LOGIN"Finish."
Dirga akhirnya selesai memasang kembali baut terakhir di motor Nadine. Tangannya sedikit berlumur oli, tapi raut wajahnya menunjukkan kepuasan. “Sekarang motor kamu udah bisa dipakai lagi. Tapi saranku, kamu tetap harus bawa motornya ke bengkel. Biar dicek lebih detail." Nadine yang sejak tadi duduk di sampingnya ikut memperhatikan. Ia menatap bagian mesin yang ditunjuk Dirga, mencoba mengingat penjelasan singkatnya. “Jadi ini yang bikin motorku gak nyala tadi?” “Iya. Kabelnya sempat kendor, jadi aliran listriknya nggak nyampe.” Dirga melirik sekilas ke arah Nadine yang tampak serius. Senyum samar muncul di wajahnya. "Makasih ya udah bantuin." Nadine menoleh ke arah Dirga dan tersenyum tipis. “Dari dulu kamu emang jago benerin banyak hal." Dirga hanya mengangkat bahunya santai. “Jangankan cuma motor, hati yang rusak aja bisa kok aku perbaiki." Nadine mengerutkan kening. Tapi alih-alih menganggap serius perkataan mantan kekasihnya itu, ia justru berkata, "Apa sih? Gak nyambung." "Terserah deh. Yang penting kamu jangan lupa satu hal?" ucap Dirga sembari menyeringai jahil. "Lupa apa?" "Imbalan. Kan aku sudah bantuin kamu benerin motor ini." Nadine refleks menyipitkan matanya. "Gak ikhlas rupanya." Ia sedikit mengerucutkan bibirnya karena perkataan Dirga barusan. "Ingat. Gak ada yang gratis di dunia ini," balas pria tampan berambut hitam pekat itu sambil menyeringai tipis. Nadine menatapnya dengan wajah yang jelas menunjukkan rasa jengkel. “Ya ampun, Dirga. Kamu perhitungan banget jadi orang," gumamnya. Dirga tergelak pelan, tawanya pecah begitu saja melihat ekspresi dongkol Nadine. Tanpa berpikir panjang, ia refleks menjulurkan tangan dan mencubit pipi Nadine pelan. “Hahaha… aku cuma bercanda, Nadine. Jangan cemberut gitu dong! Gemes kan jadinya." Nadine terperangah, tidak menyangka Dirga masih berani melakukan kebiasaan lamanya itu. Ia tidak membalas, hanya diam menatap lelaki itu yang masih tertawa lepas. Senyum, tawa, bahkan ekspresi wajahnya… semuanya sama persis dengan beberapa tahun yang lalu, saat mereka masih pacaran. Tatapan Nadine perlahan melembut, meski hatinya terasa penuh sesak oleh ingatan lama yang tiba-tiba menyeruak. Dirga menyadari kalau Nadine diam terlalu lama. Tawanya mereda, ia menghela napas pendek lalu menurunkan tangannya. “Eh… maaf, Nadine.” Suaranya terdengar lebih serius. “Maaf ya! Aku nggak sengaja." Nadine masih terdiam, matanya menatap Dirga tanpa kata. Wajahnya menyimpan campuran antara kaget, kesal, tapi juga ada sesuatu yang lebih dalam, yang tidak ingin ia tunjukkan. Rindu. Dirga buru-buru menarik diri, tangannya diselipkan ke belakang punggung. Ia mencoba terlihat santai padahal matanya jelas menyiratkan penyesalan. “Sorry, aku kelewatan. Harusnya aku gak kayak gitu. Apalagi kamu kan udah bersuami.” Nadine masih diam. Dirga berdeham kecil, mencoba mengusir suasana aneh yang sempat melingkupi mereka. Matanya sempat menatap wajah Nadine, lalu alisnya terangkat pelan. “Nadine— pipi kamu kotor,” ucapnya lirih. Refleks Nadine langsung menyentuh pipinya dengan telapak tangan. “Hm?” Ia buru-buru mengusap bagian pipinya yang barusan Dirga cubit. “Kamu sih," desahnya lesu. Ia menggosok pipinya menggunakan punggung tangan agar bekas olinya agak menghilang. Dirga hanya tersenyum tipis, menahan diri untuk tidak ikut membantunya membersihkan kotoran tersebut. “Lebih baik kamu langsung cuci muka aja!" Nadine langsung menurunkan tangannya, wajahnya memanas sendiri karena merasa kikuk. “Bener juga." Dirga mengangguk singkat. Ia kemudian menepuk celananya yang kotor oleh debu, lalu meraih jaket yang tadi ia gantungkan di stang motor. “Kalau gitu, aku pamit dulu, Nadine. Aku harus ke lokasi proyek abis ini." Nadine hanya bisa menunduk, perasaannya campur aduk. “Iya. Makasih. Maaf udah ngerepotin." Dirga menatapnya sebentar, ada sesuatu yang seolah ingin ia katakan, tapi ia urungkan. Ia