LOGINSebulan kemudian.
Taman belakang rumah mereka disulap menjadi negeri dongeng mini. Balon-balon berwarna pastel merah muda, ungu, dan biru langit bergelantungan di antara dahan pohon mangga. Pita-pita berkilauan melambai-lambai ditiup angin sore. Di tengah-tengah halaman, sebuah meja panjang ditutupi taplak bergambar unicorn, dipenuhi dengan kue-kue kecil, jeli aneka warna, dan sebuah kue ulang tahun megah bertingkat dua dengan hiasan pelangi di puncaknya. Ini adalah pesta ulang tahun kedelapan Kirana. Pesta yang Zola rencanakan selama berminggu-minggu dengan seluruh hati dan tenaganya.
"Ibu! Teman-temanku sudah datang semua?" Kirana, dengan gaun ungunya yang mengembang dan bando tanduk unicorn berkilauan, menarik-narik ujung blus Zola dengan tidak sabar.
"Sudah, Sayang. Tuh, mereka lagi main di sana," jawab Zola sambil menunjuk segerombolan anak kecil yang sedang tertawa-tawa di dekat ayunan. Senyumnya tulus saat melihat binar kebahagiaan di mata Kirana. Semua kegelisahan sebulan terakhir seolah terbayar lunas oleh pemandangan ini.
"Pestanya bagus banget, Bu! Aku suka sekali!" seru Kirana, memeluk pinggang Zola erat.
"Sama-sama, Sayang. Apa pun untuk anak Ibu yang paling cantik." Zola mengecup puncak kepala Kirana.
Haidar mendekat dari arah teras, membawa nampan berisi gelas-gelas minuman. "Hebat sekali istriku ini. Semuanya sempurna." Ia tersenyum, senyum yang berusaha keras terlihat normal, seperti yang sering ia lakukan sebulan ini. Mereka tidak pernah membahas lagi pesan dari Raisa malam itu.
"Bantu aku sebentar, Mas. Tolong atur piring-piring kecilnya," pinta Zola.
Saat itulah sebuah mobil berhenti di depan gerbang. Ny. Sinta turun dengan langkah anggun, mengenakan gamis berwarna krem yang serasi dengan kerudungnya.
"Nenek!" Kirana langsung berlari menyongsongnya.
"Selamat ulang tahun, Cucu Nenek yang paling cantik!" Ny. Sinta memeluk Kirana dengan hangat, menyerahkan sebuah kado berukuran besar. "Ini buat Kirana."
"Makasih, Nek!"
Zola dan Haidar menghampiri. "Sore, Ma," sapa Zola sambil mencoba meraih tangan mertuanya untuk bersalaman.
Ny. Sinta menyambut uluran tangannya dengan sentuhan singkat dan dingin. "Sore. Wah, ramai sekali, ya?" matanya menyapu seluruh dekorasi taman dengan tatapan menilai.
"Iya, Ma. Kirana yang minta teman-temannya diundang semua," sahut Haidar, mencoba mencairkan suasana.
"Baguslah," komentar Ny. Sinta singkat. Ia berjalan menuju meja utama, matanya tertuju pada kue ulang tahun. "Ini kuenya? Pesan di mana, Zola?"
"Di toko kue langganan Kirana, Ma. Yang dekat persimpangan itu. Kirana suka sekali kue cokelat dari sana," jelas Zola dengan nada ramah.
"Oh, yang itu." Ny. Sinta mengangguk pelan. "Rasanya memang lumayan untuk anak-anak. Tapi hiasannya kok terlalu ramai begini, ya? Warnanya mencolok sekali."
Zola tersenyum tipis, mencoba menelan duri kecil dalam komentar itu. "Kirana suka pelangi, Ma. Jadi aku minta dibuatkan yang semeriah mungkin."
"Anak kecil memang seleranya begitu," ujar Ny. Sinta, seolah itu adalah sebuah kekurangan. "Dulu waktu Raisa yang siapkan ulang tahun Kirana, temanya selalu elegan. Simpel, tapi berkelas. Kue-kuenya juga pesan di butik kue yang di hotel bintang lima itu. Lembut sekali, lumer di mulut."
Dunia Zola seakan berhenti berputar sejenak. Nama itu lagi. Disebutkan dengan begitu santai, begitu ringan, seolah bukan sebuah granat yang dilemparkan ke tengah kebahagiaan putrinya.
"Ma," tegur Haidar pelan, raut wajahnya tidak nyaman. "Ini, kan, pestanya Kirana. Yang penting Kirana senang."
"Mama, kan, cuma bilang," balas Ny. Sinta tanpa merasa bersalah. "Mama cuma teringat saja. Dulu pestanya Kirana selalu jadi omongan ibu-ibu lain. Katanya seleranya Raisa bagus sekali."
