"Finish."
Arvino akhirnya selesai memasang kembali baut terakhir di motor Navira. Tangannya sedikit berlumur oli, tapi raut wajahnya menunjukkan kepuasan. “Sekarang motor kamu udah bisa dipakai lagi. Tapi saranku, kamu tetap harus bawa motornya ke bengkel. Biar dicek lebih detail." Navira yang sejak tadi duduk di sampingnya ikut memperhatikan. Ia menatap bagian mesin yang ditunjuk Arvino, mencoba mengingat penjelasan singkatnya. “Jadi ini yang bikin motorku gak nyala tadi?” “Iya. Kabelnya sempat kendor, jadi aliran listriknya nggak nyampe.” Arvino melirik sekilas ke arah Navira yang tampak serius. Senyum samar muncul di wajahnya. "Makasih ya udah bantuin." Navira menoleh ke arah Arvino dan tersenyum tipis. “Dari dulu kamu emang jago benerin banyak hal." Arvino hanya mengangkat bahunya santai. “Jangankan cuma motor, hati yang rusak aja bisa kok aku perbaiki." Navira mengerutkan kening. Tapi alih-alih menganggap serius perkataan mantan kekasihnya itu, ia justru berkata, "Apa sih? Gak nyambung." "Terserah deh. Yang penting kamu jangan lupa satu hal?" ucap Arvino sembari menyeringai jahil. "Lupa apa?" "Imbalan. Kan aku sudah bantuin kamu benerin motor ini." Navira reflek menyipitkan matanya. "Gak ikhlas rupanya." Ia sedikit mengerucutkan bibirnya karena perkataan Arvino barusan. "Ingat. Gak ada yang gratis di dunia ini," balas pria tampan berambut hitam pekat itu sambil menyeringai tipis. Navira menatapnya dengan wajah yang jelas menunjukkan rasa jengkel. “Ya ampun, Vin Kamu perhitungan banget jadi orang," gumamnya. Arvino tergelak pelan, tawanya pecah begitu saja melihat ekspresi dongkol Navira. Tanpa berpikir panjang, ia refleks menjulurkan tangan dan mencubit pipi Navira pelan. “Hahaha… aku cuma bercanda, Vir. Jangan cemberut gitu dong! Gemes kan jadinya." Navira terperangah, tidak menyangka Arvino masih berani melakukan kebiasaan lamanya itu. Ia tidak membalas, hanya diam menatap lelaki itu yang masih tertawa lepas. Senyum, tawa, bahkan ekspresi wajahnya… semuanya sama persis dengan beberapa tahun yang lalu, saat mereka masih pacaran. Tatapan Navira perlahan melembut, meski hatinya terasa penuh sesak oleh ingatan lama yang tiba-tiba menyeruak. Arvino menyadari kalau Navira diam terlalu lama. Tawanya mereda, ia menghela napas pendek lalu menurunkan tangannya. “Eh… maaf, Vir.” Suaranya terdengar lebih serius. “Maaf ya! Aku nggak sengaja." Navira masih terdiam, matanya menatap Arvino tanpa kata. Wajahnya menyimpan campuran antara kaget, kesal, tapi juga ada sesuatu yang lebih dalam, yang tidak ingin ia tunjukkan. Rindu. Arvino buru-buru menarik diri, tangannya diselipkan ke belakang punggung. Ia mencoba terlihat santai padahal matanya jelas menyiratkan penyesalan. “Sorry, aku kelewatan. Harusnya aku gak kayak gitu. Apalagi kamu kan udah bersuami.” Navira masih diam. Arvino berdeham kecil, mencoba mengusir suasana aneh yang sempat melingkupi mereka. Matanya sempat menatap wajah Navira, lalu alisnya terangkat pelan. “Vira— pipi kamu kotor,” ucapnya lirih. Refleks Navira langsung menyentuh pipinya dengan telapak tangan. “Hm?” Ia buru-buru mengusap bagian pipinya yang barusan Arvino cubit. “Kamu sih," desahnya lesu. Ia menggosok pipinya menggunakan punggung tangan agar bekas olinya agak menghilang. Arvino hanya tersenyum tipis, menahan diri untuk tidak ikut membantunya membersihkan kotoran tersebut. “Lebih baik kamu langsung cuci muka aja!" Navira langsung menurunkan tangannya, wajahnya memanas sendiri karena merasa kikuk. “Bener juga." Arvino mengangguk singkat. Ia kemudian menepuk celananya yang kotor oleh debu, lalu meraih jaket yang tadi ia gantungkan di stang motor. “Kalau gitu, aku pamit dulu, Vir. Aku harus ke lokasi proyek abis ini." Navira hanya bisa menunduk, perasaannya campur aduk. “Iya. Makasih. Maaf udah ngerepotin." Arvino menatapnya sebentar, ada sesuatu yang seolah ingin ia katakan, tapi ia urungkan. Ia hanya