Share

Bab 8. Hanya Demi Ibu

POV Aravi

Monumen Nasional masih meninggalkan sejarah. Ya, sejarah aku dan kamu.

Aravi

***

Namaku Aravi Kurniawan, merupakan anak pertama dari ketiga saudara. Adikku yang pertama bernama Rahman Kurniawan yang kini sudah menikah dengan orang Wonosobo. Sedangkan adik bungsuku Ria Tria Kurniawan juga sudah menikah dengan lelaki yang berasal dari Magelang. Ya, kami semua sudah memiliki keluarga masing-masing. Punya kesibukan masing-masing.

Namun, Jalan cintaku tak semulus kedu adikku. Enam tahun yang lalu aku diputuskan oleh kekasihku — Thalita dengan alasan kami masih saudara. Aku sempat membencinya karena hal itu. Ia mengingkari janjinya untuk memperjuangkan cinta kami. Hatiku rasanya hancur mengingat betapa dalamnya rasa cintaku. Kenapa? Apa yang terjadi? Apakah dia meragukan cintaku? Padahal aku berjanji akan sekuat tenaga membahagiakan dirinya. Itulah pikiran negatif ku saat tiba-tiba ia memutuskan ku. Monumen nasional atau yang biasa disebut Monas akan menjadi sebuah sejarah yang manis sekaligus pahit bagi kami. Beberapa bulan aku memilih sendirian, membiarkan hatiku kosong tak berpenghuni. Lalu tiga bulan kemudian keluargaku berduka, ayahku tiba-tiba meninggal akibat serangan jantung.

Sebuah notifikasi pesan muncul di ponselku, dari seorang gadis yang berhasil membuat hatiku hancur. Lita mengirimkan ucapan belasungkawa padaku.

‘Tidak usah sok peduli padaku. Bukankah ini yang kamu mau. Melihatku hancur. Mulai detik ini aku putuskan tidak akan ada lagi hubungan apapun antara aku dan kamu. Baik asmara maupun saudara.’

Sebuah balasan aku kirim padanya. Jika dirasakan mungkin ia akan sakit hati. Namun, mengingat betapa kekehnya ia meminta putus dariku. Seharusnya tidak akan menjadi masalah padanya. Setelahnya itu aku memutuskan untuk memblokir nomornya, mengambil SIM card ponselku lalu mematahkannya.

Hari berlalu, ku jalani dengan perasaan hampa. Usai seratus hari kematian ayah. Ibuku tiba-tiba memanggilku, dan mengatakan akan mengenalkanku pada seorang gadis yang merupakan anak temannya. Melihat senyum ibu yang terlihat berharap aku pun mengiyakannya. Ya, pada akhirnya kami dipertemukan. Namanya Faradiba Putri atau yang biasa dipanggil Adiba seorang dokter gigi di salah satu rumah sakit swasta di kota Yogyakarta. Ku akui anaknya cantik, manis, sopan seperti namanya saat terdengar. Namun, mengapa tak sedikitpun hatiku bergetar. Pikiranku masih saja terpenuhi wajah Lita. Namun, saat aku membahas soal Lita, ibuku hanya terdiam memandang wajah tak suka. Berbeda saat kini berhadapan dengan Adiba. Wajah ibu terlihat berbinar layaknya seorang perempuan ketika melihat barang yang ia sukai, dan aku merasa tak kuasa untuk mematahkan rasa bahagianya itu.

Ku putuskan untuk menjalani ta'aruf padanya. Dua Minggu setelahnya kami pun menikah. Acara pernikahan begitu megah, namun dalam keramaian itu aku merasa begitu hampa. Hatiku terasa gundah gulana, seolah ini semua bukan duniaku. Lalu lalang tamu yang hadir, ada juga Ibunya Thalita yang datang memberi ucapan selamat padaku.

Meski tak ada setitik cinta di hatiku pada Adiba. Aku tetap memperlakukannya dengan baik. Menjalankan kewajibanku sebagaimana seorang suami. Ibuku begitu mendambakan cucu dari kami. Hingga beberapa bulan kabar bahagia itu datang dari pernikahan kami. Ya, Adiba mengandung. Keluarga kami sangat bahagia mendengarnya, begitupun denganku. Hanya saja perasanku pada Adiba tak juga bergetar.

Ku coba mengadu pada sang pencipta agar rasa cinta ini bisa tumbuh, agar aku biar melupakan Thalita. Mengingat akan hadirnya sang buah hati di tengah pernikahan kami.

