LOGINHaidar menghela napas berat, tatapannya semakin dingin. "Enggak usah drama Zola! Aku malas berdebat."
Selesai bicara, Haidar merapatkan tubuhnya ke sisi ranjang dan meraih tubuh Kirana ke dalam gendongannya. "Kalau kamu tidak bisa membawa Kirana ke dokter, biar aku bawa sendiri!" Haidar berbalik dan berjalan ke arah pintu. "Mas, tunggu! Aku nggak bermaksud menahan Kirana untuk dibawa ke dokter! Tapi di luar–" Brak! Pintu kamar Kirana dibanting keras dari luar. Zola terperanjat, hampir terjungkal ke belakang. Ketika ia hendak mengejar, tablet Kirana di atas meja belajar menyala. Ia terpaksa memeriksa tablet Kirana. "Raisa?" Suara Zola keluar seperti bisikan serak, nyaris tak bertenaga. Satu kata yang muncul di layar seperti pecahan kaca di tenggorokannya. Nama itu telah berhasil membuat darah Zola berdesir hebat serta memporak-porandakan hatinya. Zola menghela napas panjang, mencoba menstabilkan detak jantung sebelum mengangkat telepon dari Raisa. "Halo," sapa Raisa di seberang sana. Zola memejamkan mata. "Halo, ada apa?" “Oh, nggak ada apa-apa kok,” jawab Raisa ringan, seolah tersenyum. “Cuma pengen nyapa, nanya kabar.” Zola belum sempat merespons ketika Raisa melanjutkan, suaranya terdengar penuh empati yang dibuat-buat. “Setelah Haidar kemarin banyak cerita ke aku, aku jadi kepikiran kamu terus. Jujur aja, aku kasihan.” Jantung Zola berdegup keras. “Cerita apa?” “Ya… tentang kalian,” Raisa tertawa kecil, singkat. “Tentang betapa capeknya dia akhir-akhir ini. Dia bilang kamu sering curiga, sering salah paham. Hal-hal kecil jadi besar.” Zola menelan ludah. “Itu tidak benar.” “Hmm… aku juga sempat mikir begitu,” Raisa menghela napas pelan. “Tapi Haidar terdengar sangat yakin. Katanya, kamu sekarang mirip dia dulu. Terlalu takut kehilangan sampai tanpa sadar menekan orang yang disayang.” “Haidar nyaman cerita ke aku karena aku nggak menghakimi,” lanjut Raisa lembut. “Aku cuma dengerin. Mungkin itu yang dia butuhkan sekarang, semacam ruang untuk bernapas.” Zola terdiam. Ia merasakan dadanya sesak. “Oh ya,” Raisa menambahkan, nada suaranya turun, lebih serius. “Kadang aku berpikir… mungkin memang ada hal-hal yang seharusnya dikembalikan ke tempat semula.” “Apa maksudmu?” tanya Zola pelan, suaranya bergetar. “Maksudku, semuanya berjalan seperti yang kupikirkan sejak awal, Zola,” ujar Raisa santai, seolah sedang membicarakan hal remeh. “Aku tahu aku akan kembali. Aku tahu Haidar tidak pernah benar-benar melupakanku. Dan aku tahu… posisimu hanya sementara.” “Sementara?” bibir Zola bergetar. “Iya,” jawab Raisa ringan. “Itu kata Haidar.” Udara terasa menekan. Napas Zola semakin pendek. “Oh, dan satu lagi,” lanjut Raisa, nadanya tetap lembut. “Terima kasih sudah menjaga Kirana selama ini. Benar-benar. Kamu sudah mengambil peranku dengan baik. Tapi sekarang aku sudah ada lagi, kan.” Jantung Zola berdegup keras. “Maksudmu?” “Terima kasih juga karena kemarin kamu mengizinkan Haidar dan Kirana menemaniku seharian,” ucap Raisa. “Aku rindu sekali. Terutama Haidar. Sikapnya masih sama seperti dulu. Hangat. Dia bilang, kalau saja tidak ada orang ketiga, kami bertiga terlihat seperti keluarga yang utuh.” Genggaman Zola pada tablet mengeras. “Dia izin ke kamu dulu, kan?” tanya Raisa, nada suaranya terdengar polos, tapi menusuk. “Iya. Dan aku mengizinkan,” jawab Zola pelan. Raisa terkekeh kecil. “Sebenarnya… aku rasa Haidar tidak terlalu butuh izin, ya. Kalau sudah soal aku, dia selalu begitu. Empat tahun berlalu, ternyata dia tidak banyak berubah.” Zola menelan napas. “Masih ada yang ingin kamu sampaikan? Kalau tidak, aku tutup. Aku harus menyiapkan sarapan untuk Mas Haidar.” “Oh?” Raisa terdengar terkejut kecil. “Kamu yang menyiapkan makanannya?” “Iya.” Zola mengernyitkan dahiya, tak paham. Bukankah itu memang tugas seorang istri? “Hm… beda