LOGIN“Mas …” lirih Zola, suaranya nyaris hilang.
Haidar menatapnya dengan rahang mengeras. Bukan marah yang tersisa di matanya, melainkan kejengkelan yang sudah terlalu lama dipendam. “Setiap kali ada masalah, kamu selalu bermain perasaan,” ucapnya tajam. “Seolah aku ini orang jahat yang selalu salah.” Zola menggeleng lemah. “Aku cuma ingin rumah tangga ini baik-baik saja, Mas.” “Justru caramu itulah yang bikin semuanya makin rumit,” balas Haidar cepat. “Aku muak dengan sikapmu yang selalu merasa terancam.” Zola menunduk, jemarinya saling mencengkeram. “Aku hanya takut kehilangan kamu.” Haidar mendengus. “Kamu terlalu berlebihan.” Haidar berbalik menuju kamar, meninggalkan Zola dengan kata-kata yang menggantung dan dada yang terasa runtuh. Tak lama kemudian, suara pintu kamar dibuka kembali. Haidar muncul dengan tas di tangan, wajahnya sudah tertutup keputusan. “Mas…” Zola spontan melangkah maju. “Sudah,” potong Haidar singkat. “Aku butuh keluar sebentar.” Langkahnya terus berlanjut, tak lagi peduli pada Zola yang membeku di tempat. Pintu tertutup keras. Sesaat kemudian, suara mesin mobil menyala, lalu menjauh perlahan, seperti jarak yang kian terbentang di antara mereka. Zola masih berdiri di sana beberapa detik sebelum akhirnya tubuhnya melemah. Ia menghela napas berat, lalu melangkah gontai menuju kamar Kirana. Melihat anak tirinya tertidur pulas, Zola menyelimutinya kembali dengan hati-hati, seolah takut sedikit saja gerakan bisa merusak ketenangan yang tersisa. Malam semakin larut. Rumah itu terasa asing, terlalu besar untuk kesepiannya. Haidar tak juga pulang. Saat Zola hendak menelpon, layar ponselnya menyala lebih dulu. Sebuah pesan masuk dari nomor Haidar. Jantungnya berdegup kencang saat foto itu terbuka. Haidar duduk santai di samping Raisa, jarak mereka begitu dekat, terlalu akrab untuk diabaikan. Sebuah tulisan menyertai foto itu. [Malam ini Haidar untukku.] Zola terbelalak. Ia tahu, ini bukan Haidar yang mengirim. Dadanya terasa sesak, napasnya tercekat. Bahkan Kirana yang sedang sakit pun tak cukup untuk menahannya pulang. Ia terduduk di sofa, memeluk lututnya erat. Tangisnya pecah, sunyi namun menyakitkan. Ia menangis sampai matanya perih, sampai napasnya tersengal, sampai akhirnya yang tersisa hanyalah kehampaan yang menekan dadanya tanpa ampun. ** Pagi menjelang, sinar mentari menerobos celah jendela kamar Zola. Cahayanya cerah, sangat kontras dengan wajah sendu Zola kali ini. Wanita itu sebenarnya sangat malas bangun dari tempat tidur, tetapi Kirana menjadi alasan untuknya tetap bangkit ditengah perasaan yang hancur dan kepala yang berat akibat tidak tidur semalaman. "Sayang, kau sudah lapar ya?" Zola duduk di tepi ranjang Kirana. Gadis kecil yang sedang terbaring itu mengangguk lemah. "Bentar, Tante masih pesan online, paling bentar lagi nyampe." Kirana kembali mengangguk, lalu tangannya menarik boneka pemberian Raisa. Zola tersenyum pahit, semenjak boneka itu ada, mainan dan boneka pemberian darinya tidak lagi tersentuh oleh Kirana. Beberapa saat kemudian, kurir datang membawa makanan–hanya untuk Kirana karena Zola kehilangan nafsu makan. Ia segera menyuapi Kirana, tidak mau Kirana telat makan sehingga menghalangi proses penyembuhannya. Di saat Zola sedang menyuapi Kirana, Haidar berteriak dari lantai bawah. "Zola kau tidak masak hari ini?" Zola menghentikan aksinya. "Sayang, bisa makan sendiri sebentar?" "Bisa