Share

Bab 2. Tak Dianggap

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-12 13:06:04

“Oma … Virgo datang!” sapa perempuan dengan perhiasan lengkap itu ceria. Berbeda dengan penyambutan terhadap Vela yang sangat tegang, senyum sang nenek kini malah terbentang lebar. Dengan penuh semangat, wanita tua itu menepuk-nepuk punggung cucu kesayangannya.

“Cucu Oma yang paling cantik ini selalu saja penuh kejutan. Terima kasih, ya, sudah datang,” ucap sang nenek sukses mengecilkan hati Vela. Perempuan malang itu kini menelan ludah dan tanpa sadar, melangkah mundur dari posisi semula. Ia sadar bahwa dirinya sudah terlupakan.

“Iya, dong. Ini acara ulang tahun Oma. Aku wajib datang, dan … bawa kado istimewa. Tada!” Virgo pun menunjukkan kotak kecil di tangannya. Mata keriput sang nenek sontak membulat dan bercahaya.

“Apa ini, Virgo? Jam tangan keluaran terbaru? Wah, bagus sekali! Terima kasih, Sayang,” seru Oma Stela seraya mengangkat jam tangan bertabur berlian itu lebih tinggi agar pantulan cahayanya terlihat lebih indah.

“Vela, are you okay?” bisik Ridan yang sudah berdiri di dekat sahabatnya. Kepala Vela yang semula tertunduk pun kembali tegak.

“Ah, ya,” angguk wanita itu sambil memaksakan senyum. Dengan gerak kepala kaku, ia pun menoleh ke arah sang nenek yang sibuk mendengarkan penjelasan Virgo tentang kado spesialnya.

“Hm, Oma …. Kami ke sana, ya. Mau menyapa yang lain,” tutur Vela dengan suara bergetar.

“Ya, ya,” sahut sang nenek dengan hanya melihat sekilas.

Setelah mengangguk kaku, cucu yang tidak dianggap itu melangkah gontai tanpa arah. Yang ia tahu, dirinya harus menjauh dari tontonan yang menyakitkan itu.

“Vel, kamu yakin, baik-baik saja?” tanya Ridan sembari menyentuh punggung yang tampak menyedihkan. Vela pun menghentikan langkah dan menoleh ke arah sahabatnya.

“Kamu lihat, kan? Itu baru Oma, belum yang lain. Kamu bisa bayangkan apa yang terjadi kalau aku datang sendirian. Miris. Pokoknya, setelah acara tiup lilin, kita langsung pulang. Oke?” jelas perempuan itu dengan senyum yang perlahan mulai pulih.

“Enggak makan, dong?” timpal Ridan sukses memancing tawa.

“Makan, dong. Kamu sudah lapar?” tanya Vela yang memang selalu perhatian kepada sahabatnya.

“Sedikit,” sahut sang pria seraya mengangkat telunjuk dan ibu jarinya.

“Kalau begitu,” ucap Vela sembari memutar kepala, menyisir kondisi sekitar, “kita makan kue saja, yuk! Sebelum tamu yang datang semakin ramai.”

Setelah anggukan setuju dari Ridan, kedua orang itu berjalan menuju sebuah meja panjang. Kue beraneka bentuk dan warna tersaji di sana.

“Eh, ada Vela ternyata,” sapa seorang wanita paruh baya dengan suara sedikit serak. Sontak saja, perempuan yang hendak mengambil kue, menoleh dengan tatapan tanya.

“Tante Helena … apa kabar?” balas Vela setelah melihat sosok yang memanggilnya.

Detik berikutnya, ia sudah memutar badan.

“Baik. Ya, meskipun akhir-akhir ini sibuk. Acara ulang tahun seperti ini kan, butuh persiapan dan juga dana,” tutur wanita bergaun gemerlap itu menyindir.

“Hm … maaf ya, Tante, kalau aku enggak bantu apa-apa,” ucap perempuan yang merasa tak enak hati.

“Oh, santai saja. Sudah biasa, kan?”

Vela pun terdiam. Ia hanya bisa melirik ke arah Ridan yang menahan geram.

“Ngomong-ngomong, ini siapa? Pacar kamu?” tanya Tante Helena dengan telunjuk mengarah kepada pria di samping keponakannya.

“Eridan, Tante. Saya temannya Vela,” jawab laki-laki yang berinisiatif memperkenalkan diri. Tangannya dengan sopan menyodorkan salam.

