LOGINZola terpaku di tempat, tatapannya mengarah pada punggung Haidar yang berlalu tapi pandangannya seolah kosong.
Zola terduduk lemas di kursi, membiarkan keheningan menelannya. Ia merasa hampa. Kosong. Semakin lama, Haidar benar-benar semakin tidak peduli pada perasaannya. Padahal, dulu ketika pria itu memintanya untuk menjadi istrinya, sikapnya sangat manis, penuh perhatian. Namun, ketika mantan istrinya kembali hadir, semua berubah dalam sekejap. “Kamu benar-benar berubah, Mas.” Zola mendesah kecewa. Akhirnya, wanita itu memilih untuk pergi ke kamar tidur, tanpa membereskan meja makan terlebih dahulu. Hatinya terlalu lelah menerima perlakuan Haidar yang semakin jauh dari kata hangat. Namun, hingga pukul satu malam, Zola masih tak bisa memejamkan mata. Ia mencoba mengirim pesan pada Haidar, menanyakan kapan mereka akan pulang. Pesan itu hanya dibaca, tanpa balasan. Jika saja dulu Haidar tidak membantu biaya pengobatan dan operasi adik Zola, mungkin rasa hutang budi itu tak akan sedalam ini mengikatnya. Meski kini adiknya telah tiada, besarnya pengorbanan Haidar bukan sesuatu yang bisa Zola lunasi dengan uang. Terlebih, dulu Haidar bersikap sangat lembut padanya. Bahkan, mendiang adiknya sempat berharap Haidar menikahi Zola dan menjaga Zola selamanya. Pikiran itulah yang membuat Zola terus bertahan, meski hatinya semakin lelah. Sejak pagi hingga sore, Zola menunggu dalam diam. Beberapa pesan dan panggilan kembali ia kirimkan, semuanya berakhir sama. Terbaca, lalu sunyi. Penantian panjang itu perlahan menggerus perasaannya. Baru ketika malam turun, tepat pukul tujuh, pintu rumah akhirnya terbuka. “Tante! Kirana pulang!” seru Kirana lantang, suaranya terdengar ceria, sama sekali tak mencerminkan panjangnya waktu yang telah dihabiskan Zola untuk menunggu. Zola yang ada di dalam kamar langsung keluar menghampiri gadis kecil itu. Ia bisa melihat wajah berseri Kirana yang berlari kecil ke arahnya. “Tante! Tebak, Kirana bawa apa?” Kirana menyembunyikan kotak besar di belakang tubuhnya dengan senyum lebar. Zola berjongkok tepat di hadapan anak tirinya, senyumnya mengembang, seolah ingin menyembunyikan gurat kecewa sebelumnya. “Wah, Kirana bawa apa itu? Kotaknya besar sekali!” Kirana segera menunjukkan kotak besar itu dengan bangga. “Ini boneka barbie edisi terbatas, dibelikan Ibu Raisa, Tante! Kata Ibu, ini cuma ada di toko khusus yang ada di mall besar.” Zola tersenyum pahit mendengar itu. Ia tahu, harga boneka itu jelas tidak murah. “Oh ya? Pasti Kirana senang ya dapat hadiah seperti itu?” Kirana mengangguk antusias. “Seneng banget! Ibu Raisa juga ajak Kirana jalan-jalan ke toko mainan lain, ke restoran mewah, pokoknya seru banget!” Gadis kecil itu terus menceritakan semua yang ia lakukan dengan ibu kandungnya. Rasa antusias gadis itu justru membuat Zola merasa perih. Bukan maksud Zola tidak suka melihat Kirana bahagia dengan ibu kandungnya, tapi tiap kata yang diucapkan oleh Kirana seolah membuat Zola merasa semakin tersudut dan tak berarti. Katakan bahwa Zola terlalu terbawa perasaan. Tapi nyatanya, memang seperti itu. Setiap kali selesai menjelaskan, Kirana selalu menambahkan kalimat, “Tidak seperti saat bersama Tante”. Sesekali Zola melirik Haidar yang berdiri tak jauh di belakang Kirana, seolah mencari kekuatan. Namun, pria itu justru hanya berdiri dengan sorot dingin. Sampai akhirnya, Kirana kembali berkata, “Oh iya, Ibu Raisa juga membelikan baju warna-warni yang banyak aksesorisnya, seperti yang Kirana suka. Kata Ibu Raisa, Kirana cantik kalau pakai baju seperti itu. Pokoknya, Ibu Raisa memang yang paling mengerti Kirana.” Kalimat terakhir Kirana menghantam dada Zola dengan keras. Selama ini, ia berusaha mengajari Kirana untuk berpakaian rapi dan lebih sopan untuk anak seusianya, tapi ibu kandungnya justru mendukung anak itu berpenampilan heboh dan jauh lebih dewasa dari usianya. Setelah berkata seperti itu, Kirana langsung melangkah pergi menuju kamarnya. Sementara Zola hanya bisa berdiri dengan kaku. Zola menatap Haidar sejenak, “Mas …” “Paham kan, kenapa aku masih berhubungan dengan Raisa?” ujar