Tante." "Sebentar ya, ayahmu memanggil Tante." Zola keluar; menuruni tangga, dan berjalan ke meja makan. "Ada apa, Mas?" tanya Zola, nada suaranya datar dan lelah. "Kenapa belum ada masakan di sini?" Haidar mengangkat tudung saji dan menunjukkan meja. "Aku memang belum masak, Mas." Suara Zola melemah. "Kenapa? Bukankah kamu tahu si bibi pulang kampung? Kirana sedang sakit, dia enggak boleh telat makan." "Oh Mas baru sadar kalau putri Mas, sakit?" Haidar terperangah, bisa-bisanya Zola mengatakan dirinya melupakan Kirana. "Lagipula kalaupun aku masak, bukankah seringkali menunya berakhir di meja makan? Mas sudah jarang makan masakanku, jadi untuk apa memasak? Soal Kirana, Mas enggak usah khawatir, meskipun dia anak tiriku, tapi akan kupastikan aku lebih peduli dibandingkan ayah dan ibu kandungnya. sendiri." Zola tersenyum mengejek. "Apa maksudmu Zola?!" sentak Haidar. Matanya berkilat menahan amarah. "Darimana Mas, semalam? Apa yang membuat Mas lupa pulang sementara putrinya sedang sakit di rumah?" "Aku ada urusan pekerjaan Zola!" "Oh, pekerjaan menemani dan menyayangi Raisa?" Haidar membalikkan badan, menatap Zola dengan pandangan kesal. "Kamu ini kenapa, sih? Selalu saja berpikiran negatif! Raisa itu ibunya Kirana! Dia peduli sama Kirana! Kalau ada perlu apa-apa, dia bisa langsung hubungi aku tanpa harus lewat kamu yang ribet!" "Ribet? Mas bilang aku ribet?" Zola merasakan air matanya mulai menggenang. "Mas pikir aku ini apa? Penghalang? Aku ini istrinya Mas, Mas! Aku juga ibunya Kirana! Kenapa aku jadi pihak yang diabaikan dan dianggap ribet, hanya karena Raisa mau mengontrol Mas?!" "Dia tidak mengontrolku Zola, dia cuma membantuku! Kami cuma sharing tentang Kirana. Kamu itu jangan selalu mencurigai hal-hal kecil! Kamu itu kenapa, sih, enggak bisa percaya sama aku?!" "Bagaimana aku bisa percaya, Mas, kalau tiap hari Mas selalu berbohong? Setiap hari Mas selalu membela dia! Setiap hari Mas selalu mengabaikan perasaanku!" Zola balas berteriak, tidak peduli lagi jika suaranya terdengar sampai keluar rumah. "Mas pikir aku buta? Aku tahu Raisa sedang berusaha memisahkan kita! Aku tahu dia sedang berusaha mengambil Mas dariku! Dan Mas… Mas membiarkannya!" Haidar menggebrak meja dengan kepalan tangannya. "Cukup, Zola! Aku muak dengan semua tuduhanmu! Muak dengan semua drama ini! Raisa itu enggak pernah punya niat buruk! Dia itu cuma peduli sama Kirana! Kenapa kamu enggak bisa mengerti juga? Kenapa kamu selalu melihatnya sebagai musuh?!" "Karena dia memang musuh, Mas! Dia musuh yang menyamar sebagai malaikat! Dia sedang berusaha menghancurkan kita!" "Kamu yang menghancurkan kita, Zola! Kamu yang selalu membuat masalah! Kamu yang selalu cemburu buta!" Haidar menunjuk Zola dengan jari telunjuknya, wajahnya merah padam. "Kamu itu egois! Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri! Kamu tidak pernah peduli dengan perasaan Kirana! Kamu tidak pernah peduli dengan perasaanku!" "Aku peduli, Mas! Aku peduli sampai aku rela mengorbankan segalanya untuk Mas dan Kirana! Tapi apa yang aku dapatkan? Pengkhianatan! Kebohongan! Dan sekarang, Mas menginginkan aku pergi?!" Zola sudah tidak bisa menahan isakannya. "Siapa yang menyuruhmu pergi! Aku cuma bilang kamu jangan egois. Jangan halangi Raisa untuk bertemu kami!" Zola menggeleng. "Itu sama saja membuat diriku terusir secara halus." Haidar berbalik, tatapannya kembali ke meja makan. "Aku