"Naheera?"
Sean mengangguk mantap. "Kamu kenal? dia juga kuliah di kampus yang sama seperti kamu." lanjutnya membuat kening sang lawan bicara semakin mengernyit.
Rasa penasaran yang semakin besar membuat Sean memerintahkan seseorang untuk mencari latar belakang Heera. Dan yang mengejutkannya, ternyata selama ini adek sepupunya Sean berteman dengan Heera. Maka dari itu Sean langsung memerintahkan sepupunya tersebut untuk datang ke kantornya guna bertanya lebih lanjut tentang Heera.
"Pasti kamu mengenalnya kan, Yo? Heera bukan cuma teman kampus kamu, tapi mantan partner kerja kamu juga, kan?" suara Sean mulai mencekat napas sang lawan bicara.
Ada banyak hal yang Sean ketahui tentang Heera. Tapi ia harus menyaring kembali informasi tersebut, makanya Sean meminta Adelio untuk datang, karena dari info yang ia dapat, Adelio dan Heera pernah bekerja di kelab malam yang sama.
"Saya kaget pas dengar kamu kerja di kelab malam, mama dan papa kamu tau ha
"Adelio itu adik sepupu saya." ujar Sean sembari melirik ke Heera melalui pantulan kaca, ia ingin melihat bagaimana ekspresi gadis itu. Tapi anehnya, Heera tidak berekspresi berlebihan, dia hanya mengangguk dengan wajah datarnya. Omong-omong, sekarang mereka sedang di mobil menuju jalan pulang. Suasana mobil sepi karena Keenan sudah tertidur pulas di pangkuan Heera sejak beberapa menit lalu. "Kamu kalau ngantuk tidur saja--" belum sempat Sean melanjutkan ucapannya, pria itu tertawa kecil karena melihat Heera yang sudah ikut pulas bersama anaknya di jok belakang. Sean menghela napas, memandang wajah Heera yang hari ini tidak seceria biasanya, gadis itu tampak kelelahan. Beruntung lampu lalu lintas di depan sana sedang berwarna merah, jadi Sean tidak akan celaka karena saat ini matanya tidak bisa lepas memandang Heera. Tatapan dalam Sean kini tersirat penuh makna, ia tiba-tiba teringat apa yang Adelio ka
"Jes, pinjem baju, dong!" Tanpa mengetuk pintu lebih dulu Heera menerobos masuk ke dalam kamar Jessi. Mendapati Jessi yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya."Baju lo kenapa? Di rampok?" sewot Jessi menatap Heera dari atas sampai bawah. Heera selalu mengomel jika Jessi masuk kedalam kamarnya tanpa mengetuk pintu lebih dulu, tapi lihat kelakuan gadis itu sendiri?Heera menggaruk rambutnya yang aut-autan, ia ketiduran dan belum besiap diri untuk pergi kondangan. Sean bilang akan menjemputnya jam 4 sore sekalian menjemput Keenan pulang dari sekolah."Bukan, maksud gue baju pesta. Kayak dress gitu buat kondangan!" sahut Heera berhasil mengambil penuh fokus Jessi."Mau kemana lo?" tanya Jessi penuh selidik.Heera menggaruk tengkuknya, lalu mengeluarkan cengiran canggung yang sebenarnya tersirat kesombongan, "Kondangan sama ayahnya Keenan."Mulut Jessi langsung
Akhirnya Heera dapat menghembuskan napas lega setelah tungkainya berhasil berjalan keluar dari gedung resepsi tempat mereka kondangan. Hampir satu jam Heera berada di dalam dan selama itu juga Heera merasa seperti sedang berada di dunia lain. Bagaimana tidak, semenjak turun dari mobil tangan Sean terus melingkar mesra di pinggangnya, belum lagi Sean tanpa sungkan memperkenalkan Heera ke temannya sebagai calon istri. Kalau tidak ingat tempat, mungkin Heera sudah pingsan sejak tadi.Benar-benar menggetarkan jiwa raga kelakuan Sean hari ini."Hati-hati kepala kamu," ujar Sean sambil melindungi kepala Heera menggunakan tangannya saat gadisnya itu masuk ke dalam mobil.Heera yang sudah duduk manis di jok samping pengemudi terdiam memandang Sean yang masih berdiri di samping pintu mobil. Dan secara tiba-tiba pria itu mendekatkan wajahnya membuat Heera menahan napas dan spontan menutup kedua matanya. Ia pikir Sean akan melakukan
