Bara Sang Pengembara
"Mas abis ngapain kok ngos-ngosan," tanya Puspita dengan suara tinggi. Jantung berdegup kencang. Janin dalam perutnya bergerak-bergerak seakan-akan tahu perasaan sang ibu."Eh, Itu mobil mogok jadi mas dorong."
"Katanya meeting kok sekarang mobil mogok yang bener yang mana?" Perkataan Puspita membuat Ronald menjadi serba salah.
Ronald baru menyadari akan ucapan yang dilontarkan. Bagaikan boomerang untuknya. Memukul bibir dengan telapak tangan. Mirna menatap majikan yang kebingungan.
"Astaga kenapa gak bisa kerja sama mulut sama hati," gerutunya dalam hati.
"Mas!" bentak Puspita di seberang panggilannya.
"I-iya, sebentar lagi mas pulang Sayang. I love you."
Ronald mengusap peluh yang masih menempel di dahi. Baru kali ini Puspita semarah itu. Entah apa yang membuat moodnya hancur.
"Cepat pakai bajumu kita pulang!" pinta Ronald kepada M
Mirna bersandar di belakang pintu kamarnya. Puspita meminta obat yang ia beli di apotek. Tidak mungkin memberikan pil KB bisa runyam urusannya.Beruntung Mirna memiliki obat lain di dalam tas kecil. Ia terselamatkan dari hubungan terlarangnya.Puspita mencurigai Mirna telah berselingkuh dengan Ronald. Ia yakin akan hal itu.Bukti-bukti memang belum kuat hanya saja. Sikap mereka terlihat mencurigakan.Puspita merasakan nyeri di bagian perut. "Aku tak boleh stress. Aku harus tenang. Maafkan mama Sayang." Mengusap lembut perut buncitnya yang sudah memasuki bulan ke limaSetelah kejadian itu, Ronald pindah menempati kamarnya bersama sang istri."Kamu yakin tak mual lagi kalau dekat denganku?" tanya Ronald saat makan malam berlangsung."Tentu Sayang. Kamu tahu aku rindu sekali." Menatap suaminya dengan tatapan mengoda."Aku juga Sayang."Mirna melirik kedua majikannya yang
Ronald bergegas untuk pulang ke rumah. Foto yang dikirim Mirna membuat dirinya kalang kabut, bukan Mirna mengoda dengan pakaian lingerie akan tetapi wanita itu mengirim hasil tespack. Deru mobil terdengar di halaman rumah. penjaga rumah mengernyit heran. Tak biasanya majikan pulang tengah hari kecuali pulang bersama Puspita. Penjaga rumah menyapa tuannya dengan sopan dan ramah. Ronald tak menanggapi sapaan lelaki paruh baya yang sudah bekerja lama di rumahnya. Langkah panjang Ronald mendekati pintu rumah. Mirna mengintip di balik hordeng besar berwarna emas. Tubuh rampingnya menghampiri dengan wajah bahagia. Jari mungil menyentuh handel pintu mendorong perlahan di balik pintu ia berdiri menyambut sang majikan yang sebentar lagi akan menjadi miliknya. Sorot mata Ronald membuat dirinya terkejut. Mirna memundurkan beberapa langkah. Langkah kaki Ronald begitu cepat. Lengannya ditarik ke dalam kamar Mirna dengan kasar tanpa perasaan. Kaki Mirn
Setelah memastikan keadaan aman. Mirna masuk ke dalam kamar sepasang suami istri itu. Mendorong pintu perlahan agar tak menimbulkan bunyi. Pembantu itu mencari barang dalam kamar yang dibutuhkannya. Bukan uang atau perhiasan yang diincarnya. Mirna memasukkan semua barang tersebut kedalam kantung terbuat dari kain kafan. Kantung yang ia buat sendiri. "Aku harus cepat. Sebentar lagi tengah malam," ucapnya dalam hati melihat jam dinding di kamar. Mirna diam-diam menyusup ke sebuah ruangan bawah tanah yang sudah lama tak terpakai. Ruang bawah tanah itu digunakan untuk melakukan hal-hal mistis. Semua perlengkapan yang dibutuhkan Mirna lengkap. Wanita itu memulai memejamkan mata. Mengeluarkan rambut milik kedua majikannya dan kain segitiga milik Ronald. Ada juga beberapa tetes darah milik Puspita. Mirna menyeringai. Sudah lama sekali tak melakukan hal ini. Sungguh menyenangkan baginya. Hal yang amat dirindukan selama ini. Ia pikir akan bertaubat ternyata tak bisa menjauhi ilmu itu. Mi
"Mas, sakit!" Puspita merasakan nyeri dan mulas dibagian perutnya. Ia mengigit bibir bawah. "Mas!" Menguncang tubuh lelaki di sampingnya. Ronald terbangun dari tidurnya. Membuka mata lebar melihat kondisi istrinya. "Puspita kamu kenapa?" Mata ngantuk masih terlihat jelas. "Sakit Mas." Mengusap perut yang semakin membuncit. "Kita harus ke dokter." Ronald turun ke lantai bawah dengan tergesa-gesa memanggil Mirna di kamarnya. "Mirna! Mirna!" "Ada apa Tuan?" Membuka pintu kamar mendengar teriakkan panik lelaki itu. "Panggil supir dan siapkan mobil. Puspita perutnya sakit," perintah Ronald. "Sepertinya Nona Puspita mau melahirkan." "Iya, mungkin. Cepat siapkan mobil." Mirna bergegas ke arah pos satpam memanggil supir yang sedang bermain catur. "Aduh, Mas. Sakit," keluhnya berkali-kali. Ronald duduk di belakang kemudi bersama Puspita memeluk dan mengusap perutnya."Sabar Sayang. Sebentar lagi sampai." Ronald menemani Puspita hingga masuk ke dalam ruang bersalin. Puspita haru
