Tapi saat ia baru saja menyalakan kran, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggilnya. "Mbak Viraaa..."
Merasa namanya dipanggil, perempuan 25 tahun itu pun menoleh. Terlihat tiga ibu-ibu berjalan bersama. Penampilan mereka sangat sederhana, memakai daster motif, sandal jepit, dan rambut yang sebagian masih digulung roll plastik, ada yang bahkan hanya diikat asal. Salah satu dari tiga orang itu melambaikan tangan dengan semangat ke arah Navira begitu mereka lewat di depan rumahnya. “Pagi Mba Vira!” sapa salah satu ibu-ibu. Navira tersenyum tipis, "Pagi Ibu-ibu," sapanya balik. "Mau ke Pak Sayur ya?" "Iya nih. Mba Vira gak belanja juga? Kita bisa bareng ke sananya!" ajak ibu lainnya yang memakai roll di rambut. "Saya belanjanya nanti aja, Bu. Nunggu Mas Rhevan berangkat kerja." Ibu lain menimpali sambil menyenggol temannya. “Mba Vira jam segini udah cantik aja sih, mana wangi lagi. Beda ama kita-kita." "Ya beda lah, Bu. Mba Vira kan belum ada anak. Jadi ada banyak waktu buat dandan. Kalau kita mana sempat," sahut tetangga Vira lainnya. Ekspresi wajahnya terkesan julid dan meremehkan. "Kalau kita kita— pagi udah masak, abis masak nyuapin anak, nganter sekolah, belum lagi Paksu yang mint diladenin, bisa mandi bebek aja udah syukur. Hahaha." Navira hanya menahan senyum kaku. Hatinya langsung tercekat mendengar sindiran itu lagi dan lagi— soal momongan. "Mba Vira, gak kepengen punya momongan apa?" Pertanyaan itu sempat membuat wanita itu tercekat. Namun sedetik kemudian, ia melemparkan senyum tipisnya yang khas. "Ya jelas pengen lah, Bu," ucapnya, mencoba tetap ramah. “tapi mau bagaimana lagi, belum rejeki.” Salah satu ibu-ibu yang lain langsung nyeletuk sambil tertawa renyah, “Belum ada rezeki apa suaminya yang gak pinter?" Tawa kecil pecah di antara mereka bertiga. Bagi mereka, mungkin itu hanya candaan ringan. Tapi bagi Navira, kata-kata itu seperti pisau yang menggores hatinya. "Kalau suaminya jago di ranjang, sekali tembak pasti langsung jadi tuh si dedek." "Ibu bisa aja bercandanya," Navira menelan ludah, mencoba menyingkirkan rasa perih di dadanya setelah mendengar tawa ibu-ibu tadi. Ia hendak pamit masuk, tapi salah satu dari mereka tiba-tiba bersuara, seolah teringat sesuatu. “Oh iya, Mba Vira, rumah sebelah situ...” Ia menunjuk rumah tingkat dua yang persis di samping rumah Navira, “katanya udah laku terjual, lho.” Navira refleks menoleh ke arah rumah itu. Sejak lama rumah tersebut kosong dan hanya sesekali ditengok tukang kebersihan. Alisnya terangkat sedikit. “Oh ya? Siapa yang beli, Bu?” tanyanya, agak penasaran. Si ibu dengan roll rambut menjawab cepat, “Katanya sih mas-mas, mukanya ganteng lagi. Kemarin aku lihat dia datang ke sini sama tukang. Mungkin mau renof dulu sebelum ditempati." Sontak ibu yang lain menimpali dengan semangat. “Tau enggak, gosipnya dia itu duda, lho.” Nada suaranya penuh gosip, sampai kedua temannya terkekeh. "Mana masih mudah lagi." "Perempuan aneh mana yang tega ninggalin suami mapan kayak dia ya?" "Iih. Tau darimana dia mapan?" Ibu-ibu dengan roll di rambutnya segera menimpali, "Kalau gak mapan, mana mungkin bisa beli rumah ini. Padahal yang punya pasang harga 4M loh. EMPAT M." Navira hanya mengerjap, mencoba menyembunyikan rasa ingin tahunya. “Oh begitu…” gumamnya pendek, tak mau terlihat terlalu tertarik. Namun salah satu ibu menepuk bahunya dengan akrab. “Ya udah deh. Nanti kalau dia udah resmi pindah, ayo kita barengan main ke rumahnya, gimana Mba Vira. Biar sekalian kenalan tetangga baru.” “Iya betul. Kan biar akrab juga, siapa tahu bisa bantu-bantu kalau ada apa-apa.” "Aku mau dandan yang cantik deh besok, aku siap menggatal di depan duda ganteng kaya raya," timpal ibu yang satu lagi. Dengan diiringi tawa dari