POV Aravi
Monumen Nasional masih meninggalkan sejarah. Ya, sejarah aku dan kamu.Aravi***Namaku Aravi Kurniawan, merupakan anak pertama dari ketiga saudara. Adikku yang pertama bernama Rahman Kurniawan yang kini sudah menikah dengan orang Wonosobo. Sedangkan adik bungsuku Ria Tria Kurniawan juga sudah menikah dengan lelaki yang berasal dari Magelang. Ya, kami semua sudah memiliki keluarga masing-masing. Punya kesibukan masing-masing.Namun, Jalan cintaku tak semulus kedu adikku. Enam tahun yang lalu aku diputuskan oleh kekasihku — Thalita dengan alasan kami masih saudara. Aku sempat membencinya karena hal itu. Ia mengingkari janjinya untuk memperjuangkan cinta kami. Hatiku rasanya hancur mengingat betapa dalamnya rasa cintaku. Kenapa? Apa yang terjadi? Apakah dia meragukan cintaku? Padahal aku berjanji akan sekuat tenaga membahagiakan dirinya. Itulah pikiran negatif ku saat tiba-tiba ia memutuskan ku. Monumen nasional atau yang biasa disebut Monas akan menjadi sebuah sejarah yang manis sekaligus pahit bagi kami. Beberapa bulan aku memilih sendirian, membiarkan hatiku kosong tak berpenghuni. Lalu tiga bulan kemudian keluargaku berduka, ayahku tiba-tiba meninggal akibat serangan jantung.Sebuah notifikasi pesan muncul di ponselku, dari seorang gadis yang berhasil membuat hatiku hancur. Lita mengirimkan ucapan belasungkawa padaku.‘Tidak usah sok peduli padaku. Bukankah ini yang kamu mau. Melihatku hancur. Mulai detik ini aku putuskan tidak akan ada lagi hubungan apapun antara aku dan kamu. Baik asmara maupun saudara.’Sebuah balasan aku kirim padanya. Jika dirasakan mungkin ia akan sakit hati. Namun, mengingat betapa kekehnya ia meminta putus dariku. Seharusnya tidak akan menjadi masalah padanya. Setelahnya itu aku memutuskan untuk memblokir nomornya, mengambil SIM card ponselku lalu mematahkannya.Hari berlalu, ku jalani dengan perasaan hampa. Usai seratus hari kematian ayah. Ibuku tiba-tiba memanggilku, dan mengatakan akan mengenalkanku pada seorang gadis yang merupakan anak temannya. Melihat senyum ibu yang terlihat berharap aku pun mengiyakannya. Ya, pada akhirnya kami dipertemukan. Namanya Faradiba Putri atau yang biasa dipanggil Adiba seorang dokter gigi di salah satu rumah sakit swasta di kota Yogyakarta. Ku akui anaknya cantik, manis, sopan seperti namanya saat terdengar. Namun, mengapa tak sedikitpun hatiku bergetar. Pikiranku masih saja terpenuhi wajah Lita. Namun, saat aku membahas soal Lita, ibuku hanya terdiam memandang wajah tak suka. Berbeda saat kini berhadapan dengan Adiba. Wajah ibu terlihat berbinar layaknya seorang perempuan ketika melihat barang yang ia sukai, dan aku merasa tak kuasa untuk mematahkan rasa bahagianya itu.Ku putuskan untuk menjalani ta'aruf padanya. Dua Minggu setelahnya kami pun menikah. Acara pernikahan begitu megah, namun dalam keramaian itu aku merasa begitu hampa. Hatiku terasa gundah gulana, seolah ini semua bukan duniaku. Lalu lalang tamu yang hadir, ada juga Ibunya Thalita yang datang memberi ucapan selamat padaku.Meski tak ada setitik cinta di hatiku pada Adiba. Aku tetap memperlakukannya dengan baik. Menjalankan kewajibanku sebagaimana seorang suami. Ibuku begitu mendambakan cucu dari kami. Hingga beberapa bulan kabar bahagia itu datang dari pernikahan kami. Ya, Adiba mengandung. Keluarga kami sangat bahagia mendengarnya, begitupun denganku. Hanya saja perasanku pada Adiba tak juga bergetar.Ku coba mengadu pada sang pencipta agar rasa cinta ini bisa tumbuh, agar aku biar melupakan Thalita. Mengingat akan hadirnya sang buah hati di tengah pernikahan kami.Hari lebaran pun tiba, seperti biasa silaturahmi itu tetap berjalan. Aku membawa Adiba untuk berkunjung di rumah saudara. Tak ku sangka di sana aku kembali di pertemukan dengannya. Ya, Thalita aku bertemu dengannya. