Share

4. Ceraikan Dia!

Kiyara tertegun. Ia mengucap saran suaminya itu berulang-ulang. Lupakan? Semudah itu? Kedua mata Kiyara memandang Bian dengan pandangan yang sarat rasa keberatan. Enak sekali mereka, protesnya dalam hati.

"Kiya nggak mau!" Emosinya kembali naik. "Kalau didiamkan saja, ya Mas, besok-besok hari mereka akan seperti ini terus. Ya kalau mereka... tsk..." Kiyara tidak meneruskan kalimatnya.

"Apa susahnya? Cuma melupakan saja kan, mudah?" Bian menatap Kiyara. Ia sudah memprediksi reaksi Kiyara. Maka dari itu, ia lebih merendahkan suaranya untuk membujuk istrinya itu.

Kepala Kiyara terus menggeleng-geleng. "Nggak mungkin semudah itu, Mas. Luka itu, sakit hati hari itu, ketika Kiya  mendengar sindirian mereka tentang kehidupan pernikahan kita yang menurut mereka terlalu boros, yang nggak bisa mendidik anak, tingkah anak-anak yang begitu susah diatur, tidak seperti cara bapak dan ibu mendidik anak-anaknya, masih terasa sampai sekarang," ucap Kiyara sambil berusaha menahan isakan tangisnya.

"Mengapa mereka tega, mengatakan semua itu padahal mereka tidak tahu alasannya? Mengapa mereka tega mengatakan jika anak-anak adalah anak-anak kebanyakan yang sangat susah diatur? Mengapa mereka menuntut sesuatu yang tidak mungkin sama untuk masing-masing anak?" 

Bian kali ini diam. Ia tahu itu. Ia juga sempat mendengar itu, namun akal sehatnya masih bisa ia gunakan. Ia hanya menganggap ucapan mereka sebagai  angin yang berhembus dan akan menghilang dengan sendirinya. Ia lupa  jika Kiyara adalah seorang wanita, seorang ibu, yang jelas akan merasa sakit ketika anak-anaknya dibanding-bandingkan dengan yang lain. 

"Kiya..." Bian memanggil lembut istrinya yang kini malah menangis sesenggukan, karena kembali teringat kata-kata dari kakaknya.

"Kiya nggak bisa, Mas. Belum bisa seperti, Mas." Kiyara menghapus airmatanya dengan ujung lengan bajunya.

Hidup itu tidak semudah yang dibayangkan, tidak selalu berjalan seseuai yang direncanakan. Ada hal lain yang berlaku diluar nalar kita sebagai manusia, dan Tuhan-lah yang berada dibalik itu semua. Jika menyalahkan suatu peristiwa, mengapa bisa terjadi? Mengapa tidak begini, mengapa tidak begitu? Apakah mereka sudah lupa, jika ada Zat Yang Maha Mengatur segalanya? Yang bisa membolak-balikkan hati dan rencana dalam sekejap?

Kiyara menghembuskan nafas panjangnya. Ingin rasanya meneriaki kakak-kakaknya itu, meluapkan semua kekesalannya di hadapan mereka. Namun, itu semua tidaklah mungkin. Percuma. Niat hati ingin mengklarifikasi tapi justru akan menjadi bumerang-bumerang lain untuk dirinya dan suami.

"Mas. Apa mas tahu jika mas sudah dianggap ..." Kiyara tidak meneruskan kata-katanya. Dirinya tidak sampai hati menyampaikan penilaian saudaranya terhadap suaminya itu.

Bian mengangguk. Tanpa mendengar kelanjutan kalimat Kiyara yang kembali terputus, Bian    mengangguk, membuat Kiyara kembali mendesah sedih. 

"Sudahlah. Tidak usah dipikirin. Mending kita mikir gimana caranya dagangannya Mas ini laku, bukan cuma untuk sekarang tapi untuk seterusnya," ajak Bian. Ia tidak ingin menghabiskan seluruh energinya untuk memikirkan penilaian orang lain terhadap dirinya. Cukup baginya Tuhan sebagai saksi apa yang sudah dilakukannya untuk anak istrinya, meski mungkin masih sangat jauh dari apa yang seharusnya ia berikan untuk mereka.

Tiba-tiba dering ponsel Kiyara kembali terdengar. Dengan cepat Bian meraih ponsel istrinya sebelum Kiyara menyadari gerakannya. Bian berdiri dari duduknya. Ia melangkah ke luar rumah, menjauhkan diri agar istrinya tidak bisa menguping pembicaraan mereka. Ia ingin istrinya tidak terlibat perseteruan dengan iparnya, meski sebenarnya mereka masihlah saudara kandung yang saling mengkhawatirkan satu sama lain, meski cara yang mereka lakukan salah. Terlalu ikut campur kehidupan rumah tangga sang adik.