Haidar dingin. ** Pagi itu, Zola terbangun dengan firasat yang tidak enak, tapi ia berusaha mengusir itu. Akhirnya, ia langsung pergi ke kamar Kirana untuk membangunkan gadis kecil itu. Namun, langkah Zola terhenti di ambang pintu. Ia melihat tubuh Kirana tampak gelisah, selimutnya berantakan, napasnya pendek-pendek. Zola mendekat dan spontan menempelkan telapak tangan ke kening gadis kecil itu. Panas. “Ya Tuhan…” gumamnya lirih. Zola segera bergerak. Ia mengambil termometer, menempelkannya di ketiak Kirana. Angka di layar membuat dadanya terasa diremas. Tiga puluh delapan setengah. Tanpa membuang waktu, Zola mengambil air hangat, kain bersih, lalu mulai mengompres dahi dan lipatan tubuh Kirana. Ia mengganti kain berkali-kali, memastikan suhunya tepat. Setelah menyuapkan beberapa sendok bubur, Zola memberikan obat demam dan memaksa Kirana menelannya dengan bantuan air. “Kirana minum dulu ya, Sayang. Pelan-pelan,” ucapnya lembut, meski hatinya berdebar tak karuan. Tak disangka, pagi itu hujan turun deras di luar, menghantam jendela dengan suara tak beraturan, seolah ikut menambah kegelisahan di pagi itu. Tak lama kemudian, Haidar muncul di depan pintu kamar Kirana. “Kirana kenapa?” tanyanya cepat, matanya langsung tertuju pada tubuh anaknya yang lemah. “Demam, Mas. Baru aku cek, 38.5 panasnya,” jawab Zola sambil tetap mengompres. Wajah Haidar langsung berubah pucat. Ia mendekat dan menyentuh dahi Kirana. “Panas banget! Kita ke rumah sakit sekarang!” “Mas,” Zola menahan suaranya agar tetap tenang, “hujannya deras. Jalanan pasti susah. Aku juga sudah kasih obat, baru beberapa jam. Kita tunggu dulu reaksinya, ya.” “Tunggu apa lagi? Ini panasnya tinggi!” suara Haidar meninggi, kepanikan menguasai nadanya. “Kalau sampai kenapa-kenapa gimana?” “Aku di sini, Mas. Aku jaga terus,” Zola berusaha meyakinkan. “Kalau nanti turun, berarti obatnya bekerja. Kalau naik atau nggak turun sampai sore, kita langsung ke dokter.” “Kamu terlalu santai!” bentak Haidar. Ia mondar-mandir di kamar. “Ini anak sakit, Zola! Jangan dianggap sepele!” “Aku nggak menyepelekan,” suara Zola mulai bergetar. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan.” Haidar berhenti melangkah. Rahangnya mengeras. “Dulu Raisa nggak pernah begini. Dia langsung sigap. Dia selalu tahu harus ngapain. Obat apa, kapan ke dokter, semuanya rapi. Dia nggak pernah nunggu-nunggu!” Kata-kata itu menggantung di udara, lebih menyakitkan daripada teriakan. Tangan Zola yang memegang kain kompres berhenti bergerak. Napasnya terasa berat. Ia menoleh perlahan, menatap Haidar dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Oh…” suaranya nyaris berbisik. “Jadi ukuranku selalu dia, ya, Mas.” “Aku nggak bilang begitu,” sahut Haidar cepat, tapi nadanya sudah terlanjur dingin. “Tapi kamu mikirnya begitu,” Zola berdiri, menjauh satu langkah dari ranjang Kirana. “Di saat aku lagi ngerawat anakmu, kamu malah ngebandingin aku sama Raisa.” “Aku cuma—” “Cuma mau bilang aku nggak setelaten dia? Nggak secermat dia? Nggak cukup pantas buat jadi ibu di rumah ini?” Air mata Zola akhirnya jatuh, tak tertahan lagi. “Kalau begitu, Mas… dari awal kamu nggak pernah benar-benar percaya sama aku, kan?”Sebulan kemudian.Taman belakang rumah mereka disulap menjadi negeri dongeng mini. Balon-balon berwarna pastel merah muda, ungu, dan biru langit bergelantungan di antara dahan pohon mangga. Pita-pita berkilauan melambai-lambai ditiup angin sore. Di tengah-tengah halaman, sebuah meja panjang ditutupi taplak bergambar unicorn, dipenuhi dengan kue-kue kecil, jeli aneka warna, dan sebuah kue ulang tahun megah bertingkat dua dengan hiasan pelangi di puncaknya. Ini adalah pesta ulang tahun kedelapan Kirana. Pesta yang Zola rencanakan selama berminggu-minggu dengan seluruh hati dan tenaganya."Ibu! Teman-temanku sudah datang semua?" Kirana, dengan gaun ungunya yang mengembang dan bando tanduk unicorn berkilauan, menarik-narik ujung blus Zola dengan tidak sabar."Sudah, Sayang. Tuh, mereka lagi main di sana," jawab Zola sambil menunjuk segerombolan anak kecil yang sedang tertawa-tawa di dekat ayunan. Senyumnya tulus saat melihat binar kebahagiaan di mata Kirana. Semua kegelisahan sebulan tera