capek. Aku mau sarapan, tapi malah dikasih makan perdebatan." Haidar mengambil piring lalu membantingnya di meja makan. PRANG! Suara pecahan piring itu memekakkan telinga, membuat Zola terlonjak mundur. Pecahan piring keramik itu berserakan di meja, beberapa meluncur jatuh ke lantai, tepat di sebelah kaki Zola. "Cukup, Zola! Jangan bikin aku marah!" Haidar berteriak, suaranya menggelegar, matanya menyala penuh amarah. "Jangan pancing aku! Aku sudah bilang, itu demi Kirana! Demi Kirana! Apa kamu tuli, hah?!" Zola mematung, menatap pecahan piring di depannya. Sebuah pecahan tajam mendarat hanya beberapa sentimeter dari jari kakinya. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan lagi karena sakit hati, tapi karena rasa takut yang dingin. Haidar tidak pernah sampai sejauh ini. Ia memang kasar secara verbal, tapi ini pertama kalinya ia menunjukkan kekerasan fisik, meskipun melalui objek. Teror merayap perlahan ke dalam setiap sel tubuh Zola. Haidar menatapnya dengan napas terengah-engah, wajahnya masih merah padam. Ia tidak mengucapkan apa-apa lagi. Ia hanya berbalik, meraih kunci mobilnya, dan pergi begitu saja, meninggalkan Zola sendirian di dapur yang penuh dengan pecahan piring. Zola tidak bergerak selama beberapa menit. Tangannya gemetar. Ia menunduk, menatap pecahan piring yang berserakan di meja dan lantai. Pecahan-pecahan itu seperti cerminan hatinya yang hancur. Ia berlutut perlahan, tangannya yang masih gemetar meraih pecahan piring yang paling dekat. Rasa takut yang nyata masih mencengkeramnya. Ia memungut pecahan piring itu satu per satu, sambil gemetar. Air matanya mengalir deras, menetes ke lantai dapur, bercampur dengan remah-remah piring yang pecah. "Tante!" Kirana berdiri di atas tangga, melihat ke bawah pada Zola dengan air mata yang menetes.Sebulan kemudian.Taman belakang rumah mereka disulap menjadi negeri dongeng mini. Balon-balon berwarna pastel merah muda, ungu, dan biru langit bergelantungan di antara dahan pohon mangga. Pita-pita berkilauan melambai-lambai ditiup angin sore. Di tengah-tengah halaman, sebuah meja panjang ditutupi taplak bergambar unicorn, dipenuhi dengan kue-kue kecil, jeli aneka warna, dan sebuah kue ulang tahun megah bertingkat dua dengan hiasan pelangi di puncaknya. Ini adalah pesta ulang tahun kedelapan Kirana. Pesta yang Zola rencanakan selama berminggu-minggu dengan seluruh hati dan tenaganya."Ibu! Teman-temanku sudah datang semua?" Kirana, dengan gaun ungunya yang mengembang dan bando tanduk unicorn berkilauan, menarik-narik ujung blus Zola dengan tidak sabar."Sudah, Sayang. Tuh, mereka lagi main di sana," jawab Zola sambil menunjuk segerombolan anak kecil yang sedang tertawa-tawa di dekat ayunan. Senyumnya tulus saat melihat binar kebahagiaan di mata Kirana. Semua kegelisahan sebulan tera
“Mas …” lirih Zola, suaranya nyaris hilang. Haidar menatapnya dengan rahang mengeras. Bukan marah yang tersisa di matanya, melainkan kejengkelan yang sudah terlalu lama dipendam. “Setiap kali ada masalah, kamu selalu bermain perasaan,” ucapnya tajam. “Seolah aku ini orang jahat yang selalu salah.” Zola menggeleng lemah. “Aku cuma ingin rumah tangga ini baik-baik saja, Mas.” “Justru caramu itulah yang bikin semuanya makin rumit,” balas Haidar cepat. “Aku muak dengan sikapmu yang selalu merasa terancam.” Zola menunduk, jemarinya saling mencengkeram. “Aku hanya takut kehilangan kamu.” Haidar mendengus. “Kamu terlalu berlebihan.” Haidar berbalik menuju kamar, meninggalkan Zola dengan kata-kata yang menggantung dan dada yang terasa runtuh. Tak lama kemudian, suara pintu kamar dibuka kembali. Haidar muncul dengan tas di tangan, wajahnya sudah tertutup keputusan. “Mas…” Zola spontan melangkah maju. “Sudah,” potong Haidar singkat. “Aku butuh keluar sebentar.” Langkahnya terus berla
