Kiyara tertegun. Ia mengucap saran suaminya itu berulang-ulang. Lupakan? Semudah itu? Kedua mata Kiyara memandang Bian dengan pandangan yang sarat rasa keberatan. Enak sekali mereka, protesnya dalam hati.
"Kiya nggak mau!" Emosinya kembali naik. "Kalau didiamkan saja, ya Mas, besok-besok hari mereka akan seperti ini terus. Ya kalau mereka... tsk..." Kiyara tidak meneruskan kalimatnya.
"Apa susahnya? Cuma melupakan saja kan, mudah?" Bian menatap Kiyara. Ia sudah memprediksi reaksi Kiyara. Maka dari itu, ia lebih merendahkan suaranya untuk membujuk istrinya itu.
Kepala Kiyara terus menggeleng-geleng. "Nggak mungkin semudah itu, Mas. Luka itu, sakit hati hari itu, ketika Kiya mendengar sindirian mereka tentang kehidupan pernikahan kita yang menurut mereka terlalu boros, yang nggak bisa mendidik anak, tingkah anak-anak yang begitu susah diatur, tidak seperti cara bapak dan ibu mendidik anak-anaknya, masih terasa sampai sekarang," ucap Kiyara sambil berusaha menahan isakan tangisnya.
"Mengapa mereka tega, mengatakan semua itu padahal mereka tidak tahu alasannya? Mengapa mereka tega mengatakan jika anak-anak adalah anak-anak kebanyakan yang sangat susah diatur? Mengapa mereka menuntut sesuatu yang tidak mungkin sama untuk masing-masing anak?"
Bian kali ini diam. Ia tahu itu. Ia juga sempat mendengar itu, namun akal sehatnya masih bisa ia gunakan. Ia hanya menganggap ucapan mereka sebagai angin yang berhembus dan akan menghilang dengan sendirinya. Ia lupa jika Kiyara adalah seorang wanita, seorang ibu, yang jelas akan merasa sakit ketika anak-anaknya dibanding-bandingkan dengan yang lain.
"Kiya..." Bian memanggil lembut istrinya yang kini malah menangis sesenggukan, karena kembali teringat kata-kata dari kakaknya.
"Kiya nggak bisa, Mas. Belum bisa seperti, Mas." Kiyara menghapus airmatanya dengan ujung lengan bajunya.
Hidup itu tidak semudah yang dibayangkan, tidak selalu berjalan seseuai yang direncanakan. Ada hal lain yang berlaku diluar nalar kita sebagai manusia, dan Tuhan-lah yang berada dibalik itu semua. Jika menyalahkan suatu peristiwa, mengapa bisa terjadi? Mengapa tidak begini, mengapa tidak begitu? Apakah mereka sudah lupa, jika ada Zat Yang Maha Mengatur segalanya? Yang bisa membolak-balikkan hati dan rencana dalam sekejap?
Kiyara menghembuskan nafas panjangnya. Ingin rasanya meneriaki kakak-kakaknya itu, meluapkan semua kekesalannya di hadapan mereka. Namun, itu semua tidaklah mungkin. Percuma. Niat hati ingin mengklarifikasi tapi justru akan menjadi bumerang-bumerang lain untuk dirinya dan suami.
"Mas. Apa mas tahu jika mas sudah dianggap ..." Kiyara tidak meneruskan kata-katanya. Dirinya tidak sampai hati menyampaikan penilaian saudaranya terhadap suaminya itu.
Bian mengangguk. Tanpa mendengar kelanjutan kalimat Kiyara yang kembali terputus, Bian mengangguk, membuat Kiyara kembali mendesah sedih.
"Sudahlah. Tidak usah dipikirin. Mending kita mikir gimana caranya dagangannya Mas ini laku, bukan cuma untuk sekarang tapi untuk seterusnya," ajak Bian. Ia tidak ingin menghabiskan seluruh energinya untuk memikirkan penilaian orang lain terhadap dirinya. Cukup baginya Tuhan sebagai saksi apa yang sudah dilakukannya untuk anak istrinya, meski mungkin masih sangat jauh dari apa yang seharusnya ia berikan untuk mereka.