Zola menarik napas dalam-dalam, memaksakan senyum di bibirnya. "Silakan duduk, Ma. Biar Zola ambilkan minum." Ia berbalik, melarikan diri sebelum pertahanannya runtuh. Di sudut dapur yang menghadap ke taman, ia mencengkeram tepi meja, mengatur napasnya yang mulai sesak.
Acara tiup lilin berlangsung meriah. Kirana berdiri di depan kue pelanginya, matanya berbinar-binar saat semua orang menyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun". Haidar berdiri di satu sisi, dan Zola di sisi lainnya. Untuk sesaat, mereka tampak seperti keluarga yang sempurna. Zola memeluk Kirana setelah gadis kecil itu berhasil meniup semua lilinnya dalam satu hembusan.
"Potong kuenya! Potong kuenya!" sorak teman-teman Kirana.
Zola mengambil pisau kue, membantu Kirana memotong irisan pertama. "Potongan pertama untuk Ayah," kata Kirana sambil menyerahkan piring kecil ke Haidar.
"Terima kasih, Sayang," ujar Haidar, mencium pipi putrinya.
"Potongan kedua untuk ...." Kirana menatap Zola dengan senyum ompongnya yang manis. "Untuk Ibu!"
Hati Zola menghangat. Ia menerima piring itu dengan tangan sedikit gemetar. "Terima kasih, anak cantik."
Di tengah keriuhan anak-anak yang berebut kue, Zola melihat mertuanya sedang berbincang dengan salah seorang kerabat jauh. Ia tidak bisa mendengar jelas percakapan mereka, tapi ia bisa melihat gestur tangan Ny. Sinta yang menunjuk ke arah dekorasi, lalu ke arah kue, sambil menggelengkan kepala pelan.
Rasa tidak nyaman kembali menyergapnya. Di tengah pesta yang ia rancang sendiri, di tengah tawa bahagia anak yang ia cintai, ia merasa seperti orang asing. Seorang pengganti yang dinilai dari setiap detail, dan selalu ditemukan kurang.
Menjelang senja, para tamu mulai berpamitan. Kirana, yang kelelahan namun sangat bahagia, sedang asyik membuka kado-kadonya di teras, ditemani Haidar. Zola sibuk mengumpulkan piring dan gelas kotor, membawanya ke dapur.
Ny. Sinta menghampirinya yang sedang berdiri di depan wastafel.
"Pestanya sudah selesai, ya," ujar Ny. Sinta, nadanya datar.
"Iya, Ma. Alhamdulillah lancar," jawab Zola tanpa menoleh.
"Lancar, sih lancar. Cuma, kok rasanya kaku, ya?"
Zola menghentikan gerakan tangannya. Ia mematikan keran air. Suara gemericik yang berhenti membuat keheningan di antara mereka terasa memekakkan.
"Maksud Mama?" tanya Zola pelan, masih membelakangi mertuanya.
"Ya, kaku saja. Tamu-tamu orang tua juga cuma duduk-duduk, ngobrol sebentar, lalu pulang. Nggak ada suasana hangatnya. Kamu terlalu sibuk di dapur, Haidar juga cuma fokus ke Kirana."
Zola membalikkan badan, menatap mertuanya dengan tatapan lelah. "Maaf kalau ada yang kurang, Ma."
Ny. Sinta menghela napas berat. Ia menatap ke arah taman yang kini mulai berantakan, pandangannya menerawang jauh.
"Seandainya Raisa ada di sini," desahnya, suaranya cukup keras untuk didengar dan cukup tajam untuk merobek jantung Zola. "Pasti pestanya tidak sekaku ini."