dua ibu lainnya dan serta Navira. Navira tersenyum. “Boleh deh, Bu. Nanti kalau dia udah pindah, saya ikut ibu-ibu ke sana.” Setelah beberapa saat bercakap, ibu-ibu itu pun melanjutkan langkah menuju lapak sayur. Navira sendiri, masih berdiri di teras, pandangannya kembali terarah ke rumah tingkat dua di sampingnya. Dia penasaran, orang seperti apa yang akan jadi tetangga barunya nanti. *** Dua minggu berlalu begitu cepat. Hari ini, udara sore terasa lebih sejuk dari biasanya. Di kompleks, beberapa ibu-ibu sudah bersiap dengan dandanan terbaiknya. Dasternya diganti dengan baju rumah yang lebih rapi, wajah dipoles bedak tipis, ada pula yang bahkan menyemprotkan parfum sebelum melangkah ke rumah baru yang sejak lama jadi bahan gosip. “Yuk, Mba Vira! Kita bareng!" ujar salah satu ibu yang rambutnya kini tak lagi digulung roll, melainkan disisir rapi. Navira tersenyum sopan, meski hatinya agak malas. Tapi sudah terlanjur janji, dan lagipula sekadar ramah-tamah dengan tetangga baru tidak ada salahnya. Tok! Tok! Tok! Salah satu dari mereka mulai mengetuk pintu. Tak lama kemudian, sosok seorang pria berdiri di sana, mengenakan kemeja santai lengan panjang yang digulung sampai siku. "Selamat sore ibu-ibu? Ada yang bisa saya bantu?" Navira membeku. Jantungnya berdentum keras, seolah hendak meledak. Suara itu— terdengar sangat familiar di telinganya. Ia tak menyangka jika duda tampan yang menjadi tetangga barunya ini, adalah mantan kekasihnya."Finish." Arvino akhirnya selesai memasang kembali baut terakhir di motor Navira. Tangannya sedikit berlumur oli, tapi raut wajahnya menunjukkan kepuasan. “Sekarang motor kamu udah bisa dipakai lagi. Tapi saranku, kamu tetap harus bawa motornya ke bengkel. Biar dicek lebih detail." Navira yang sejak tadi duduk di sampingnya ikut memperhatikan. Ia menatap bagian mesin yang ditunjuk Arvino, mencoba mengingat penjelasan singkatnya. “Jadi ini yang bikin motorku gak nyala tadi?” “Iya. Kabelnya sempat kendor, jadi aliran listriknya nggak nyampe.” Arvino melirik sekilas ke arah Navira yang tampak serius. Senyum samar muncul di wajahnya. "Makasih ya udah bantuin." Navira menoleh ke arah Arvino dan tersenyum tipis. “Dari dulu kamu emang jago benerin banyak hal." Arvino hanya mengangkat bahunya santai. “Jangankan cuma motor, hati yang rusak aja bisa kok aku perbaiki." Navira mengerutkan kening. Tapi alih-alih menganggap serius perkataan mantan kekasihnya itu, ia justru berkata, "Apa
"Mas... Ahhh!" Perempuan 25 tahun itu tersentak kaget saat Rhevan meremas bukit kembarnya dengan kasar. Pijatan itu tak memberikan rasa nikmat namun sebaliknya. "Pelan-pelan, Mas!" "Ssst! Aku sudah nggak tahan!" Tanpa banyak basa-basi, Rhevan menarik gaun tidur istrinya sampai ke atas. Ia mulai mempersiapkan miliknya yang tegang ke liang wanita itu. Dan— "Ughh..." Tubuh Navira mengejang sesaat ketika milik sang suami masuk ke liangnya yang bahkan belum basah sekali. "Mas..." Ia mengernyit perih. Ia tangannya mencengkram sprei di bawahnya, liangnya sakit karena ulah kasar sang suami. "Akh! Vira... Hhh... Ughhh!" Tak sampai lima menit, cairan kental itu meleleh di dalam Navira yang bahkan baru setengah nikmat. "Akhh... Leganya..." Navira melirik ke arah sang suami yang langsung berdiri dari atas tubuhnya. Ia melemparkan tisu ke arah Navira untuk membersihkan bekas cairan yang meleleh dari pusatnya. Dan tau apa yang dilakukan Rhevan selanjutnya, pria itu langsung tidur setelah memaka