Tiba-tiba dering ponsel Kiyara kembali terdengar. Dengan cepat Bian meraih ponsel istrinya sebelum Kiyara menyadari gerakannya. Bian berdiri dari duduknya. Ia melangkah ke luar rumah, menjauhkan diri agar istrinya tidak bisa menguping pembicaraan mereka. Ia ingin istrinya tidak terlibat perseteruan dengan iparnya, meski sebenarnya mereka masihlah saudara kandung yang saling mengkhawatirkan satu sama lain, meski cara yang mereka lakukan salah. Terlalu ikut campur kehidupan rumah tangga sang adik.
"Kiyara?" Suara Ardi terdengar tidak sabar.
Bian diam, tidak berniat menjawab. Ia ingin mendengar sendiri apa yang akan dikatakan kakak Kiyara itu tentang dirinya.
"Belum pulang suami malasmu itu?" hardik Ardi, membuat Bian mengerutkan kedua alisnya.
"Apa kau tidak mengatakan pada suamimu tentang pesan Kakak tadi?" tanya Ardi begitu ketus. Bian sampai mengurut dadanya. Sebegitu bencinya kah ipar-iparnya terhadapnya?
"Kiya. Apa yang sebenarnya ada dalam benak kamu? Mengapa kamu begitu membelanya? Coba kamu pikirkan? Sudah berapa banyak yang ia berikan padamu? Kosmetik? Apa ia membelikan kebutuhan kosmetikmu? Pakaian kamu? Jangan coba mengelak. Kakak tahu, kamu membeli dengan uangmu sendiri. Hasil jualan online kamu, kamu sisihkan untuk membeli beberapa potong pakaian untuk kamu dan dia kan? " Ardi terus saja nyerocos. Ia begitu semangat menjelekkan Bian, suami adik bungsunya.
"Pernah dia membelikan ponsel untukmu? Sejauh ini, kamulah yang selalu membelikan ponsel untuknya kan?"
Sudut hati Bian membenarkan ucapan iparnya itu, dan ini membuatnya tersentak. Semua ucapan Ardi seakan menyingkap tabir yang selama ini tidak pernah ia bahas dengan Kiyara. Selama ini, ia menganggap istrinya itu membeli semua kosmetik, dengan uang hasil menabung dari sisa-sisa uang belanja.
Ingatan Bian jatuh pada merk kosmetik yang saat ini dipakai Kiya dan sekali lagi ia harus rela untuk mengakui jika pernyataan iparnya itu memang benar adanya. Kiyara sampai harus mengganti semua merk kosmetiknya ke merk yang tidak pernah ia gunakan, hingga akhirnya berhenti menggunakan kosmetik karena kulitnya justru rusak karena tidak ada yang cocok.
Ardi berhenti sejenak, memikirkan poin apa lagi yang ingin ia sampaikan pada adik bungsunya itu.
"Kiya, jika memang Bian sudah tidak lagi sanggup menafkahimu, kamu bisa mengajukan cerai ke pengadilan agama. Untuk apa terus bertahan dengan pria yang sama sekali tidak bisa menafkahi mu?" Selama itu bertahan mendengarkan berbagai cacian dan hinaan iparnya, Bian akhirnya tidak lagi bisa menahan emosinya.
"Apa maksud Kak Ardi?" tanya Bian tajam.
Ardi terkejut. Ia tidak mengira jika sejak tadi yang ia ajak bicara bukanlah adiknya melainkan orang yang ia jelek-jelekkan sendiri, iparnya sendiri. Pria itu segera memposisikan dirinya seolah ia tidak melakukan kesalahan, bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
"Mana Kiyara? Mengapa justru kau yang mengangkat telponku?"
Bian mengabaikan pertanyaan Ardi, dan mengulangi pertanyaannya."Apa maksud perkataan Kak Ardi tadi?"
Hening sejenak. Ardi tidak segera menjawab pertanyaan iparnya itu. Entah mengapa dirinya sangat membenci adik iparnya itu, padahal jika ditelisik, Bian tidak pernah menyakiti atau menyinggungnya.
"Tidak ada maksud apa-apa," jawabnya singkat.
"Lalu kata cerai itu, tidak ada artinya juga?" sindir Bian. Kali ini, ucapan iparnya itu sudah keterlaluan. Menyarankan adiknya untuk bercerai dengannya? Kakak macam apa itu?! Tangan kanannya mengepal, mencoba membendung gelombang amarah yang mulai menguasai dirinya.
"Kau ini memang benar-benar bebal. Dari kemarin bukankah aku sudah mengatakan pada adikku yang bodoh itu, untuk meninggalkanmu. Apakah kau tidak juga paham maksud dibaliknya?" Ardi berdecak kesal.
