Share

Kapan Punya Anak?

last update Last Updated: 2025-08-25 19:59:41

Tapi saat ia baru saja menyalakan kran, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggilnya. "Mbak Nadine..."

Merasa namanya dipanggil, perempuan 25 tahun itu pun menoleh. Terlihat tiga ibu-ibu berjalan bersama. Penampilan mereka sangat sederhana, memakai daster motif, sandal jepit, dan rambut yang sebagian masih digulung roll plastik, ada yang bahkan hanya diikat asal.

Salah satu dari tiga orang itu melambaikan tangan dengan semangat ke arah Nadine begitu mereka lewat di depan rumahnya. “Pagi Mba Nad!” sapa salah satu ibu-ibu.

Nadine tersenyum tipis, "Pagi Ibu-ibu," sapanya balik. "Mau ke Pak Sayur ya?"

"Iya nih. Mba Nadine gak belanja juga? Kita bisa bareng ke sananya!" ajak ibu lainnya yang memakai roll di rambut.

"Saya belanjanya nanti aja, Bu. Nunggu Mas Rhevan berangkat kerja."

Ibu lain menimpali sambil menyenggol temannya. “Mba Nadine jam segini udah cantik aja sih, mana wangi lagi. Beda ama kita-kita."

"Ya beda lah, Bu. Mba Nadine kan belum ada anak. Jadi ada banyak waktu buat dandan. Kalau kita mana sempat," sahut tetangga Nadine lainnya. Ekspresi wajahnya terkesan julid dan meremehkan. "Kalau kita kita— pagi udah masak, abis masak nyuapin anak, nganter sekolah, belum lagi Paksu yang mint diladenin, bisa mandi bebek aja udah syukur. Hahaha."

Nadine hanya menahan senyum kaku. Hatinya langsung tercekat mendengar sindiran itu lagi dan lagi— soal momongan.

"Mba Nadine, gak kepengen punya momongan apa?"

Pertanyaan itu sempat membuat wanita itu tercekat. Namun sedetik kemudian, ia melemparkan senyum tipisnya yang khas. "Ya jelas pengen lah, Bu," ucapnya, mencoba tetap ramah. “tapi mau bagaimana lagi, belum rejeki.”

Salah satu ibu-ibu yang lain langsung nyeletuk sambil tertawa renyah, “Belum ada rezeki apa suaminya yang gak pinter?"

Tawa kecil pecah di antara mereka bertiga. Bagi mereka, mungkin itu hanya candaan ringan. Tapi bagi Nadine, kata-kata itu seperti pisau yang menggores hatinya.

"Kalau suaminya jago di ranjang, sekali tembak pasti langsung jadi tuh si dedek."

"Ibu bisa aja bercandanya," Nadine menelan ludah, mencoba menyingkirkan rasa perih di dadanya setelah mendengar tawa ibu-ibu tadi. Ia hendak pamit masuk, tapi salah satu dari mereka tiba-tiba bersuara, seolah teringat sesuatu.

“Oh iya, Mba Nad, rumah sebelah situ...” Ia menunjuk rumah tingkat dua yang persis di samping rumah Nadine, “katanya udah laku terjual, lho.”

Nadine refleks menoleh ke arah rumah itu. Sejak lama rumah tersebut kosong dan hanya sesekali ditengok tukang kebersihan. Alisnya terangkat sedikit. “Oh ya? Siapa yang beli, Bu?” tanyanya, agak penasaran.

Si ibu dengan roll rambut menjawab cepat, “Katanya sih mas-mas, mukanya ganteng lagi. Kemarin aku lihat dia datang ke sini sama tukang. Mungkin mau renof dulu sebelum ditempati."

Sontak ibu yang lain menimpali dengan semangat. “Tau enggak, gosipnya dia itu duda, lho.” Nada suaranya penuh gosip, sampai kedua temannya terkekeh. "Mana masih mudah lagi."

"Perempuan aneh mana yang tega ninggalin suami mapan kayak dia ya?"

"Iih. Tau darimana dia mapan?"

Ibu-ibu dengan roll di rambutnya segera menimpali, "Kalau gak mapan, mana mungkin bisa beli rumah ini. Padahal yang punya pasang harga 4M loh. EMPAT M."

Nadine hanya mengerjap, mencoba menyembunyikan rasa ingin tahunya. “Oh begitu…” gumamnya pendek, tak mau terlihat terlalu tertarik.

Namun salah satu ibu menepuk bahunya dengan akrab. “Ya udah deh. Nanti kalau dia udah resmi pindah, ayo kita barengan main ke rumahnya, gimana Mba Nad? Biar sekalian kenalan tetangga baru.”

