Share

3. Calon Mama tiri

Hah?

Sekarang gantian aku yang kaget. Point 3 katanya pointn merampok, menurut  Ridwan?

Sembarangan!

"Siapa yang mau merampok, Mas? Apa aku ada tampang merampok?" Aku balik memelototkan mata ke arah Ridwan. Membalas matanya yang hampir loncat menggelinding

"I-itu kenapa pointnya seperti itu?" protes Ridwan yang wajahnya terlihat ngeri. 

"Kenapa?;terlalu sedikit ya, buat harga kesetiaan. Aku naikkan jadi 10 milyar, gimana?" 

"Apa?" Ridwan bukan hanya melotot, tapi keningnya sekarang berkerut dalam. "Yang benar saja, Rosi!" 

"Oke..oke .aku jabarkan kenapa ada point' tiga absurd itu." Akhirnya aku mengalah. Aku akan jelaskan, kenapa membuat point' tiga itu, yang membuat Ridwan seperti kebakaran jenggot.

"Kesetiaan itu mahal harganya, Mas. Uang satu milyar atau berapapun, tidak bisa menggantikannya." Aku menghela napas sejenak. "Kesetiaan sangat langka di zaman seperti sekarang ini." 

Ridwan kali ini terdiam, seperti tengah berpikir dengan ucapanku.

"Kamu pernah di khianati?" Ridwan malah balik bertanya.

"Sering." Aku tersenyum kecut. "Bukan hanya pengkhianatan, tapi orang  yang mendekat ke arahku hanya ingin  numpang hidup. Lelaki kere, yang pengen hidup enak, tanpa capek, karena aku wanita pekerja."

Hening. 

Tidak ada sahutan dari Ridwan. Hanya terdengar bunyi mendesis dari masakan yang sedang disiapkan di dapur kafe.

Mata Ridwan beralih menatapku sangat lekat 

"Jadi itulah...kenapa kamu sampai sekarang belum menikah?" tanyanya hati-hati 

"Iya," jawabku jujur. Biarlah, tak ada yang aku tutupi sekarang, biar Ridwan mengerti aku sebelum melangkah jauh.

"Baiklah, aku mengerti." Ada senyum di bibir Ridwan. "Aku juga dikhianati Joana. Mungkin perasaan kita hampir sama." 

Aku tersenyum lega. Baru saja hendak ku ceklis point' tiga, tetapi..

"Point' itu juga berlaku untukmu, kan?" tanya Ridwan buru-buru. "Termasuk... jika kamu selingkuh, denda juga satu milyar. Begitu ya, Rosi?" 

Aku mengangguk. "Ya. Karena aku orangnya adil. Tidak mau enak sendiri." 

Ridwan manggut-manggut. "Deal!" ucapnya sambil tersenyum. 

Aku menghela napas panjang. Ternyata memang tak mudah berhadapan dengan perjanjian pra-nikah ini. Aku juga dituntut konsisten, tunduk pada yang telah kutuliskan. 

Dengan berdoa, kuceklis point' tiga. Done! 

"Perjanjian ini sengaja kubuat rangkap tiga, tolong tanda tangani!" Aku menyodorkan tiga lembar kertas. 

"Rangkap tiga? Banyak sekali. Buat siapa aja?" Ridwan mengerutkan kening sambil menerima kertas itu.

"Aku satu, kamu satu. ..." 

"Satu lagi siapa? Ibumu?" sela Ridwan tak sabar 

"Bukan, pengacara. Biar ada pihak netral yang menyimpannya."

Ridwan menggelengkan kepalanya. "Kamu teliti sekali, Rosi. Semua disiapkan matang, seolah begitu genting dan penting sekali," komentarnya.

"Iya, maaf, Mas. Saya hanya berjaga. Sedia payung sebelum hujan."

Ridwan tak lagi protes, langsung mengambil pulpen yang kusodorkan dan menanda tangani tiga  berkas itu. 

Done! 

Akhirnya perjanjian itu telah resmi ditanda tangani oleh aku dan Ridwan. 