Kedua mata Bian melotot. Ia tidak percaya jika kakak Kiyara mengusulkan ide gila itu. Mengapa tidak mendukung mereka untuk saling menguatkan,mendukung agar adiknya tidak patah semangat? Tapi justru memberi masukan yang menyesatkan seperti ini? Wajah Bian mulai kusut. Benar- benar tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar dari kakak iparnya itu.
"Ceraikan Kiyara! Kembalikan adikku kepada kami! Kami masih bisa mengurusnya bersama kedua anakmu itu."
Brug! Ponsel Kiyara terlepas dari tangan Bian.
Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak, tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak."Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri."Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera
Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya. "Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya. "Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara. Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dar
"Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in
Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi."Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?"Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya?"Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu."Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida
Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga
Bian menjadi tegang. "Mengapa Papa tiba-tiba ingin bicara dengan Kiyara?" Suaranya sedikit bergetar. Hal yang sangat jarang terjadi. Papa yang selama ini tidak begitu banyak berinteraksi dengan Kiyara, tiba-tiba menelpon mencari istrinya. Lumrahkan jika dirinya khawatir dan curiga? "Memangnya kenapa? Apa Papamu ini tidak boleh mencari menantunya sendiri?" "Aneh." Jawaban pendek Bian langsung membungkam bibir tebal Pak Atmaja. Pria tua itu tidak merespon jawaban Bian. "Betulkan, Pa? Aneh. Mengapa tiba-tiba Bapak ingin berbicara langsung dengan Kiyara. Selama ini Papa tidak pernah seperti ini. Ada masalah apa hingga mencari Kiyara? Cukup katakan pada Bian, biar nanti Bian sampaikan pada Kiyara," ucap Bian membuat pria tua di ujung sana merasa tersudut. "Kamu dikasih jampi-jampi apa sama wanita itu sampai seperti ini?" "Jampi-jampi? Maksud Papa apa?" Bian semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini sebenarnya? "Kamu begitu banyak berubah sejak menikah dengan wanita itu." Berubah
Kiyara meringis kesakitan dalam diam. Sialan! Mengapa pasangan suami istri menyebalkan ini bertamu saat suaminya tidak di rumah, umpat Kiyara dalam hati. "Maksud kakak apa? Saya tidak punya uang sebanyak itu." Ini orang kenapa sih, datang-datang minta uang? Kiyara memandang kesal Murni, istri Henri, kakak iparnya. Mengapa mereka datang saat Mas Bian tidak di rumah? Selalu saja mencari gara-gara di saat suaminya tidak sedang ada di rumah. "Tsk. Jangan bohong kamu! Kalau kamu tidak punya uang, mengapa bisa membangun rumah sebagus ini?" Murni menatap kesal Kiyara. "Bisa membangun rumah sebagus ini, masa iya tidak punya uang?" cibir Murni. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, dan ia hanya menemukan satu buah televisi lcd ukuran empat puluh dua inci, yang tergantung di tengah ruang dan sebuah laptop. Iisshhhh! Sumpah demi apa pun, saat ini Kiyara sangat ingin menarik wanita berhati iblis di depannya itu, ke dalam bak mandi dan menenggelamkan kepalanya hingga ke dasar bak. Su
Bian membuka pintu rumahnya dan berjalan masuk ke dalam. Tumben kok tidak ada suara anak-anak. Apa mereka semua sedang pergi? Bian meletakkan tasnya di atas meja ruang tamu, selanjutnya merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan kedua matanya. Hari ini begitu panas, membuat tenggorokannya terasa begitu kering. Bian mengeluarkan botol minum dari tas kerjanya dan meneguk air yang tersisa. Ia melirik jam dinding, yang terpasang tepat di atas pintu masuk rumahnya. Jam dua siang. Mengapa rumah begitu sepi? Kemana istri dan anak-anaknya? Bian berdiri dari duduknya, melangkah masuk ke ruang tengah lalu masuk ke kamarnya. Ketika langkah kakinya sampai di depan pintu kamar, samar telinganya menangkap suara Kiyara yang sedang mengomeli seseorang atau tentang seseorang? Bian mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk. Sengaja ia mengetuk pintu itu dengan ketukan lemah, agar supaya Kiyara hanya mendengarnya samar. Bian melihat sang istri tengah melipat pakaian sambil mengomel. Mengom