"Oh, buat lo," jawab Davin. Namun di luar ekspetasinya, Rena tiba-tiba tertawa nyaring. Wanita itu cekikikan seperti mba-mba penghuni pohon beringin. Jelas Davin merasa heran, apa ada yang lucu dengan jawabannya? Sepertinya tidak. Lantas kenapa Rena justru tertawa setelah mendengar jawaban darinya, kalau bunga mawar itu untuk dia. "Kenapa? Bunganya aneh ya?"
Rena menggeleng, menghentikan tawanya. "Bukan bunganya, tapi lo yang aneh."
"Gue?" beo Davin, mengerutkan keningnya. Semakin bingung, emang apanya yang aneh? Apa penampilannya aneh? Sontak ia melirik spion di atasnya untuk memastikan dan hasilnya nihil. Menurut Davin, penampilannya sudah sangat oke, ganteng, rapi, wangi, terus letak anehnya di mana coba?
"Bukan penampilan lo yang aneh, tapi sikap lo," ucap Rena ketika melihat Davin tampak melihat ke arah spion.
"Sikap gue? Emang sikap gue kenapa?" Davin masih belum juga mengerti.
"Aneh aja, nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba lo ngasih gue bunga mawar." Rena memalingkan wajahnya ke luar jendela sampingnya. "Harusnya lo kasih gue bunga bank, kalau mawar nggak bakal bertahan lama, palingan satu dua hari juga bakal busuk. Tapi kalau lo kasih gue bungan bank atau bunga deposito, dijamin awet," ujar Rena diselingi kekehan kecil.
"Boleh, itung-itung gue nyicil maharnya."
"Hah?" Spontan Rena menoleh, menatap wajah Davin yang terlihat santai. Gue nggak salah denger 'kan barusan?
"Kenapa?" Davin menoleh sejenak, sebelum kembali fokus ke jalanan.
"Lo barusan ngomong apa? Lo becanda 'kan? Nggak lucu tahu." Rena mendengkus, mencoba menormalkan jantungnya yang sempat salto akibat kaget mendengar ucapan Davin.
"Yang mana? Soal mahar? Kalau gue nggak becanda gimana?"
Rena menghela napas panjang, memandang lurus ke depan. "Skip Vin, obrolannya nggak sehat. Becandaan lo benar-benar nggak lucu, gue udah kebal sama yang begituan."
Davin tiba-tiba meminggirkan mobilnya, berhenti di bahu jalan. Tentu saja Rena yang bingung lantas menoleh, namun melihat tatapan pria itu ia mengurungkan niatnya untuk bertanya.
"Ren, sorry. Mungkin waktunya nggak tepat buat ngomongin ini ke lo. Tapi gua nggak bisa terus bohongi diri gue sendiri." Davin menatap lekat mata Rena, keduanya saling beradu pandang. "Gue sadar diri, gue emang laki-laki pengecut karena nggak jujur sama lo selama ini."
Dalam benak Rena, muncul banyak pertanyaan dan pikirannya menerka-nerka apa maksud dari ucapan Davin. Ia berusaha menyangkal pemikirannya mengenai Davin yang menaruh rasa padanya, tapi semakin menatap dalam mata pria itu, justru membuatnya semakin yakin akan dugaannya.
"Apaan si Vin, beneran deh nggak lucu tahu. Ini pasti prank 'kan?" Rena tertawa canggung, berusaha menormalkan ekspresinya. "Lo lagi becanda 'kan?" Berharap kalau Davin hanya becanda padanya, tapi sepertinya tidak.
Davin terdiam sesaat, setelah itu menarik napas kuat-kuat, meyakinkan diri untuk mengungkapkannya sekarang. "Sayangnya gue nggak becanda, Ren. Gue suka sama lo, dari pertama kali gue lihat lo di pesta pernikahan kakak lo, sampai kita liburan bareng di pulau Bawah. Gue pikir, gue cuma tertarik tapi nyatanya ketertarikan gue bertahan sampai detik ini." Davin menunduk. "Maaf, bukannya gue nggak peka sama perasaan lo. Gue tahu banget gimana perasaan lo sekarang, tapi gue nggak mau nyesel buat yang kedua kalinya. Gue nggak mau kalah cepet lagi, jadi sebelum lo move on ke orang lain, gue pengen lo tahu perasaan gue yang sebenarnya. Gue dulu milih mundur, tapi sekarang gue nggak bisa mundur lagi, Ren. Gue nggak mau sia-siain kesempatan yang Tuhan kasih."