Tak berapa lama, pesanan makanan tersedia. Ridwan terlihat makan dengan lahap. Kali ini wajahnya tenang. Aku perhatikan secara diam-diam. Dalam hati bertanya, lelaki seperti apa jodohku ini?

Tiga point' perjanjian yang bagi orang lain mungkin nyebelin, bikin darting, dia terima, meskipun semuanya ditanyakan dulu alasannya padaku. Aku bisa menjelaskan semua alasannya dengan tidak mengada-ada. Masuk akal.

 Diam-diam ada rasa kagum dalam hati. Usia muda, tapi pemikirannya sangat dewasa, malah terkesan bijak. Kenapa isterinya sampai bisa meninggalkannya seperti itu? Jarang ada tipe lelaki smart tapi hatinya baik seperti dia.

"Makan saja, gak usah sambil diam-diam lihatin gitu," celetuk Ridwan, membuatku hampir keselek.

Glek! Ketahuan deh aku memerhatikannya diam-diam! Rasanya pengen nyelam ke dasar tanah. Malu. Salting jadinya. 

"Uhuk..uhuk..." Aku jadinya  terbatuk-batuk. 

Ridwan mengangsurkan es jeruk. "Minum dulu," katanya sambil tersenyum.

Aku segera meraih gelas, meminumnya agak banyak, sambil rasa tersedak hilang. 

Gara-gara dia, aku jadi terlihat konyol. Dasar, Rosi! Kok, bisa malu-,maluin gini?

"Jadi bagaimana? Kita sudah fix jadi menikah, kan?" tanyanya lagi memastikan.

"Iya!" Aku mengangguk, sambil kerepotan mengatur ritme jantungku yang berdebar tak karuan.

"Kalau sudah fix, aku akan kenalkan kamu pada si kembar empat." 

Nah, ini dia ujianku yang sebenarnya. Harus bisa jadi ibu tiri yang baik  untuk empat anak kembar. 

Apa aku bisa?

"Rosi!" panggil Ridwan sebelum masuk ke mobilnya untuk pulang.

"iya, Mas?" Aku melihat ke arahnya.

"Kamu memang merampok, kok!" 

"Hah?" Aku kembali melotot ke arah Ridwan.

"Merampok hatiku!" 

Aw...tubuhku serasa naik roll coaster. Melayang, merinding, dan ingin menjerit kaget. Namun, buru-buru kutahan dan pasang muka biasa saja.

'Mas ... bisa aja!" 

Ridwan tersenyum lalu masuk ke dalam mobil. Aku juga masuk ke mobilku.

Uhuy ... jantungku serasa meletup-letup hendak loncat. 

Oh...cinta, inikah rasanya?

***

Aku terburu-,buru kembali ke kantor, setelah waktu istirahat habis.

"Adu..duh, Valentina Rosi. Jalan tuh pakai mata!" teriak Sida, yang tubuhnya hampir bertubrukan denganku di pintu masuk kantor. 

"Jalan tuh pakai kaki, bukan mata!" balasku  sambil ngeloyor masuk ruangan. Sida misuh-misuh sendiri. Sobatku di kantor itu, sudah biasa melihatku yang kadang jalan serampangan. Namun, tetap saja keki kalau bertubrukan kayak barusan.

Aku segera berjalan ke ruanganku. Jabatanku di kantor masuk kategori penting. Manajer penjualan. Berkaitan sekali dengan marketing. 

"Rosi, dipanggil Pak Abda. Semua manajer dan kepala bagian,  harus kumpul  di ruang meeting!" Kepala Adi terjulur di pintu ruangan. Dia pegang personalia.

"Sekarang?" 

"Iya, sekarang, jangan nunggu lebaran monyet.'

Aku mendengkus. Dasar, Adi. Seenaknya saja nyeletuk.

Aku melangkahkan kaki ke arah ruang meeting. Sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu.

Setelah para manajer dan kepala bagian  hadir semua, Pak Abda--CEO perusahaan--memulai meetingnya.