tersenyum samar, lalu melangkah pergi menuju ke luar gerbang rumah Navira. "Bye!" "Bye." Navira menatap punggung Arvino dalam diam. Meskipun secara fisik Arvino terlihat lebih matang, namun sikapnya masih sama saja seperti dulu. Menyenangkan. Beda dengan suaminya yang dingin, angkuh, dan terlalu serius. Mungkin karena pengaruh usia. *** Setelah membereskan piring kotor bekas makan malamnya dan sang suami, Navira pamit ke tempat Arvino. Meskipun sempat ada sedikit cekcok dengan Rhevan, namun akhirnya ia dapat ijin untuk mengantar makanan ke tempat tetangganya itu. Imbalan karena Arvino sudah membantunya tadi pagi. Rumah Arvino hanya berjarak beberapa langkah. Berbeda dengan rumah lain di komplek, rumah itu belum dipasang gerbang karena proses renov. Halaman depannya masih kosong, hanya ada pot bunga seadanya dan satu mobil. Navira mendekat, lalu mengetuk pintu kayu berwarna cokelat tua itu. Tok… tok… Tidak ada jawaban. Navira mengetuk lagi, kali ini agak keras. “Vin? Arvino?” panggilnya dengan suara sedikit meninggi. Pintu tiba-tiba bergeser. Tidak terkunci. Navira kaget. "Sembrono banget sih jadi orang?" “Vin..." Ia mencoba memanggil lagi sambil melongok sedikit ke dalam, setengah ragu untuk melangkah. Ia sudah nyaris mencapai ruang tengah saat ini. Akan tetapi, Navira belum juga menemukan kehadiran Arvino di sana. "Dia ke mana sih?" Semakin ke dalam, ia justru mendengar suara gemericik air dari arah kamar mandi. Lengkap dengan suara seduktif yang nyaris membuat rasa penasaran kian membuncah. "Ahhh... Vira..." ‘Astaga?!’ Tubuh Navira tercekat melihat pemandangan di balik pintu yang setengah terbuka itu. Di mana Arvino sedang memanjakan miliknya sendiri di bawah pancuran air sembari menyebut namanya. 'A- apa yang Arvino lakukan? Kenapa dia–’"Finish." Arvino akhirnya selesai memasang kembali baut terakhir di motor Navira. Tangannya sedikit berlumur oli, tapi raut wajahnya menunjukkan kepuasan. “Sekarang motor kamu udah bisa dipakai lagi. Tapi saranku, kamu tetap harus bawa motornya ke bengkel. Biar dicek lebih detail." Navira yang sejak tadi duduk di sampingnya ikut memperhatikan. Ia menatap bagian mesin yang ditunjuk Arvino, mencoba mengingat penjelasan singkatnya. “Jadi ini yang bikin motorku gak nyala tadi?” “Iya. Kabelnya sempat kendor, jadi aliran listriknya nggak nyampe.” Arvino melirik sekilas ke arah Navira yang tampak serius. Senyum samar muncul di wajahnya. "Makasih ya udah bantuin." Navira menoleh ke arah Arvino dan tersenyum tipis. “Dari dulu kamu emang jago benerin banyak hal." Arvino hanya mengangkat bahunya santai. “Jangankan cuma motor, hati yang rusak aja bisa kok aku perbaiki." Navira mengerutkan kening. Tapi alih-alih menganggap serius perkataan mantan kekasihnya itu, ia justru berkata, "Apa
"Mas... Ahhh!" Perempuan 25 tahun itu tersentak kaget saat Rhevan meremas bukit kembarnya dengan kasar. Pijatan itu tak memberikan rasa nikmat namun sebaliknya. "Pelan-pelan, Mas!" "Ssst! Aku sudah nggak tahan!" Tanpa banyak basa-basi, Rhevan menarik gaun tidur istrinya sampai ke atas. Ia mulai mempersiapkan miliknya yang tegang ke liang wanita itu. Dan— "Ughh..." Tubuh Navira mengejang sesaat ketika milik sang suami masuk ke liangnya yang bahkan belum basah sekali. "Mas..." Ia mengernyit perih. Ia tangannya mencengkram sprei di bawahnya, liangnya sakit karena ulah kasar sang suami. "Akh! Vira... Hhh... Ughhh!" Tak sampai lima menit, cairan kental itu meleleh di dalam Navira yang bahkan baru setengah nikmat. "Akhh... Leganya..." Navira melirik ke arah sang suami yang langsung berdiri dari atas tubuhnya. Ia melemparkan tisu ke arah Navira untuk membersihkan bekas cairan yang meleleh dari pusatnya. Dan tau apa yang dilakukan Rhevan selanjutnya, pria itu langsung tidur setelah memaka
