Jalanan berdebu, Luna mengusap keringatnya. Ia berjalan ragu sambil mengelus layar ponselnya dengan kain roknya. Keyakinannya untuk menggunakan jalan terakhir ini, terpaksa ia lakukan.
Dipandanginya ponsel miliknya. Layar itu tidak mulus, tapi ia menaksir harga ponselnya cukup lumayan nantinya. Meski mungkin nanti rendah tapi pasti bisa untuk meringankan beban yang ada.
Luna berdiri mematung di depan etalase kaca, menatap deretan ponsel keluaran terbaru yang berkilauan.
Bukan, bukan karena ia ingin membelinya. Justru sebaliknya. Dengan napas tertahan, ia melangkah masuk ke toko ponsel yang ramai itu.
Aroma khas elektronik dan parfum pengunjung menyeruak. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia harus melakukannya. Sesuatu yang mendesak membuatnya harus menjualnya, ia menggenggam erat benda yang selama ini setia menemaninya.
Seorang gadis manis tersenyum saat melihatnya masuk. Luna menghampirinya dengan sedikit gugup. Ia belum pernah datang ke toko ponsel ini selama beberapa tahun ini, ia membeli ponsel selalu lewat online, karena harganya lebih murah.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya seorang pramuniaga ramah menghampirinya.
Luna tersenyum kaku. "Begini, Mbak ... Aku … aku mau jual ponsel ini,"
Ia menyodorkan ponsel pintarnya yang sudah sedikit usang. Layarnya retak halus di sudutnya, saksi bisu beberapa kali terjatuh. Ia memakainya untuk banyak keperluan termasuk berjualan online yang sedang ditekuninya.
Gadis pramuniaga itu menerima ponselnya, mengamatinya sekilas, lalu mengetuk-ketuk layarnya untuk mengecek fungsi. Berulang kali dicek dan dahinya berkerut. Luna sedikit ragu dengan penilaian gadis itu pada ponselnya, ia takut harganya turun banyak.
Bolak balik ponselnya dicek sampai ia merasa bosan. Wajah Luna memanas. Ia tahu ponselnya tak seberapa, namun saat ini, setiap rupiah sangat berharga.
Harga beras yang terus naik, harga sayuran juga naik, ia bingung kenapa harus ada demo pasar truk odol yang mengakibatkan semua harga sayur melonjak naik.
Belum lagi tagihan listrik yang kian menunggak, dan yang paling utama, obat untuk ibunya yang sedang sakit.
Beban itu menyesakkan dadanya. Luna menunduk, ia tahu bagaimana rasanya hidup dalam kesederhanaan, di rumah kecil dan sempit yang sudah ditinggali sejak ayahnya meninggal saat masih kecil.
Ia memalingkan wajah, mencoba menghindari tatapan kasihan (atau mungkin jijik?) dari pramuniaga tersebut.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang pria tinggi dengan kemeja polo bermerek sedang meneliti sebuah ponsel lipat terbaru.
Rambutnya tertata rapi, dan jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya. Ia terlihat begitu berkarisma dan mapan, kontras dengan dirinya yang kini merasa begitu menyedihkan.
Setelah sekian lama dicek dan dibolak balik sedemikian rupa, akhirnya gadis pramuniaga itu mengembalikan ponselnya.
"Maaf, Mbak. Untuk kondisi seperti ini, kami hanya bisa menawar Rp500.000."
Luna tercekat. Lima ratus ribu?
Jumlah itu bahkan tidak cukup untuk membeli beras, membayar listrik, apalagi membeli obat ibunya. Kekecewaan menyapu dirinya. Ia tahu ponselnya tidak dalam kondisi prima, tetapi ia berharap setidaknya bisa mendapatkan Rp1.000.000.
Nominal yang kecil itu membuatnya ragu apa ia harus menerima uang sejumlah yang diberikan pramuniaga tadi.
Rasanya air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia hanya mengangguk pelan, hendak berbalik pergi. Sia-sia merelakan menjualnya tapi harganya sangat murah, tidak sebanding jika ia nanti akan membelinya lagi.