"Akan ada investor baru di perusahaan ini. Sekarang orangnya sedang di jalan menuju ke sini. Kalian bersiap-siap, ya menyambut," ucap Pak Abda. "Tunjukkan kinerja kalian yang baik. Terutama Rosi, manager penjualan dan marketing, harus bisa menunjukkan prestasi lebih lagi biar investor puas!" 

Aku menganggukkan kepala mendengar titah Pak Abda. Hati ini penasaran juga dengan sosok investor ini. Semoga saja tidak banyak aturan yang memberatkan perusahaan.

"Kayak gimana orangnya, ya? Kok, disambit, eh...disambut istimewa begini?" Ruri si accounting penasaran.

"Meneketehe!" Aku menggedikan bahu. 

Ruangan hening beberapa menit, sampai akhirnya Pak Abda berbicara lagi tentang latar belakang investor itu. 

Perusahaannya sudah lama berdiri, pernah kena badai krisis tapi bisa bangkit lagi, malah lebih kuat dari sebelumnya. Investor itu melirik ke perusahaan ini, karena dilihat potensial bisa kerjasama dengan perusahaannya. 

Tengah asyik menyimak, terdengar ketukan di pintu. 

"Masuk!" seru Pak Abda.

"Tamu yang ditunggu sudah datang, Pak," ujar Yesi sang sekretaris.

"Suruh masuk!" 

Akhirnya seluruh mata memandang ke arah pintu, semua penasaran dengan sosok investor yang dari tadi dibicarakan. 

Mataku melotot, seolah melihat hantu! 

Sesosok tubuh gagah berdiri di ambang pintu, bibirnya menyunggingkan seulas senyum. 

"Silakan masuk, Pak Ridwan!" Pak Abda menyambut sambil berdiri. 

Seluruh peserta meeting  berdiri ikut menyambut, termasuk aku, yang kaget dan  terbengong sendiri. Lidahku terasa kelu. Jadi...investor itu Ridwan? Alamaak...ini bukan mimpi 'kan? 

Terlihat  Ridwan meghunjamkan tatapannya padaku seraya tersenyum semakin lebar. Apa ini bentuk balas dendam karena perjanjian pra-nikah tadi? Dia jadi investor dan  bisa menekan bosku menuruti perintahnya.

Aku menelan ludah yang terasa pahit. Semoga Ridwan tidak sepicik itu pikirannya.

"Amboii...gantengnya!" bisik Ruri sambil menyikut lenganku. Matanya menatap  tak berkedip ke wajah Ridwan yang sedang tersenyum. "Gue kira investornya sudah peot, ubanan atau kepalanya botak!" Ruri mengikik pelan.

Aku mendelik sebal ke arah Ruri. Belum apa-apa, Ridwan sudah dapat fans berat ini. Alamat...point' tiga cepat kesampaian. Aku bisa tajir...dong,!

Eh...ngga ding, aku malah berharap pernikahanku langgeng nanti, tanpa ada huru-hara. Aku harus bisa bersikap biasa, jangan sampai ada yang tahu....calon suamiku investor di sini.

Ridwan berjalan pelan ke arah Pak Abda yang dari tadi berdiri.

"Apa kabar, Pak Ridwan? Senang Anda bisa datang secepat ini," sambut Pak Abda sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan. 

"Kabar baik, Pak," balas Ridwan sambil membalas jabatan tangan Pak Abda.

"Saudara...saudari... Ini Pak Ridwan, investor baru kita, yang tadi kita bahas. Beliau akhirnya datang lebih cepat dari perkiraan." Pak Abda mengenalkan Ridwan.

"Selamat siang, semua. Saya Ridwan Ramdani. Senang bertemu dengan  para manager dan kepala divisi di perusahaan ini," sapa Ridwan seraya tersenyum. 

Matanya menyapu ke semua orang yang hadir, bahkan lebih lama menatap ke arahku tanpa bicara. Aku kelimpungan sendiri, tak berani balas menatap matanya. Jantungku terdengar gedebak-gedebuk tak karuan.

