Home / Romansa / Marry with Sugar Daddy / 1. Pertemuan di Sebuah Toko

Share

Marry with Sugar Daddy
Marry with Sugar Daddy
Author: Momy3R

1. Pertemuan di Sebuah Toko

Author: Momy3R
last update Last Updated: 2025-07-14 22:44:33

Jalanan berdebu, Luna mengusap keringatnya. Ia berjalan ragu sambil mengelus layar ponselnya dengan kain roknya.

Keyakinannya untuk menggunakan jalan terakhir ini, terpaksa ia lakukan.

Dipandanginya ponsel miliknya. Layar itu tidak mulus, tapi ia menaksir harga ponselnya cukup lumayan nantinya.

Meski mungkin nanti rendah tapi pasti bisa untuk meringankan beban yang ada.

Luna berdiri mematung di depan etalase kaca, menatap deretan ponsel keluaran terbaru yang berkilauan. 

Bukan, bukan karena ia ingin membelinya. Justru sebaliknya. Dengan napas tertahan, ia melangkah masuk ke toko ponsel yang ramai itu. 

Aroma khas elektronik dan parfum pengunjung menyeruak. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia harus melakukannya.

Sesuatu yang mendesak membuatnya harus menjualnya, ia menggenggam erat benda yang selama ini setia menemaninya.

Seorang gadis manis tersenyum saat melihatnya masuk. Luna menghampirinya dengan sedikit gugup.

Ia belum pernah datang ke toko ponsel ini selama beberapa tahun ini, ia membeli ponsel selalu lewat online, karena harganya lebih murah.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya seorang pramuniaga ramah menghampirinya.

Luna tersenyum kaku. "Begini, Mbak ... Aku … aku mau jual ponsel ini," 

Ia menyodorkan ponsel pintarnya yang sudah sedikit usang. Layarnya retak halus di sudutnya, saksi bisu beberapa kali terjatuh.

Ia memakainya untuk banyak keperluan termasuk berjualan online yang sedang ditekuninya.

Gadis pramuniaga itu menerima ponselnya, mengamatinya sekilas, lalu mengetuk-ketuk layarnya untuk mengecek fungsi. Berulang kali dicek dan dahinya berkerut.

Luna sedikit ragu dengan penilaian gadis itu pada ponselnya, ia takut harganya turun banyak.

Bolak balik ponselnya dicek sampai ia merasa bosan. Wajah Luna memanas. Ia tahu ponselnya tak seberapa, namun saat ini, setiap rupiah sangat berharga. 

Harga beras yang terus naik, harga sayuran juga naik, ia bingung kenapa harus ada demo pasar truk odol yang mengakibatkan semua harga sayur melonjak naik.

Belum lagi tagihan listrik yang kian menunggak, dan yang paling utama, obat untuk ibunya yang sedang sakit. 

Beban itu menyesakkan dadanya. Luna menunduk, ia tahu bagaimana rasanya hidup dalam kesederhanaan, di rumah kecil dan sempit yang sudah ditinggali sejak ayahnya meninggal saat masih kecil. 

Ia memalingkan wajah, mencoba menghindari tatapan kasihan (atau mungkin jijik?) dari pramuniaga tersebut.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang pria tinggi dengan kemeja polo bermerek sedang meneliti sebuah ponsel lipat terbaru. 

Rambutnya tertata rapi, dan jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya. Ia terlihat begitu berkarisma dan mapan, kontras dengan dirinya yang kini merasa begitu menyedihkan.

Setelah sekian lama dicek dan dibolak balik sedemikian rupa, akhirnya gadis pramuniaga itu mengembalikan ponselnya. 

"Maaf, Mbak. Untuk kondisi seperti ini, kami hanya bisa menawar Rp500.000."

Luna tercekat. Lima ratus ribu? 

Jumlah itu bahkan tidak cukup untuk membeli beras, membayar listrik, apalagi membeli obat ibunya.

Kekecewaan menyapu dirinya. Ia tahu ponselnya tidak dalam kondisi prima, tetapi ia berharap setidaknya bisa mendapatkan Rp1.000.000. 

Nominal yang kecil itu membuatnya ragu apa ia harus menerima uang sejumlah yang diberikan pramuniaga tadi.