hanya tersenyum samar, lalu melangkah pergi menuju ke luar gerbang rumah Nadine. "Bye!" "Bye." Nadine menatap punggung Dirga dalam diam. Meskipun secara fisik Dirga terlihat lebih matang, namun sikapnya masih sama saja seperti dulu. Menyenangkan. Beda dengan suaminya yang dingin, angkuh, dan terlalu serius. Mungkin karena pengaruh usia. Setelah membereskan piring kotor bekas makan malamnya dan sang suami, Nadine pamit ke tempat Dirga. Meskipun sempat ada sedikit cekcok dengan Rhevan, namun akhirnya ia dapat ijin untuk mengantar makanan ke tempat tetangganya itu. Imbalan karena Dirga sudah membantunya tadi pagi. Rumah Dirga hanya berjarak beberapa langkah. Berbeda dengan rumah lain di komplek, rumah itu belum dipasang gerbang karena proses renov. Halaman depannya masih kosong, hanya ada pot bunga seadanya dan satu mobil. Nadine mendekat, lalu mengetuk pintu kayu berwarna cokelat tua itu. Tok… tok… Tidak ada jawaban. Nadine mengetuk lagi, kali ini agak keras. “Dirga?” panggilnya dengan suara sedikit meninggi. Pintu tiba-tiba bergeser. Tidak terkunci. Nadine kaget. "Sembrono banget sih jadi orang?" “Dirga..." Ia mencoba memanggil lagi sambil melongok sedikit ke dalam, setengah ragu untuk melangkah. Ia sudah nyaris mencapai ruang tengah saat ini. Akan tetapi, Nadine belum juga menemukan kehadiran Dirga di sana. "Dia ke mana sih?" Semakin ke dalam, ia justru mendengar suara gemericik air dari arah kamar mandi. Lengkap dengan suara seduktif yang nyaris membuat rasa penasaran kian membuncah. "Ahhh... Nadine..." ‘Astaga?!’ Tubuh Nadine tercekat melihat pemandangan di balik pintu yang setengah terbuka itu. Di mana Dirga sedang memanjakan miliknya sendiri di bawah pancuran air sembari menyebut namanya. 'A- apa yang Dirga lakukan? Kenapa dia–’Nadine terdiam cukup lama. Matanya menunduk, seolah berusaha menahan sesuatu yang sejak tadi ingin tumpah. Dirga hanya berdiri di hadapannya, sabar menunggu tanpa mendesak lagi. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Nadine menghela napas berat. “Sebenarnya aku salah input data. Data yang aku masukin saya barang fisiknya beda." Ia tertawa hambar. “Dan leader team bilang itu kesalahan fatal karena buat perusahaan rugi." Dirga mengerutkan dahi. “Terus?” “Karena itu emang murni keteledoranku, aku diminta bikin kronologis, klarifikasi ke finance, dan bantu cari solusi biar gak harus ganti rugi." Nadine menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sesak di dada. “Tapi HR bilang kemungkinan aku juga harus tetap tanggungjawab dan ganti semua kerugian karena itu murni kesalahan pribadiku." “Berapa?” suara Dirga merendah. Nadine menelan ludah. “Dua puluh juta.” Dirga mengerjap pelan, lalu bersandar pada mobil. Ia tidak langsung bicara, seolah memberi waktu agar Nadine bis
Sebuah sentuhan dingin di pipinya membuat Nadine tersentak. “Nghh?!” Ia buru-buru mengangkat kepala. Matanya langsung membulat saat melihat sosok yang berdiri di sebelah meja kerjanya. “Dirga?!” Pria itu tersenyum kecil sambil menaruh jus kemasan di meja. "Kejutan." Nadine masih menatapnya tak percaya. “K- kamu ngapain di sini?” "Khawatir," jawab Dirga santai, bahunya sedikit terangkat. "Soalnya ada perempuan yang pas ditelfon nada bicaranya kayak mau nangis." Nadine cukup terkejut saat mendengar ucapan Dirga. Tapi ia menutupi rasa gugupnya sambil berkata, "Kamu kok tau aku ada di sini? Terus— emang kamu gak dimarahin satpam ya sampai masuk ke sini?" "Dirga dimarahin? Si satpam yang bakal aku marahin balik," balas si duda dengan kaos polo-nya yang khas itu sambil terkekeh. "Ngawur," cibir Nadine sambil buang muka. "Kamu ngapain sendirian di sini? Yang lain kan sudah pada pulang?" Nadine tak langsung menjawab, ia memilih untuk meraih jus yang Dirga berikan dan meminumnya sedik