Rena speechless. Ia tak menyangka jika Davin memang memiliki perasaan padanya, bahkan pria itu memendamnya selama setahun. Jadi karena Alan, pria itu tiba-tiba menghilang. Rena pikir dulu Davin sibuk dengan pekerjaanya tapi ternyata pria itu menjaga jarak karena ia sudah punya kekasih.
"Nggak perlu lo pikirin, gue nggak maksa lo buat bales perasaan gue baik sekarang atau kapan pun. Tapi, beri gue kesempatan buat yakinin lo kalau gue sungguh-sungguh, bukan sekedar modus atau janji-janji manis. Setelah itu lo boleh ambil keputusan, suruh gue mundur atau terima gue," ujar Davin, tatapan matanya begitu meneduhkan.
"Gue ...." Rena bingung, jawaban seperti apa yang akan ia berikan. Di satu sisi jelas Rena belum siap untuk berkomitmen lagi, namun di sisi lain ia juga takut menyinggung perasaan Davin.
"Satu bulan, beri gue kesempatan satu bulan buat bikin lo jatuh cinta sama gue." Rena mematung saat Davin menggenggam tangannya begitu erat, senyuman pria itu seolah menghipnotisnya, membuat kepalanya mengangguk pelan. "Thank's Ren. Gua nggak akan janjiin lo apa-apa, tapi gue akan kasih lo bukti. Kalau gue benar-benar cinta sama lo."
————————
Rena pikir, keadaan akan berubah canggung setelah pengakuan Davin tadi. Tapi ternyata justru sebaliknya, pria itu bisa mencairkan suasana, bahkan membuat Rena lupa sesaat akan permasalahan hidupnya.
Kini keduanya berada di festival musik Rock'n Roll, sepertinya Davin sudah merencanakan untuk datang ke sini karena pria itu sudah membawa dua tiket ketika akan masuk.
"Lo suka?" tanya Davin di dekat telinga Rena, suaranya bersaing dengan suara musik dari speaker besar di samping panggung.
"Suka banget, makasih udah ajak gue ke sini," teriak Rena sekencang mungkin, agar Davin mendengarnya. Ia terus berjingkrak-jingkrak di tengah kerumunan.
Apakah Rena menikmati musiknya? Jelas tidak, ini bukan aliran musiknya, tapi di sini ia bebas berteriak sepuasnya tanpa akan ada yang mengusiknya. Hal itu membuat perasaannya melega, rasa kesal, dongkol yang bercokol dalam hatinya berangsur luruh. Tergantikan perasaan lega dan nyaman ketika memandang Davin yang ikut berjingkrak-jingkrak di sampingnya. Pria itu ikut menyanyikan lirik lagu yang sedang dinyanyikan. Dari sini Rena tahu kalau Davin penyuka musik Rock'n Roll, buktinya dia hapal semua lagu yang dinyanyikan.
Lelah berjingkrak-jingkrak dan berteriak di tengah kerumunan penggemar musik Rock, Davin menarik Rena keluar, membawa wanita itu ke sebuah stand minuman.
"Lo mau apa?" tanya Davin, melihat daftar menu.
"Greentea matcha," jawab Rena, matanya melihat ke sekitar. Saat menjelang sore, pengunjung festival semakin ramai berdatangan. Stand-stand makanan kuliner pun hampir semuanya sudah dibuka.
"Nih." Davin memberikan minuman berwarna hijau dalam cup besar ke Rena. "Lapar nggak?" tanyanya, dibalas anggukan kepala oleh Rena yang sedang menyeruput esnya. "Mau makan apa?" Mata Davin mengabsen setiap stand makanan yang berjajar di sepanjang jalan. "Bebek, ayam, seafood atau sapi?"
Rena mendengkus geli, melirik Davin menyebutkan semua jenis hewan yang dijadikan bahan utama oleh beberapa stand makanan. "Lo suka makanan Korea?"