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit di artikan entah itu rindu, atau semacam penyesalan. Aku tidak peduli, ku buang muka padanya. Ku dengar dari Mas Pram ia masih sendiri. Ah, mungkin dia terlalu berambisi mengejar cita-cita jadi tak ada satupun lelaki yang mau dengannya, pikirku dengan negatif.Tepat sembilan bulan lebih sepuluh hari, Adiba melahirkan bayi kami yang berjenis kelamin laki-laki. Dan ku beri nama Aksa Kurniawan. Balita itu tumbuh menjadi anak yang menggemaskan yang membuat semua orang merasa senang akan kehadirannya.Di tahun ke-empat ketika kami mengadakan acara kumpul keluarga akan aqiqah anaknya Ria. Tak sengaja aku mendengarkan pembicaraan Ibu dengan kedua adikku.“Ibu merasa senang kakakmu akhirnya bisa hidup bahagia. Untung saja ibu mencarikan jodoh yang tepat. Adiba memang perempuan yang luar biasa tak seperti Lita.”Langkahku yang hendak mengambil minum terhenti, aku mendengarkan pembicaraan mereka di balik tembok.“Ibu yakin jika Mas Ravi bahagia?” tanya Ria.“Tentu saja. Siapa laki-laki yang tidak bahagia memiliki perempuan berkarier yang cantik, seorang dokter pula.” Wajah ibu terlihat bahagia berbinar ketika membaca menantunya. “Tidak sia-sia Ibu menemui keluarga Lita untuk meminta menjauhkan Lita dari Masmu.”Kalimat selanjutnya membuat tubuhku terpaku seketika. Aku menutup mulut, mengepalkan kedua tangannya, berusaha dengan mati-matian agar emosiku teredam. Dalam sekejap duniaku runtuh. Sebuah jawaban yang selama ini aku cari akan permintaan Lita yang tiba-tiba memutuskan, dan tak lain semua karena Ibu. Mengapa Ibu bisa setega ini. Kenapa dia tega mematahkan hatiku. Rasa cinta yang semula mau memudar, kini seolah kembali bersemi. Layaknya tanah gersang yang kembali mendapatkan air hujan.Setelah hari itu aku tetap memilih berpura-pura tidak tahu apa-apa. Aktivitasku tetap seperti biasanya. Begitu juga dengan Adiba yang semakin sibuk di rumah sakit. Apalagi pasca adanya virus terbaru di Indonesia, ia jarang pulang. Aku pun memilih bersikap seperti biasanya. Seolah-olah tak keberatan padanya. Kesibukan kami membuat kami jarang berkomunikasi. Aksa tetap diasuh oleh pengasuhnya.Dua Minggu kemudian, Adiba pulang. Seperti seorang istri pada umumnya. Dia datang mendekatiku untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Aku pun membalasnya, namun di akhir permainan aku justru membuatnya kecewa dengan menyebut nama Lita, yang berhasil menggoreskan luka di hatinya.“Siapa Lita itu, Mas?” tanyanya dengan marah. Rasa penasaran dan kecewa terenggut menjadi satu. “Kamu selingkuh Mas?” tudingnya membuat aku dengan cepat menggelengkan kepalanya.“Demi Tuhan, aku tidak pernah selingkuh darimu, Diba.”“Lalu siapa, Lita? Kau menyentuhku tetapi nama perempuan lain yang kau sebut!” Adiba mulai menangis sambil memunguti pakaiannya. “Kalau kau tidak mau memberi tahu, biarkan aku yang mencari tahu sendiri!” lanjutnya dengan marah ia keluar dari kamar kami menuju kamar Aksa.Tengah malam aku keluar dari kamar, menuju kamar Aksa. Ku buka pintu secara perlahan. Ku pandangi perempuan yang sudah menemaniku selama empat tahun. Wajahnya terlihat lelah. Namun, tubuhnya bergetar sepertinya sejak tadi Adiba menangis. Sesak rasanya, aku seperti menjadi laki-laki yang begitu jahat. Aku telah menggoreskan hatinya, dan juga membuatnya menjatuhkan air pada, pada seorang perempuan yang telah mengandung putraku.“Adiba, maafkan aku...” Aku menyentuh pundaknya. Namun, dengan cepat ia menepisnya.