Tiba-tiba, sebuah dehaman pelan terdengar. Luna menoleh. Pria berkarisma tadi kini menatapnya. Matanya yang gelap memancarkan keteduhan, namun juga sesuatu yang sulit Luna artikan.
"Ada masalah, Nona?" tanya pria itu, suaranya dalam dan menenangkan. Ia melangkah mendekat. "Sepertinya Anda sedang kesulitan."
Luna gelagapan. Wajahnya semakin panas. "Tidak... tidak apa-apa, Tuan. Hanya saja..." Ia ragu. Haruskah ia menceritakan kesulitannya pada orang asing?
Pria itu tersenyum tipis. "Aku dengar tadi. Ponselnya mau dijual, ya? Kalau boleh tahu, kenapa?"
Luna menunduk, malu. "Untuk kebutuhan mendesak, Pak. Untuk … “
Ah, untuk apa menceritakan keluh kesahnya dengan orang asing seperti dia. Ia tidak mengenalnya bahkan dia bukan siapa-siapa, atau Pak Dedi Mulyadi yang akan membantunya mengatasi ekonominya.
“Katakan saja, ada apa? Mungkin aku bisa membantumu,”
Luna merasa risih, pria itu tersenyum penuh arti, menatapnya dengan tatapan yang aneh. Ia rasa pria itu sedikit … nakal.
“Untuk apa menjualnya?”
Sekali lagi pria itu menanyakannya. Akhirnya Luna menjawabnya dengan jawaban yang apa adanya.
“Untuk ibuku, membeli obat ibuku yang sakit dan juga … kebutuhan rumah."
Pria itu mengangguk paham. Ia melirik ponsel Luna yang masih dipegangnya. "Bagaimana jika aku membantumu?"
Luna mengangkat kepala, menatap pria itu tidak percaya. "Membantu?"
"Ya," jawab pria itu, tatapannya lekat. "Bagaimana kalau aku saja yang membeli ponsel Anda? Berapa yang kamu butuhkan?”
Luna terdiam sejenak, ia bukannya tidak mau menerima tawarannya tapi mereka belum saling kenal bahkan ia tidak tahu siapa pria itu, lagipula ponselnya yang usang dan tak layak dipakai pria perlente itu pastinya seolah seperti sedang meledeknya.
“Berikan saja harga yang kamu inginkan, aku akan membelinya, ini sebuah tawaran yang serius,” ucap pria itu lagi.
Gadis pramuniaga hanya tersenyum memandangi mereka. Luna tahu senyuman itu seperti mengejeknya.
Ia memilih pergi tanpa menjawab tawaran pria perlente itu. Namun tiba-tiba saja saat ia keluar dari toko itu, suara pria tadi memintanya untuk berhenti.
"Tuan, sebenarnya, mau apa dengan ponsel ini? Bagi Tuan, bahkan ponsel ini tidak menarik, jadi ...tolong jangan meledekku!"
Ia berbicara dengan nada sedikit keras. Pria itu sydaj cukup dewasa untuk meledek seseorang seperti dirinya.
Pria itu tersenyum, cukup ramah, seolah tidak ada ketegangan yang terjadi. Memang, jika sedang pusing, mau orang ramah sekalipun baginya, tetap saja terlihat menyinggung.
Luna memilih keluar, tapi lagi-lagi pria itu datang mendekat dan memintanya untuk bicara sebentar.
“Kita bicara di kafe itu, ayo!”
Luna bergeming, ia diam menatapnya tapi pria itu melambaikan tangan untuk mengajaknya masuk ke sebuah kafe.
'Untuk apa sih?' batinnya menggerutu.
Dipandanginya ponsel miliknya dan dilihatnya kafe yang letaknya ada disamping persis toko ponsel tadi.
Sejujurnya ia tidak percaya sekalipun pada pria perlente itu. Selain karena mereka tak saling kenal, pria itu sudah cukup tua baginya untuk berbicara berdua duduk di kafe yang sedang ramai.