“Teman?” selidik wanita yang menaikkan sebelah alis. Dengan ujung jemari, ia menyambut tangan sang pria.

“Iya, Tante,” sahut Vela membenarkan.

“Oh,” timpal Tante Helena dengan mata yang tak bisa lepas dari Ridan. “Baguslah,” gumamnya sebelum melangkah pergi.

Dari sudut mata, Vela dapat melihat laki-laki di sampingnya itu memiringkan kepala, menatap dengan penuh tanya. “Baguslah? Apa maksud dari ucapan itu? Positif atau negatif?” selidik Ridan.

“Sepertinya negatif,” jawab Vela yang sudah kembali menghadap meja. Tangannya kini mulai mengambil kue yang tadi belum sempat disentuhnya.

“Kenapa? Apa karena aku terlalu ganteng buat kamu?”

Tawa renyah si perempuan pun terdengar. “Justru sebaliknya. Kamu terlalu ‘biasa’. Mungkin menurut Tante Helena, kamu enggak memenuhi standar,” terang Vela sukses membangkitkan keheranan.

“Standar apa?”

“Standar kesuksesan. Itu tentang seberapa sempurna hidup seseorang. Menurut mereka, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi untuk bisa dikatakan sukses. Karier, reputasi, dan pasangan yang sebanding,” jelas Vela sembari berjalan menuju pojok ruangan. Di situ, tidak akan ada orang lain yang mendengarkan obrolan mereka.

“Coba kita ambil Virgo sebagai contoh. Dia desainer terkenal yang punya butik sendiri, sementara pacarnya sekarang pengusaha yang sudah mapan. Jadi, di mata keluarga besarku, dia sukses. Karena itu juga, dia menjadi kebanggaan Oma,” jabar perempuan itu sambil menjaga volume suaranya tetap rendah.

Tiba-tiba, Ridan menggeleng tegas. “Aku enggak mengerti. Apa gunanya menetapkan standar semacam itu?” tanya laki-laki yang mengerutkan alis. Vela pun mengangkat kedua bahu.

“Aku juga enggak mengerti dan enggak peduli,” ucap perempuan itu penuh dengan penekanan. “Karena standar itu, aku jadi diremehkan. Lulusan kampus terkenal, tapi masih belum dapat kerja? Sudah umur 26 tahun, tapi belum punya pacar? Bla bla bla …. Mereka itu enggak menghargai kerja keras aku untuk menjadi penulis yang hebat.”

Ridan kini mengangguk-angguk tanda mengerti. “Aku tahu. Kamu sudah sering cerita tentang itu,” timpalnya sebelum memasukkan sepotong tar buah ke dalam mulut. Sembari mengunyah, laki-laki itu mulai memperhatikan suasana pesta.

“Yang di sana itu, mereka sepupu kamu juga?” tanya Ridan ketika matanya menangkap gerombolan anak muda yang terlihat akrab.

“Ya. Orion, Leo, Sagita, Antlia, Caelum … sama pasangan masing-masing. Ditambah Virgo jadi lengkap,” sahut Vela menyebutkan nama semua sepupunya.

“Berarti, cuma adik kamu yang enggak hadir?” simpul Ridan cerdas.

“Yap! Anak Oma yang enggak datang juga cuma Papa,” jelas Vela singkat.

“Kupikir, cuma kamu yang enggak dianggap. Ternyata, Mama, Papa, dan adikmu juga?”

“Oh, enggak. Carina kan, guru piano yang punya banyak murid di Bangka, dan pacarnya sudah punya rumah sendiri. Jadi, dia termasuk memenuhi standar, sedangkan Papa … dia enggak tahu kalau aku diperlakukan seperti ini. Di depan Papa, mereka bersikap biasa saja kepadaku,” terang Vela dengan nada santai. Ia tampak sudah terbiasa menceritakan rahasianya kepada Ridan.

“Tapi, sejak kapan mereka seperti itu kepadamu? Perasaan, dulu ketika masih sekolah, kamu enggak pernah cerita tentang hal ini,” selidik Ridan penasaran.

“Ya memang, dulu waktu masih sekolah, aku termasuk cucu yang disayang. Aku kan, pintar,” ujar Vela memuji diri sendiri. Sudut bibir Ridan sontak naik karenanya.

