Seharian Alby sibuk mengurus toko. Pokoknya yang biasanya siang bisa makan bersama Devita kali ini tidak. Kentara sekali masih marah dan menghindari sang istri. Bahkan telepon Devita saja tidak laki-laki itu angkat. Tapi, dalam perjalanan pulang menuju rumah mendadak laki-laki itu merenung. Bahwa mau sampai kapan ia dan Devita perang dingin begini. Apalagi tidak adanya penjelasan mengenai alasan Alby marah. Pasti Devita kebingungan. Mendadak laki-laki itu merasa bersalah. Jadi, dalam perjalanan ia sempat mampir untuk membeli martabak telur di pinggir jalan. Senyum Alby terukir, ia memantapkan hati begitu bertemu dengan Devita harus bermaafan. Ya, minimal ajak duduk bersama lalu bicarakan permasalahan dan berdamai kemudian. "Assalamualaikum." Alby masuk ke rumah, tapi ruang tamu tampak gelap. Wajar memang karena sekarang sudah nyaris tengah malam. Alby meletakkan martabak telur di atas meja makan. Kemudian melangkah menuju kamar yang pintunya terbuka sedikit. Tangan Alby sudah meme
"Selamat ya ... atas pernikahannya bestie," kata Devita ketika perempuan itu bersalaman dengan Mely di atas pelaminan ditemani oleh Alby tentunya. "Thanks bestiee." Sesaat keduanya berpelukan. Mely berbisik pelan di samping telinga Devita ketika keduanya masih berpelukan. "Ada mantan lo tahu."Seketika Devita melepaskan pelukannya. "Serius lo?!" Perempuan itu menatap Mely nyaris seperti melotot. Membuat Mely menepuk keras bahu sahabatnya agar tahu situasi. Sebab ekspresi perempuan itu mengundang rasa penasaran beberapa orang termasuk Alby. Mely tertawa pelan. Bukannya menjawab pertanyaan dari Devita, perempuan itu justru mendorong sahabatnya ke arah Alby. "Bawa istri lo deh sebelum dia bikin keributan." Alhasil Alby menarik Devita menjauh. Meski perempuan itu sempat berontak dan nyaris tersandung gara-gara tak mengikuti ritme langkah kaki suaminya. "Ngomongin apa?" tanya Alby dengan tatapan menyelidik setelah keduanya berhenti disudut tempat duduk yang agak sepi. "Gak ada, bia
"AC-nya kecilin, Ta," kata Alby laki-laki itu tampak membungkus tubuhnya dengan selimut. Sedangkan Devita sedang memegang remote AC sambil berdiri di sisi kasur. Bukannya mendengarkan, perempuan itu justru menaikkan suhu AC. Alby keluar dari selimut. Laki-laki itu melangkah menghampiri sang istri. Hendak mengambil remote AC. Tetapi, sayangnya Devita sudah lebih dulu menyadari kehadiran sang suami. Sehingga ia bisa dengan cepat menghindar. "Ta! Kecilin." "Gak mau. Gerah tau." Alby berlari mendekati Devita. Perempuan itu dengan cepat menghindar. Ia bahkan berlarian sampai melintasi atas kasur, atas kursi, lompat bahkan membelokkan arah agar tak tertangkap. Sedangkan Alby tampak greget sendiri. Laki-laki itu dengan cepat mengejar langkah pendek istrinya. Tangan besarnya berhasil menangkap Devita. Ya, lebih tepatnya memeluk perut istrinya dari belakang. Membuat Devita memberontak. Berusaha untuk menyembunyikan remote AC itu. Sampai tangannya ia rentangkan ke atas berha
"Mas gak jadi makan siang bareng. Aku mau ke sekolah Guntur," kata Devita ketika keduanya berada dalam satu mobil hendak menuju ke tempat makan. "Yaudah aku anterin." Devita hanya mengangguk saja. Perempuan itu mengalihkan pandangan ke arah luar jendela. Meski begitu, Alby tahu istrinya terlihat cemas. "Masalah apa?" tanya Alby tak tahan dengan keterdiaman Devita. Helaan napas berat terembus. "Aku gak tahu. Guntur itu bukan tipikal anak yang neko-neko. Makanya aku kaget karena ditelepon guru katanya Guntur ada di ruang kepala sekolah." Devita memijat pelipisnya. "Aku coba tanyain ke dia lewat chat juga gak dibales, cuma suruh cepet aja." Alby membelokkan setirnya menuju sekolah Guntur. "Yaa ... namanya masa-masa labil gini. Mas juga dulu gitu kok. Yang penting, kamu tanya baik-baik dulu aja. Jangan langsung ditodong kayak kriminal." Kali ini Devita mengangguk. Meski tetap saja mulutnya tak tahan ingin mengomeli Guntur. Pasalnya sebentar lagi adiknya itu kelas dua bel
Dalam seminggu setidaknya ada satu hari Alby tidak kerja. Laki-laki itu menetapkan hari minggu sebagai libur sekaligus quality time bersama dengan Devita. Kalau saat lajang dulu laki-laki itu akan nongkrong atau cari mangsa baru untuk dijadikan kekasih. Alby yang masih mengenakan kolor dan tak memakai baju keluar dari kamar. Ya, lagi-lagi ia ketiduran sehabis shalat subuh. Barusan ia terbangun gara-gara mendengar suara orang bilang kebakaran yang ternyata itu cuma alarm! Sudah pasti ulah dari Devita. Alby celingak-celinguk mencari keberadaan Devita. Sampai ketika kakinya menapak pada halaman belakang rumah barulah laki-laki itu melihat Devita sedang sibuk dengan tanaman. Menyadari kehadiran Alby, Devita sama sekali tidak berbalik. Perempuan itu justru sibuk mencabut rumput. "Ayo bantu beres-beres." Alby tak memakai sandal. Kaki tanpa alasnya menapaki halaman belakang yang dialasi oleh rumput jepang. Laki-laki itu mendekati Devita. Lalu berjongkok di sebelahnya. "Astaghfi
"Mama kalau mau datang harusnya bilang-bilang. Ya Allah kaget aku," kata Devita ketika mempersilakan Tita, sang mama untuk duduk di kursi ruang tamu. Devita mengambil tempat duduk di seberang. Perempuan itu masih merapikan sejenak tatanan rambutnya yang hanya dijedai asal. Tita melihat penampilan putrinya lekat. "Baru bangun apa gimana?" "Ya gaklah, Ma. Aku udah bangun dari subuh. Lanjut beres-beres sama siapin keperluan Mas Alby juga. Ini ... belum sempet mandi karena baru banget selesai beres-beres. Mama jangan bandingin aku sama kebiasaan pas belum nikah. Aku juga bisa berpikir lebih dewasa kok." Tita mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam hati merasa cukup bangga karena anak perempuannya bisa beradaptasi dengan baik. Apalagi sekarang statusnya sudah menjadi seorang istri. Bukan lajang lagi. "Mama kesini karena mau mastiin keadaan kamu aja, seminggu gak ada kabar dan gak main pula," sindir Tita sembari mencomot salah satu kue ditoples. Devita nyengir. "Maaf, Ma lup