Hari lebaran pun tiba, seperti biasa silaturahmi itu tetap berjalan. Aku membawa Adiba untuk berkunjung di rumah saudara. Tak ku sangka di sana aku kembali di pertemukan dengannya. Ya, Thalita aku bertemu dengannya. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit di artikan entah itu rindu, atau semacam penyesalan. Aku tidak peduli, ku buang muka padanya. Ku dengar dari Mas Pram ia masih sendiri. Ah, mungkin dia terlalu berambisi mengejar cita-cita jadi tak ada satupun lelaki yang mau dengannya, pikirku dengan negatif.

Tepat sembilan bulan lebih sepuluh hari, Adiba melahirkan bayi kami yang berjenis kelamin laki-laki. Dan ku beri nama Aksa Kurniawan. Balita itu tumbuh menjadi anak yang menggemaskan yang membuat semua orang merasa senang akan kehadirannya.

Di tahun ke-empat ketika kami mengadakan acara kumpul keluarga akan aqiqah anaknya Ria. Tak sengaja aku mendengarkan pembicaraan Ibu dengan kedua adikku.

“Ibu merasa senang kakakmu akhirnya bisa hidup bahagia. Untung saja ibu mencarikan jodoh yang tepat. Adiba memang perempuan yang luar biasa tak seperti Lita.”

Langkahku yang hendak mengambil minum terhenti, aku mendengarkan pembicaraan mereka di balik tembok.

“Ibu yakin jika Mas Ravi bahagia?” tanya Ria.

“Tentu saja. Siapa laki-laki yang tidak bahagia memiliki perempuan berkarier yang cantik, seorang dokter pula.” Wajah ibu terlihat bahagia berbinar ketika membaca menantunya. “Tidak sia-sia Ibu menemui keluarga Lita untuk meminta menjauhkan Lita dari Masmu.”

Kalimat selanjutnya membuat tubuhku terpaku seketika. Aku menutup mulut, mengepalkan kedua tangannya, berusaha dengan mati-matian agar emosiku teredam. Dalam sekejap duniaku runtuh. Sebuah jawaban yang selama ini aku cari akan permintaan Lita yang tiba-tiba memutuskan, dan tak lain semua karena Ibu. Mengapa Ibu bisa setega ini. Kenapa dia tega mematahkan hatiku. Rasa cinta yang semula mau memudar, kini seolah kembali bersemi. Layaknya tanah gersang yang kembali mendapatkan air hujan.

Setelah hari itu aku tetap memilih berpura-pura tidak tahu apa-apa. Aktivitasku tetap seperti biasanya. Begitu juga dengan Adiba yang semakin sibuk di rumah sakit. Apalagi pasca adanya virus terbaru di Indonesia, ia jarang pulang. Aku pun memilih bersikap seperti biasanya. Seolah-olah tak keberatan padanya. Kesibukan kami membuat kami jarang berkomunikasi. Aksa tetap diasuh oleh pengasuhnya.

Dua Minggu kemudian, Adiba pulang. Seperti seorang istri pada umumnya. Dia datang mendekatiku untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Aku pun membalasnya, namun di akhir permainan aku justru membuatnya kecewa dengan menyebut nama Lita, yang berhasil menggoreskan luka di hatinya.

“Siapa Lita itu, Mas?” tanyanya dengan marah. Rasa penasaran dan kecewa terenggut menjadi satu. “Kamu selingkuh Mas?” tudingnya membuat aku dengan cepat menggelengkan kepalanya.

“Demi Tuhan, aku tidak pernah selingkuh darimu, Diba.”

“Lalu siapa, Lita? Kau menyentuhku tetapi nama perempuan lain yang kau sebut!” Adiba mulai menangis sambil memunguti pakaiannya. “Kalau kau tidak mau memberi tahu, biarkan aku yang mencari tahu sendiri!” lanjutnya dengan marah ia keluar dari kamar kami menuju kamar Aksa.

Tengah malam aku keluar dari kamar, menuju kamar Aksa. Ku buka pintu secara perlahan. Ku pandangi perempuan yang sudah menemaniku selama empat tahun. Wajahnya terlihat lelah. Namun, tubuhnya bergetar sepertinya sejak tadi Adiba menangis. Sesak rasanya, aku seperti menjadi laki-laki yang begitu jahat. Aku telah menggoreskan hatinya, dan juga membuatnya menjatuhkan air pada, pada seorang perempuan yang telah mengandung putraku.

“Adiba, maafkan aku...” Aku menyentuh pundaknya. Namun, dengan cepat ia menepisnya.

“Jangan menyentuhku!!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status