"Suka, kalau lo suka," jawab Davin.
Rena berdecak. "Suka atau nggak, jangan maksain suka demi gue." Ia memanyunkan bibirnya, kesal. Karena jawaban Davin yang nggak konsisten.
Davin tersenyum tipis, mengacak poni Rena. "Suka, ayo. Cacing gue udah pada demo, bisa-bisa lambung gue dibor kalau kelamaan." Ia menggandeng lengan Rena, menariknya pergi. Namun wanita itu malah berdiam diri, sontak Davin menoleh ke belakang, menyadari tatapan Rena tertuju ke tangannya yang menggenggam erat tangan wanita itu. "Biar lo nggak ilang, susah nyarinya kalau sampai kepisah. Berasa nyari anak ayan di gerombolan bebek."
"Ya?" Rena tersadar, mengangkat wajahnya menatap Davin. "Oh." Seperti orang bego, ekspresinya benar-benar polos.
Davin menggeleng pelan, menahan senyumnya. "Kalau lo nggak nyaman, lo bisa jalan duluan." Saat Davin akan melepas genggamannya, Rena seketika menautkan jemari tangannya. Davin sedikit terkejut, namun ia tak mengelak membiarkan wanita itu menggengam tangannya.
"Ayo." Senyuman manis Rena mengalihkan dunia Davin.
Beruntung Davin dan Rena masih kebagian tempat, stand makanan Korea begitu ramai oleh pengunjung yang didominasi pasangan muda-mudi. Tanpa sungkan mereka mengumbar keromantisan, hal itu justru membuat Davin dan Rena salah tingkah. Mereka berdua tampak canggung, dia seperti obat nyamuk di tengah pasangan nyamuk yang sedang bermesraan.
"Maaf," cicit Rena.
"Maaf buat apa?" tanya Davin, menatap Rena yang duduk di depannya.
"Karena ngajak lo makan di sini, pasti lo nggak nyaman banget." Rena melirik kanan kirinya, melihat keuwuan pasangan yang sedang dibakar gelora asmara. Melihat orang lain suap-suapan, Rena jadi geli sendiri ketika membayangkan dirinya melakukan hal yang sama dengan Davin. Mikir apa si lo Ren, ingat lo sama Davin bukan pasangan resmi! Rena merutuki pemikiran konyolnya.
"Biasa aja. Nggak usah dilihatin, fokus aja ke makanannya," ucap Davin, sembari memberikan potongan bulgogi ke piring Rena. "Makan, lo pasti belum makan dari pagi. Wajah lo pucet."
Rena terdiam, memandangi potongan daging yang diberikan Davin. Ia tiba-tiba teringat akan sosok Alan, di mana pria itu sering memberinya potongan daging bulgogi setiap kali mereka makan di restoran Korea waktu berkencan.
"Kenapa lo nggak suka?" tanya Davin, heran karena tak ada tanda-tanda pergerakan Rena akan memakannya.
"Ha? Suka kok." Rena cepat-cepat membuang jauh ingatannya, ia memakan potongan daging itu. "Em, enak banget," komentar Rena, mengacungkan dua jempolnya ke Davin.
Davin tersenyum lebar, senang rasanya bisa melihat senyum Rena kembali. Wanita itu makan begitu lahap, seakan tanpa beban. Gue janji Ren, gue nggak akan biarin siapa pun nyakitin lo lagi.
"Lo harus cobain yang ini enak banget." Rena mengambil satu potongan daging dari atas pemanggang, meletakkannya di atas daun selada dan menambahkan sayuran di atasnya sebelum digulung. Kemudian menyodorkannya ke depan mulut Davin. "Cobain." Davin membuka mulutnya, melahap gulungan gogigui sekali suap. "Gimana, enak 'kan?"
Davin menganggukkan kepala sebagai jawaban, mulutnya asyik mengunyah.
"Gue bilang juga apa, ini tuh enak banget," kata Rena.
Di saat keduanya sedang asyik menikmati makanan, tiba-tiba seseorang datang menghampiri meja mereka. "Oh, jadi ini alasan kamu batalin pernikahan kita?"