“Cih, sombong,” celetuk laki-laki itu dengan nada bercanda. Tawa si perempuan pun terdengar sampai ketika memori kembali menciutkan keceriaannya.

“Aku baru ingat kalau dulu pernah dianggap. Semua mulai berubah sejak—­­“

“Negara api menyerang?” sela Ridan lagi-lagi meloloskan desah tawa Vela. Perempuan itu memang selalu bahagia setiap kali berada di dekat sahabatnya.

“Iya, sejak negara api menyerang,” timpal Vela membalas gurauan. Selang beberapa detik, barulah perempuan itu mengembalikan keseriusan.

“Dulu ketika kuliah selesai, kita dihadapkan pada kenyataan. Sejak itulah, penilaian standar dimulai dan aku langsung terjun payung di mata mereka. Apalagi, waktu aku menolak dijodohkan. Label anak sombong langsung tertempel di mukaku,” jabar Vela seraya memperagakan dengan tangan.

“Oh ya? Mana labelnya? Sini, biar aku lepas,” canda Ridan sembari mengangkat dagu sahabatnya dengan jemari. Seolah-olah sedang mencari, ia menggerakkan wajah Vela ke kiri dan ke kanan.

“Ih, Ridan! Kalau ada yang lihat, bisa salah sangka,” tegur sang wanita seraya menepis tangan yang masih menempel di bawah mulutnya.

“Oh, jadi ini laki-laki yang kamu pilih?” tanya seorang pria yang sedang mendekat. Spontan saja, Vela menoleh ke belakang. Begitu matanya menangkap sosok angkuh yang tersenyum sinis, spontan saja, helaan napas Vela terdengar sangat lelah. Hanya berselang tiga detik, sebuah senyum ia paksakan terbit.

“Ares, apa kabar?” sapa Vela seadanya.

“Ck, haruskah aku menjawab baik? Aku sedang berdiri di depan perempuan yang pernah menolakku,” jawab pria itu dingin.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Married with My Best Friend (INDONESIA)   BONUS: Vela, Eridan, dan Ular Kecil

    “Kamu tunggu di sini, ya. Aku cari dulu di mana mainannya. Carina pasti meletakkannya sembarangan,” perintah Vela saat ia dan Eridan masuk ke rumah.“Oke! Jangan lama-lama, ya!”Anak laki-laki itu pun menurut dan langsung duduk di ruang tamu. Sambil celingak-celinguk, ia mengetuk-ngetuk jari pada batas celana merahnya di lutut.“Mainan ular yang seperti asli? Seperti apa bentuknya?” gumam bocah itu seraya mengingat penjelasan Vela tadi pagi. Selang beberapa detik, ia pun berteriak. “Sudah ketemu belum, Vel?”“Belum! Sabar!”Eridan kecil pun berdecak dan melangkah masuk ke ruang tengah. Ketika ia melewati lemari TV, kakinya berhenti. Matanya tertuju pada ular kecil berwarna hijau yang melintang di dekat kaki lemari.“Loh? Ini mainannya. Vel, sudah ketemu. Ada di sini.” Dengan berani, Eridan mencengkeram ekor ular dan membawanya menemui Vela.Di saat yang hampir bersamaan, gadis kecil itu menghampiri dengan senyum semringah. Tangannya sedang m

  • Married with My Best Friend (INDONESIA)   Bab 70. Ciuman Pertama yang Sesungguhnya (TAMAT)

    “Ridan, kamu masih berutang penjelasan kepadaku!” desak Vela ketika suaminya masuk ke dalam kamar. Ia bahkan tidak membiarkan pria itu mengenakan baju terlebih dulu.“Penjelasan apa sih, Vel?” desah Eridan seraya menarik celana dari lemari dan mengenakannya.“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Tentang ciuman pertama kita. Kenapa kamu menjawab di perpustakaan?”“Kalau aku jujur, kamu bakal marah, enggak?” tanya sang pria dengan sebelah alis terangkat. Dengan langkah santai, ia menghampiri istrinya yang duduk di ranjang.“Tergantung,” sahut Vela seraya mengangkat sebelah bahu.Dengan senyum misterius, Eridan ikut duduk di atas kasur. Sambil menatap istrinya lekat-lekat, ia pun memulai cerita. “Dulu itu, kita sering belajar di perpustakaan, kan? Tempatnya sepi, cocok untuk belajar tapi bikin mengantuk.”Mulut Vela tiba-tiba menganga tanpa suara. Setelah mengangguk-angguk, barulah perempu

