“Mas Rhevan, kenapa kamu tega sekali?” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara.
"Berisik!" umpat Rhevan sambil saklar lampu di samping ranjang. Ia tidur dengan posisi membelakangi Navira. Pria itu kembali sibuk dengan ponselnya seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Navira hanya terpekur perih menyaksikan sikap dingin dan kasar suaminya. 'Tuhan, sampai kapan Mas Rhevan bersikap seperti ini? Kapan dia mau memperlakukanku seperti kayaknya seorang istri?' *** Pagi itu, Navira menyiapkan sarapan untuk sang suami seperti biasanya. Yang berbeda hanyalah mata sembab efek terlalu banyak menangis kemarin malam. "Mana sarapanku?" Navira menoleh. Ia melihat ke arah Rhevan yang sudah rapi dengan kemeja biru tuanya. Ia menarik salah satu kursi di meja makan setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Sebentar, Mas. Ini lagi aku siapin," jawab Navira lembut. "Ck. Makanya jadi istri itu bangunnya jangan siang-siang! Pemalas!" Sekali lagi. Kalimat hinaan itu meluncur bebas dari bibir Rhevan. Namun hanya dibalas dengan kalimat maaf lirih yang tak pernah luput Navira sampaikan. "Maaf! Maaf! Tapi kamu gak pernah becus!" Ia melirik sinis ke arah sang istri. "Cepet siapin makanannya! Aku keburu telat!" Dengan segera ia mengambil nasi dan mulai menuangkan nasi goreng buatannya ke atas sana. Ia tidak lupa menambahkan suwiran ayam dan telor mata sapi sebagai lauknya. Tanpa mengucapkan terimakasih, Rhevan mulai menyantap sarapannya. Sesekali matanya tertuju ke arah ponsel yang terus menyala. Ia tak memperdulikan kehadiran Navira sama sekali. Navira mengambil sebuah piring. Ia hendak makan bersama dengan suaminya, akan tetapi... "Jangan makan dulu! Buatkan aku kopi!" Tanpa melihat ke arah Navira, Rhevan kembali memerintah istrinya. Perempuan dengan dress motif bunga kecil-kecil itu hanya mengangguk. "Iya Mas." Ia berdiri. Wajahnya semakin murung. Dengan hati meradang, perempuan berambut panjang sepunggung itu mulai menyiapkan kopi yang diminta suaminya. Kadang, Navira juga ingin ditanya, apa dia sudah makan? Atau setidaknya Rhevan mengajaknya makan bersama, tapi pria itu tak pernah melakukannya. Sekalipun tidak. Rhevan tak pernah menganggapnya sebagai istri atau pasangannya. Ia sudah seperti pembantu yang memenuhi segala kebutuhannya. Setelah menyantap suapan terakhir nasi gorengnya, Rhevan meletakkan sendok dengan bunyi clak yang membuat Navira sedikit terlonjak. “Tambahin gula kopinya dikit lagi! Terlalu pahit!” omelnya sambil berdiri, mengambil jas yang tersampir di kursi. Navira segera meraih cangkir kopi itu dengan cepat. Ia menambahkan sedikit gula, mengaduk pelan, lalu menyerahkan kembali pada suaminya. Namun, setelah kopi itu selesai dibuat, Rhevan justru berkata jika dia harus segera berangkat ke kantor. Dengan masih memegang cangkir kopi di tangannya, Navira memperhatikan suaminya yang melenggang cepat menuju pintu utama. Ekspresi penuh luka tergambar jelas di wajahnya. “Apa aku segitu gak berartinya di mata kamu, Mas?” bisiknya parau. Lagi-lagi ia dikecewakan oleh sikap Rhevan, suaminya. *** Tas belanjaan di tangan Navira terasa berat. Kakinya melangkah gontai menuju dapur. Setiap langkah terasa sepi, namun pikirannya riuh oleh obrolan ibu-ibu di tukang sayur tadi pagi. ["Suamiku kenapa ya hampir tiap hari minta jatah. Padahal kita ini capek loh. Udah ngurus rumah, anak, eh— malamnya masih aja harus ngelayani suami."] ["Iya Bu. Aku juga heran loh. Kalau gak dikasih pasti dia uring-uringan, alasan sakit kepala lah, obat capeklah."] ["Aku aja yang dua hari sekali aja males apalagi yang tiap hari. Males saya Jeng."] Navira menarik napas panjang ketika mengingat obrolan mereka. Ada rasa getir menyergap hatinya. Rhevan bukan tipe suami yang penuh gairah. Bukan juga lelaki yang menginginkan istrinya setiap malam. Justru sebaliknya. Dalam hampir lima tahun pernikahan mereka, Navira bisa menghitung dengan jari seberapa sering Rhevan benar-benar menyentuhnya. Seminggu