ya,” kata Raisa pelan. “Dulu justru Haidar yang sering memasak untukku. Dia tahu semua menu kesukaanku. Tapi mungkin itu karena dia benar-benar jatuh cinta waktu itu. Sementara sekarang… dia menikah karena butuh seseorang untuk mengurus—” Tut. Zola memutus panggilan itu. Tangannya gemetar, tapi dadanya terasa sedikit lebih lega karena tak perlu lagi mendengar suara yang perlahan mengikis hatinya. Tablet di tangan Zola terlepas, jatuh membentur lantai. Tubuhnya mundur tanpa sadar hingga terduduk di tepi ranjang. Ia menatap kosong ke langit-langit kamar, matanya terasa perih, kering. Mas Haidar curhat ke Raisa? Mas Haidar masih punya perasaan pada mantan istrinya? Pikirannya berantakan. Zola menggeleng cepat, menolak pikiran itu. Tidak. Raisa pasti berbohong. Ia menarik napas panjang, memaksa diri bangkit. Aku harus tetap jadi istri yang baik. Satu jam kemudian, sarapan tertata rapi di meja makan. Hampir bersamaan, suara mobil Haidar terdengar. Zola bergegas ke pintu. “Bagaimana, Mas? Kirana baik-baik saja, kan?” Haidar berhenti. Tatapannya datar, dingin. Tidak ada jawaban. “Mas?” suara Zola bergetar. “Kirana baik-baik saja, kan?” Tanpa sepatah kata pun, Haidar melangkah naik tangga dengan Kirana dalam gendongannya. Raisa menyusul di belakang, wajahnya cemas, tapi Haidar sama sekali tak menoleh. Ia meletakkan Kirana di ranjang, lalu menarik lengan Zola keluar kamar. Pintu ditutup rapat. “Tadi Raisa menelpon Kirana?” tanyanya tajam. Zola mengangguk gugup. “I… iya.” “Kenapa kamu tidak bilang Kirana sakit?” “Aku… lupa, Mas.” “Lupa?” suara Haidar meninggi. “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Zola?!” Zola tersentak. “Aku—” “Kamu cuma sibuk sama cemburu dan kecurigaanmu!” potong Haidar keras. “Ngapain kamu melarang Raisa ketemu Kirana? Dia ibu kandung Kirana, Zola!” “Aku tidak pernah melarang,” Zola membalas cepat, suaranya bergetar, tapi tegas. Haidar tertawa pendek, sinis. “Oh, jadi Raisa bohong? Terus kenapa dia nelpon sambil nangis? Dia bilang kamu mengancamnya. Katanya kamu akan melukai Kirana kalau dia datang.” Dunia Zola seakan runtuh. Tangannya menutup mulut, dadanya sesak. “Kenapa diam?!” bentak Haidar. Air mata Zola jatuh tanpa bisa ditahan. “Itu tidak benar,” katanya lirih, nyaris pecah. “Dia memfitnahku, Mas.” Haidar menatapnya lama, dingin, seolah mencari celah untuk menghancurkan sisa pertahanannya. “Tapi sikapmu selama ini membuatku lebih mudah percaya pada Raisa daripada kamu,” ucap Haidar pelan tapi kejam. Kalimat itu menghantam Zola lebih keras dari tamparan mana pun. Dadanya terasa kosong. Bukan tubuhnya yang sakit, tapi hatinya yang remuk perlahan.Sebulan kemudian.Taman belakang rumah mereka disulap menjadi negeri dongeng mini. Balon-balon berwarna pastel merah muda, ungu, dan biru langit bergelantungan di antara dahan pohon mangga. Pita-pita berkilauan melambai-lambai ditiup angin sore. Di tengah-tengah halaman, sebuah meja panjang ditutupi taplak bergambar unicorn, dipenuhi dengan kue-kue kecil, jeli aneka warna, dan sebuah kue ulang tahun megah bertingkat dua dengan hiasan pelangi di puncaknya. Ini adalah pesta ulang tahun kedelapan Kirana. Pesta yang Zola rencanakan selama berminggu-minggu dengan seluruh hati dan tenaganya."Ibu! Teman-temanku sudah datang semua?" Kirana, dengan gaun ungunya yang mengembang dan bando tanduk unicorn berkilauan, menarik-narik ujung blus Zola dengan tidak sabar."Sudah, Sayang. Tuh, mereka lagi main di sana," jawab Zola sambil menunjuk segerombolan anak kecil yang sedang tertawa-tawa di dekat ayunan. Senyumnya tulus saat melihat binar kebahagiaan di mata Kirana. Semua kegelisahan sebulan tera
