Heera tidak mengira bahwa sebuah kesalahan pahaman kecil akan menjadi besar seperti ini. Hanya karena mulut besar Jessi nama baiknya berada di ujung tanduk.
Saat ini Sean dan Heera duduk di sofa ruang tengah, berada di tengah-tengah penyewa kosan dan bu Riska serta suaminya yang sedang melakukan wawancara. Dan sialnya, orang tua Sean sedang menuju kemari karena di panggil langsung oleh Bu Riska untuk meluruskan masalah. Padahal mulut Heera hampir berbusa karena menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Heera juga sudah membujuk Bu Riska untuk membicarakan hal ini tanpa melibatkan kedua orang tua Sean, tapi sayangnya, bu Riska tidak sependapat.
"Astaga, Bu, aku sama mas Sean cuma lagi bercanda aja tadi." Entah sudah yang keberapa kali kalimat itu keluar dari bibir mungil Heera.
Jessi yang berdiri di belakang bu Riska langsung memasang wajah protes, "Tapi tadi gue denger ya lo bilang... Ahh, mas Sean.. Geli..." tiga kalimat di akhir Jessi ucapkan sambil meniru suar
"Nyalain lilinnya!" Jessi menepuk pundak Anin yang baru saja berteriak menyuruhnya untuk menyalakan lilin. "Pelan-pelan ngomongnya, nanti Heera dengar!" bisik Jessi galak. Gadis itu mendekat ke Lucia kemudian menyalakan lilin yang menancap di atas kue tar berwarna coklat dengan tulisan 'Happy birthday Heera!' diatasnya. "Nek, boleh aku yang pegang kuenya." Keenan yang baru saja datang lima menit lalu sangat antusias ingin ikut merayakan ulang tahun Heera. Ya, semua hanya rekayasa. Sebenarnya, Jessi, Sean dan semua yang ada di kosan sedang mengerjai Heera yang hari ini sedang bertambah umur. "Boleh dong, sayang. Tapi, hati-hati." Dengan hati-hati Lucia mengoper kue di tangannya ke tangan mungil Keenan. Dengan langkah pelan mereka mulai mendekati kamar Heera. Jessi memegang knop pintu kamar Heera, menghitung sampai tiga tanpa suara kemudian membukanya. Dan dengan kompak mereka menyanyikan lagu ulang tahun. "
"Secepatnya mas akan membawa keluarga mas bertemu ibu dan adik kamu."Keseriusan Sean pada hubungannya dengan Heera tidak perlu di ragukan lagi. Dua jam setelah mengikat Heera menjadi calon pengantinnya, pria itu langsung bersedia membawa keluarganya untuk menemui keluarga Heera.Tapi, kesiapan Heera belum sepenuhnya matang. Masih ada yang cewek itu ragukan. Sebagai anak pertama dan tulang punggung keluarga, tentu saja Heera sedikit keberatan jika harus menjadi seorang istri dalam waktu dekat ini.Heera takut, setelah ia menikah nanti, ia tidak bisa lagi memberikan nafkah kepada ibu dan adiknya. Heera takut Sean akan melarangnya untuk bekerja dan hanya boleh mengabdi sebagai seorang ibu rumah tangga saja.Masih banyak keinginan Heera yang belum tercapai. Jujur saja, Heera bahkan belum berhasil mensejahterakan keluarganya dengan hasil keringatnya sendiri."Apa gak terlalu kecepatan, mas? Ak
Sean: Sayang, kalau kamu lagi senggang bisa tidak buatkan aku bekal makan siang?Alasan mengapa saat ini Heera sibuk berkutat di dapur milik Sean adalah karena pesan pria itu yang masuk ke ponselnya tiga puluh menit lalu. Sudah pasti Heera tidak bisa mengabaikan permintaan Sean. Hei, dia seorang pengangguran sekarang, waktunya selalu senggang tanpa kegiatan.Ya, dari pada hanya rebahan di kosan. Lebih baik Heera membuatkan Sean makan siang, setidaknya ia melakukan hal yang lebih berguna. Dan sudah pasti akan menyenangkan Sean karena kalau Sean senang, Heera juga ikut senang."Masak, Ra?"Heera tertegun lalu menoleh. Gadis itu praktis tersenyum kecil ketika mendapati Hardin yang berjalan menghampirinya.Ini sudah hari ketiga Hardin menginap di rumah Sean. Bertemu Heera setiap hari membuat mereka dekat tanpa memakan waktu yang lama. Apa lagi jarak umur mereka terpaut tidak begitu jauh.
