Share

Bab 4. Berduaan di Kamar

Vela terduduk lesu di kursi dekat meja rias milik sepupunya. Dengan kepala tertunduk dan bahu terkulai, perempuan itu hanya mampu menatap lantai. Tanpa sadar, setetes air mata bergulir menuruni pipinya.


“Vela ... kok menangis?” tanya Ridan yang baru saja menekuk lutut di hadapan sang sahabat. Dengan ibu jari, ia menghapus jejak kesedihan di wajah muram itu.


“Maafkan aku, Ridan. Aku sudah menyeret kamu ke dalam masalah besar,” tutur Vela lirih.


“Masalah besar apa, sih? Kamu tenang saja. Setelah ini, Oma Stela mau mengajak kita bicara, kan? Kita jelaskan yang sebenarnya,” hibur Ridan seraya mengangkat sudut bibirnya.


“Mereka enggak bakal percaya, Ridan, termasuk Oma,” gumam Vela dengan suara serak. Ujung dagu wanita itu kini mulai berkedut menahan kekhawatiran. “Kalau Oma memaksa kita menikah, bagaimana?”


“Ya, kita langsung atur tanggal,” celetuk sang pria santai. Tawa singkat pun terlepas bersamaan dengan isakan.


“Jangan bercanda, deh! Ini tuh lagi serius. Kita kan, sama-sama mau menikah dengan orang yang kita cinta. Kalau kita berdua menikah, Cassie bagaimana? Pangeran impianku bagaimana?” ucap Vela sembari menahan panas kerongkongannya.


“Kok, kamu malah membahas Cassie lagi? Dia sudah aku buang dari hidupku, seperti bagaimana dia melempar cincin pemberianku ke semak-semak. Jadi mulai sekarang, jangan sebut nama dia lagi. Mengerti?” pinta Ridan sambil menaikkan kedua alisnya. Sang sahabat pun mengangguk kecil.


“Terus, solusinya apa?” tanya perempuan yang sudah berhenti menangis.


“Solusi apa?” balas sang pria dengan raut bingung.


“Masalah ini. Kalau mereka mengira kita benar-benar melakukan itu,” ujar Vela seraya menghindar dari tatapan pria di hadapannya.


“Suruh saja mereka melakukan tes keperawanan,” jawab Ridan sambil menggoyang-goyangkan dua jari di depan ekspresi usilnya. Sang wanita pun mengernyit.


“Ih, Ridan, jangan jorok deh!” celetuk Vela sembari menghentikan gerak jari sahabatnya.


“Apanya yang jorok? Kan, memang begitu cara mendeteksinya,” gurau sang pria sambil mencoba lepas dari genggaman sahabatnya.


“Iya, tahu, tapi enggak perlu diperagakan juga. Lagipula, itu melanggar hak asasi wanita, tahu?” timpal Vela yang tidak membiarkan jemari Ridan lolos dari cengkeramannya. Tawa puas laki-laki itu pun terdengar.


“Makanya, kamu enggak usah berpikiran yang macam-macam. Sekarang mumpung lagi di depan cermin, kita perbaiki make up kamu,” tutur Ridan sembari berdiri dan memutar arah duduk sahabatnya. Selang tiga detik, perempuan itu sudah duduk menghadap meja rias.


“Gila! Banyak banget make up-nya. Ini apa saja, Vel?” tanya Ridan yang sibuk memperhatikan berbagai jenis kosmetik milik Sagita. “Selagi menunggu, mau aku rias enggak?” tawar laki-laki itu kemudian. Sebuah kuas tebal terayun-ayun di tangannya.


“Memangnya, kamu bisa?” timpal Vela meragukan.


“Ya, bisa. Sekarang kamu duduk yang tegak. Aku mulai dari rambut dulu,” ujar Ridan seraya mengambil sisir.


Tanpa mempertimbangkan helaian rambut yang kusut, laki-laki itu menarik sisir dengan tenaga penuh. Kepala sang wanita sampai mendongak mengimbangi tarikannya.


“Akh, Ridan! Sakit! Pelan-pelan, dong,” omel Vela sambil menggosok-gosok kulit kepalanya yang berdenyut.


“Hehe, maaf. Terlalu bersemangat. Lagian, rambut kamu tebal, sih,” timpal Ridan dengan telapak tangan sudah merapat memohon ampun.


“Bagus dong, itu artinya subur. Ayo, lanjut!” pinta Vela sambil kembali duduk tegak.


“Siap!” Dengan hati-hati, Eridan melanjutkan tugasnya.


“Nah, begitu dong! Yang lembut. Kan, enak jadinya,” puji perempuan yang terus memperhatikan gerak sahabatnya lewat cermin.


Tanpa kedua orang itu ketahui, wajah seorang wanita yang mendengarkan dari luar sedang meringis. Setelah bergidik jijik, ia pun pergi menjauhi pintu yang tadi hendak diketuknya.


“Ini tidak bisa dibiarkan,” gumam Tante Helena sambil berjalan cepat. Wanita itu ingin segera menyampaikan kabar kepada yang lain. “Bikin malu keluarga saja.”


***


“Coba lihat! Bagus, kan?” tanya Ridan begitu selesai mengoleskan lipstik milik Vela. Wanita itu bersikeras tidak mau menyentuh kosmetik di atas meja rias. Satu-satunya benda yang ia pinjam hanyalah sisir.