“Iya betul. Kan biar akrab juga, siapa tahu bisa bantu-bantu kalau ada apa-apa.”

"Aku mau dandan yang cantik deh besok, aku siap menggatal di depan duda ganteng kaya raya," timpal ibu yang satu lagi. Dengan diiringi tawa dari dua ibu lainnya dan serta Nadine.

Nadine tersenyum. “Boleh deh, Bu. Nanti kalau dia udah pindah, saya ikut ibu-ibu ke sana.”

Setelah beberapa saat bercakap, ibu-ibu itu pun melanjutkan langkah menuju lapak sayur. Nadine sendiri, masih berdiri di teras, pandangannya kembali terarah ke rumah tingkat dua di sampingnya. Dia penasaran, orang seperti apa yang akan jadi tetangga barunya nanti.

***

Dua minggu berlalu begitu cepat.

Hari ini, udara sore terasa lebih sejuk dari biasanya. Di kompleks, beberapa ibu-ibu sudah bersiap dengan dandanan terbaiknya. Dasternya diganti dengan baju rumah yang lebih rapi, wajah dipoles bedak tipis, ada pula yang bahkan menyemprotkan parfum sebelum melangkah ke rumah baru yang sejak lama jadi bahan gosip.

“Yuk, Mba Nad! Kita bareng!" ujar salah satu ibu yang rambutnya kini tak lagi digulung roll, melainkan disisir rapi.

Nadine tersenyum sopan, meski hatinya agak malas. Tapi sudah terlanjur janji, dan lagipula sekadar ramah-tamah dengan tetangga baru tidak ada salahnya.

Tok! Tok! Tok!

Salah satu dari mereka mulai mengetuk pintu. Tak lama kemudian, sosok seorang pria berdiri di sana, mengenakan kemeja santai lengan panjang yang digulung sampai siku.

"Selamat sore ibu-ibu? Ada yang bisa saya bantu?"

Nadine membeku. Jantungnya berdentum keras, seolah hendak meledak. Suara itu— terdengar sangat familiar di telinganya. Ia tak menyangka jika duda tampan yang menjadi tetangga barunya ini, adalah mantan kekasihnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Jawab Jujur!

    Nadine terdiam cukup lama. Matanya menunduk, seolah berusaha menahan sesuatu yang sejak tadi ingin tumpah. Dirga hanya berdiri di hadapannya, sabar menunggu tanpa mendesak lagi. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Nadine menghela napas berat. “Sebenarnya aku salah input data. Data yang aku masukin saya barang fisiknya beda." Ia tertawa hambar. “Dan leader team bilang itu kesalahan fatal karena buat perusahaan rugi." Dirga mengerutkan dahi. “Terus?” “Karena itu emang murni keteledoranku, aku diminta bikin kronologis, klarifikasi ke finance, dan bantu cari solusi biar gak harus ganti rugi." Nadine menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sesak di dada. “Tapi HR bilang kemungkinan aku juga harus tetap tanggungjawab dan ganti semua kerugian karena itu murni kesalahan pribadiku." “Berapa?” suara Dirga merendah. Nadine menelan ludah. “Dua puluh juta.” Dirga mengerjap pelan, lalu bersandar pada mobil. Ia tidak langsung bicara, seolah memberi waktu agar Nadine bis

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Selalu Ada

    Sebuah sentuhan dingin di pipinya membuat Nadine tersentak. “Nghh?!” Ia buru-buru mengangkat kepala. Matanya langsung membulat saat melihat sosok yang berdiri di sebelah meja kerjanya. “Dirga?!” Pria itu tersenyum kecil sambil menaruh jus kemasan di meja. "Kejutan." Nadine masih menatapnya tak percaya. “K- kamu ngapain di sini?” "Khawatir," jawab Dirga santai, bahunya sedikit terangkat. "Soalnya ada perempuan yang pas ditelfon nada bicaranya kayak mau nangis." Nadine cukup terkejut saat mendengar ucapan Dirga. Tapi ia menutupi rasa gugupnya sambil berkata, "Kamu kok tau aku ada di sini? Terus— emang kamu gak dimarahin satpam ya sampai masuk ke sini?" "Dirga dimarahin? Si satpam yang bakal aku marahin balik," balas si duda dengan kaos polo-nya yang khas itu sambil terkekeh. "Ngawur," cibir Nadine sambil buang muka. "Kamu ngapain sendirian di sini? Yang lain kan sudah pada pulang?" Nadine tak langsung menjawab, ia memilih untuk meraih jus yang Dirga berikan dan meminumnya sedik