"Mas, aah..." Heera mendesah merdu, merasakan sesuatu yang ingin membuncah dalam dirinya ketika jemari Sean bermain di dalam gaun selutut yang Heera kenakan malam ini.Sean melempar senyum puas, melihat wajah kemerahan Heera yang menikmati setiap sentuhan jemari besarnya di area sensitif gadis itu.Dengan posisi setengah duduk dan setengah berbaring, Heera melebarkan pahanya. Sementara satu tangan Sehun menahan paha Heera untuk tetap terbuka agar tangan satunya lebih leluasa memberi kenikmatan pada gadisnya.Erangan Heera kembali lolos, lebih panjang dari sebelumnya. Bibir Heera yang setengah terbuka tak kuasa mengundang bibir Sean untuk menyambarnya, memanggutnya singkat sebelum merambat ke leher jenjang Heera yang sedikit berkeringat, menambah kesan seksi gadis itu.Napas Heera tersenggal, namun Sean masih berusaha untuk membuat gadis manis itu mencapai puncaknya.
Ternyata beneran nonton film, kok. Iya, tapi yang nonton cuma Heera doang karena Sean lagi sibuk sama laptopnya di sofa sana. "Ck!" Sean berdecak, merasa jengkel kepada bawahannya yang tiba-tiba mengirim laporan dan harus segera ia cek. Padahal di ranjang sana ada Heera yang rebahan manja sambil fokus ke layar TV LED berukuran 65inch di depannya. "Semangat ya, mas!" kata Heera mengandung ejekan. Tubuhnya ia miringkan ke kanan, menunjukan lekuk pinggulnya yang menggoda iman Sean. Sebenarnya Sean beneran memancing gadis itu untuk berbuat yang iya-iya. Tadi pas Heera masuk ke dalam kamar, tiba-tiba saja Sean menyambar bibirnya hingga badan Heera dihimpit di antara dinding dan badan besar Sean. Untung ponsel Sean segera berbunyi, pria itu mendapatkan panggilan dari bawahannya dan berakhir sibuk di depan laptop. Dengan berat hati harus memusnahkan nafsusaurus nya yang menggebu. Sean menyeringai, menatap Hee
Gara-gara ketiduran di rumah Sean semalam, habis Heera di ejek Jessi. Bukan cuma Jessi, tapi teman dari kamar lain juga, tapi sudah pasti mereka tahu dari Jessi, sih lambe kosan. "Siap-siap deh lo dikit lagi di nikahin, gak aman pasti kalau mainnya sampe nginep-nginep segala." Jessi masih belum berhenti menyuarakan ejekannya. Gadis itu berdiri di depan pintu kamar Heera, mengemili chiki sambil memandang Heera yang duduk frustasi di bawah lantai. "Udah gak usah takut, Ra, masa depan lo terjamin sejahtera kalau nikahnya sama pak Sean." Anin menimpali, ikut menontoni Heera dari depan pintu. Heera mendengus kesal, memincing tajam ke arah dua gadis menyebalkan itu. "Gue panik bukan masalah nginep. Gue seriusan tidur sendirian di kamar mas Sean. Yang bikin gue panik soalnya darah haid gue tembus di seprei! Gue malu, anjir!" Heera menjambak rambutnya sendiri, melampiaskan kekesalannya. Tadi
Acara lamaran berjalan dengan lancar. Meski mendadak, namun Sean dapat menghandle semuanya hingga persiapan pun sudah matang sebelum acara di mulai. Tidak banyak yang datang, hanya keluarga besar Sean dan beberapa teman dekat Heera, siapa lagi kalau bukan Jessi yang memaksa ingin ikut. "Ra, senyum dong!" perintah Jessi yang sedang memegang kamera dan membidik kearah Heera yang sedang di pakaikan cincin lamaran oleh Sean. Sesuai perintah Jessi, Heera melukiskan senyumnya. Cekrek. Flash kamera menembak tepat ketika Sean dan Heera saling memandang sambil melempar senyum. Gurat kebahagiaan terlukis nyata di kedua wajah manusia yang tengah berbahagia itu. Tubuh ramping Heera di balut dress cantik berwarna putih gading pilihan Lucia, wajahnya yang senantiasa natural kini dipoles make-up tipis-tipis, menambah keelokan wajah gadis manis itu. Sementara rambutnya yang sebatas punggung dibiarkan terurai. Jangan tanya bagaimana penampilan Sean, pria itu selalu terlihat gagah dan berwibawa. Ramb
"Lo udah bikin temen kita pergi, Ra."Setelah kepergian Arta dan mamanya ke Amerika kemarin. Hari ini Heera memutuskan untuk mengumpulkan teman-temannya di sebuah kafe tempat mereka janjian.Setelah semua temannya berkumpul, barulah Heera menjelaskan. Bukan membela diri, namun gadis itu murni menjelaskan apa yang terjadi."Jelasin sama kita apa yang terjadi antara lo dengan Arta." ucap Gibran, cowok yang selalu berlaku adil dan tidak hanya berpihak pada satu pihak saja."Apa bener Arta pergi karena lo?" Vino bertanya. Dari cerita Adelio, yang ia tangkap kebenarannya seperti itu."Arta pergi tepat di hari lamaran lo sama abang sepupunya Adelio." sambung Vino. Hari kepergian Arta dan hari lamaran Heera dengan pria lain yang berbarengan semakin memperkuat asumsi mereka.Heera menggeleng pelan, ia menoleh ke arah Adelio yang menatapnya penuh benci."Kepergian