Belum sempat Nadine menarik napas panjang, ponselnya kembali bergetar di meja. Kali ini bukan notifikasi pesan — tapi panggilan masuk. "Dirga?" Nadine menatap layar itu lama, hatinya ingin menolak, tapi jempolnya justru bergerak sendiri menekan tombol hijau. “Halo...” sapa Nadine. Berusaha terlihat biasa saja dan tak membuat Dirga curiga. “kenapa chatku gak dibalas?” suara Dirga terdengar di seberang. "Kamu sesibuk itu ya sekarang?" Nadine menelan ludah. “Iya nih. Lagi ada beberapa kerjaan yang belum selesai." “Kamu kedengeran capek banget,” kata Dirga. “Ada apa? Kamu baik-baik aja kan?” Pertanyaan itu membuat dada Nadine langsung sesak. Ia menunduk, berusaha menahan getaran di suaranya. “Iya, aku baik-baik aja kok.” “Yakin?” nada Dirga sedikit menekan, penuh perhatian. “Suara kamu kayak abis nangis.” Nadine buru-buru menggeleng, meski tahu Dirga tak bisa melihatnya. “Enggak... cuma lagi pusing aja. Tadi sempat salah input data, jadi harus beresin dari siang.” Dirga terdiam
Sepanjang siang Nadine berusaha memperbaiki data yang disebut Clara. Ia dan Sarah memeriksa laporan satu per satu, mencocokkan antara data penjualan dan stok dari sistem gudang. Namun setelah berjam-jam menelusuri file dan membandingkan catatan lama, hasilnya membuat dada Nadine terasa menyesak. Salah satu file yang ia input memang keliru — satu kolom nominal stok tertukar antar dua unit proyek. Angka kecil yang salah tempat itu, ternyata berimbas besar pada keseluruhan laporan. Nadine menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Tangannya bergetar. “Ternyata... memang aku yang salah, Mba,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Sarah menghela napas panjang. “Ini salah aku juga sebenarnya, soalnya udah ngasih tugas ini ke kamu. Padahal kamu masih anak baru." Clara kembali datang ke meja Nadine. Nada suaranya dingin tapi terselip kepuasan. “Udah aku bilang kan, pasti ini salah kamu,” ujarnya sambil menyilangkan tangan di dada. “Sekarang ayo ikut aku! HRD sama bagian keuangan ma
“Nadine!!” Suara bentakan itu menggema keras di ruangan, membuat semua kepala otomatis menoleh. Nadine spontan berdiri, wajahnya bingung, sementara jantungnya berdetak cepat. Clara berjalan cepat ke arahnya, menenteng beberapa lembar berkas dengan ekspresi penuh amarah. “Kamu ini kerja pakai otak nggak sih?!” Ruangan langsung hening. Bahkan suara AC pun seolah menghilang. “M—Mba Clara, ada apa ya?” tanya Nadine hati-hati, berusaha tetap tenang meski lututnya mulai lemas. Clara menepuk keras berkas itu ke meja Nadine hingga beberapa kertas berhamburan. “Lihat ini! Data kamu kemarin kacau semua!” Nadine terperanjat. Ia menunduk, mengambil lembaran itu dengan tangan bergetar. “Kacau gimana, Mba?” “JANGAN PURA-PURA GAK TAU, NADINE!” teriak Clara lagi, suaranya meninggi dan membuat beberapa rekan kerja di cubicle lain langsung pura-pura sibuk. “Karena ulah kamu, sistem laporan hari ini kacau total! Ada data penjualan yang gak sinkron sama gudang!” Sarah yang duduk tak jauh dari sit
Keesokan paginya, Nadine sudah berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang jatuh lembut di bahu. Wajahnya tampak lebih segar dan tenang, meski semalam sempat diwarnai amarah. Saat keluar kamar, ia sudah melihat Rhevan duduk di meja makan, berpakaian rapi dengan kemeja biru muda dan jam tangan hitam yang selalu ia kenakan. “Pagi Mas,” ucap Nadine singkat. “Hmm,” balas Rhevan, tanpa menoleh lama. Jelas, dia sedang sibuk dengan hapenya, mana mungkin memperhatikan Nadine yang ada di depannya. Tak ada percakapan panjang di antara mereka. Pasutri itu sibuk menikmati sarapan masing-masing sebelum berpisah menuju tempat kerja. *** Sesampainya di kantor, Nadine tidak langsung naik ke lantai atas. Ia sengaja mampir dulu ke kantin di lantai dasar— sekadar memesan satu cup espresso. Aroma kopi langsung menyambutnya begitu pintu kantin terbuka. Suasana pagi masih sepi, hanya ada beberapa karyawan yang sibuk menatap ponsel sambil menunggu pesanan mereka. Nadine mengantre dengan sabar,