Rasanya air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia hanya mengangguk pelan, hendak berbalik pergi.

Sia-sia merelakan menjualnya tapi harganya sangat murah, tidak sebanding jika ia nanti akan membelinya lagi.

Tiba-tiba, sebuah dehaman pelan terdengar. Luna menoleh. Pria berkarisma tadi kini menatapnya.

Matanya yang gelap memancarkan keteduhan, namun juga sesuatu yang sulit Luna artikan.

"Ada masalah, Nona?" tanya pria itu, suaranya dalam dan menenangkan. Ia melangkah mendekat. "Sepertinya Anda sedang kesulitan."

Luna gelagapan. Wajahnya semakin panas. "Tidak... tidak apa-apa, Tuan. Hanya saja..." Ia ragu. Haruskah ia menceritakan kesulitannya pada orang asing?

Pria itu tersenyum tipis. "Aku dengar tadi. Ponselnya mau dijual, ya? Kalau boleh tahu, kenapa?"

Luna menunduk, malu. "Untuk kebutuhan mendesak, Pak. Untuk … “

Ah, untuk apa menceritakan keluh kesahnya dengan orang asing seperti dia.

Ia tidak mengenalnya bahkan dia bukan siapa-siapa, atau Pak Dedi Mulyadi yang akan membantunya mengatasi ekonominya.

“Katakan saja, ada apa? Mungkin aku bisa membantumu,”

Luna merasa risih, pria itu tersenyum penuh arti, menatapnya dengan tatapan yang aneh. Ia rasa pria itu sedikit … nakal.

“Untuk apa menjualnya?”

Sekali lagi pria itu menanyakannya. Akhirnya Luna menjawabnya dengan jawaban yang apa adanya.

“Untuk ibuku, membeli obat ibuku yang sakit dan juga … kebutuhan rumah."

Pria itu mengangguk paham. Ia melirik ponsel Luna yang masih dipegangnya. "Bagaimana jika aku membantumu?"

Luna mengangkat kepala, menatap pria itu tidak percaya. "Membantu?"

"Ya," jawab pria itu, tatapannya lekat. "Bagaimana kalau aku saja yang membeli ponsel Anda? Berapa yang kamu butuhkan?”

Luna terdiam sejenak, ia bukannya tidak mau menerima tawarannya tapi mereka belum saling kenal bahkan ia tidak tahu siapa pria itu.

Dan lagipula ponselnya yang usang dan tak layak dipakai pria perlente itu pastinya seolah seperti sedang meledeknya.

“Berikan saja harga yang kamu inginkan, aku akan membelinya, ini sebuah tawaran yang serius,” ucap pria itu lagi.

Gadis pramuniaga hanya tersenyum memandangi mereka. Luna tahu senyuman itu seperti mengejeknya.

Ia memilih pergi tanpa menjawab tawaran pria perlente itu.

Namun tiba-tiba saja saat ia keluar dari toko itu, suara pria tadi memintanya untuk berhenti.

"Tuan, sebenarnya, mau apa dengan ponsel ini? Bagi Tuan, bahkan ponsel ini tidak menarik, jadi ...tolong jangan meledekku!"

Ia berbicara dengan nada sedikit keras. Pria itu sydaj cukup dewasa untuk meledek seseorang seperti dirinya.

Pria itu tersenyum, cukup ramah, seolah tidak ada ketegangan yang terjadi.

Memang, jika sedang pusing, mau orang ramah sekalipun baginya, tetap saja terlihat menyinggung.

Luna memilih keluar, tapi lagi-lagi pria itu datang mendekat dan memintanya untuk bicara sebentar.

“Kita bicara di kafe itu, ayo!”

Luna bergeming, ia diam menatapnya tapi pria itu melambaikan tangan untuk mengajaknya masuk ke sebuah kafe.

'Untuk apa sih?' batinnya menggerutu.

Dipandanginya ponsel miliknya dan dilihatnya kafe yang letaknya ada disamping persis toko ponsel tadi.

Sejujurnya ia tidak percaya sekalipun pada pria perlente itu. Selain karena mereka tak saling kenal, pria itu sudah cukup tua baginya untuk berbicara berdua duduk di kafe yang sedang ramai.

