Selesai berbincang dengan orang di ujung telepon, ia pun menulis pesan penting untuk seseorang.
[Hati-hati, ya. Naruh ponsel. Maaf untuk yang tadi. Kita keluar malam ini gimana?]Sabil tersenyum saat menulis pesan. Ia merasa berdebar setiap kali berinteraksi dengan pemilik nomor tersebut.Senyummya makin lebar, kala terlihat centang dua biru di bawah pesannya. Sebagai tanda pesanya telah diterima dan di baca oleh Fatma.Tak lama, sebuah balasan pun muncul.[Ya.]"Hah?" Mata Sabil mendelik. "Hanya ini balasannya?"Pria itu seolah tak percaya. Perempuan yang tak pernah mengabaikan pesannya, dan selalu membalas dengan chat panjang itu hanya menjawab, ya.Sabil mendesah. Dari balasan itu, dia tahu kekasihnya sedang tak baik-baik saja.Pria itu sadar, bahwa hubungan mereka memang tak wajar seperti layaknya banyak pernikahan di luar sana.Namun, apa daya, ia tak mampu melawan hatinya. Sabil ingin terus bersama Fatma bukan Halimah. Perempuan yang selalu terlihat manis, baik hati dan tegar.Seorang wanita yang nyaris tak pernah sekali pun marah padanya. Walau kenyataannya, hanya satu level di atas Halimah yang sama perangainya. Keduanya sama-sama baik dan tak mudah marah. Namun, siapa yang bisa memaksakan hati ketika dia mencintai dan memiliki kecondongan terhadap seseorang?_____________"Aku akan keluar. Ada pelanggan yang mengantar barang. Jadi ...."Saat malam tiba, Sabil pun berpamitan pada istrinya."Ya, Mas." Halimah tersenyum. Dia tahu bahwa beberapa kali dalam sebulan, ada barang datang dari pelabuhan.Dan barang itu ... langsung diantar ke toko, untuk mengurangi beban gudang milik suplier barang."Kalau begitu, aku pergi dulu." Pria itu mengucap dingin. Pria itu menunjuk ke luar."Mas," panggil Halimah."Ya?" Sabil berbalik, lalu menatap Halimah yang tersenyum padanya sambil menyodorkan tangan. Ingin mencium punggung tangan pria itu.Untuk sejenak, hati Sabil hancur karena rasa bersalah. Halimah wanita sholehah, kenapa harus berjodoh dengan pria buruk sepertinya?Wajah Sabil datar, seperti biasanya. Namun, ia memenuhi kemauan Halimah. Memberikan tangannya.Dengan takzim wanita itu menciumnya. Lalu bertanya sebagai bentuk perhatian pada sang suami yang teramat dicintai."Mas, maaf soal tadi, ya. Harusnya aku gak mencurigai Mas. Juga ... em Fatma yang sudah mau jadi rewang di rumah kita."Deg. Lagi ... ada yang berdenyut dalam dada Sabil. Rasa bersalah itu semakin bertumpuk-tumpuk. Harusnya dialah yang meminta maaf. Akan tetapi ... Sayang, hatinya terlalu egois. Ia tak akan mampu meninggalkan Fatma apa pun yang terjadi.Sabil mengangguk pelan. Ada senyum tipis, yang jarang sekali Sabil berikan pada Halimah sebagai seorang istri yang terus merindukannya."Ya sudah. Aku pergi dulu.""Mas," panggil Halimah lagi. Ia tak mengerti, kenapa berat sekali melepas pria itu pergi malam-malam begini. Dalam hati ia terus berdoa, semoga saja tak terjadi apa-apa yang membahayakan nyawanya."Ya.""Jangan lupa pulang untuk makan.""E, em. Itu ... aku akan makan di luar saja. Kamu makan saja." Sabil bicara dengan nada tak enak.Hal itu membuat Halimah curiga. Ada apa dengannya? Biasanya juga walau semalam-malamnya kapal datang, pria itu akan pulang dulu untuk makan."Oh, ya. Mas." Halimah mengangguk. Tak ingin kejadian sore tadi terulang lagi.Pria itu pun melangkah pergi. Meninggalkan Halimah dengan kehampaan hati. Seperti sebelum-belumnya. Ditambah sikap aneh Sabil yang bilang akan makan di luar._______________"Makanlah," pinta Bulek yang tiba-tiba masuk kamar dan membuat Halimah terhenyak. "Kembar