“Jangan menyentuhku!!”POV ARAVISetelah kejadian itu rumah tanggaku semakin terasa dingin. Sikap Adiba yang begitu sinis, dan selalu menaruh rasa curiga padaku, mengira jika aku selingkuh darinya. Aku berusaha untuk meminta maaf adanya, dengan mengatakan jika aku hanya salah sebut. Namun, perempuan itu tetap tak percaya padaku. Meski aku sudah berjanji akan memperbaiki semuanya. Tiga bulan kemudian, saat aku tengah sibuk bekerja di ruang tengah dengan laptopku. Dia datang tiba-tiba melemparkan sebuah amplop padaku. “Apa yang kamu lakukan?!” teriakku sedikit marah.“Buka amplop itu, Mas!” Dia menggertak berbalik marah, sambil melipatkan tangannya di dada. “Ini apa?" tanyaku.“Buka saja.” Karena desakannya aku pun membuka amplop itu yang ternyata berisi foto-foto kebersamaan ku dengan Lita. Aku tampak terkejut melihatnya, lalu beralih menatap ke arah Adiba yang kini menatapku dengan sinis. “Ini....”“Kenapa? Kamu kaget, aku bisa menemukan dan tahu siapa perempuan itu?” Aku menghela nafasnya. “Untuk apa k
“Kenapa?” tanyaku berusaha santai.Adiba mendongak menatapku dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Namun, sepertinya ia sudah berada di ambang batas kesabaran. “Jangan tanyakan kenapa, Mas? Kamu juga tahu alasannya. Rumah tangga kita memang tidak baik-baik saja. Sudah tak bisa terselamatkan,” sahutnya menatapku dengan sendu.Aku mendesis, merasa ingin memaki dalam hati. Agar kemarahan ini bisa terurai. “Empat tahun bukankah waktu cukup lama untuk kita bisa saling memahami. Tetapi, semua seperti berjalan dengan sia-sia. Rumah tangga yang kita jalani, hanya sebuah kepalsuan. Dan kini... Kenapa aku tidak menemukan kenyamanan apapun dalam dirimu. Aku justru menemukan kenyamanan itu pada orang lain,” sambung Adiba membuatku ingin kembali memaki dalam hati. Saat bayangan canda dan tawa Adiba pada seorang dokter muda di rumah sakit, serta cafe itu terlintas dalam otaknya. Seketika aku paham, jika istriku itu tengah membandingkan ku dengan dengan lelaki itu. “Aku terlalu bodoh selama
'Kau berikan sejuta harapan. Indahnya bersamamu. Membuat aku terlena. Hanyut dalam asmara.'“Cih..” Aku berdesis malas mendengar lirik lagu Melayu yang dinyanyikan band cafe itu. Ya, demi mengusir kebosanan yang mendera dalam diriku. Pada malam Minggu aku mengajak Ari dan Mas Pram ke sebuah cafe dan restoran. Ya itung-itung nongkrong untuk melupakan permasalahan yang sempat terjadi. “Jadi, sudah resmi jadi duda ni,” kata Mas Pram padaku.Aku menyesap kopi di hadapanku, sambil memandang ke arah panggung di mana ada penyanyi cafe yang tengah menyanyikan sebuah lagu Melayu. “Begitulah.”“Menyedihkan sekali hidupmu. Jadi, duda perkara masa lalu yang belum usai,” timpal Ari.“Benar. Seharusnya kau sudah move on. Empat tahun loh, itu bukan waktu yang singkat.” Mas Pram ikut menimpali membuat aku mendengus, andai kata semua semudah itu. “Adiba itu kurang apa? Cantik, mandiri, berpendidikan, dan satu lagi sayang sama ibu kamu.”“Ya itulah kebodohanku.” Aku mengakui kebodohanku dalam hal ini.
Setelah hari-hari itu, aku menjalani rutinitas ku seperti biasa. Ada jadwal tersendiri ketika aku ingin menemui Aksa. Kabar bahagia ku dapatkan setelah masa Iddah Adiba selesai. Ya, mantan istriku itu akhirnya dipinang oleh seorang lelaki yang bergelar seorang dokter juga , ia bernama Shaki Ramdhani. Aku turut bahagia mendengarnya, karena ia tak larut dalam luka yang ku ciptakan. Mungkin karena satu profesi dan satu tempat, jadi Adiba mudah akrab dengannya. Apapun itu aku ikut bahagia mendengarnya.Satu bulan kemudian aku datang ke acara pernikahan Adiba dan Shaki. Di tengah kerumunan orang-orang aku sesekali menatap ke arah kedua pengantin baru yang berdiri di atas panggung. Mereka tampak serasi bahagia. Baik mempelai wanita maupun laki-laki. Senyumnya benar-benar tulus, tiada kepura-puraan seperti yang saat itu aku lakukan saat menikahi Adiba. “Papa...” Tiba-tiba Aksa menghampiriku. Entah sejak kapan anak itu turun dari panggung. Mungkin karena aku terlalu larut dalam pemikiranku.
