Share

Bab 2. Tak Dianggap

“Oma … Virgo datang!” sapa perempuan dengan perhiasan lengkap itu ceria. Berbeda dengan penyambutan terhadap Vela yang sangat tegang, senyum sang nenek kini malah terbentang lebar. Dengan penuh semangat, wanita tua itu menepuk-nepuk punggung cucu kesayangannya.

“Cucu Oma yang paling cantik ini selalu saja penuh kejutan. Terima kasih, ya, sudah datang,” ucap sang nenek sukses mengecilkan hati Vela. Perempuan malang itu kini menelan ludah dan tanpa sadar, melangkah mundur dari posisi semula. Ia sadar bahwa dirinya sudah terlupakan.

“Iya, dong. Ini acara ulang tahun Oma. Aku wajib datang, dan … bawa kado istimewa. Tada!” Virgo pun menunjukkan kotak kecil di tangannya. Mata keriput sang nenek sontak membulat dan bercahaya.

“Apa ini, Virgo? Jam tangan keluaran terbaru? Wah, bagus sekali! Terima kasih, Sayang,” seru Oma Stela seraya mengangkat jam tangan bertabur berlian itu lebih tinggi agar pantulan cahayanya terlihat lebih indah.

“Vela, are you okay?” bisik Ridan yang sudah berdiri di dekat sahabatnya. Kepala Vela yang semula tertunduk pun kembali tegak.

“Ah, ya,” angguk wanita itu sambil memaksakan senyum. Dengan gerak kepala kaku, ia pun menoleh ke arah sang nenek yang sibuk mendengarkan penjelasan Virgo tentang kado spesialnya.

“Hm, Oma …. Kami ke sana, ya. Mau menyapa yang lain,” tutur Vela dengan suara bergetar.

“Ya, ya,” sahut sang nenek dengan hanya melihat sekilas.

Setelah mengangguk kaku, cucu yang tidak dianggap itu melangkah gontai tanpa arah. Yang ia tahu, dirinya harus menjauh dari tontonan yang menyakitkan itu.

“Vel, kamu yakin, baik-baik saja?” tanya Ridan sembari menyentuh punggung yang tampak menyedihkan. Vela pun menghentikan langkah dan menoleh ke arah sahabatnya.

“Kamu lihat, kan? Itu baru Oma, belum yang lain. Kamu bisa bayangkan apa yang terjadi kalau aku datang sendirian. Miris. Pokoknya, setelah acara tiup lilin, kita langsung pulang. Oke?” jelas perempuan itu dengan senyum yang perlahan mulai pulih.

“Enggak makan, dong?” timpal Ridan sukses memancing tawa.

“Makan, dong. Kamu sudah lapar?” tanya Vela yang memang selalu perhatian kepada sahabatnya.

“Sedikit,” sahut sang pria seraya mengangkat telunjuk dan ibu jarinya.

“Kalau begitu,” ucap Vela sembari memutar kepala, menyisir kondisi sekitar, “kita makan kue saja, yuk! Sebelum tamu yang datang semakin ramai.”

Setelah anggukan setuju dari Ridan, kedua orang itu berjalan menuju sebuah meja panjang. Kue beraneka bentuk dan warna tersaji di sana.

“Eh, ada Vela ternyata,” sapa seorang wanita paruh baya dengan suara sedikit serak. Sontak saja, perempuan yang hendak mengambil kue, menoleh dengan tatapan tanya.

“Tante Helena … apa kabar?” balas Vela setelah melihat sosok yang memanggilnya.

Detik berikutnya, ia sudah memutar badan.

“Baik. Ya, meskipun akhir-akhir ini sibuk. Acara ulang tahun seperti ini kan, butuh persiapan dan juga dana,” tutur wanita bergaun gemerlap itu menyindir.

“Hm … maaf ya, Tante, kalau aku enggak bantu apa-apa,” ucap perempuan yang merasa tak enak hati.

“Oh, santai saja. Sudah biasa, kan?”

Vela pun terdiam. Ia hanya bisa melirik ke arah Ridan yang menahan geram.

“Ngomong-ngomong, ini siapa? Pacar kamu?” tanya Tante Helena dengan telunjuk mengarah kepada pria di samping keponakannya.

“Eridan, Tante. Saya temannya Vela,” jawab laki-laki yang berinisiatif memperkenalkan diri. Tangannya dengan sopan menyodorkan salam.

“Teman?” selidik wanita yang menaikkan sebelah alis. Dengan ujung jemari, ia menyambut tangan sang pria.

“Iya, Tante,” sahut Vela membenarkan.

“Oh,” timpal Tante Helena dengan mata yang tak bisa lepas dari Ridan. “Baguslah,” gumamnya sebelum melangkah pergi.

Dari sudut mata, Vela dapat melihat laki-laki di sampingnya itu memiringkan kepala, menatap dengan penuh tanya. “Baguslah? Apa maksud dari ucapan itu? Positif atau negatif?” selidik Ridan.

“Sepertinya negatif,” jawab Vela yang sudah kembali menghadap meja. Tangannya kini mulai mengambil kue yang tadi belum sempat disentuhnya.

“Kenapa? Apa karena aku terlalu ganteng buat kamu?”

