Share

Kala Hati Sabil Berdebar

Setelah hanya ada suara isak tangis dalam ruangan, suasana akhirnya hening untuk beberapa saat.

"Biar Bulek ambilkan pudingnya lagi." Ibu Fatma bangkit, dari sisi Halimah, sembari menyeka air matanya yang sempat jatuh karena insiden tadi.

Halimah terdiam, masih menggenggam kedua tangan Fatma yang berdiri di depannya. Memperhatikan tangan yang dulu sering dipeganginya, saat bermain, saat berjalan pergi bersama, dan saat Fatma membutuhkan perlindungan Halimah.

Wanita yang merasakan nyeri beberapa kali di perutnya karena menangis tersedu itu, menyeka air matanya lalu mendongak menatap Fatma yang terdiam dengan mata yang basah dan menunduk.

"Kenapa kamu diam saja? Harusnya kamu marah dan maki aku Fatma.".

"Maaf, Mbak." Suara serak itu terdengar lirih.

"Bukan minta maaf. Kenapa kamu minta maaf? Kamu harusnya memaki, bukan minta maaf." Halimah merasa kesal. Tadinya ia pikir bisa menghajar Fatma dengan kata-kata jahatnya.

Namun, Fatma justru membuatnya merasa sangat bersalah. Setidaknya jika gadis itu tak bersalah, di harus balik memaki. Dengan begitu, Halimah tak berdosa karena memfitnah orang baik-baik.

Fatma mengangguk beberapa kali. "Iya, maaf." Lagi, suara itu terdengar.

Ia kemudian pergi karena tak bisa mengendalikan hati, ada sesuatu yang menyesakkan dada dan membuat matanya terus terasa panas. Hingga air mata itu terus leleh membasahi pipi.

Halimah membuang napas dengan berat. Berkali. Meski rasa bersalah itu begitu besar, ia juga merasa senang sekaligus lega. Tak ada hubungan terlarang yang ia tuduhkan pada suami dan adik sepupunya.

Dua orang itu sangat berbeda sikap, tapi Halimah begitu mencintai mereka. Jangan sampai apa yang dipikirkannya. Halimah merasa tak akan kuat menghadapinya.

Sementara Fatma terus bergerak, menjauh. Sejauh-jauhnya dari Halimah, agar bebas melampiaskan semua yang dirasa hatinya. Satu-satunya tmpat yang dituju adalah kamar. Sampai di sana, gadis berparas cantik itu menangis sejadi-jadinya.

Bahkan saat ia marah dan disalahkan pun, ia tak akan balas memaki dan mengeraskan suaranya di depan Halimah. Apalagi ketika berada di kondisi sekarang ....

Di ruangan yang paling dekat dengan dapur itu, Halimah tak mungkin bisa mendengarnya. Karena posisinya jauh dari kamar paling depan. Belum lagi suara murottal yang sengaja distel, dan diperdengarkan pada si kembar oleh kedua orang tuanya, membuat suara di kejauahan tak terdengar.

Sang Ibu yang membawa nampan berisi puding di tangan, berhenti di depan pintu kamar, tempat mereka istirahat selama berada di rumah Halimah. Pintu kamar itu terbuka separuh. Menatap dengan hati miris perih ke arah anaknya yang tengah menangis tersedu sendirian di dalam kamar.

Namun, mau bagaimana lagi. Tak ada yang bisa dilakukan sekarang. Bahkan jika waktu diputar ... wanita itu akan tetap menikahkan Halimah dengan Sabil. Pria yang dulu menurutnya baik dan akan menjadi imam yang baik bagi Halimah kelak.

"Maafkan Ibu Fatma," gumamnya.

Ibu Fatma mendesah panjang, sambil menahan air mata yang sudah kembali menggenang agar tak jatuh ke pipi. Ia kemudian memilih pergi, mengantarkan makanan untuk Halimah.

Meski sebenarnya ia juga sangat ingin memeluk puterinya dan menenangkan. Memberinya kehangatan kasih sayang seorang ibu. Namun, ada hal yang lebih penting untuk dilakukan. Datang pada Halimah. Memberinya makanan, dan bersikap seolah tak terjadi apa pun.

_______________

Sabil keluar rumah dengan emosi. Tak menyangka harus berdebat panjang dengan Halimah, di depan Fatma dan ibunya pula. Yang lebih membuatnya syok, wanita itu tak pernah sekali pun meninggikan suaranya di depan Sabil.

"Lagian kenapa juga dia buka-buka hapeku tanpa izin, sih? Kan begini jadinya. Ya Tuhan ...." Pria itu mendesah panjang.

Kesal rasanya. Meski Sabil sendiri, sudah mempersiapkan hari ini datang. Sejak awal ia sudah menduga, bahwa semuanya akan terungkap cepat atau lambat. Apalagi wataknya yang sulit menyembunyikan perasaannya sendiri.

Sampai di dalam mobil dan menutupnya. Memastikan tak ada siapa pun yang akan melihat atau pun mendengarnya melakukan sesuatu. Kemudian dirogoh ponsel dalam sakunya.

"Lagi pula aku belum tahu apa dia mau tinggal di rumah itu, ah Mas Yono ini. Aku sudah bilang akan menelepon, kalau jadi baru urusan transfer mentransfer. Eh, malah main kirim nomer rekening saja. Mana ketahuan Halimah lagi," gerutunya.

Dikirim lebih dulu chat pada Yono sebelum melakukan panggilan.

[Iya, Mas saya pastikan dulu ke orangnya.]

Send.

Kemudian menghubungi nomor lain, untuk memutuskan mengambil rumah itu atau tidak.

"Assalamualaikum, kamu di mana?"

"Waalaikumsalam. Masih di Bandara lah Bang." Suara di ujung telepon menjawab.

"Di mana? Bandara Soekarno Hatta?"

"Elah, ya masih di kotaku."

"Huft. Kukira ambil penerbangan pagi. Pantes aja gak sampe-sampe," keluh Sabil.

"Iya, ada sedikit masalah. Sebelum pergi aku harus benar-benar memastikan asetku aman sebelum datang ke sana."

"Ya, ya. Maaf, ya. Malah merepotkan kamu."

"Huum. Santai ajalah. Sepertinya ada masalah besar."

"Ya, sangat besar. Sampai aku tak bisa mengatasinya sendiri."

"Oke. Aku tutup dulu, Bang. Aku harus check in. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sabil mendesah. Merasa lega. Semoga semua rencananya bisa menyelamatkan pernikahannya. Walau harus ada hati-hati yang dikorbankan, tapi ini demi si kembar.

Selesai berbincang dengan orang di ujung telepon, ia pun menulis pesan penting untuk seseorang.

"Hati-hati, ya. Naruh ponsel. Maaf untuk yang tadi. Kita keluar malam ini gimana?"

Sabil tersenyum saat menulis pesan itu. Ia merasa berdebar setiap kali berinteraksi dengan pemilik nomor tersebut.

Bersambung

Hihi gimana? Next kedatangan orang dari negeri seberang, dan Sabil jalan sama seseorang. Tap lope dong. Komen juga. View nya amazing loh buat otor. Takutnya ada makhluk ghaib yang baca. 🤭😆

Canda makhluk ghaib. Otor kan chayank kalian.😍

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status