"Gimana mas mau buka lebaran baru kalau belum berdamai sama masa lalu?" Ucapan Heera di mobil masih berputar di kepala Sean. Entah kenapa Heera bisa tau hubungan masa lalu antara Anjani dan dirinya, tapi Sean sudah tebak pasti mamahnya yang memberitahu kepada Heera. Saat di mobil menuju jalan pulang, Heera tidak membicarakan banyak tentang Anjani, ia hanya mengingatkan Sean untuk iklas dan berdamai sama masa lalunya. Sebenarnya, Anjani tidak salah. Sean akui, memang dirinya yang terlalu egois. Tidak bisa menerima penolakan. Tapi sekarang, sepertinya memang sudah saatnya Sean berubah sikap. Ia bukan anak abege yang musuhan setelah di putusin pacar. Ia sudah dewasa, sudah punya anak pula. Malu jika bersikap demikian. Apa lagi sampai Heera ikut memberi wejangan, duh, gimana kalau Heera berpikir Sean adalah pria yang kekanakan? Malu! Sean menggaruk kepalanya, tangannya meraih ponsel secara kasar kemudian membukanya. Jarinya berselancar diatas layar ponsel
Sudah berjalan satu minggu kegencaran Sean melaksanakan misinya untuk mendekatkan diri kepada Heera. Segala cara Sean lakukan untuk menarik perhatian serta melelehkan hati gadis manis itu. Sean belum menemukan kesulitan, semua lancar dan selalu berjalan sesuai rencananya. Belum ada kerikil yang datang untuk menghalangi jalannya, meski pernah sekali Sean memergoki Heera yang sedang membalas pesan dari Arta. Itu bukan masalah yang besar, Sean tidak ingin masalah sekecil itu memengaruhi dirinya."Mas, ada undangan rapat wali murid dari sekolah Keenan."Sean yang baru saja menyelesaikan sarapannya langsung di hadiahi amplop berwarna coklat. Tanpa ragu Sean mengambil dan membacanya."Rapatnya hari senin, Ra. Kamu bisa temani saya?" tanya Sean usai membaca undangan rapat yang akan terlaksana dua hari lagi.Heera menggaruk kepalanya, "Lusa aku ada jadwal bimbingan skripsi, mas." jawab Heera ragu, tidak enak untuk
"Kenapa tante Heera lama sekali?" Kedua bahu Keenan melemas. Merasa lelah menunggu Heera yang katanya akan datang untuk menghadiri rapat di sekolahnya."Ken, begini..." Sean yang semula fokus ke ponselnya kini mengubah posisi duduknya mengarah penuh kearah Keenan."Bagaimana kalau mulai hari ini kamu memanggil tante Heera bunda atau mommy?" ujar Sean sembari memainkan alisnya, kedua bola matanya menatap wajah lugu Keenan dengan sorot penuh harap.Keenan mengedipkan matanya beberapa saat, lalu memiringkan wajahnya kebingungan. "Bunda Heera?" ulangnya dengan wajah datar.Praktis Sean cepat semangat. Keenan menerbitkan tersenyum lebar, kemudian ia bangkit dari duduknya."Bunda Heera!" teriak Keenan lalu berlari menghampiri
Lagi-lagi Heera harus mengelus dada saat telinganya terus di hantui dengan suara Keenan yang memanggilnya dengan sebutan tak biasa. Tak ada angin dan tak ada hujan, Keenan memanggilnya dengan sebutan bunda. Mau protes, tapi Heera takut melukai hati anak kecil itu. Tapi kalau di diamkan, rasanya tak nyaman juga di dengar. Aneh saja, walaupun sudah kepala dua, tapi pikirannya untuk menikah masih jauh, apa lagi untuk punya anak. "Kenapa diam aja, Ra?" Sean buka suara. Mereka sedang di jalan menuju pulang, dan Keenan sudah terlelap di kursi belakang. Mendengar suara Sean yang menegurnya, Heera jadi tersadar, "Mas, Keenan kenapa tiba-tiba manggil aku bunda, ya?" tanya Heera sambil menatap Sean yang fokus menyetir di sebelahnya. Ya, untuk pertama kalinya Keenan mengizinkan Heera duduk di sebelah ayahnya. Biasanya Keenan tidak ingin duduk di belakang sendiri, tapi karena sogokan sang Ayah akhirnya ia merelakan Heera duduk di depan. "Mungkin dia sudah tidak sabar, Ra
Sean merenggang lingkar dasinya yang terasa mencekat. Giginya menggeletuk, menahan kesal melihat kejadian di depan rumahnya. Ia berdecih, jengkel hati mengingat senyum Heera yang langsung mengembang ketika melihat kehadiran Arta di depan kosan."Memangnya tadi bunda habis dari mana sama Om Arta? Kok dompet bunda bisa ada di Om Arta."Sean membuka gendang telinganya lebar saat samar-samar mendengar ucapan Keenan. Sepertinya urusan Arta dan Heera sudah selesai, lebih cepat dari perkiraan Sean."Ken..." panggil Heera dengan nada segan, gadis itu menatap Keenan tak enak, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi di tahan."Bisa kamu panggil tante aja kalau di depan Om Arta?" lanjut Heera membuat raut wajah Keenan menurun. Sementara Sean mengepalkan tangannya usai mendengar hal itu."Kenapa? tante Heera malu ya jadi bundaku?" tanyanya tersirat kesedihan. Heera langsung panik, ia tidak bermaksud demikian, hanya saja, ia tidak in