Rena tersedak ketika mendengar suara yang familiar di telinganya, ia melirik ke samping dan seketika melotot saat melihat sosok Alan berdiri di samping meja, menatap garang dirinya.
"Kamu nuduh aku selingkuh, tapi kamu sendiri selingkuh." Alan kembali bersuara.
Rena terbatuk-batuk, memukul-mukul dadanya. Beruntung Davin sigap memberikan minumnya. Rena langsung menyambarnya, meminumnya sampai tandas. Setelah itu mengalihkan fokus sepenuhnya ke Alan.
"Kamu ngapain ke sini? Kita sudah tidak ada urusan lagi, hubungan kita sudah selesai. Jadi aku bebas jalan dengan siapa pun dan asal kamu tahu, aku nggak pernah selingkuh!" tukas Rena.
"Oh, ya?" Alan mendecih. "Lalu dia?" Pria itu menunjuk Davin. "Apa kamu pikir aku nggak tahu, kalau laki-laki itu selama ini suka sama kamu!" Alan menggebrak meja, menarik perhatian sekitar.
Spontan Davin, menarik bahu Alan yang mencondongkan tubuhnya ke hadapan Rena. "Sebaiknya kita bicara di luar," kata Davin, menahan diri agar tidak meninggikan intonasi suaranya.
"Lepas!" Alan menepis kasar tangan Davin. "Jangan ikut campur, ini urusan gue sama Rena!" Ia menatap nyalang Davin, sorot matanya mengintimidasi. Tapi sama sekali tak membuat Davin terpengaruh ataupun gentar.
"Tapi Anda menyangkut pautkan saya, itu artinya saya juga terlibat. Jadi sebaiknya kita bicarakan ini di luar, jangan membuat keributan di sini," ujar Davin.
"DIEM LO——"
"ALAN!" bentak Rena, suaranya berhasil menginterupsi Alan. "Kamu benar, aku emang selingkuh sama Davin. Kamu puas? Kita juga akan segera menikah. Bukankah kita impas, kamu selingkuh dengan Vera, aku pun selingkuh dengan Davin. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan, aku nggak ada urusan lagi sama kamu," sarkas Rena, terpaksa berbohong dan melibatkan Davin. "Sayang, sebaiknya kita pergi. Nggak perlu meladeni manusia nggak tahu diri seperti dia!" Rena bangkit dari duduknya, berniat pergi. Tapi tiba-tiba Alan mencekal lengannya. "Alan lepas!"
"Nggak, urusan kita belum selesai." Alan menarik paksa Rena, tak peduli rontaan wanita itu.
Davin yang sudah tak bisa mengendalikan emosinya, langsung menarik bahu Alan, memberikan bogem mentah ke wajah pria itu ketika berbalik.
"Davin!" pekik Rena ketika melihat Alan tersungkur dan Davin terus menghujam pria itu dengan pukulan. "Davin stop!" Namun pria itu tak menghiraukan teriakan Rena, keduanya saling baku hantam disaksikan oleh orang-orang di sekitar.
Rena mengernyit ketika mobil Davin berhenti di pelataran rumahnya, sorot matanya langsung tertuju pada barisan mobil yang terparkir di depan rumah—————nyaris memenuhi teras rumahnya.Ada apa ini?Rena bertanya-tanya, matanya memperhatikan keadaan rumahnya yang terpantau sepi meski banyak mobil terpakir di depannya.Apa ada tamu? Tapi siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Hanya orang-orang kurang kerjaan yang bertamu sepagi ini. Bahkan mungkin orangtuanya baru terbangun. Di saat Rena sibuk dengan berbagai pertanyaan yang berseliweran di dalam kepalanya, dari arah samping suara Davin menginterupsi."Ayo." Davin sudah melepas sabuk pengaman, bersiap akan turun.