sekali. Itu pun kadang-kadang. Pernah bahkan sampai sebulan penuh tanpa sekalipun ia dipeluk dengan mesra. Dan setiap kali terjadi, semuanya berlangsung terlalu cepat. Tanpa ciuman, tanpa belaian, tanpa kenikmatan untuk dirinya. Padahal ia masih tergolong sebagai perempuan muda yang penuh gairah, penuh kebutuhan akan sentuhan seksual. “Kenapa Mas Rhevan beda ya ama suami-suami mereka?" lirih Navira sambil meletakkan belanjaannya di meja dapur. "Apa Mas Rhevan secapek itu kerjanya sampai gak minta buat berhubungan, atau— Mas Rhevan gak selera sama aku?" Navira sering memikirkan hal ini. Tapi ia mencoba untuk terus berpikir positif tentang suaminya. Meskipun di lubuk hatinya, ada kegundahan yang tak pernah ia ungkapkan. *** Keesokan paginya, Rhevan sudah duduk di sofa dengan kemeja biru muda yang sudah rapi, dasi terikat sempurna di lehernya. Namun, matanya sama sekali tidak beralih dari ponsel di genggamannya. Jemarinya sibuk mengetik cepat, sesekali tersenyum tipis pada layar seolah tengah membalas pesan penting. “Ini kopinya, Mas," lirih Navira sambil meletakkan cangkir kopi request sang suami ke atas meja. Tanpa menoleh, Rhevan hanya menjawab seadanya, “Hm." Navira menggigit bibirnya. Hatinya perih mendengar nada dingin itu. “Di minum dulu kopinya, Mas! Nanti keburu dingin," ucap Navira, mencoba menarik perhatian suaminya. Kali ini Rhevan mendesah kasar. Ia meletakkan ponsel sebentar di pahanya, menoleh cepat hanya untuk memberikan tatapan tidak sabar. “Kamu ini kenapa berisik sekali, hah? Mau aku minum pas panas atau dingin, rasanya juga tetap sama. Tetap kopi!" Navira menghela nafas panjang. Ia tahu percakapan ini hanya berakhir pada pertengkaran. Jadi dia memilih untuk mengalah dan pergi dari dalam rumah. Menyiram tanaman adalah tujuannya sekarang. Tapi saat ia baru saja menyalakan kran, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggilnya. “Mbak Viraaa!”"Finish." Arvino akhirnya selesai memasang kembali baut terakhir di motor Navira. Tangannya sedikit berlumur oli, tapi raut wajahnya menunjukkan kepuasan. “Sekarang motor kamu udah bisa dipakai lagi. Tapi saranku, kamu tetap harus bawa motornya ke bengkel. Biar dicek lebih detail." Navira yang sejak tadi duduk di sampingnya ikut memperhatikan. Ia menatap bagian mesin yang ditunjuk Arvino, mencoba mengingat penjelasan singkatnya. “Jadi ini yang bikin motorku gak nyala tadi?” “Iya. Kabelnya sempat kendor, jadi aliran listriknya nggak nyampe.” Arvino melirik sekilas ke arah Navira yang tampak serius. Senyum samar muncul di wajahnya. "Makasih ya udah bantuin." Navira menoleh ke arah Arvino dan tersenyum tipis. “Dari dulu kamu emang jago benerin banyak hal." Arvino hanya mengangkat bahunya santai. “Jangankan cuma motor, hati yang rusak aja bisa kok aku perbaiki." Navira mengerutkan kening. Tapi alih-alih menganggap serius perkataan mantan kekasihnya itu, ia justru berkata, "Apa
"Mas... Ahhh!" Perempuan 25 tahun itu tersentak kaget saat Rhevan meremas bukit kembarnya dengan kasar. Pijatan itu tak memberikan rasa nikmat namun sebaliknya. "Pelan-pelan, Mas!" "Ssst! Aku sudah nggak tahan!" Tanpa banyak basa-basi, Rhevan menarik gaun tidur istrinya sampai ke atas. Ia mulai mempersiapkan miliknya yang tegang ke liang wanita itu. Dan— "Ughh..." Tubuh Navira mengejang sesaat ketika milik sang suami masuk ke liangnya yang bahkan belum basah sekali. "Mas..." Ia mengernyit perih. Ia tangannya mencengkram sprei di bawahnya, liangnya sakit karena ulah kasar sang suami. "Akh! Vira... Hhh... Ughhh!" Tak sampai lima menit, cairan kental itu meleleh di dalam Navira yang bahkan baru setengah nikmat. "Akhh... Leganya..." Navira melirik ke arah sang suami yang langsung berdiri dari atas tubuhnya. Ia melemparkan tisu ke arah Navira untuk membersihkan bekas cairan yang meleleh dari pusatnya. Dan tau apa yang dilakukan Rhevan selanjutnya, pria itu langsung tidur setelah memaka