pasti akan bangun malam ini. Karena tidur pulas sejak sore.""Ah, ya. Bulek. Apa Fatma sudah tidur?" Dengan raut senang, Halimah mengambil makanan dan menyuapnya perlahan ke mulut. Tapi ia tak melihat Fatma sejak tadi."Em. Ya. Dia sudah tidur. Sepertinya kelelahan.""Oh." Halimah menyahut"Halimah, apa kamu tahu kalau gen kembar bukan didapat dari Bapaknya?" Suara Bulek terdengar di sela suara sendok dan piring yang beradu pelan.Wanita ayu itu, tahu bagaimana seseorang beradab ketika makan. Tidak menimbulkan banyak suara yang mengganggu orang lain."Oya, tapi kan Bapaknya kembar, Bulek." Halimah tak sabar menyahut meski mulutnya sedang penuh."Yah, sudah ada penelitian medis hampir tak ada gen kembar identik yang turun dari Bapaknya. Cek lah di g****e banyak artikel serupa," ujar wanita yang banyak tahu medis itu. "Kembar itu dapat gen dari keluarga kita. Karena dulu, Budenya Bulek yang juga Mbahmu juga kembar.""Oya?""Huum. Kamu dan Fatma gak sempat ketemu. Karena beliau berdua sudah meninggal lebih dulu."Mendengar itu, Halimah menjadi miris. Dia jadi ingat ibunya yang harus meninggal muda."Apa kamu perlu bulek temani, Nduk?" tanya Bulek sebelum keluar kamar Halimah.Sebenarnya masih banyak pekerjaan di belakang. Dia tak tega meminta bantuan pada puterinya yang tengah bersedih sejak tadi sore. Lalu membiarkannya pergi, kala Fatma meminta izin padanya, karena Sabil yang mengajak.Halimah boleh bahagia, tapi Fatma juga berhak bahagia. Sejak awal anaknya itu sudah merelakan pria yang dicintai menikahi Halimah. Dia bahkan mati-matian berusaha melupakan Sabil.Namun, justru dalam upayanya gadis itu harus mengalami sakit keras dan hampir meregang nyawa.Dari situlah, ibunya berinisiatif berdiskusi dengan Sabil untuk menyelamatkannya."Oh, nggak usah Bulek. Istirahat saja. Nanti Mas Sabil juga datang."Selepas kepergian Bulek, Halimah menyusui bungsu dengan gelisah. Takut jika kembar bangun. Dan suaminya datang marah-marah, dalam kondisi lelah.Mana wanita itu sudah kebelet pipis. Ingin minta tolong pada Buleknya juga tak enak. Apalagi Fatma yang sudah tidur."Apa Mas Sabil masih lama?"Setelah menanhannya, dan mengalihkan waktu dengan bermain gagdet, kedatangan seorang pria membuatnya terkejut."Mas Sabil?"Dia melihat ke arah jam dinding, belum satu jam pria itu pergi, tapi sudah pulang.Sabil tersenyum manis ke arahnya. Sesuatu yang membuatnya terheran-heran.'Ini seperti bukan suamiku.'BersambungTebak deh, siapa pria itu? Apa maksudnya masuk kamar Halimah? 😁Love sampe 100 otor dobel up deh.....😍"Mas Sabil?" Mata Halimah melebar. "Apa nggak jadi nunggu barang datang dari pelabuhan?""Oh, itu ...." Pria yang dianggap Sabil oleh Halimah itu mendekat, sembari menggaruk kepala tak gatal."Ternyata ditunda, jadi ... aku memilih pulang.""Mas agak serak?" Halimah makin heran. Dahinya berkerut. Kenapa kali ini Sabil sangat aneh."Hem?" Nabil mengangkat kedua alisnya. Pria itu baru ingat, kalau suaranya dengan saudara kembarnya sedikit berbeda. Untungnya mereka hidup terpisah pulau, jadi setiap kali Nabil yang menemuinya, Halimah menganggap suaminya tengah sakit radang tenggorokan."Iya, nih." Pria itu segera memegangi jakunnya. "Nggak tahu, mungkin karena minum es di pinggir jalan kali, ya. Kena sari manis."Halimah tersenyum. Suaminya sekarang jadi banyak bicara padanya. Dia pikir pria itu kambuh baiknya setelah insiden yang menguras emosi mereka tadi sore.Wanita itu bersyukur. Begitulah seharusnya, adakalanya ujian itu ada di puncak, sampai sepasang suami istri kembali ingat per
