Untuk pertama kalinya, Damian merasa pikirannya terlalu berantakan untuk bekerja. Akhirnya, di jam dua siang, pria itu memilih pulang ke rumah. Bahkan, pria itu menyetir dengan kecepatan lumayan tinggi. “Si makhluk bodoh itu! Lagian siapa suruh malah ganggu pekerjaanku? Kena marah kan jadinya.” Damian menggumam sambil memukul setir mobil sendiri.Seharusnya dia juga mengantar pulang perempuan itu tadi. Kenapa dengan santainya malah membiarkan Anyelir pulang sendiri. Terlebih, Damian tidak yakin istri menyebalkannya itu membawa uang untuk ongkos taksi.Akhirnya, begitu sampai rumah, Damian langsung berlari guna mengecek keberadaan Anyelir entah dengan alasan apa. Seharusnya dia memang tidak sekhawatir ini kan? Perempuan itu sudah besar dan bisa mengurus diri sendiri meski banyak kali bertingkah layaknya anak kecil.“Anye ... kamu di dalam?” tanya Damian sambil mengetuk pintu kamar Anyelir begitu pria galak itu sampai rumah.Tidak ada sahutan. Damian mencoba membuka pintu dan terbuka.
Anyelir baru saja akan masuk kamar setelah menemani---lebih tepatnya merecoki Bi Wati menyapu di halaman kalau saja tidak menemukan Damian tertidur di sofaruang tengah. Perempuan itu mengernyit heran. Tumben sekali suaminya tertidur di sofa begitu. Biasanya selelah atau sengantuk apapun, pria itu pasti sempat untuk kembali ke kamarnya jika memang sudah mengantuk.Dengan mengalahkan segenap gengsinya, Anyelir berjalan mendekat dan berdiri di depan sang suami yang tengah tertidur di atas sofa panjang tersebut. Dia malas bersikap sok kalem dan tidak kekanakan sebenarnya. Tapi, perkataan Damian tempo hari sukses menampar Anyelir.Dia seharusnya ingat kalau Damian bukan Papa. Dia tidak bisa menggendong Anyelir ketika pulang kerja. Pria itu tidak bisa terus tersenyum sabar meski Anyelir menghancurkan pekerjaannya. Suaminya tidak bisa memberinya hadiah setiap pulang kerja. Damian ... tidak akan pernah bisa seperti Papa.Dia seharusnya cukup sadar posisinya sejak awal di rumah ini. Dia cuma
Sudah dua hari semenjak Damian sembuh dari demamnya. Hubungan keduanya tentu saja sudah cukup membaik. Masih sering berdebat dan sesekali main ngambek-ngambekan. Juga masih sering diisi rengekan Anyelir serta sikap masa bodoh Damian."Beneran nggak dibolehin ikut ke kantor nih, Om?" tanya Anyelir memastikan lagi.Perempuan itu duduk bersila di lantai kamar suaminya. Menganggurkan kursi malang di dekat lemari Damian. "Kalau saya bilang nggak ya enggak. Sekali enggak ya tetap enggak. Kapan anak kecil seperti kamu mau ngerti?" tanya Damian sambil memasang kemejanya tanpa malu di hadapan Anyelir.Anyelir menghela napas kecewa. Perempuan yang hari ini seperti biasa masih mengenakan piyama di jam 7 pagi, berbaring telentang di lantai keramik yang dingin. Damian yang melihat kelakuannya, kontan menggeram kesal."Sudah berapa kali saya ingatkan jangan suka berbaring di lantai tanpa alas gitu, Anye?! saya nhgak pernah punya cukup waktu kalau sampai kamu kena tipes lagi kayak waktu itu," perin
Acara makan malam berlangsung aneh dan terlalu kalem untuk ukuran makhluk heboh macam Anyelir. Perempuan yang merasa asing dan tidak mengerti dengan gaya berinteraksi orang dewasa itu akhirnya cuma bisa berpangku tangan sambil sesekali memasukkan makanan ke dalam mulut.Damian yang menyadari ketidak senangan Istrinya, kontan merangkul perempuan itu membuat Anyelir mendongak kaget. Bingung sendiri dengan alasan suaminya melakukan itu."Om---""Saya juga merasa demikian, Pak Raherja juga banyak sekali berkontribusi di awal-awal. Jika tidak begitu, mungkin saya dan yang lain tidak bisa menyelesaikannya sampai akhir." Belum sempat Anyelir menyelesaikan panggilannya, pria itu lebih dulu berbicara kepada orang-orang di depannya.Anyelir cemberut lagi. Tangannya dengan perlahan melepaskan lengan Damian yang melingkari punggungnya. Dia tidak suka tempat dan suasana seperti ini. Damian terlalu sibuk berbicara entah apa dengan rekan kerjanya sampai mengabaikan Anyelir yang dari tadi sudah hampi