Perempuan berkulit putih dengan paras ayu tersebut, melangkah masuk dengan ragu. Ruang tamu itu terasa berbeda tanpa kehadiran ibu-ibu yang tadi ramai berceloteh. Hening. Hanya ada suara detak jam dinding dan sesekali desis AC yang berputar malas di langit-langit. Ia duduk di ujung sofa, tubuhnya kaku. Pandangannya menyapu ruangan—karton masih berserakan, beberapa barang rumah tangga dibiarkan terbuka begitu saja. Ada tumpukan buku, koper setengah terbuka, dan beberapa lukisan yang disandarkan sembarangan di dinding. Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arvino muncul sambil membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kayu di depan mereka, lalu duduk di kursi seberang. “Silahkan di minum!” ucap Arvino tenang, seolah tak ada yang aneh dengan pertemuan mereka. Navira hanya tersenyum tipis. “Makasih." Arvino mengangguk pelan. Ia menatap teh sebentar, lalu mengangkat kepalanya, menatap Navira dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Nggak nyangka ya
Navira terpaku di tempatnya. Pandangannya membentur sepasang mata itu—mata yang tak pernah ia kira akan ditemuinya lagi setelah sekian lama. "Arvino…" bisiknya nyaris tak terdengar. Sementara pria itu juga terlihat sama kagetnya. Senyum ramah yang tadi ia pasang mendadak kaku, nyaris hilang. Namun cepat-cepat ia mengendalikan diri, melirik sekilas ke arah ibu-ibu yang berdiri di belakang Navira. “Oh… selamat sore,” Arvino kembali membuka suara, kali ini terdengar lebih formal. “Silakan masuk, Ibu-ibu! Maaf ya, rumahnya masih berantakan.” Salah satu ibu langsung nyerocos riang, “Kita yang harusnya minta maaf, soalnya udah ganggu Masnya berberes." "Nggak kok, Bu. Santai saja." Mereka mengikuti langkah si pria. Tawa kecil terdengar dari yang lain. Mereka langsung melangkah masuk, seolah tak menyadari ketegangan yang menyelimuti Navira dan pria bernama Arvino Kaelion Mahendra tersebut. “Makasih ya, Mas, sudah mau nerima kunjungan kita. Namanya siapa?” tanya salah satu ibu, dengan ga
Tapi saat ia baru saja menyalakan kran, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggilnya. "Mbak Viraaa..." Merasa namanya dipanggil, perempuan 25 tahun itu pun menoleh. Terlihat tiga ibu-ibu berjalan bersama. Penampilan mereka sangat sederhana, memakai daster motif, sandal jepit, dan rambut yang sebagian masih digulung roll plastik, ada yang bahkan hanya diikat asal. Salah satu dari tiga orang itu melambaikan tangan dengan semangat ke arah Navira begitu mereka lewat di depan rumahnya. “Pagi Mba Vira!” sapa salah satu ibu-ibu. Navira tersenyum tipis, "Pagi Ibu-ibu," sapanya balik. "Mau ke Pak Sayur ya?" "Iya nih. Mba Vira gak belanja juga? Kita bisa bareng ke sananya!" ajak ibu lainnya yang memakai roll di rambut. "Saya belanjanya nanti aja, Bu. Nunggu Mas Rhevan berangkat kerja." Ibu lain menimpali sambil menyenggol temannya. “Mba Vira jam segini udah cantik aja sih, mana wangi lagi. Beda ama kita-kita." "Ya beda lah, Bu. Mba Vira kan belum ada anak. Jadi ada banyak waktu b
“Mas Rhevan, kenapa kamu tega sekali?” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. "Berisik!" umpat Rhevan sambil saklar lampu di samping ranjang. Ia tidur dengan posisi membelakangi Navira. Pria itu kembali sibuk dengan ponselnya seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Navira hanya terpekur perih menyaksikan sikap dingin dan kasar suaminya. 'Tuhan, sampai kapan Mas Rhevan bersikap seperti ini? Kapan dia mau memperlakukanku seperti kayaknya seorang istri?' *** Pagi itu, Navira menyiapkan sarapan untuk sang suami seperti biasanya. Yang berbeda hanyalah mata sembab efek terlalu banyak menangis kemarin malam. "Mana sarapanku?" Navira menoleh. Ia melihat ke arah Rhevan yang sudah rapi dengan kemeja biru tuanya. Ia menarik salah satu kursi di meja makan setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Sebentar, Mas. Ini lagi aku siapin," jawab Navira lembut. "Ck. Makanya jadi istri itu bangunnya jangan siang-siang! Pemalas!" Sekali lagi. Kalimat hinaan itu meluncur bebas dari bibir Rheva