“Mas …” lirih Zola, suaranya nyaris hilang. Haidar menatapnya dengan rahang mengeras. Bukan marah yang tersisa di matanya, melainkan kejengkelan yang sudah terlalu lama dipendam. “Setiap kali ada masalah, kamu selalu bermain perasaan,” ucapnya tajam. “Seolah aku ini orang jahat yang selalu salah.” Zola menggeleng lemah. “Aku cuma ingin rumah tangga ini baik-baik saja, Mas.” “Justru caramu itulah yang bikin semuanya makin rumit,” balas Haidar cepat. “Aku muak dengan sikapmu yang selalu merasa terancam.” Zola menunduk, jemarinya saling mencengkeram. “Aku hanya takut kehilangan kamu.” Haidar mendengus. “Kamu terlalu berlebihan.” Haidar berbalik menuju kamar, meninggalkan Zola dengan kata-kata yang menggantung dan dada yang terasa runtuh. Tak lama kemudian, suara pintu kamar dibuka kembali. Haidar muncul dengan tas di tangan, wajahnya sudah tertutup keputusan. “Mas…” Zola spontan melangkah maju. “Sudah,” potong Haidar singkat. “Aku butuh keluar sebentar.” Langkahnya terus berla
Haidar menghela napas berat, tatapannya semakin dingin. "Enggak usah drama Zola! Aku malas berdebat." Selesai bicara, Haidar merapatkan tubuhnya ke sisi ranjang dan meraih tubuh Kirana ke dalam gendongannya. "Kalau kamu tidak bisa membawa Kirana ke dokter, biar aku bawa sendiri!"Haidar berbalik dan berjalan ke arah pintu."Mas, tunggu! Aku nggak bermaksud menahan Kirana untuk dibawa ke dokter! Tapi di luar–"Brak!Pintu kamar Kirana dibanting keras dari luar. Zola terperanjat, hampir terjungkal ke belakang. Ketika ia hendak mengejar, tablet Kirana di atas meja belajar menyala. Ia terpaksa memeriksa tablet Kirana."Raisa?"Suara Zola keluar seperti bisikan serak, nyaris tak bertenaga. Satu kata yang muncul di layar seperti pecahan kaca di tenggorokannya. Nama itu telah berhasil membuat darah Zola berdesir hebat serta memporak-porandakan hatinya.Zola menghela napas panjang, mencoba menstabilkan detak jantung sebelum mengangkat telepon dari Raisa."Halo," sapa Raisa di seberang sana.
Zola terpaku di tempat, tatapannya mengarah pada punggung Haidar yang berlalu tapi pandangannya seolah kosong.Zola terduduk lemas di kursi, membiarkan keheningan menelannya. Ia merasa hampa. Kosong.Semakin lama, Haidar benar-benar semakin tidak peduli pada perasaannya. Padahal, dulu ketika pria itu memintanya untuk menjadi istrinya, sikapnya sangat manis, penuh perhatian.Namun, ketika mantan istrinya kembali hadir, semua berubah dalam sekejap.“Kamu benar-benar berubah, Mas.” Zola mendesah kecewa.Akhirnya, wanita itu memilih untuk pergi ke kamar tidur, tanpa membereskan meja makan terlebih dahulu. Hatinya terlalu lelah menerima perlakuan Haidar yang semakin jauh dari kata hangat.Namun, hingga pukul satu malam, Zola masih tak bisa memejamkan mata. Ia mencoba mengirim pesan pada Haidar, menanyakan kapan mereka akan pulang. Pesan itu hanya dibaca, tanpa balasan.Jika saja dulu Haidar tidak membantu biaya pengobatan dan operasi adik Zola, mungkin rasa hutang budi itu tak akan sedala
“Kamu mau ke mana, Mas? Ini makanannya sudah siap loh,” ujar Zola bingung ketika melihat suaminya melangkah pergi dari area ruang makan.Haidar hanya menoleh sekilas, seperti terganggu oleh keberadaan Zola. Tangannya tetap mencengkram ponsel yang masih berdering. “Urusan kerjaan. Kamu gak paham.”“Tapi, Mas—”Belum selesai Zola bicara, Haidar sudah mendorong pintu dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban. Suaranya hilang ditelan dinginnya malam.Zola memandang jam dinding. 20.30. Ia menarik napas panjang, menahan rasa yang tidak pernah benar-benar terucap.Dulu, Haidar pulang dengan senyum dan tangan hangat yang menariknya ke pelukan. Sekarang, ia pulang seperti tamu yang tidak peduli tuan rumahnya ada atau tidak.Zola menunduk, lalu menoleh pada gadis kecil yang duduk di bangku makan dengan kaki menggantung. Ia tersenyum kecil.Gadis itu, Kirana, adalah anak tiri Zola. Usianya hampir menginjak 8 tahun. Rambutnya hitam, wajah polos, mata fokus pada tablet di pangkuannya. Sejak tad