Tawa renyah si perempuan pun terdengar. “Justru sebaliknya. Kamu terlalu ‘biasa’. Mungkin menurut Tante Helena, kamu enggak memenuhi standar,” terang Vela sukses membangkitkan keheranan.

“Standar apa?”

“Standar kesuksesan. Itu tentang seberapa sempurna hidup seseorang. Menurut mereka, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi untuk bisa dikatakan sukses. Karier, reputasi, dan pasangan yang sebanding,” jelas Vela sembari berjalan menuju pojok ruangan. Di situ, tidak akan ada orang lain yang mendengarkan obrolan mereka.

“Coba kita ambil Virgo sebagai contoh. Dia desainer terkenal yang punya butik sendiri, sementara pacarnya sekarang pengusaha yang sudah mapan. Jadi, di mata keluarga besarku, dia sukses. Karena itu juga, dia menjadi kebanggaan Oma,” jabar perempuan itu sambil menjaga volume suaranya tetap rendah.

Tiba-tiba, Ridan menggeleng tegas. “Aku enggak mengerti. Apa gunanya menetapkan standar semacam itu?” tanya laki-laki yang mengerutkan alis. Vela pun mengangkat kedua bahu.

“Aku juga enggak mengerti dan enggak peduli,” ucap perempuan itu penuh dengan penekanan. “Karena standar itu, aku jadi diremehkan. Lulusan kampus terkenal, tapi masih belum dapat kerja? Sudah umur 26 tahun, tapi belum punya pacar? Bla bla bla …. Mereka itu enggak menghargai kerja keras aku untuk menjadi penulis yang hebat.”

Ridan kini mengangguk-angguk tanda mengerti. “Aku tahu. Kamu sudah sering cerita tentang itu,” timpalnya sebelum memasukkan sepotong tar buah ke dalam mulut. Sembari mengunyah, laki-laki itu mulai memperhatikan suasana pesta.

“Yang di sana itu, mereka sepupu kamu juga?” tanya Ridan ketika matanya menangkap gerombolan anak muda yang terlihat akrab.

“Ya. Orion, Leo, Sagita, Antlia, Caelum … sama pasangan masing-masing. Ditambah Virgo jadi lengkap,” sahut Vela menyebutkan nama semua sepupunya.

“Berarti, cuma adik kamu yang enggak hadir?” simpul Ridan cerdas.

“Yap! Anak Oma yang enggak datang juga cuma Papa,” jelas Vela singkat.

“Kupikir, cuma kamu yang enggak dianggap. Ternyata, Mama, Papa, dan adikmu juga?”

“Oh, enggak. Carina kan, guru piano yang punya banyak murid di Bangka, dan pacarnya sudah punya rumah sendiri. Jadi, dia termasuk memenuhi standar, sedangkan Papa … dia enggak tahu kalau aku diperlakukan seperti ini. Di depan Papa, mereka bersikap biasa saja kepadaku,” terang Vela dengan nada santai. Ia tampak sudah terbiasa menceritakan rahasianya kepada Ridan.

“Tapi, sejak kapan mereka seperti itu kepadamu? Perasaan, dulu ketika masih sekolah, kamu enggak pernah cerita tentang hal ini,” selidik Ridan penasaran.

“Ya memang, dulu waktu masih sekolah, aku termasuk cucu yang disayang. Aku kan, pintar,” ujar Vela memuji diri sendiri. Sudut bibir Ridan sontak naik karenanya.

“Cih, sombong,” celetuk laki-laki itu dengan nada bercanda. Tawa si perempuan pun terdengar sampai ketika memori kembali menciutkan keceriaannya.

“Aku baru ingat kalau dulu pernah dianggap. Semua mulai berubah sejak—­­“

“Negara api menyerang?” sela Ridan lagi-lagi meloloskan desah tawa Vela. Perempuan itu memang selalu bahagia setiap kali berada di dekat sahabatnya.

“Iya, sejak negara api menyerang,” timpal Vela membalas gurauan. Selang beberapa detik, barulah perempuan itu mengembalikan keseriusan.

“Dulu ketika kuliah selesai, kita dihadapkan pada kenyataan. Sejak itulah, penilaian standar dimulai dan aku langsung terjun payung di mata mereka. Apalagi, waktu aku menolak dijodohkan. Label anak sombong langsung tertempel di mukaku,” jabar Vela seraya memperagakan dengan tangan.

“Oh ya? Mana labelnya? Sini, biar aku lepas,” canda Ridan sembari mengangkat dagu sahabatnya dengan jemari. Seolah-olah sedang mencari, ia menggerakkan wajah Vela ke kiri dan ke kanan.

“Ih, Ridan! Kalau ada yang lihat, bisa salah sangka,” tegur sang wanita seraya menepis tangan yang masih menempel di bawah mulutnya.

“Oh, jadi ini laki-laki yang kamu pilih?” tanya seorang pria yang sedang mendekat. Spontan saja, Vela menoleh ke belakang. Begitu matanya menangkap sosok angkuh yang tersenyum sinis, spontan saja, helaan napas Vela terdengar sangat lelah. Hanya berselang tiga detik, sebuah senyum ia paksakan terbit.

“Ares, apa kabar?” sapa Vela seadanya.

“Ck, haruskah aku menjawab baik? Aku sedang berdiri di depan perempuan yang pernah menolakku,” jawab pria itu dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status