Srek! Srek! Suara di balik semak dekat air terjun menjadi perhatian Bara, memberanikan diri untuk mendekati rumput tersebut. Rumput hijau nan lebat dan tinggi. "Siapa?" tanya Bara waspada. Kakinya terus melangkah perlahan.Semakin dekat langkahnya, semakin terlihat tubuh di balik semak-semak. Bara melihat pakaian yang dikenakannya. Putih seputih kapas. Hingga sesuatu muncul tanpa aba-aba atau tanpa izin membuat Bara terjatuh dan menahan serangan dadakan. "Gerrr." Bara mengangkat tubuh mungil makhluk yang berada di semak-semak. Wajahnya bukan seperti Kadet. Melainkan manusia seutuhnya. "Lepas! Lepaskan!" Tubuhnya memberontak. Kaki mungilnya menendang Bara. Kedua mata membulat sempurna."Sedang apa kamu di semak-semak?" Bara belum melepaskan tangannya dari tubuh mungil. "Kalian jahat! Telah membunuh ayahku!" makinya dengan berani dan lantang. Bara meletakkan tubuh bocah laki-laki berumur enam tahun ke atas tanah. Wajahnya sangat tampan dan rupawan. Kulitnya bersih seperti kapa
Bara merasakan kelap kelip di tubuhnya, kalung yang ia kenakan menyala untuk sekian kali. Bara menyentuh kalung itu dan berbicara dengannya. Suara dalam kalung tak ia mengerti, bahasanya aneh dan tak pernah Bara dengar. "Apa maksudnya?" Bara hanya bisa menatap kalung itu tak tahu apa artinya. Mengapa begitu sulit sekali memahami kalung miliknya. Tubuh Kadet terkulai lemas, ia tak sadarkan diri setelah merasakan hawa panas di seluruh tubuh. Racun telah menyebar ke seluruh tubuh hingga masuk ke dalam jantungnya. "Kadet!" Bara membantu tubuh Kadet. Ia menyadarkan tubuh Kadet di dinding air terjun. "Sepertinya kalung itu obatnya," tunjuk Putra ke arah leher Bara. Sejak tadi menatap kalung Bara berkelap-kelip. Walaupun Putra masih kecil, ia bisa tahu sesuatu di sekitarnya hanya saja msih harus banyak belajar. Bara melepaskan kalung merah yang diberikan oleh Abahnya ketika berangkat ke pulau Jawa. Menatap batu tersebut. Setidaknya mencoba terlebih dulu. Ia mendekatkan kalung tersebu
Kalung Bara berkedip untuk sekian kali. Bara mulai mengerti cara kerja kalung misterius itu. Kalung yang selalu ia kenakan di leher. Memberikan tanda bahaya untuk dirinya. "Gawat, mereka mendekat." Putra berlindung di belakang Bara. Ia berharap Kadet telah selesai membantu wanita hamil itu agar mereka bisa lari. Hanya suara wanita kesakitan di dalam goa dan suara Kadet memberikan instruksi agar bayi itu lahir. "Bagaimana Bang Bara. Aku takut." Putra mengenggam erat lengan Bara. Menyembunyikan diri di balik tubuh kekar Bara. Bara menyentuh batu tersebut berbicara dengan penghuni di dalam batu merah. Namun, ia tak mengerti bahasa yang dilontarkannya. "Ah, mengapa aku tak mengerti bahasanya." Suara teriakkan Kijo terdengar di kejauhan. Beberapa meter lagi mereka akan sampai di sini. Suara bayi terdengar dan mengema di dalam goa. Kadet telah berhasil melahirkan penerus generasinya. Hingga Kadet menyadari masih ada yang lain dalam perut wanita satu desa dengannya. Wajah wanita di h
Bab 52"Batu itu bukan batu biasa. Batu yang hanya di bawa oleh orang-orang terpilih." Wanita yang baru saja melahirkan menceritakan tentang batu yang berada di leher Bara.Bara mendengarkan dengan seksama. "Apakah batu ini ada pemiliknya?""Tentu saja ada. Batu ini milik Sultan Aridabarapati. Ia adalah keturunan bangsawan berbeda dari yang lain. Aridabarapati memiliki kalung tersebut dari sebuah portal tak kasat mata. Ia sering masuk ke dalam portal tersebut untuk menemui sang kekasih. Sang kekasihnya bernama Putri Barasaka memberikan batu tersebut kepada Sultan untuk pelindungan diri. Namun, mereka tidak direstui oleh kedua orang tua karena berasal dari dunia berbeda. Walaupun, wajah putri Barasaka berbeda, Sultan tetap mencintainya dan menerima apa adanya." "Berbeda bagaimana?" Kadet ikut mendengar ceritanya. Sedangkan, Putra telah terlelap lebih dulu. "Entahlah aku juga tak paham. Kakek tak menceritakannya lebih detail." "Jadi maksudmu, mereka berbeda dunia yang saling jatuh c