"Nona Manis, bisa kan kita bicara sebentar? Ini tentang ponselmu,"

Luna ragu, ia masih ragu. "Tuan yakin atau ingin mempermainkan?"

Pria itu tersenyum, "Aku cuma ingin tanya-tanya, setelah itu terserah kamu mau atau tidak," ujarnya.

Luna mengernyitkan dahinya, menelisik wajah pria itu. Pria yang baginya tampak seperti pamannya.

Ia bahkan lupa masih memiliki kerabat, mereka miskin, tak ada satupun kerabat yang masih mengenalinya sebagai bagian dari keluarga mereka.

Ia masih saja berdiri, sementara pria itu memandang dengan matanya yang jernih lagi terlihat ramah. 

'Haruskah aku ikuti ajakannya?' batinnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tia
bab awal yang menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Marry with Sugar Daddy    27. Sakit

    Ia kembali ke rumahnya, beberapa barang ternyata dikumpulkan tetangganya dan ia diminta untuk menyimpannya di rumah tua yang letaknya di pinggir jalan besar.“Bagaimana keadaan ibumu, Lun?”“Ibu baik-baik saja, Alhamdulillah. Tapi harus dirawat intensif di rumah sakit, tekanan darahnya naik,”Beberapa orang mengangguk memahami yang terjadi. Satu orang tetangga yang baik memberi bantuan dengan meminjamkan mobil baknya untuk membawa barang miliknya.Malam itu, setelah semua barang-barang mereka berhasil diselamatkan, Luna memikirkan nasib ke depannya.Ia merasa lelah, tapi ia tahu ia harus kuat. Ia memegang sebuah dompet berisi perhiasan, pemberian Jonathan. Itu adalah satu-satunya hal yang ia miliki yang bisa ia jual.“Lun, sebaiknya kamu sewa kamar saja, harganya lebih murah, juga nantinya kan hanya ibumu dan adikmu saja yang akan menempati,” ucap tetangganya.Beberapa orang berbisik, menanyakan keberadaan suaminya yang sedang kesulitan tapi tak muncul juga kehadirannya.“Suamimu mana

  • Marry with Sugar Daddy    26. Musibah Baru

    Nyonya Deswanti berdiri mengawasi Jonathan yang berjalan sempoyongan. Ia menyuruh Mira untuk memapah Jonathan.Adiknya yang bernama Tono, merasa cemas dengan keponakannya. “Bukannya dia seharusnya di kantor sekarang, kamu kenapa tega sama anak sendiri, Kak?”Nyonya Deswanti melirik adiknya, tajam dan sedikit melunak karena ia tahu adiknya ini sayang dengan Jonathan sejak kecil.“Aku harus sedikit keras, John kurang berbakti padaku. Seharusnya dia sadar, wanita yang bernama Luna tidak memiliki manfaat apapun di rumah ini,” tukasnya seraya duduk dan menyesapi kopi hangatnya.Tono, begitu miris melihat keadaan keponakannya yang dianggapnya anak sendiri. Ia dan istrinya mati-matian membela sang kakak untuk membantu meluluhkan hati Jonathan agar bersedia menikahi Mira, malah akhirnya jadi begini.“Aku harus bawa dia ke rumah sakit. John memang salah, tapi otaknya tak boleh kamu kuasai, dia masih bisa melakukan segalanya,” ucap Tono cepat.Adiknya melangkah mendekati Jonathan, sedangkan Nyo

  • Marry with Sugar Daddy    25. Penyesalan

    “Kamu mau kemana, John?”Jonathan sedang berdiri dan memegang kunci mobil, ia menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada mamanya yang bangun karena mendengar suara langkah kakinya.“Aku akan ke rumah orang tua Luna, Mah. Dia istriku. Dia berhak tinggal disini,”“Luna pergi dengan keinginan sendiri. Jadi buat apa kamu mengejarnya. Dia tidak butuh kamu lagi, John. Uang sudah didapatkan,”Jonathan diam, dia terpaku tapi kemudian memutuskan untuk pergi. Langkah kakinya tampak tegas dan mantap untuk pergi ke rumah ibunya Luna. Dia tahu istrinya ada disana saat ini.Nyonya Deswanti hanya diam, tak bisa berkata-kata. Ia membiarkan putranya pergi. Tapi setelah beberapa menit, ia menyuruh seseorang untuk melakukan tugasnya.**G6ari berganti hari, sudah satu minggu Luna berada di rumah ibunya dan kali ini ibunya tidak bisa tinggal diam.Akhirnya ia bertanya dan meyakini bahwa putrinya memiliki masalah yang cukup pelik namun tak memberitahunya.Ia ingin Luna terbuka dan tahu bahwa ia sebagai or

  • Marry with Sugar Daddy    24. Kenapa Kamu Disini?