"Nona Manis, bisa kan kita bicara sebentar? Ini tentang ponselmu,"
Luna ragu, ia masih ragu. "Tuan yakin atau ingin mempermainkan?"
Pria itu tersenyum, "Aku cuma ingin tanya-tanya, setelah itu terserah kamu mau atau tidak," ujarnya.
Luna mengernyitkan dahinya, menelisik wajah pria itu. Pria yang baginya tampak seperti pamannya.
Ia bahkan lupa masih memiliki kerabat, mereka miskin, tak ada satupun kerabat yang masih mengenalinya sebagai bagian dari keluarga mereka.
Ia masih saja berdiri, sementara pria itu memandang dengan matanya yang jernih lagi terlihat ramah.
'Haruskah aku ikuti ajakannya?' batinnya.
Angin lembut bulan Juli memainkan helai rambut Luna saat memandang Tio, adiknya, yang tertawa riang di taman rumah sakit. Kakinya telah dioperasi tapi dia harus memakai kursi roda nantinya sampai benar-benar sembuh betul.Beberapa langkah di sampingnya, sang ibu tersenyum tipis, memetik bunga kamboja yang gugur di dekat kakinya.Senyum tipis yang dulu amat jarang terlihat, kini mulai kembali menghiasi wajahnya. Hati Luna menghangat, beban berat yang selama ini menindih pundaknya seolah terangkat. Proses pemulihan ibunya dari sakit yang mendera kini lebih banyak diam namun saat ada Jonathan yang datang membantu, ibunya seperti merasa memiliki nyawa lagi karena Tio mulai berangsur membaik dan kakinya terselamatkan dari kelumpuhan.Kesembuhan untuk kaki Tio memang tidak mudah, butuh waktu yang cukup lama. Luna memandang lega. Mereka berdua, ibu dan adiknya telah sembuh. Bahkan akan pulang dalam keadaan utuh.Jonathan berdiri di belakang Luna, merangkul pinggangnya erat. Hangat tanganny
"Baiklah Tuan Jonathan... aku … aku bersedia," ucap Luna, suaranya nyaris berbisik, serak menahan getar. Ada rasa pahit yang menyelimuti lidahnya, namun juga secuil kelegaan yang mengerikan.Jonathan menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. "Baiklah, Luna. Terima kasih. Untuk Bu Mirasih, tolong restui kami, dari awal saya memang menyukai putri ibu. Dan saya akan langsung urus semuanya.”Kelegaan juga terpancar di wajah Bu Mirasih yang memberikan restu meski hati kecilnya mengatakan ragu karena putrinya masih sangat belia untuk pria matang usia Jonathan.“Luna, untuk ibumu dan Tio, jangan khawatir. Semua biaya akan aku tanggung sepenuhnya." imbuh Jonathan lagi.Benar saja, dalam waktu singkat, Jonathan bergerak cepat. Ia mengurus administrasi rumah sakit, memastikan Tio segera masuk ruang operasi malam itu juga. Ia juga memanggil seorang notaris dan penghulu untuk mengurus pernikahan mereka secara siri di rumah sakit. Ya, mereka akan menikah secara agama
Luna merasa ini seperti mimpi. Ia hampir tidak mempercayainya karena baru saja memikirkannya."Tu-Tuan ... Tuan Jonathan?" Ia tergagap, tak percaya pria itu ada di sana.Jonathan mengangguk pelan. “Ternyata kamu masih ingat aku,”Luna tersenyum, pahit, kali ini jauh lebih pahit dari yang ia rasakan sejak menerima uang satu juta itu."Kebetulan yang sangat kebetulan.” ujarnya lagi.Pria itu tersenyum dan duduk di hadapannya. Sungguh hati Luna menjadi semakin kacau. Ia hampir tidak bisa bernapas karena tercekat.Di hadapan pria itu ia tidak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca. Bayangan wajah ibunya dan adiknya yang butuh biaya banyak membuatnya semakin sesak merasakan kenyataan hidup ini.Ia hampir pingsan, apalagi saat mendengar pertanyaan pria itu.“Kenapa kamu di sini, Lun? Apa ... ada masalah?" Matanya menelusuri wajah Luna yang sembab dan lelah.Luna menunduk, malu dengan keadaannya yang kacau. Matanya yang berkaca-kaca semakin deras menetes, Jonathan semakin bingung melihat k