Kitaperlu bicara, dari hati ke hati.-Davin-Davin berjalan gontai memasukiprivat roomdi klub miliknya. Ketika pintu terbuka, bunyi terompet berpadu dengan suara teriakan heboh dan percikan kertas kerlap-kerlip menyambutnya."Surprise!!" seru kelima pria tampan yang tak lain sahabat-sahabatnya sejak SMA.Namun, bukannya senang mendapat kejutan tak terduga dari para sahabatnya. Davin malah mendengkus pelan, wajahnya nampak kusut dan tak bersemangat. Langkahnya seperti zombi kelaparan, berjalan lesu menuju sofa tanpa menghiraukan satu pun para sahabatnya yang dibuat cengo oleh sikapnya."Lo kenapa?" tanya Rey
Dering ponsel memekakkan telinga, Rena yang masih terlelap di atas kasur empuknya mulai terusik oleh suara nada dering dari ponselnya yang begitu bising memenuhi ruang kamar. Kelopak mata Rena perlahan terbuka, ia menoleh ke samping, tangannya terulur meraih ponsel.Rena mendengkus pelan ketika melihat nama si penelepon yang muncul di layar, orang yang telah mengusik tidur lelapnya. Padahal semalam Rena pulang waktu dini hari, rasa kantuk jelas masih mendominasi meski saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi."Kenapa?" Rena langsungto the pointketika mengangkat panggilan dari kakaknya. "Mama?" Ia mengerutkan kening, sebelum akhirnya mengembuskan napasnya dengan kasar. "Kak Reyvan nelpon aku cuma buat nanyain mama di mana? Kakak 'kan bisa telepon langsung ke nomor mama, kenapa harus nelepon aku. Ganggu or
Acara lamaran antara Davin dan Rena sudah dilakukan seminggu yang lalu, kedua keluarga sudah memutuskan tanggal pernikahan yang akan digelar satu bulan lagi. Terkesan mendadak memang, namun itu demi kebaikan bersama mengingat banyak rumor tak sedang yang beredar. Demi menepis segala gosip miring itulah pernikahan keduanya dipercepat dan selama beberapa hari ini baik Rena dan Davin sudah sibuk mempersiapkan segala perlengkapan pernikahan keduanya, dibantu kedua orangtua masing-masing.Rena tersenyum manis ketika mendapat pesan dari Davin, pesan romantis dan terkesan ambigu seperti biasa. Ya, ia sudah terbiasa dengan kelakuan Davin, hal itu justru membuat Rena semakin mencintai pria itu. Davin yang romantis, terkadang nyeleneh, memberikan kesan berbeda di mata Rena."Iya, ini sudah selesai," ucap Rena ketika mengangkat panggilan telepon d
Seperti biasa, saat Rena keluar dari rumah sakit sudah ada mobil Davin yang menunggu di depan lobi. Pria itustand bydi samping pintu mobil, menyunggingkan senyum manisnya ketika Rena menghampiri."Hai, makin cakep aja pacar aku." Dan seperti biasa, gombalan garing akan meluncur dari mulut Davin."Kenapa? Terpesona ya?" balas Rena, mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan Davin yang lebih tinggi darinya."Iya, nih," ucap Davin, kemudian mengecup kening Rena sampai membuat sang empu membeku sesaat."Davin!" pekik Rena setelah kesadaran mengambil alih, ia melirik ke sekitar di mana orang-orang tampak berseliweran keluar masuk rumah sakit, beberapa dari mereka mencuri pandang ke arahnya. "Rese!" Seraya menahan malu Ren
Lima menit berlalu, suasana hening masih menyelimuti ruang rawat Vera. Hanya embusan napas berat yang silih berganti antara dua orang wanita yang sama-sama membisu seribu bahasa. Kecanggungan antara Vera dan Rena terlihat jelas dari gestur tubuh keduanya, saling melirik satu sama lain, namun enggan membuka obrolan lebih dulu."Gimana?" Rena akhirnya buka suara setelah keheningan yang cukup lama, menurunkan sedikit egonya untuk berbicara lebih dulu. "Nggak ada yang sakit 'kan? Kata Dokter Maya, hari ini lo udah boleh pulang."Vera mendesis pelan, melirik sinis Rena. "Nggak usah sok perhatian lo! Bukannya lo seneng, lo pasti lagi bahagia banget 'kan lihat gue sengsara kaya gini?"Rena menghela napas panjang, tak terpancing akan ucapan Vera yang mencercanya. "Gue tahu Ver, ini nggak mudah