Dia nampak tenang dan kharismatik.. Tubuhnya dibalut kemeja navy tadi ketika ketemu dan jas hitam. Nampak resmi dan gagah.

Meeting akhirnya berjalan. Rasanya lama sekali. Waktu satu jam serasa setahun. Omegot!

***

Ketika meeting berakhir,  peserta  sudah keluar. Menyisakan aku, Ridwan dan Pak Abda di ruangan. 

"Rosi!" panggil Ridwan pelan. Rupanya dia sudah ada di belakangku, yang sedang bersiap meninggalkan kursi.

"I-iya,?" sahutku gugup. Kulirik ke arah Pak Abda yang melihat ke arahku. Apa dia tahu tentang Ridwan dan aku?

"Sepulang kerja nanti, aku ke rumahmu. Untuk membawamu berkenalan dengan si kembar," bisiknya hati-hati. "Aku tadi lupa bilang di kafe."

Biar tidak mengobrol panjang, aku segera mengangguk setuju. 

"Jangan takut, semua pegawai dan Pak Abda tidak ada yang tahu hubungan kita."

Rupanya Ridwan mengerti sotuasi dan memilih menutup rapat hubunganku dengannya. 

Aku menghela napas lega. 

"Baik. Terima kasih. Permisi, Pak. Saya pamit," ucapku pura-pura, menghindari kecurigaan Pak Abda.

Ridwan mengangguk seraya kembali tersenyum. Lesung pipinya  terlihat manis. Aku segera melangkah keluar ruangan, sebelum jantungku rontok lagi.

"Investor tadi, ulala...cakep, bo! jantungku gedebag- gedebug gini," ucap Ruri heboh di ruangan  karyawan.

"Masa, sih?" tanya Sida, staf marketing, yang juga sobatku, ikut antusias. 

"Iya, kamu suka nonton drakor Crash Landing on you? Persis dia tuh, cowoknya!" 

"Wow...keren, dong!" Mata Sida berbinar. "Dia udah punya isteri belum, ya?" 

"Ehem!" Aku merasa gatel ingin protes . Gawat,  mereka jadi ikut terpesona pada Ridwan.

"Naaah...apa si Valentina Rosi, bakal ikut kesengsem juga sama tuh investor?" ledek Sida. 

Aku diam. Hanya bisa tersenyum kecut.

 Tahukah kalian? Makhluk Tuhan yang kalian rumpiin itu, bakal jadi jodohku? Ingin sekali.teriak seperti itu, tapi hanya bisa dalam hati saja!

Rasanya mulut  ingin teriak jujur. Hanya status Ridwan yang investor perusahaan, itulah yang jadi alasan pertimbanganku. 

Aku takut, nanti malah jadi masalah, atau malah merubah kebijakan atau aturan di perusahaan. Jadi untuk sementara waktu, terpaksa diam dulu. Bertindak   secara profesional kerja dulu. Urusan nanti...biarlah gimana nanti. 

Aku segera ngeloyor ke ruangan, tanpa menjawab ledekan Sida. Menenangkan hati yang mulai bergejolak tak karuan. 

"Si Rosi kenapa, tuh, diam melulu?" tanya Ruri. 

"Lagi pe em es, kali..." terdengar Sida ngikik geli.

Aku pura-pura tidak dengar. Apa aku cemburu, Ridwan di gilai teman-teman kantorku? 

Entahlah ...

***

Sore itu, sesuai janji, Ridwan datang ke rumah, dan meminta izin pada emak membawaku ke rumahnya, untuk berkenalan dengan calon anak sambungku yang berjumlah empat.

Keringat dingin serasa mengucur  di punggung, padahal ada AC, saat aku sudah duduk dalam mobil, bersebelahan dengan Ridwan yang pegang setir. Seumur-umur, aku belum pernah grogi separah ini. Biasanya, aku malah terkesan cuek pada lelaki. Akan tetapi, kenapa sekarang  malah belingsatan tak karuan?