Malam semakin larut, suara jangkrik saling bersahutan. Malam ini tak ada satu bintang pun muncul. Hanya ada bulan sabit menghiasi langit. Bara mendengarkan cerita Ronald, lelaki itu menatap kolam renang dari balik jendela kamar putrinya yang terbaring kaku di atas ranjang. Setiap kata terucap setiap kalimat hingga membentuk sebuah kejadian yang membuat Bara mengelengkan kepala. Begitu berat kehidupan di dunia hingga mereka tak menyadari kesalahan seumur hidup. Bukan di dunia saja tetapi di dunia nyata juga."Apa yang terjadi dengan nyonya Puspita?" Cerita Ronald semakin membuat Bara penasaran. Ia merasa ada sesuatu tersembunyi di balik kematian istri majikannya. "Istriku telah disantet oleh Mirna. Salah seorang temanku menemukan sesuatu di rumah ini. Di ruang bawah tanah, wanita itu melakukan ritual setiap malam. Ia yang telah memberikan kutukan anak-anakku sebelum wanita jalang itu mati." "Mirna telah tiada Tuan?" Wajah Bara terkejut. Seketika itu angin berhembus kencang hingga
Tulang Belulang MirnaSuara jangkrik sahut menyahut, para nyamuk terbang mencari tempat yang nyaman. Mereka terbang tak tentu arah mencari makan dengan menghisap darah. Pada saat bersamaan, segerombol orang berkumpul di halaman belakang. Mereka sibuk mencari sesuatu. "Gali di sebelah sana!" Ronald memerintahkan beberapa anak buahnya untuk membongkar kolam renang tepat di bagian pojok selatan. Tangan kekar anak buah Ronald mengenggam alat untuk menghancurkan keramik. Ayunan tangan mereka semakin cepat dan dalam hingga bagian tanah terlihat jelas. Otot mereka membesar ketika tenaga di keluarkan secara ektra. Mereka tak membongkar semua kolam hanya bagian paling pojok saja tempat jasad Mirna ia kubur. Angin berhembus kencang, petir sembar menyambar. Langit semakin gelap. Bulan dan bintang tak nampak sejak tadi. Bara waspada dengan kemungkinan yang terjadi. "Cepat bongkar!" teriak salah satu dari mereka. Melihat cuaca memburuk. Ayunan tangan semakin cepat, peluh mereka menetes dan
Mirna menatap Sofie terbaring kaku. Ia yakin gadis itu tak akan menyadarinya. Bola mata Mirna berubah merah bagaikan api yang akan melahap korban di hadapannya. Kebencian telah merasuki jiwa raga hingga akhir hayat. Tangan kanan mengeluarkan cahaya hitam untuk memusnahkan Sofie dalam sekali pukulan. Dia berharap Sofie mati di tangannya sama seperti Sefia yang telah ia dorong dari lantai atas. Brak! Pintu terbuka keras, langkah Bara terhenti ketika sosok Mirna ada di depannya. Ia tahu Mirna pasti ke kamar anak majikannya. Bara segera berlari menuju ke kamar Sofie. Ketika pintu sudah terbuka lebar, Mirna bersiap untuk hendak menyerang Sofie yang tak berdaya. "Mati kamu!" Membuang kekuatannya ke arah tubuh Sofie. Seketika itu juga Bara mencegah kekuatan itu dengan menghalangi kekuatan hitam milik Mirna dengan tubuhnya. Bara tak merasakan sakit sama sekali tetapi, dari mulutnya keluar darah kental hingga mengotori pakaiannya. "Uhuk!" Bara menyeka cairan merah dengan tangan. Mir
Anak buah Mirna keluar dari sangkarnya mereka adalah serigala bermata merah dengan taring gigi menyeramkan. Bara menatap kelima Srigala dengan tajam. "Serang dia dan makan tubuhnya hingga tak ada sisa," perintah Mirna menyeringai. Mirna memerintahkan mereka untuk menyerang Bara dan membuat dirinya hancur dan tak kembali ke dunianyaPara serigala menyerang Bara ke berbagai arah dengan sigap dan berhati-hati agar mereka tak menyakiti dirinya. Salah satu serigala berhasil melukai tubuh Bara hingga cakaran mengenai punggung Bara. Cairan merah menetes di sana. Sudah waktunya pemuda itu membalas perbuatan mereka Bara bersiap-siap mengeluarkan kekuatannya. Kedua tangan Bara diletakkan di atas dada matanya terpejam mata berubah menjadi hitam pekat entah bagaimana bisa tubuh Bara berubah menjadi banyak bukan satu melainkan menjadi 10 bagian. Wajah mereka sama tak ada yang bisa membedakan kecuali Bara sendiri. Semua teman-teman Bara menyerang para srigala dengan ganas hingga kepayahan