Sebulan kemudian.Taman belakang rumah mereka disulap menjadi negeri dongeng mini. Balon-balon berwarna pastel merah muda, ungu, dan biru langit bergelantungan di antara dahan pohon mangga. Pita-pita berkilauan melambai-lambai ditiup angin sore. Di tengah-tengah halaman, sebuah meja panjang ditutupi taplak bergambar unicorn, dipenuhi dengan kue-kue kecil, jeli aneka warna, dan sebuah kue ulang tahun megah bertingkat dua dengan hiasan pelangi di puncaknya. Ini adalah pesta ulang tahun kedelapan Kirana. Pesta yang Zola rencanakan selama berminggu-minggu dengan seluruh hati dan tenaganya."Ibu! Teman-temanku sudah datang semua?" Kirana, dengan gaun ungunya yang mengembang dan bando tanduk unicorn berkilauan, menarik-narik ujung blus Zola dengan tidak sabar."Sudah, Sayang. Tuh, mereka lagi main di sana," jawab Zola sambil menunjuk segerombolan anak kecil yang sedang tertawa-tawa di dekat ayunan. Senyumnya tulus saat melihat binar kebahagiaan di mata Kirana. Semua kegelisahan sebulan tera
“Mas …” lirih Zola, suaranya nyaris hilang. Haidar menatapnya dengan rahang mengeras. Bukan marah yang tersisa di matanya, melainkan kejengkelan yang sudah terlalu lama dipendam. “Setiap kali ada masalah, kamu selalu bermain perasaan,” ucapnya tajam. “Seolah aku ini orang jahat yang selalu salah.” Zola menggeleng lemah. “Aku cuma ingin rumah tangga ini baik-baik saja, Mas.” “Justru caramu itulah yang bikin semuanya makin rumit,” balas Haidar cepat. “Aku muak dengan sikapmu yang selalu merasa terancam.” Zola menunduk, jemarinya saling mencengkeram. “Aku hanya takut kehilangan kamu.” Haidar mendengus. “Kamu terlalu berlebihan.” Haidar berbalik menuju kamar, meninggalkan Zola dengan kata-kata yang menggantung dan dada yang terasa runtuh. Tak lama kemudian, suara pintu kamar dibuka kembali. Haidar muncul dengan tas di tangan, wajahnya sudah tertutup keputusan. “Mas…” Zola spontan melangkah maju. “Sudah,” potong Haidar singkat. “Aku butuh keluar sebentar.” Langkahnya terus berla
Haidar menghela napas berat, tatapannya semakin dingin. "Enggak usah drama Zola! Aku malas berdebat." Selesai bicara, Haidar merapatkan tubuhnya ke sisi ranjang dan meraih tubuh Kirana ke dalam gendongannya. "Kalau kamu tidak bisa membawa Kirana ke dokter, biar aku bawa sendiri!"Haidar berbalik dan berjalan ke arah pintu."Mas, tunggu! Aku nggak bermaksud menahan Kirana untuk dibawa ke dokter! Tapi di luar–"Brak!Pintu kamar Kirana dibanting keras dari luar. Zola terperanjat, hampir terjungkal ke belakang. Ketika ia hendak mengejar, tablet Kirana di atas meja belajar menyala. Ia terpaksa memeriksa tablet Kirana."Raisa?"Suara Zola keluar seperti bisikan serak, nyaris tak bertenaga. Satu kata yang muncul di layar seperti pecahan kaca di tenggorokannya. Nama itu telah berhasil membuat darah Zola berdesir hebat serta memporak-porandakan hatinya.Zola menghela napas panjang, mencoba menstabilkan detak jantung sebelum mengangkat telepon dari Raisa."Halo," sapa Raisa di seberang sana.
Zola terpaku di tempat, tatapannya mengarah pada punggung Haidar yang berlalu tapi pandangannya seolah kosong.Zola terduduk lemas di kursi, membiarkan keheningan menelannya. Ia merasa hampa. Kosong.Semakin lama, Haidar benar-benar semakin tidak peduli pada perasaannya. Padahal, dulu ketika pria itu memintanya untuk menjadi istrinya, sikapnya sangat manis, penuh perhatian.Namun, ketika mantan istrinya kembali hadir, semua berubah dalam sekejap.“Kamu benar-benar berubah, Mas.” Zola mendesah kecewa.Akhirnya, wanita itu memilih untuk pergi ke kamar tidur, tanpa membereskan meja makan terlebih dahulu. Hatinya terlalu lelah menerima perlakuan Haidar yang semakin jauh dari kata hangat.Namun, hingga pukul satu malam, Zola masih tak bisa memejamkan mata. Ia mencoba mengirim pesan pada Haidar, menanyakan kapan mereka akan pulang. Pesan itu hanya dibaca, tanpa balasan.Jika saja dulu Haidar tidak membantu biaya pengobatan dan operasi adik Zola, mungkin rasa hutang budi itu tak akan sedala
“Kamu mau ke mana, Mas? Ini makanannya sudah siap loh,” ujar Zola bingung ketika melihat suaminya melangkah pergi dari area ruang makan.Haidar hanya menoleh sekilas, seperti terganggu oleh keberadaan Zola. Tangannya tetap mencengkram ponsel yang masih berdering. “Urusan kerjaan. Kamu gak paham.”“Tapi, Mas—”Belum selesai Zola bicara, Haidar sudah mendorong pintu dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban. Suaranya hilang ditelan dinginnya malam.Zola memandang jam dinding. 20.30. Ia menarik napas panjang, menahan rasa yang tidak pernah benar-benar terucap.Dulu, Haidar pulang dengan senyum dan tangan hangat yang menariknya ke pelukan. Sekarang, ia pulang seperti tamu yang tidak peduli tuan rumahnya ada atau tidak.Zola menunduk, lalu menoleh pada gadis kecil yang duduk di bangku makan dengan kaki menggantung. Ia tersenyum kecil.Gadis itu, Kirana, adalah anak tiri Zola. Usianya hampir menginjak 8 tahun. Rambutnya hitam, wajah polos, mata fokus pada tablet di pangkuannya. Sejak tad