Tuhan...inikah jatuh cinta yang dalam? Belum apa-apa, rasanya aku sudah mati kutu duluan. Point-point perjanjian pra-nikah yang kubuat seakan mengejekku. 

Nah, rasain lu, Rosi. Kamu kelilipan cinta sebelum waktunya, kan?

"Kenapa wajahmu tegang seperti itu?" tanya Ridwan, tiba-tiba. 

"Tidak apa-apa," sahutku.sambil berusaha melawan grogi. "Hanya bingung, Mas tidak bermaksud balas dendam kan, jadi investor di tempat kerjaku?"

"Ya, tidaklah! Niat itu ada, sebelum kita dijodohkan. Baru ada waktu sekarang, untuk meetingnya. Aku juga kaget, kamu ternyata kerja di perusahaan Pak Abda," ungkap Ridwan tenang. 

Aku terdiam, sekuat tenaga membuang rasa sungkan dan grogi yang bercokol di hati. Semoga, memang ini hanya kebetulan semata, Ridwan jadi investor di perusahaan. Bukan settingan.

Tak berapa lama, mobil memasuki sebuah rumah bercat putih, dengan taman asri di depannya.

"Sengaja ada space taman luas di sekitar rumah, biar si kembar bisa bebas bermain," ucap Ridwan ketika mataku mengagumi taman indah itu.

Aku tersenyum. Ridwan sungguh pengertian dan perhatian  pada perkembangan buah hatinya. 

Pelan mobil berhenti di paving blok depan rumah. Ridwan turun dan membukakan  pintu mobil untukku. Aku kembali tersenyum, merasa tersanjung diperlakukan istimewa. 

Kaki ini akhirnya melangkah, mengikuti tubuh tinggi Ridwan ke arah pintu rumah.

Ketika pintu terbuka, mataku terbelalak kaget, karena empat orang anak berlari menyerbu Ridwan.

"Papa..papaa!"

Teriakan bersahut-sahutan keluar dari mulut-mulut mungil itu. 

Empat anak lucu, berkulit kuning, nampak berebutan bergelayut di tangan Ridwan. Dua di tangan kiri dan dua di kanan, 

"Hallo...anak papa, pada kangen, ya?" sapa Ridwan sambil menciumi satu persatu anaknya.

"Iyaa...yuk, Papa. Kita masuk!" 

Mereka berebutan menarik tangan Ridwan masuk ke dalam rumah. 

"Eh, nanti dulu, kenalin dulu sama Tante ini ya, anak-anak!" 

Ridwan menarik lenganku. "Ini bakal jadi mama kalian nanti, ya. Ayo, cium tangan!" 

Keempat anak berwajah lucu itu menatap ke arahku. Mata-mata bening itu mengerjap tidak percaya. 

"Ini nanti yang jadi mama Jihan?" celetuk salah satu dari mereka, anak perempuan berbadan paling montok.

"Iya. Ini kenalin...namanya Mama  Rosi." Ridwan tersenyum sambil mengenalkan. "Ayo, Jihan, Jane, Zidan dan Ziyan, salaman dan cium tangan Mama Rosi!" 

Keempat anak itu hanya menatapku tak berkedip. Wajah mereka terlihat ragu. 

"Lho...kenapa pada diam?" tanya Ridwan heran. 

"Ini bakal jadi mama tiri ya, Papa? Katanya mama tiri itu jahat, suka merebus anak tirinya," celetuk anak lelaki yang terlihat paling tua. 

Aku terperanjat. Mataku membulat sempurna, hampir meloncat jatuh karena kaget tak kepalang. 

Merebus anak? Dari mana mereka dapatkan ajaran buruk itu?

"Zidan, siapa yang bilang begitu? Tidak semua mama tiri itu jahat. Ada yang baik," sergah Ridwan buru-buru.

"Momi Jo yang bilang, kemarin telepon melalui Mbak Mey ke Zidan dan adik-adik," sahut Zidan polos.

Momi Jo? Keningku berkerut, apa dia itu Joana, mamanya si kembar yang meracuni pikiran anak-anaknya?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status