Ingatan Sabil dan Fatma kembali ke masa lalu, di mana mereka saling mengikrarkan janji. Sabil akan menyentuh Halimah sebagai istri setelah Fatma menerimanya.Hari itu sebelum janji itu terucap ....Sabil menjatuhkan hadiah yang dibawanya, seiring ucapan yang meluncur dari mulut mungil Fatma."Maaf, Mas.""Ap-apa yang kamu katakan barusan, Fatma?" Sabil melebarkan mata tak percaya. Tubuh gadis itu luruh, yang kemudian terduduk di kursi taman tempat mereka biasa bertemu sebentar. Taman yang ramai, hingga mereka hanya berani bertemu di sana.Meski telah mendapat lampu hijau, Fatma menerima pinangannya di depan ibunya, tak membuat Sabil semata berani menyentuh calon istrinya. Dia tahu benar, bahwa cinta yang dibumbui zina akan menghancurkan mereka di kemudian hari.Kerudung depan Fatma basah di beberapa titik, karena digunakan untuk menyeka air mata yang terus jatuh membasahi pipi. Ia tak sanggup melihat ibunya jatuh sakit.Ini juga adalah pilihan sulit untuk Fatma. Kalau boleh lebih ba
"Aku nggak tau apa ini benar, Bang?" keluhnya kemudian. "Tinggal bersama Halimah ....""Apa yang salah? Dia istrimu, kamulah yang mengucap akad di depan penghulu." Sabil mencoba meyakinkan Nabil.Sudah saatnya mereka memperbaiki keadaan, sebab selama ini Sabil telah memerankan peran yang salah."Sudahlah ...." Sabil menepuk bahu saudara satu-satunya yang ia miliki.Mereka telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Seorang ibu yang meregang nyawa ketika melahirkan keduanya. Hari itu dokter bilang, karena perdarahan. Ada yang sobek di bagian rahimnya.Lalu, ayah mereka meninggal saat usia mereka yang bahkan belum menginjak sepuluh tahun. Mereka pun besar di panti asuhan.Sebagai seorang Kakak, yang umurnya hanya selisih beberapa menit dari Nabil, Sabil harus memikul beban amanah dari ayahnya. Itu membebaninya, walau kata itu terkesan biasa. 'Kamu harus menjaga adikmu.'Nabil yang melihat pengorbanan kakaknya dari kecil, sekedar mengalah, banyak mengingatkan dan terus memberinya semangat, me
Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponsel Halimah. Ia pun segera membukanya.Matanya membola. "I, ini?"Hatinya mulai kalut, kenapa yang tampak sibuk bukan pria yang memakai pakaian saat berpamitan padanya tadi. Pikiran Halimah mengembara. Ia mulai mengaitkan perubahan sikap suaminya dengan foto yang dikirim padanya. Sabil yang tiba-tiba lembut dalam sekejap. Perhatian padanya. Bersikap manis dengan mengucap kata-kata cinta dan rindu.Lalu suara serak itu ...."Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Halimah yang terdengar oleh orang di ujung telepon."Halo, Lim. Ada apa?" tanya Novi di seberang."Oh." Halimah tersentak dia baru sadar masih tersambung panggilan dengan temannya."Eum. Nanti aku hubungi lagi, ya, Nov. Maaf.""Oh ya. Gak papa, Lim. Kamu sehat-sehat aja kan?" sahutnya. Tak lupa menanyakan kondisi sahabat yang baru operasi itu."Huum. Alhamdulillah. Aku baik-baik aja." Halimah menyahut.'Bagaimana aku akan baik-baik saja, jika sikap suamiku dingin dan kasar beberapa hari ini. La