    Sepanjang malam, ia tidak bisa tidur. Pikirannya tertuju pada Jonathan yang selalu mengirimnya pesan.Pria itu mencarinya. Dalam pesannya, Jonathan mengetik kalau ia tidak akan menikahi Mira, apapun alasannya.Sungguh ini merupakan hal yang tidak ia inginkan sepanjang hidupnya. Menikahi pria tua kaya dan mengkhianatinya.Ia tahu ini pasti akan terjadi mengingat orang tua Jonathan tidak menyukainya. Keluarga besar pria itu bahkan lebih peduli pada kesehatan mamanya Jonathan ketimbang perasaannya sebagai istri Jonathan.Sesekali ia mendengar beberapa sindiran yang cukup menyedihkan hatinya. Sast itu dia sedang berada di dapur dan keluarga Jonathan datang dengan menyerukan bahwa ia harus menikahi wanita yang berkelas seperti yang diinginkan mamanya.Jonathan, pria itu cukup baik tapi ternyata labil dan tiba-tiba pengakuan mengejutkan membuatnya berpikir.Kehamilan mantan kekasihnya menjadi pangkal utama bahwa ini harus segera diakhiri. Ia akan mengalah tapi bingung harus mengatakan apa se

  • Marry with Sugar Daddy    23. Perasaan Gelisah

    Dengan tergesa-gesa, Jonathan membawa mobilnya menuju rumah sakit. Di sisinya, Luna terus menggenggam tangannya, sesekali mengusap punggungnya, mencoba menenangkan.Pikiran Jonathan kacau. Kata "kritis" terus terngiang di kepalanya, disusul bayangan wajah mamanya yang pucat dalam mimpinya."Kondisi mamamu kritis, John," ucap pamannya.Jonathan tahu, semua keluarganya sangat memperhatikan mamanya, mereka mewanti-wanti agar ia tak menyakiti hati mamanya lagi.Tapi sekali lagi ia sadar bahwa kini ia telah memiliki Luna dan hanya bisa memikirkan yang terbaik saja.Di usianya yang telah menginjak kepala empat, ia tahu mamanya menginginkan adanya seorang keturunan yang dimilikinya.Sejujurnya ia juga tahu bahwa keinginan memiliki telah lama diidamkan, begitu juga dengan almarhum papanya.Setibanya di rumah sakit, Jonathan langsung berlari ke ruang ICU, diikuti oleh Luna. Di sana, beberapa kerabat dan juga Paman Tono sudah menunggu, raut wajah mereka dipenuhi kecemasan.Tanpa berkata-kata, J

  • Marry with Sugar Daddy    22. Memutuskan Pulang

    Jonathan mengusap keringatnya. Dari leher sampai punggung basah kuyup karena keringat.Ia merasa aneh dan harus menceritakan hal ini pada Luna. Istrinya kadang sibuk melakukan sesuatu saat ia bangung tidur. Luna selalu bangun pagi setelah melakukan shalat subuh.Ia bangkit dan membuka pakaiannya. Dengan bertelanjang dada, ia menghirup bau harum wawangian udara segar dan pepohonan yang bertiup sepoi-sepoi.Ia mendengus kesal. Pikirannya tak bisa tenang meski ia telah lari dari rumahnya. Ia lari juga dari masalah yang membelit. Mamanya seolah mengejar dirinya hingga ke villa ini."Seharusnya aku bisa hidup tenang bersama Luna," pikirnya dengan perasaan gelisah.Malam demi malam di vila, Jonathan selalu diliputi mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia melihat mamanya yang pucat dan marah, rumahnya yang gelap dan kosong.Dan ia akan terbangun dengan napas terengah-engah, merasakan kecemasan yang mendalam. Ia melirik Luna yang terlelap dengan tenang di sisinya, dan ia merasa bersalah. Jonathan tahu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status