  • Married with My Best Friend (INDONESIA)   Bab 69. Permainan yang Berujung Keterbukaan

    “Ridan ... kamu harus membayar berapa untuk menyewa tempat ini?” bisik Vela ketika sang suami menarik tangannya memasuki sebuah gedung mewah. Dengan sudut bibir terangkat misterius, pria berkemeja merah itu mendekat ke telinga istrinya.“Tidak mahal, kok. Aku dapat diskon karena pemilik gedung ini berteman dekat dengan Roger.” Setelah mengedipkan sebelah mata, ia membawa istrinya masuk ke lift.“Terima kasih, ya, Ridan. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku,” tutur sang wanita selagi lantai yang mereka pijak bergerak naik.“Vela, pesta bahkan belum dimulai, tapi kamu sudah berterima kasih kepadaku? Bagaimana kalau kamu simpan rasa syukurmu itu sampai tiga minggu lagi,” tutur Eridan seraya mengangkat alis. Dengus napas langsung berembus dari hidung istrinya.“Sampai kita boleh berhubungan, maksudmu?”“Tepat sekali

  • Married with My Best Friend (INDONESIA)   Bab 68. Nostalgia

    “Loh, Pa? Sepatu siapa ini?” tanya Nyonya Aster begitu mendapati sepatu asing di samping tempat anak bungsunya meletakkan sepatu.“Bukan sepatu Carina?” celetuk sang suami dengan raut tak acuh.“Bukan dong, Pa. Ukurannya saja besar begini,” terang sang istri heran.“Mama,” sapa seorang anak kecil berambut panjang. Mata bingung sang wanita sontak berubah hangat. “Eh, Carina ... kamu lagi apa?”“Nonton TV.”“Sama Kakak?” tanya sang ibu sambil menghampiri.“Sendiri.”“Tumben? Kakakmu mana?” tanya Nyonya Aster seraya membelai rambut putrinya.“Di kamar. Katanya mau mengerjakan tugas bareng teman.”“Teman?” Mata Nyonya Aster terbelalak. Setelah berkedip-kedip cepat, wanita

  • Married with My Best Friend (INDONESIA)   Bab 67. Yang Lalu Biarlah Berlalu

    “Aku pergi ke bar itu karena Roger memintaku untuk menemaninya,” jawab Eridan seraya merapikan rambut Vela yang menutupi leher.“Kenapa dia mau ditemani? Apakah dia mau memperkenalkanmu kepada seseorang?” terka perempuan itu asal. Tanpa terduga, pria yang sedang duduk di tepi ranjang mengangguk dengan tampang datar. “Siapa?” Mata Vela otomatis membulat.“Orang tuanya.”Kerut alis si wanita sontak bertambah dalam. “Orang tuanya? Tapi, kenapa memilih tempat di bar?”“Karena bar itu milik orang tua Roger.”Mulut Vela spontan menganga. “Seorang pengacara memiliki bar?”Tawa kecil pun berembus dari mulut Ridan. “Bukan orang tua angkat Roger, Vel, tapi orang tua kandungnya.”Sang istri seketika berkedip-kedip heran. “Tunggu dulu. Jadi, Roger itu anak angkat?”Eridan kembali mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci, tapi intinya, Roger dul

  • Married with My Best Friend (INDONESIA)   Bab 66. Rahasia di Bawah Pohon

    “Kamu sedang apa, Vel? Bukankah dokter bilang kamu enggak boleh melakukan aktivitas berat dulu?” tanya Eridan ketika mendapati istrinya sedang mencuci beras.“Memasak bukan aktivitas berat, Ridan.”“Tetap saja, kamu mengeluarkan energi ketika memasak,” protes pria yang berkacak pinggang di samping istrinya.“Bernapas juga mengeluarkan energi. Jadi, aku enggak boleh bernapas?” celetuk Vela menggemaskan. Sang suami langsung terpancing untuk mengecup bibirnya yang mengerucut.“Apa kamu lupa? Ada urusan penting yang harus kita selesaikan,” tutur Eridan seraya menaikkan alis.“Tunggu sampai aku selesai memasak, ya,” timpal Vela tanpa perlu mengingat-ingat. Hal itu sudah memenuhi otaknya sejak tadi malam, saat orang-orang yang menjenguknya sudah pulang.“Tidak usah memasak, Vela. Kita pes

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status