Haidar menghela napas berat, tatapannya semakin dingin. "Enggak usah drama Zola! Aku malas berdebat." Selesai bicara, Haidar merapatkan tubuhnya ke sisi ranjang dan meraih tubuh Kirana ke dalam gendongannya. "Kalau kamu tidak bisa membawa Kirana ke dokter, biar aku bawa sendiri!"Haidar berbalik dan berjalan ke arah pintu."Mas, tunggu! Aku nggak bermaksud menahan Kirana untuk dibawa ke dokter! Tapi di luar–"Brak!Pintu kamar Kirana dibanting keras dari luar. Zola terperanjat, hampir terjungkal ke belakang. Ketika ia hendak mengejar, tablet Kirana di atas meja belajar menyala. Ia terpaksa memeriksa tablet Kirana."Raisa?"Suara Zola keluar seperti bisikan serak, nyaris tak bertenaga. Satu kata yang muncul di layar seperti pecahan kaca di tenggorokannya. Nama itu telah berhasil membuat darah Zola berdesir hebat serta memporak-porandakan hatinya.Zola menghela napas panjang, mencoba menstabilkan detak jantung sebelum mengangkat telepon dari Raisa."Halo," sapa Raisa di seberang sana.
Zola terpaku di tempat, tatapannya mengarah pada punggung Haidar yang berlalu tapi pandangannya seolah kosong.Zola terduduk lemas di kursi, membiarkan keheningan menelannya. Ia merasa hampa. Kosong.Semakin lama, Haidar benar-benar semakin tidak peduli pada perasaannya. Padahal, dulu ketika pria itu memintanya untuk menjadi istrinya, sikapnya sangat manis, penuh perhatian.Namun, ketika mantan istrinya kembali hadir, semua berubah dalam sekejap.“Kamu benar-benar berubah, Mas.” Zola mendesah kecewa.Akhirnya, wanita itu memilih untuk pergi ke kamar tidur, tanpa membereskan meja makan terlebih dahulu. Hatinya terlalu lelah menerima perlakuan Haidar yang semakin jauh dari kata hangat.Namun, hingga pukul satu malam, Zola masih tak bisa memejamkan mata. Ia mencoba mengirim pesan pada Haidar, menanyakan kapan mereka akan pulang. Pesan itu hanya dibaca, tanpa balasan.Jika saja dulu Haidar tidak membantu biaya pengobatan dan operasi adik Zola, mungkin rasa hutang budi itu tak akan sedala
“Kamu mau ke mana, Mas? Ini makanannya sudah siap loh,” ujar Zola bingung ketika melihat suaminya melangkah pergi dari area ruang makan.Haidar hanya menoleh sekilas, seperti terganggu oleh keberadaan Zola. Tangannya tetap mencengkram ponsel yang masih berdering. “Urusan kerjaan. Kamu gak paham.”“Tapi, Mas—”Belum selesai Zola bicara, Haidar sudah mendorong pintu dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban. Suaranya hilang ditelan dinginnya malam.Zola memandang jam dinding. 20.30. Ia menarik napas panjang, menahan rasa yang tidak pernah benar-benar terucap.Dulu, Haidar pulang dengan senyum dan tangan hangat yang menariknya ke pelukan. Sekarang, ia pulang seperti tamu yang tidak peduli tuan rumahnya ada atau tidak.Zola menunduk, lalu menoleh pada gadis kecil yang duduk di bangku makan dengan kaki menggantung. Ia tersenyum kecil.Gadis itu, Kirana, adalah anak tiri Zola. Usianya hampir menginjak 8 tahun. Rambutnya hitam, wajah polos, mata fokus pada tablet di pangkuannya. Sejak tad