Tio tidur dengan meringkuk di tempat tidurnya. Anak itu belum makan sejak pagi. Ia mengguncang tubuhnya.“Tio … Tio!”Tio bergerak dan membuka matanya. “Ya, Mbak,”“Makan dulu, Mbak sudah belikan kamu gorengan ayam yang enak dan gurih, yuk!”Tio mengucek matanya. Ia terpaksa menuruti perintah ibu untuk tidur saja tanpa makan. Padahal kakaknya pulang membawa banyak makanan.“Mbak, ibu juga belum makan,” ujarnya setengah ragu saat akan mengunyah.Luna teriris hatinya, ibunya mencemooh pemberian darinya dan menganggapnya membawa makanan yang didapat dari pekerjaan yang haram.“Nanti Mbak panggil ibu juga untuk makan. Kamu makan aja, ya?”Tio mengangguk dan langsung lahap begitu ayam gorengnya ditambah lagi. Luna segera mengetuk pintu kamar ibunya. Jam masih menunjukkan pukul delapan malam, sejak sore ibunya ngambek tak mau bicara dengannya hanya karena dia membawa banyak belanjaan.Ia akan mengajak ibunya bicara dan menjelaskan kalau makanan itu ia beli dari uang yang halal. Ibunya memb
Luna akhirnya bersedia ikut, ia ingin tahu apa yang diinginkan pria tua itu. Selain karena ingin yang dan ponselnya laku, ia juga ingin tahu apa sebenarnya yang diinginkan pria asing yang baru dikenalnya itu.Mereka duduk di kafe yang cukup ramai itu. Masing-masing orang pasti tidak menyadari jika mereka datang untuk bertransaksi ponsel usang.Luna menatap pria itu, setelah mereka duduk, lidahnya kelu. "Ponselmu, biar aku yang beli," ucapnya sesaat setelah mereka duduk.Pria ini akan membeli ponselnya? Untuk apa ponsel usang ini dibelinya. Luna merasa ragu tapi pria itu setengah memaksa.Pria itu minta dia memberikan harga untuk sebuah ponsel dengan banyak bekas jatuh dimana-mana.Dan untuk harga yang dibutuhkan, ia memberikan harga yang memang pantas untuk ponselnya.Tapi ini terlalu aneh untuk menjadi nyata. Apakah ini semacam modus penipuan, yang dilakukan pria itu tak wajar, karena tertarik pada barang kuno dan setengah rusak ini.Otaknya berputar cepat mencari celah, tetapi waja
Jalanan berdebu, Luna mengusap keringatnya. Ia berjalan ragu sambil mengelus layar ponselnya dengan kain roknya. Keyakinannya untuk menggunakan jalan terakhir ini, terpaksa ia lakukan.Dipandanginya ponsel miliknya. Layar itu tidak mulus, tapi ia menaksir harga ponselnya cukup lumayan nantinya. Meski mungkin nanti rendah tapi pasti bisa untuk meringankan beban yang ada.Luna berdiri mematung di depan etalase kaca, menatap deretan ponsel keluaran terbaru yang berkilauan. Bukan, bukan karena ia ingin membelinya. Justru sebaliknya. Dengan napas tertahan, ia melangkah masuk ke toko ponsel yang ramai itu. Aroma khas elektronik dan parfum pengunjung menyeruak. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia harus melakukannya. Sesuatu yang mendesak membuatnya harus menjualnya, ia menggenggam erat benda yang selama ini setia menemaninya.Seorang gadis manis tersenyum saat melihatnya masuk. Luna menghampirinya dengan sedikit gugup. Ia belum pernah datang ke toko ponsel ini selama beberapa tahun ini, ia