"Abang ...." Langkah wanita beranak tiga terhenti seketika. Menoleh ketika namanya di panggil."Seliyara!" "Abang, kamu masih hidup." "Dik. Kamu baik-baik saja?" Lelaki berbadan tinggi dan berwajah manusia dengan jenggot dan kumis mendekat. Meletakkan telapak tangan di wajah adiknya. Adik yang kini telah menjadi janda. "Alhamdulillah, baik baik saja." Seliyara memeluk tubuh kakak pertamanya. Menumpahkan air mata yang sejak tadi ingin terurai. "Kamu sudah lahiran. Syukurlah." Memeluk tubuh sang adik kembali, ia sengaja meninggalkan adiknya dalam goa agar Kijo tak menemukan mereka. Bersyukur sang adik masih di dalam goa. Lelaki itu adalah kakak dari wanita yang sedang mendekap kedua anak kembarnya. "Abang ke mana?" "Maafin Abang, Abang terjebak dengan kelompok Kijo jadi harus bersembunyi. Tak sanggup melawan mereka." "Ke mana mereka pergi, Zamah?" tanya Kadet agar ia tak satu arah dengan Kijo. Zamah adalah nama pria itu. Pria berjenggot tipis dengan netra merah berbeda dari ya
Bab 54.Zamah menyusul Kadet, ia takut Kadet bertemu dengan Kijo. Bisa saja Kijo menyerangnya tiba-tiba. Zamah menaiki pohon lalu terbang dari satu pohon ke pohon lain. Tubuhnya terlihat ringan bagaikan kertas. "Siapa dia?" tanya Zamah ketika melihat Kadet membantu seorang wanita yang tak sadarkan diri. "Dia adalah kekasih adikku." "Astaga, bukannya dia berada di desa seberang. Apa jangan-jangan mereka juga menyerang desa seberang?""Bisa jadi. Lebih baik kita tanya saja setelah ia sadarkan diri." Zamah mengambil buah-buahan yang telah dipetik sedangkan Kadet mengendong tubuh wanita itu, Jinar. Mereka memberikan pertolongan kepada Jinar agar kembali siuman. Begitu juga Bara, mengunakan kekuatan kalung tersebut untuk menyembuhkan luka-luka di tubuhnya. Mereka beristirahat dekat pohon besar disekitar semak-semak. Para anak-anak menyantap makanan dengan lahap. Kedua bayi kembar tertidur lelap setelah menyusu ASI."Apa yang terjadi dengannya?" tanya Putra. "Kita tunggu saja setelah
Bab 55. "Abah katakan padaku. Aku tak mengerti semua ini." Bara meminta penjelasan yang sesungguhnya. "Wanita ini adalah ibumu Bara. Maaf kan kami telah merahasiakannya." Mak Djasiah terguguh. Ia takut kehilangan putranya. "Ibuku. Tapi, kenapa kalian di sini. Ini dunia bukan dunia kita.""Kami manusia hanya saja kami salah jalan hingga berakhir di sini." "Apa kalian telah berkerjasama dengan mereka, Abah?" Abah menganggukkan kepala dan suara isakan emak terdengar lebih keras. Abah memeluk tubuh rapuh istrinya. Mereka salah jalan dan beruntung masih bisa ada yang membantu. "Wanita ini adalah ibu kandungmu." "Mak, apa benar begitu?" Bara ingin tahu dari mulut wanita yang telah dianggap ibunya. "Iya, betul." Wanita berkebaya putih menatap penuh kerinduan sang buah hati. Putra yang ia jaga selama ini dari kejauhan. Bara menatap wanita yang tak terlihat tua. Tak ada goresan di wajah. Cahaya terlihat menyinari tubuhnya. "Anakku Bara." Ia mendekati Bara dan memeluk erat pemuda berw
"Lebih baik kalian pergi. Biar aku yang hadapi." Bara tak ingin teman-temannya terluka. "Tidak, aku tak akan pergi. Mereka telah membunuh keluargaku. Aku akan melawan mereka sampai darah penghabisan." Kadet mengucapkannya lantang. Begitu juga Zamah menganggukkan kepala. "Aku juga tak akan mundur. Kita lakukan bersama." Zamah menatap kedua pemuda yang penuh keberanian. Hingga mereka mendorong kasar pagar tersebut. Seketika itu juga bola mata mereka membulat melihat segerombolan Kijo dihadapannya. "Serang!" teriak para Kijo. Seketika itu juga kalung merah menyala dan membunuh para Kijo yang hendak mendekati Bara. Tubuh mereka hancur dan berubah menjadi abu. Para Kijo yang menyadari kekuatan tak terkalahkan memilih mundur. Bara semakin melangkah kaki menyerang mereka dengan brutal begitu juga Kadek dan Zamah. Mengapa mereka tak membawa prajurit dari bangsanya. Karena sebagai prajurit mengalami luka parah. Lebih baik mereka saja bertiga menyerang bangsa Kijo yang selalu meresahkan.