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Si Paling Peka

    Belum sempat Nadine menarik napas panjang, ponselnya kembali bergetar di meja. Kali ini bukan notifikasi pesan — tapi panggilan masuk. "Dirga?" Nadine menatap layar itu lama, hatinya ingin menolak, tapi jempolnya justru bergerak sendiri menekan tombol hijau. “Halo...” sapa Nadine. Berusaha terlihat biasa saja dan tak membuat Dirga curiga. “kenapa chatku gak dibalas?” suara Dirga terdengar di seberang. "Kamu sesibuk itu ya sekarang?" Nadine menelan ludah. “Iya nih. Lagi ada beberapa kerjaan yang belum selesai." “Kamu kedengeran capek banget,” kata Dirga. “Ada apa? Kamu baik-baik aja kan?” Pertanyaan itu membuat dada Nadine langsung sesak. Ia menunduk, berusaha menahan getaran di suaranya. “Iya, aku baik-baik aja kok.” “Yakin?” nada Dirga sedikit menekan, penuh perhatian. “Suara kamu kayak abis nangis.” Nadine buru-buru menggeleng, meski tahu Dirga tak bisa melihatnya. “Enggak... cuma lagi pusing aja. Tadi sempat salah input data, jadi harus beresin dari siang.” Dirga terdiam

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Kesalahan Fatal

    Sepanjang siang Nadine berusaha memperbaiki data yang disebut Clara. Ia dan Sarah memeriksa laporan satu per satu, mencocokkan antara data penjualan dan stok dari sistem gudang. Namun setelah berjam-jam menelusuri file dan membandingkan catatan lama, hasilnya membuat dada Nadine terasa menyesak. Salah satu file yang ia input memang keliru — satu kolom nominal stok tertukar antar dua unit proyek. Angka kecil yang salah tempat itu, ternyata berimbas besar pada keseluruhan laporan. Nadine menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Tangannya bergetar. “Ternyata... memang aku yang salah, Mba,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Sarah menghela napas panjang. “Ini salah aku juga sebenarnya, soalnya udah ngasih tugas ini ke kamu. Padahal kamu masih anak baru." Clara kembali datang ke meja Nadine. Nada suaranya dingin tapi terselip kepuasan. “Udah aku bilang kan, pasti ini salah kamu,” ujarnya sambil menyilangkan tangan di dada. “Sekarang ayo ikut aku! HRD sama bagian keuangan ma

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Membuat Kesalahan

    “Nadine!!” Suara bentakan itu menggema keras di ruangan, membuat semua kepala otomatis menoleh. Nadine spontan berdiri, wajahnya bingung, sementara jantungnya berdetak cepat. Clara berjalan cepat ke arahnya, menenteng beberapa lembar berkas dengan ekspresi penuh amarah. “Kamu ini kerja pakai otak nggak sih?!” Ruangan langsung hening. Bahkan suara AC pun seolah menghilang. “M—Mba Clara, ada apa ya?” tanya Nadine hati-hati, berusaha tetap tenang meski lututnya mulai lemas. Clara menepuk keras berkas itu ke meja Nadine hingga beberapa kertas berhamburan. “Lihat ini! Data kamu kemarin kacau semua!” Nadine terperanjat. Ia menunduk, mengambil lembaran itu dengan tangan bergetar. “Kacau gimana, Mba?” “JANGAN PURA-PURA GAK TAU, NADINE!” teriak Clara lagi, suaranya meninggi dan membuat beberapa rekan kerja di cubicle lain langsung pura-pura sibuk. “Karena ulah kamu, sistem laporan hari ini kacau total! Ada data penjualan yang gak sinkron sama gudang!” Sarah yang duduk tak jauh dari sit

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Ada Apa Dengannya?

    Keesokan paginya, Nadine sudah berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang jatuh lembut di bahu. Wajahnya tampak lebih segar dan tenang, meski semalam sempat diwarnai amarah. Saat keluar kamar, ia sudah melihat Rhevan duduk di meja makan, berpakaian rapi dengan kemeja biru muda dan jam tangan hitam yang selalu ia kenakan. “Pagi Mas,” ucap Nadine singkat. “Hmm,” balas Rhevan, tanpa menoleh lama. Jelas, dia sedang sibuk dengan hapenya, mana mungkin memperhatikan Nadine yang ada di depannya. Tak ada percakapan panjang di antara mereka. Pasutri itu sibuk menikmati sarapan masing-masing sebelum berpisah menuju tempat kerja. *** Sesampainya di kantor, Nadine tidak langsung naik ke lantai atas. Ia sengaja mampir dulu ke kantin di lantai dasar— sekadar memesan satu cup espresso. Aroma kopi langsung menyambutnya begitu pintu kantin terbuka. Suasana pagi masih sepi, hanya ada beberapa karyawan yang sibuk menatap ponsel sambil menunggu pesanan mereka. Nadine mengantre dengan sabar,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status