“Akhirnya ya, setelah tiga kali percobaan. Hasilnya cukup bagus,” canda perempuan yang sesungguhnya puas dengan bayangan di cermin.


“Ngomong-ngomong, sudah jam berapa ini, Vel? Pestanya selesai kapan, ya?” tanya Ridan seraya memeriksa jam tangannya.


“Kenapa? Kamu sudah lapar?” terka Vela akurat. Sang pria sontak memegang perut dan mengangguk.


“Mau aku ambilkan makanan? Kita makan di sini saja. Aku juga lapar, sih,” bisik Vela seraya ikut menggosok perut.


Ceklek! Kedua orang dalam ruangan itu pun kompak menoleh ke arah pintu. Detik berikutnya, tampang kesal Oma Stela langsung menjawab keterkejutan mereka. Sontak saja, Vela beranjak dari kursi rias.


“Oma ...” ucap perempuan yang tidak tahu harus menjelaskan dari mana.


“Kamu keluar dari kamar ini, Vela!” perintah sang nenek sambil duduk di kursi yang masih hangat. Mata cucunya itu pun membulat.


“Aku keluar?”


“Oma mau bicara empat mata dengan laki-laki ini,” jelas sang wanita tua dengan tegas.


“Tapi Oma, Ridan enggak salah apa-apa. Kami berdua enggak pernah tidur bareng, Oma.“


“Jangan melawan perintah, Vela!” hardik sang nenek sukses membungkam mulut cucunya.


“Oma ….”


“Ayo Vela, keluar dari sini,” ajak Tante Claudia sembari memegangi pundak keponakannya. “Kamu tunggu saja di bawah bersama sepupumu yang lain.”


Dengan tatapan melekat pada Eridan, Vela akhirnya melangkah menuju pintu. Perasaannya tak nyaman. Firasat buruk telah tertanam dalam hatinya. Begitu wajah laki-laki itu menghilang dari pandangan, Vela hanya mampu mengembuskan napas gelisah.


“Kita beri tepuk tangan untuk primadona malam ini,” seru Virgo ketika Vela menampakkan diri di hadapannya. Semua orang yang duduk santai di ruangan itu pun menuruti aba-aba. Keadaan seketika menjadi riuh.


“Hebat banget kamu, Vel,” sindir Orion yang sedang duduk di samping istrinya. “Aku saja baru berani bikin anak setelah menikah,” ujarnya seraya mengelus perut buncit si ibu hamil.


“Iya, benar-benar luar biasa, bikin malu saja. Nama besar keluarga Tjahyadi bisa tercoreng kalau dibiarkan terus,” celetuk Sagita sembari membuang muka.


Mendengar segala cacian yang ditujukan padanya, Vela pun mendengus kesal. “Kalian percaya dengan Ares? Dia itu cuma iri sama Ridan,” terangnya tak terima.


“Oh, begitu? Berarti, Mama aku iri sama kamu?” timpal Virgo yang telah melipat tangan di depan dada. Sang tertuduh pun tersentak.


“Maksudnya?” tanya Vela tak mengerti.


“Mama tadi enggak sengaja mendengar kelakuan kalian di kamar,” jelas anak Tante Helena singkat.


“Dengar? Dengar apa? Aku dan Ridan enggak melakukan apa-apa,” seru Vela yakin.


“Ck, kamu masih mau mengelak juga. Sudahlah, aku malas bicara sama pembohong,” tutur Virgo sembari mengangkat ponselnya ke depan wajah.


Detik berikutnya, tidak ada lagi yang memperhatikan Vela. Semua orang sibuk mengabaikan perempuan yang menurut mereka tidak punya harga diri. Sekalipun wanita itu masih bergeming mengharapkan pengertian, tidak ada kepercayaan yang berhasil ia dapat.


“Ck, seharusnya aku enggak usah datang ke sini,” gumam Vela seraya mencari tempat yang lebih tenang baginya. Ia sadar, tidak ada cara untuk mengubah anggapan orang-orang berpikiran sempit seperti sepupu-sepupunya.


Beberapa menit berselang, perempuan itu sudah melamun di tepi kolam renang. Tatapannya mengambang di permukaan air yang memantulkan langit malam. Sesekali, terdengar desah napas tak berdaya.


“Vela,” panggil seorang pria yang tiba-tiba sudah berdiri di balik punggungnya. Sang wanita pun mendongak.


“Hm? Ridan? Kamu sudah selesai bicara dengan Oma?” tanya Vela sembari berdiri.


Alih-alih menjawab, sang pria malah meraih tangan sahabatnya. Kebingungan sontak terlukis jelas pada alis Vela.


“Ridan?”


Senyum laki-laki itu pun semakin mempertebal keheranan. “Kamu percaya sama aku, kan?” tanya Eridan dengan penuh keseriusan. Mata si wanita kini berkedip tegang. Baru kali ini ia tidak bisa membaca raut wajah sahabatnya.


“Ya, tentu saja percaya. Memangnya ada apa, Ridan?” desah Vela yang terlalu cemas untuk menerka-nerka.


“Kalau begitu …” ucap sang pria seraya mulai menekuk sebelah kaki dan merendahkan badan, “Vela Tjahyadi, menikahlah denganku.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ghita Shella
baguss banget ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status