Seorang pria membuka pintu mobil tergesa. Kala sopir sudah menghentikannya tepat di luar pagar menjulang, di rumah yang ditinggalinya selama ini bersama wanita bernama Halimah.Sabil Muttaqin namanya. Pria yang kini tengah menjalani kehidupan pernikahan yang rumit itu, bergerak cepat dengan segenap tenaganya mengejar waktu. Derap langkah dan degup jantungnya tak seirama, seolah saling memburu. "Oh, ya Tuhan!" Ia mengembus kasar, kala melihat sebuah mobil terparkir di rumahnya.Kini Sabil merasa bingung. Enggan untuk masuk. Karena pasti prahara besar akan terjadi. Namun, apa bedanya dia pergi dan tak masuk ke sana? Lebih buruk jika Sabil kabur, dan Nabil tak bisa mengatasi keadaan. Halimah sudah tahu semuanya, dan dia adalah wanita yang cerdas. Dengan berat hati, diayun langkah masuk ke dalam rumah. Matanya langsung menyisir sekitar hingga ia melihat sosok Sabil di depan pintu kamarnya. Pria yang membawa tentengan berat di tangan itu terpaku, melihat ke arah Fatma yang memanggilnya
"Ya, katakan!" Novi menunggu perintah dari wanita yang tampak cemas itu. Jarang sekali selama mengenal Halimah, Novi melihatnya cemas begitu."Aku hanya percaya padamu." Halimah memulai kata-katanya. Seketika dahi Novi mengerut. Tampaknya ada sesuatu yang sifatnya serius.Benar saja. Sejak kejadian kemarin, dan kedatangan Nabil, Halimah tak lagi mempercayai orang di sekitar. Termasuk bulek dan Fatma."Ya?" Novi tak sabar."Tolong, kamu ke lab, dan tes DNA untuk kembar. Anak siapa dia sebenarnya?" Halimah melanjutkan ucapannya. Hanya dengan tes DNA dia bisa tahu semuanya. Tanpa keraguan lagi."Ap-apa maksudmu?" Novi membeliak. Tak mengerti sekaligus terkejut atas permintaan sahabatnya itu. "Apa ada masalah dengan kembar?" Dua alis wanita yang seringkali mengenakan cardingan dengan paduan celana itu, terangkat.Wanita bahkan sampai menggeser duduknya. Ingin mendengar lebih dekat. Barangkali ini rahasia yang Halimah tak ingin orang di rumah ini mendengar.Namun, di luar dugaan Halimah
"Mohon maaf siapa suaminya Ibu dari dua bayi kembar yang lucu ini?" tanya Ustaz Karim yang dikenal humoris itu di tengah hadirin."Sa ...." Suara Nabil yang seharusnya menyahut tertahan."Saya, Ustaz!" Sabil menyahut dengan semangat.Semua orang bingung melihat pria yang memakai kaos koko di depan mereka. Karena sejak awal pria lain lah yang mengaku sebagai Sabil, Bapaknya kembar. Terutama Halimah. Wanita itu menatap dingin dari kejauhan. Wajah dari hati yang dipenuhi kemarahan tanpa ekspresi. Pria yang sedari tadi menandai dirinya sebagai Nabil, justru dengan lantang mengatakan dirinya adalah Sabil. Dengan cerobohnya, bukan hanya kepada Halimah tapi juga pada semua orang, Sabil membuka jati dirinya sendiri.Kini ... tanpa perlu bukti pun, Halimah sudah yakin, kakak beradik itu telah menipunya. Dalam sekejap cintanya yang dalam, hancur hanya dalam hitungan jam, sejak dia memiliki firasat itu dan melihat tindakan bodoh mereka di depan matanya."Ap, apa maksudnya, Lim?" tanya Novi yan
'Terimakasih Alisa ... telah menjadi istri yang baik. Aku ridho atas kepergianmu. Maaf jika akhirnya janjiku padamu kulepaskan begitu saja. Kematian telah memisahkan kita di dunia ini. Ada wanita yang memerlukanku karena terlalu disakiti Abangku.''Maaf kali ini ... keputusanku telah matang. Aku memutuskan untuk memperjuangkan Halimah dan anak-anak kami. Aku tak mau menyakiti mereka.'❤Nabil baru saja keluar dari masjid dekat rumah yang Sabil sewa. Sejak awal dia memang meminta pada kakaknya itu, agar mencarikan rumah paling dekat dengan tempat ibadah, agar memudahkan sholat berjamaah.Baru saja masuk rumahnya, terdengar notif beruntun dari ponselnya yang diletakkan di atas meja.Kebiasaan pria itu, saat di Kalimantan sendiri, adalah menyalakan notif yang sempat dimatikan semalaman.Bukan hanya urusannya dengan Halimah yang belum menemukan titik terang, di mana ia akan mengakui semua bahwa selama dialah yang menikahi dan ayah dari dua bayinya. Namun, juga urusan pekerjaan yang seolah