Pov ThalitaAku menghela napas kasar, berkali-kali membuang pandangan ke arah lain, demi menghindari tatapan Mas Ravi. Inilah yang aku takutkan jika makan di restoran di mall di mana tempat Mas Ravi bekerja. Jika saja bukan karena paksaan Pak Yusuf selaku atasanku. Aku tentu akan menolak makan di sini. Karena dia akhirnya kami berada di sini. Restoran yang menyajikan makanan khas Jepang menjadi pilihan kami. Katanya mumpung baru gajian. Semua teman-temanku asyik menikmati makanan. Sementara aku merasa canggung, karena sejujurnya sedikit terpaksa. Tak jauh dari meja kami, ada Mas Ravi dan teman-temannya yang juga tengah makan bersama. Padahal selama ini aku berusaha untuk menghindari dirinya, sekalipun ia kerap mengirim pesan terus saja ku abaikan. Meski begitu tak jarang Mas Ravi kerap mengirimkan makan siang ke tempat kerjaku. Hal yang tentu mengundang perhatian teman-temanku. “Ta.. Ta....”Aku berjingkrak kaget saat Mela memanggil namaku.“Hey iya apa?” jawabku secara spontan bahk
Pada pukul lima sore aku baru keluar dari kantor. Dengan membawa tentengan ku letakkan di gantungan motor depan. Karena bujukan Mela akhirnya aku pun belanja di supermarket. Memang kebetulan persediaan bulanan di rumah sudah habis, aku pun ikutan kalap. “Duluan, Ta.” Teman-temanku berteriak sambil melambaikan tangannya, ada berkendara sendiri, ada yang dijemput kekasihnya, ada juga suaminya. Lalu aku? Apakah jika aku menikah dengan Mas Ravi. Aku akan diantar jemput olehnya, mengingat tempat kerja kami sangat dekat. “Astaghfirullah....” Spontan aku menyebut seraya mengusap dadaku, berusaha untuk sadar diri, jika apa yang aku pikirkan itu sama sekali tidak pantas. “Ada apa, Ta?” Pak Yusuf yang baru keluar dari kantor tampak terkejut melihatku. “Enggak apa-apa, Pak.”“Kirain ada apa? Kamu tampak terkejut gitu.”Aku terkekeh memasang helm kemudian naik ke motor. “Saya duluan ya, Pak." Pamitku sebelum menghidupkan motor.“Hati-hati, Ta."Aku mengangguk seraya berlalu meninggalkan area
“Beri aku kesempatan sekali lagi, Dek.”Dia menatapku penuh harap.Namun, aku tak mengindahkannya. Aku justru berdiri menghampiri tukang bengkel menanyakan motorku, karena aku merasa sudah menggigil kedinginan. Dan ternyata motorku lagi-lagi harus menginap. Ya memang motorku itu sudah lama, sudah seharusnya ganti. Aku berniat memesan ojek online. Namun, tiba-tiba Mas Ravi mencekal tanganku, lalu menariknya keluar dari dalam bengkel membawanya ke mobil miliknya. Aku sempat meronta, namun ia tetap memaksa membuat aku akhirnya masuk. “Aku tidak akan memaksamu untuk kembali menerima perasaanku dalam waktu dekat ini, Dek. Tetapi, aku mohon beri aku waktu untuk lebih dekat. Tolong biarkan tetap seperti ini. Jangan menghindar. Aku rasa sudah cukup bukan? waktu delapan tahun untuk kamu menyiksaku. Aku benar-benar tidak bisa mengabaikannya lagi.”“Tapi, Mas. Itu tidak mungkin bisa ku lakukan.”“Kenapa tidak bisa?”“Kita ini kan....”“Jangan bawa-bawa ikatan saudara dalam hubungan kita, Dek. S
Aku tertegun duduk di kursi kerjaku, mengingat kembali ucapan yang ku lontarkan pada Mas Ravi. Apakah aku sangat keterlaluan? Aku masih ingat bagaimana raut wajahnya yang penuh kecemasan usai menolongku dari maut tadi. Kekhawatiran nampak jelas di wajahnya. Tapi, yang ku berikan justru ucapan pedas darinya. Bagaimana kalau setelah ini dia menyerah? Bagaimana jika ia merasa tersinggung? Menggelengkan kepalanya aku mengenyahkan kemungkinan hal itu. Memangnya kenapa? Bukankah jika ia menjauh itu lebih baik. Bukankah memang itu yang aku inginkan. “Pagi-pagi udah ngelamun aja, Ta."“Enggak kok, Mel.” Aku berkilah pada Mela. “Udah mau buka tuh. Komputer udah siap belum?”“Udah dong.”Ketika bank sudah mulai beroperasi aku melayani nasabah seperti biasanya. Meski beberapa kali wajah Mas Ravi berkelabat dalam otak meninggalkan rasa bersalah padaku. Aku tetap berusaha untuk profesional. Hingga pada pukul setengah sembilan aku mendengar ponsel yang tengah ku charger bergetar. Satu kali dua ka