Perempuan berkulit putih dengan paras ayu tersebut, melangkah masuk dengan ragu. Ruang tamu itu terasa berbeda tanpa kehadiran ibu-ibu yang tadi ramai berceloteh. Hening. Hanya ada suara detak jam dinding dan sesekali desis AC yang berputar malas di langit-langit. Ia duduk di ujung sofa, tubuhnya kaku. Pandangannya menyapu ruangan—karton masih berserakan, beberapa barang rumah tangga dibiarkan terbuka begitu saja. Ada tumpukan buku, koper setengah terbuka, dan beberapa lukisan yang disandarkan sembarangan di dinding. Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arvino muncul sambil membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kayu di depan mereka, lalu duduk di kursi seberang. “Silahkan di minum!” ucap Arvino tenang, seolah tak ada yang aneh dengan pertemuan mereka. Navira hanya tersenyum tipis. “Makasih." Arvino mengangguk pelan. Ia menatap teh sebentar, lalu mengangkat kepalanya, menatap Navira dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Nggak nyangka ya
Navira terpaku di tempatnya. Pandangannya membentur sepasang mata itu—mata yang tak pernah ia kira akan ditemuinya lagi setelah sekian lama. "Arvino…" bisiknya nyaris tak terdengar. Sementara pria itu juga terlihat sama kagetnya. Senyum ramah yang tadi ia pasang mendadak kaku, nyaris hilang. Namun cepat-cepat ia mengendalikan diri, melirik sekilas ke arah ibu-ibu yang berdiri di belakang Navira. “Oh… selamat sore,” Arvino kembali membuka suara, kali ini terdengar lebih formal. “Silakan masuk, Ibu-ibu! Maaf ya, rumahnya masih berantakan.” Salah satu ibu langsung nyerocos riang, “Kita yang harusnya minta maaf, soalnya udah ganggu Masnya berberes." "Nggak kok, Bu. Santai saja." Mereka mengikuti langkah si pria. Tawa kecil terdengar dari yang lain. Mereka langsung melangkah masuk, seolah tak menyadari ketegangan yang menyelimuti Navira dan pria bernama Arvino Kaelion Mahendra tersebut. “Makasih ya, Mas, sudah mau nerima kunjungan kita. Namanya siapa?” tanya salah satu ibu, dengan ga
Tapi saat ia baru saja menyalakan kran, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggilnya. "Mbak Viraaa..." Merasa namanya dipanggil, perempuan 25 tahun itu pun menoleh. Terlihat tiga ibu-ibu berjalan bersama. Penampilan mereka sangat sederhana, memakai daster motif, sandal jepit, dan rambut yang sebagian masih digulung roll plastik, ada yang bahkan hanya diikat asal. Salah satu dari tiga orang itu melambaikan tangan dengan semangat ke arah Navira begitu mereka lewat di depan rumahnya. “Pagi Mba Vira!” sapa salah satu ibu-ibu. Navira tersenyum tipis, "Pagi Ibu-ibu," sapanya balik. "Mau ke Pak Sayur ya?" "Iya nih. Mba Vira gak belanja juga? Kita bisa bareng ke sananya!" ajak ibu lainnya yang memakai roll di rambut. "Saya belanjanya nanti aja, Bu. Nunggu Mas Rhevan berangkat kerja." Ibu lain menimpali sambil menyenggol temannya. “Mba Vira jam segini udah cantik aja sih, mana wangi lagi. Beda ama kita-kita." "Ya beda lah, Bu. Mba Vira kan belum ada anak. Jadi ada banyak waktu b
“Mas Rhevan, kenapa kamu tega sekali?” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. "Berisik!" umpat Rhevan sambil saklar lampu di samping ranjang. Ia tidur dengan posisi membelakangi Navira. Pria itu kembali sibuk dengan ponselnya seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Navira hanya terpekur perih menyaksikan sikap dingin dan kasar suaminya. 'Tuhan, sampai kapan Mas Rhevan bersikap seperti ini? Kapan dia mau memperlakukanku seperti kayaknya seorang istri?' *** Pagi itu, Navira menyiapkan sarapan untuk sang suami seperti biasanya. Yang berbeda hanyalah mata sembab efek terlalu banyak menangis kemarin malam. "Mana sarapanku?" Navira menoleh. Ia melihat ke arah Rhevan yang sudah rapi dengan kemeja biru tuanya. Ia menarik salah satu kursi di meja makan setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Sebentar, Mas. Ini lagi aku siapin," jawab Navira lembut. "Ck. Makanya jadi istri itu bangunnya jangan siang-siang! Pemalas!" Sekali lagi. Kalimat hinaan itu meluncur bebas dari bibir Rheva