"Kiyara?" Suara Ardi terdengar tidak sabar.

Bian diam, tidak berniat menjawab. Ia ingin mendengar sendiri apa yang akan dikatakan kakak Kiyara itu tentang dirinya.

"Belum pulang suami malasmu itu?" hardik Ardi, membuat Bian mengerutkan kedua alisnya. 

"Apa kau tidak mengatakan pada suamimu tentang pesan Kakak tadi?" tanya Ardi begitu ketus. Bian sampai mengurut dadanya. Sebegitu bencinya kah ipar-iparnya terhadapnya?

"Kiya. Apa yang sebenarnya ada dalam benak kamu? Mengapa kamu begitu membelanya? Coba kamu pikirkan? Sudah berapa banyak yang ia berikan padamu? Kosmetik? Apa ia membelikan kebutuhan kosmetikmu? Pakaian kamu? Jangan coba mengelak. Kakak tahu, kamu membeli dengan uangmu sendiri. Hasil jualan online kamu, kamu sisihkan untuk membeli beberapa potong pakaian untuk kamu dan dia kan? " Ardi terus saja nyerocos. Ia begitu semangat menjelekkan Bian, suami adik bungsunya.

"Pernah dia membelikan ponsel untukmu? Sejauh ini, kamulah yang selalu membelikan ponsel untuknya kan?" 

Sudut hati Bian membenarkan ucapan iparnya itu, dan ini membuatnya tersentak. Semua ucapan Ardi seakan menyingkap tabir yang selama ini tidak pernah ia bahas dengan Kiyara. Selama ini, ia menganggap istrinya itu membeli semua kosmetik, dengan uang hasil menabung dari sisa-sisa uang belanja.

Ingatan Bian jatuh pada merk kosmetik yang saat ini dipakai Kiya dan sekali lagi ia harus rela untuk mengakui jika pernyataan iparnya itu memang benar adanya. Kiyara sampai harus mengganti semua merk kosmetiknya ke merk yang tidak pernah ia gunakan, hingga akhirnya berhenti menggunakan kosmetik karena kulitnya justru rusak karena tidak ada yang cocok.

Ardi berhenti sejenak, memikirkan poin apa lagi yang ingin ia sampaikan pada adik bungsunya itu. 

"Kiya, jika memang Bian sudah tidak lagi sanggup menafkahimu, kamu bisa mengajukan cerai ke pengadilan agama. Untuk apa terus bertahan dengan pria yang sama sekali tidak bisa menafkahi mu?" Selama itu bertahan mendengarkan berbagai cacian dan hinaan iparnya, Bian akhirnya tidak lagi bisa menahan emosinya.

"Apa maksud Kak Ardi?" tanya Bian tajam.

Ardi terkejut. Ia tidak mengira jika sejak tadi yang ia ajak bicara bukanlah adiknya melainkan orang yang ia jelek-jelekkan sendiri, iparnya sendiri. Pria itu segera memposisikan dirinya seolah ia tidak melakukan kesalahan, bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.

"Mana Kiyara? Mengapa justru kau yang mengangkat telponku?" 

Bian mengabaikan pertanyaan Ardi, dan mengulangi pertanyaannya."Apa maksud perkataan Kak Ardi tadi?"

Hening sejenak. Ardi tidak segera menjawab pertanyaan iparnya itu. Entah mengapa dirinya sangat membenci adik iparnya itu, padahal jika ditelisik, Bian tidak pernah menyakiti atau menyinggungnya.

"Tidak ada maksud apa-apa," jawabnya singkat.

"Lalu kata cerai itu, tidak ada artinya juga?" sindir Bian. Kali ini, ucapan iparnya itu sudah keterlaluan. Menyarankan adiknya untuk bercerai dengannya? Kakak macam apa itu?! Tangan kanannya mengepal, mencoba membendung gelombang amarah yang mulai menguasai dirinya.

"Kau ini memang benar-benar bebal. Dari kemarin bukankah aku sudah mengatakan pada adikku yang bodoh itu, untuk meninggalkanmu. Apakah kau tidak juga paham maksud dibaliknya?" Ardi berdecak kesal.

Kedua mata Bian melotot. Ia tidak percaya jika kakak Kiyara mengusulkan ide gila itu. Mengapa tidak mendukung mereka untuk saling menguatkan,mendukung agar adiknya tidak patah semangat? Tapi justru memberi masukan yang menyesatkan seperti ini? Wajah Bian mulai kusut. Benar- benar tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar dari kakak iparnya itu.

"Ceraikan Kiyara! Kembalikan adikku kepada  kami! Kami masih bisa mengurusnya bersama kedua anakmu itu."

Brug! Ponsel Kiyara terlepas dari tangan Bian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status