Perempuan berkulit putih dengan paras ayu tersebut, melangkah masuk dengan ragu. Ruang tamu itu terasa berbeda tanpa kehadiran ibu-ibu yang tadi ramai berceloteh. Hening. Hanya ada suara detak jam dinding dan sesekali desis AC yang berputar malas di langit-langit. Ia duduk di ujung sofa, tubuhnya kaku. Pandangannya menyapu ruangan—karton masih berserakan, beberapa barang rumah tangga dibiarkan terbuka begitu saja. Ada tumpukan buku, koper setengah terbuka, dan beberapa lukisan yang disandarkan sembarangan di dinding. Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arvino muncul sambil membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kayu di depan mereka, lalu duduk di kursi seberang. “Silahkan di minum!” ucap Arvino tenang, seolah tak ada yang aneh dengan pertemuan mereka. Navira hanya tersenyum tipis. “Makasih." Arvino mengangguk pelan. Ia menatap teh sebentar, lalu mengangkat kepalanya, menatap Navira dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Nggak nyangka ya
Navira terpaku di tempatnya. Pandangannya membentur sepasang mata itu—mata yang tak pernah ia kira akan ditemuinya lagi setelah sekian lama. "Arvino…" bisiknya nyaris tak terdengar. Sementara pria itu juga terlihat sama kagetnya. Senyum ramah yang tadi ia pasang mendadak kaku, nyaris hilang. Namun cepat-cepat ia mengendalikan diri, melirik sekilas ke arah ibu-ibu yang berdiri di belakang Navira. “Oh… selamat sore,” Arvino kembali membuka suara, kali ini terdengar lebih formal. “Silakan masuk, Ibu-ibu! Maaf ya, rumahnya masih berantakan.” Salah satu ibu langsung nyerocos riang, “Kita yang harusnya minta maaf, soalnya udah ganggu Masnya berberes." "Nggak kok, Bu. Santai saja." Mereka mengikuti langkah si pria. Tawa kecil terdengar dari yang lain. Mereka langsung melangkah masuk, seolah tak menyadari ketegangan yang menyelimuti Navira dan pria bernama Arvino Kaelion Mahendra tersebut. “Makasih ya, Mas, sudah mau nerima kunjungan kita. Namanya siapa?” tanya salah satu ibu, dengan ga
Tapi saat ia baru saja menyalakan kran, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggilnya. "Mbak Viraaa..." Merasa namanya dipanggil, perempuan 25 tahun itu pun menoleh. Terlihat tiga ibu-ibu berjalan bersama. Penampilan mereka sangat sederhana, memakai daster motif, sandal jepit, dan rambut yang sebagian masih digulung roll plastik, ada yang bahkan hanya diikat asal. Salah satu dari tiga orang itu melambaikan tangan dengan semangat ke arah Navira begitu mereka lewat di depan rumahnya. “Pagi Mba Vira!” sapa salah satu ibu-ibu. Navira tersenyum tipis, "Pagi Ibu-ibu," sapanya balik. "Mau ke Pak Sayur ya?" "Iya nih. Mba Vira gak belanja juga? Kita bisa bareng ke sananya!" ajak ibu lainnya yang memakai roll di rambut. "Saya belanjanya nanti aja, Bu. Nunggu Mas Rhevan berangkat kerja." Ibu lain menimpali sambil menyenggol temannya. “Mba Vira jam segini udah cantik aja sih, mana wangi lagi. Beda ama kita-kita." "Ya beda lah, Bu. Mba Vira kan belum ada anak. Jadi ada banyak waktu b
“Mas Rhevan, kenapa kamu tega sekali?” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. "Berisik!" umpat Rhevan sambil saklar lampu di samping ranjang. Ia tidur dengan posisi membelakangi Navira. Pria itu kembali sibuk dengan ponselnya seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Navira hanya terpekur perih menyaksikan sikap dingin dan kasar suaminya. 'Tuhan, sampai kapan Mas Rhevan bersikap seperti ini? Kapan dia mau memperlakukanku seperti kayaknya seorang istri?' *** Pagi itu, Navira menyiapkan sarapan untuk sang suami seperti biasanya. Yang berbeda hanyalah mata sembab efek terlalu banyak menangis kemarin malam. "Mana sarapanku?" Navira menoleh. Ia melihat ke arah Rhevan yang sudah rapi dengan kemeja biru tuanya. Ia menarik salah satu kursi di meja makan setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Sebentar, Mas. Ini lagi aku siapin," jawab Navira lembut. "Ck. Makanya jadi istri itu bangunnya jangan siang-siang! Pemalas!" Sekali lagi. Kalimat hinaan itu meluncur bebas dari bibir Rheva