vela hanya bisa menutupi kesedihan dengan mempertahankan lengkung bibirnya. “Selamat ulang tahun, ya, Oma,” ujarnya sambil merentangkan tangan memeluk sang nenek.

Alih-alih balas mengalungkan lengan, Oma Stela hanya duduk diam. “Kamu datang?” ucap wanita tua itu tanpa terduga. Bahkan, Ridan pun menaikkan alis mendengarnya. Bukankah pertanyaan itu mengartikan bahwa kehadiran Vela tidak dinantikan?

“Hm, iya, Oma,” sahut sang cucu sambil melepas dekapan. Dirinya tahu jika sang nenek merasa tidak nyaman, sama seperti yang ia sembunyikan dalam hati. Selang keheningan sejenak, kekakuan Vela akhirnya dipecahkan oleh suara sahabatnya.

“Selamat ulang tahun, ya, Oma,” tutur Ridan sembari menyodorkan salam.


“Ah, terima kasih. Ini siapa, Vela?” tanya sang nenek basa-basi. Suaranya memang menghangat, tetapi ekspresinya masih sebeku es.

“Ini Ridan, Oma. Teman Vela,” jawab sang cucu singkat.

“Oh,” timpal wanita tua bergaun biru itu datar. Sudah jelas bahwa ia tidak tertarik untuk melanjutkan perbincangan.

“Ah, iya …. Aku punya kado kecil untuk Oma,” ujar Vela seraya mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah bando hitam berhiaskan manik-manik halus pun terlihat. Kerut alis sang nenek seketika berubah menjadi lengkung tinggi. Wanita tua itu tidak menduga akan mendapat kado yang begitu sederhana.

“Semoga saja, Oma suka dengan bando ini,” tutur Vela terdengar seperti harapan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menyerahkan kado kecilnya.

Belum sempat hiasan kepala itu sampai di tangan sang nenek, perempuan lain sudah lebih dulu menghambur memeluk Oma Stela. Entah disengaja atau tidak, tubuh Vela terdorong ke samping. Bando di tangannya pun terlepas dan jatuh ke lantai. 

Pixie

Hello, Wise Reader! Terima kasih sudah membaca bab ini. Kalau suka, jangan lupa masukkan ke pustaka kalian, ya! Dan, kalau berkenan, mohon beri review untuk Vela dan Ridan. :) Terima kasiiiih

| 5
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Park Soeun
cincin atau kalung nih?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status