“Mas …” lirih Zola, suaranya nyaris hilang. Haidar menatapnya dengan rahang mengeras. Bukan marah yang tersisa di matanya, melainkan kejengkelan yang sudah terlalu lama dipendam. “Setiap kali ada masalah, kamu selalu bermain perasaan,” ucapnya tajam. “Seolah aku ini orang jahat yang selalu salah.” Zola menggeleng lemah. “Aku cuma ingin rumah tangga ini baik-baik saja, Mas.” “Justru caramu itulah yang bikin semuanya makin rumit,” balas Haidar cepat. “Aku muak dengan sikapmu yang selalu merasa terancam.” Zola menunduk, jemarinya saling mencengkeram. “Aku hanya takut kehilangan kamu.” Haidar mendengus. “Kamu terlalu berlebihan.” Haidar berbalik menuju kamar, meninggalkan Zola dengan kata-kata yang menggantung dan dada yang terasa runtuh. Tak lama kemudian, suara pintu kamar dibuka kembali. Haidar muncul dengan tas di tangan, wajahnya sudah tertutup keputusan. “Mas…” Zola spontan melangkah maju. “Sudah,” potong Haidar singkat. “Aku butuh keluar sebentar.” Langkahnya terus berla
Haidar menghela napas berat, tatapannya semakin dingin. "Enggak usah drama Zola! Aku malas berdebat." Selesai bicara, Haidar merapatkan tubuhnya ke sisi ranjang dan meraih tubuh Kirana ke dalam gendongannya. "Kalau kamu tidak bisa membawa Kirana ke dokter, biar aku bawa sendiri!"Haidar berbalik dan berjalan ke arah pintu."Mas, tunggu! Aku nggak bermaksud menahan Kirana untuk dibawa ke dokter! Tapi di luar–"Brak!Pintu kamar Kirana dibanting keras dari luar. Zola terperanjat, hampir terjungkal ke belakang. Ketika ia hendak mengejar, tablet Kirana di atas meja belajar menyala. Ia terpaksa memeriksa tablet Kirana."Raisa?"Suara Zola keluar seperti bisikan serak, nyaris tak bertenaga. Satu kata yang muncul di layar seperti pecahan kaca di tenggorokannya. Nama itu telah berhasil membuat darah Zola berdesir hebat serta memporak-porandakan hatinya.Zola menghela napas panjang, mencoba menstabilkan detak jantung sebelum mengangkat telepon dari Raisa."Halo," sapa Raisa di seberang sana.
Zola terpaku di tempat, tatapannya mengarah pada punggung Haidar yang berlalu tapi pandangannya seolah kosong.Zola terduduk lemas di kursi, membiarkan keheningan menelannya. Ia merasa hampa. Kosong.Semakin lama, Haidar benar-benar semakin tidak peduli pada perasaannya. Padahal, dulu ketika pria itu memintanya untuk menjadi istrinya, sikapnya sangat manis, penuh perhatian.Namun, ketika mantan istrinya kembali hadir, semua berubah dalam sekejap.“Kamu benar-benar berubah, Mas.” Zola mendesah kecewa.Akhirnya, wanita itu memilih untuk pergi ke kamar tidur, tanpa membereskan meja makan terlebih dahulu. Hatinya terlalu lelah menerima perlakuan Haidar yang semakin jauh dari kata hangat.Namun, hingga pukul satu malam, Zola masih tak bisa memejamkan mata. Ia mencoba mengirim pesan pada Haidar, menanyakan kapan mereka akan pulang. Pesan itu hanya dibaca, tanpa balasan.Jika saja dulu Haidar tidak membantu biaya pengobatan dan operasi adik Zola, mungkin rasa hutang budi itu tak akan sedala
“Kamu mau ke mana, Mas? Ini makanannya sudah siap loh,” ujar Zola bingung ketika melihat suaminya melangkah pergi dari area ruang makan.Haidar hanya menoleh sekilas, seperti terganggu oleh keberadaan Zola. Tangannya tetap mencengkram ponsel yang masih berdering. “Urusan kerjaan. Kamu gak paham.”“Tapi, Mas—”Belum selesai Zola bicara, Haidar sudah mendorong pintu dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban. Suaranya hilang ditelan dinginnya malam.Zola memandang jam dinding. 20.30. Ia menarik napas panjang, menahan rasa yang tidak pernah benar-benar terucap.Dulu, Haidar pulang dengan senyum dan tangan hangat yang menariknya ke pelukan. Sekarang, ia pulang seperti tamu yang tidak peduli tuan rumahnya ada atau tidak.Zola menunduk, lalu menoleh pada gadis kecil yang duduk di bangku makan dengan kaki menggantung. Ia tersenyum kecil.Gadis itu, Kirana, adalah anak tiri Zola. Usianya hampir menginjak 8 tahun. Rambutnya hitam, wajah polos, mata fokus pada tablet di pangkuannya. Sejak tad