Pagi-pagi sekitar jam 7, Damian sudah bangun dan sarapan pagi seperti biasa. Hari ini tentu saja dia akan berangkat kerja. Tapi, ada yang aneh. Anyelir tidak ada di meja makan. Perempuan itu bahkan tidak nampak berkeliaran bak kuntilanak di dapur semalam. Padahal, Damian beberapa kali keluar sekitar pukul 3 untuk mencari minum."Mana si Anye, Bi?" tanya Damian pada Bi Wati yang tengah menghidangkan sarapan pagi ini."Nggak tau, Tuan. Mungkin masih tidur. Eh, tapi aneh ya, biasanya jam segini dia udah ngasih makan Dolly," jawab Bi Wati sambil mengernyit heran."Coba deh cek sana! Kalau belum bangun, congkel aja matanya!" suruh Damian tidak berperasaan.Bi Wati mengangguk sambil terkekeh geli. Perempuan itu menaiki tangga dan mengetuk pintu kamar Anyelir pelan. Semalam, Anyelir memang tidak mau tidur bersama Damian dengan alasan masih kesal. Pria itu membiarkan tentu saja. Tidak mau repot mengurusi kekesalan Anyelir yang memang selalu tidak pada tempatnya."Anye nggak mau buka pintu kam
Karena ditelepon oleh Bi Wati dengan nada suara kelewat panik, akhirnya, sore ini Damian sudah pulang ke rumah dengan terburu-buru. Katanya Anyelir tidak bisa berhenti menangis di kamarnya. Perempuan itu juga meronta kesakitan dengan tangan memeluk perut erat.Damian yang khawatir kontan langsung masuk ke kamar perempuan itu guna mengecek keadaannya. Dan, benar saja. Di atas kasurnya, perempuan itu berguling-guling dengan tangan menekan perutnya yang nyeri."Kamu kenapa, Anye?" tanya Damian khawatir sambil duduk di samping perempuan itu.Melihat wajah cemas suaminya, Anyelir menghentikan tangis. Perempuan itu bangkit duduk dengan wajah cemberut. Tangannya masih sibuk menekan bagian perut yang nyeri tentu saja."Kenapa? Hm? Mau apa? Dibeliin sayap lagi?" tanya Damian sambil mengusap puncak kepala sang istri lembut.Perempuan itu menggeleng keras. "Perutku sakit, Om." Anyelir mengadu dengan wajah kembali memias."Terus aku harus apa? Emang ada obat buat datang bulan?" tanya Damian kebin
Sudah pukul 9 malam dan Anyelir merengek minta di antar ke minimarket. Kemudian, meski dengan dumelan sebal, Damian yang sedang mode baik sedikit, segera mengantar sebelum perempuan itu merengek lebih panjang dan banyak."Mau beli apa sih? Kenapa harus jam segini? Kenapa nggak besok aja?" tanya Damian sambil berjalan dari parkiran minimarket menuju pintu kaca.Anyelir menyejajarkan langkah dengan sang suami begitu selesai meresleting jaket merah muda hingga dagu. Malam ini terasa begitu dingin baginya. Tapi, entah kenapa perempuan aneh itu ingin belanja sekarang.Tiba-tiba, Damian memegang tangan dingin dan mungil Anyelir sebelum perempuan itu masuk dari pintu kaca minimarket. Anyelir mendongak bingung dengan perlakuan suaminya. Wajah perempuan itu yang seolah bertanya 'kenapa' akhirnya dijawab Damian spontan."Jangan gampang baper, aku bukan suami di novel yang kamu baca tadi. Cuma megang biar nggak hilang, kamu kan kecil, jadi susah keliatan dan mudah diculik kalau jalan sendiri." D
Pukul 3 malam. Seperti biasa, Anyelir tengah duduk anteng di meja makan sambil memakan sepanci mie instan. Lebih tepatnya, hanya pancinya saja. Karena isinya sudah ludes dan berpindah ke perutnya yang kata Damian tidak kunjung buncit padahal sudah dijejalkan banyak macam makanan. Begitu selesai dengan makanannya, Anyelir mengangkat hp dan segera memfoto bekas makanannya kemudian dikirimkan kepada nomor WA Damian. Dasar kurang kerjaan!“Kok nggak ngantuk, ya?” tanya Anyelir heran begitu selesai membersihkan bekas makannya dan kembali duduk di meja makan.Drrt ... Drrt ... Drrt ....Dering ponselnya seketika membuat perempuan yang tengah sibuk mengelus perut karena tterlalu kekenyangan tersebut, mengallihkan atensi. Segera mengangkat panggilan Whats-App dari seseorang yang tidak terdaftar di kontaknya, Anyelir seketika melotot kaget begitu mengenali suara sang pemanggil.“Halo, Adisthy Anyelir.” “A-Angga ....” Anyelir menyahut gelagapan. Tangan perempuan yang tengah memegang ponsel it