Maria memandangi rumah minimalis peninggalan sang nenek dengan sendu. Sebelum menikah dengan Fiko, disinilah dia tinggal bersama sang nenek. Kini rumah ini kosong karena sang nenek sudah pulang ke Rahmatullah tiga tahun lalu sebelum dirinya menikah dengan Fiko.
Bunyi derit pintu terdengar kasar karena banyak debu menghalangi. Rumah ini sudah lama tak dibersihkan karena memang Maria tak pernah menginjakan kakinya lagi kerumah ini setelah menikah.
Dipandangnya setiap sudut sisi rumah dengan perasaan sesak. Dulu, sebelum neneknya meninggal, sang nenek pernah memintanya untuk sesekali membersihkan rumah ini walau tidak dia tempati. Karena kesibukannya mengurus rumah dan mertuanya yang sakit, ditambah jaraknya yang lumayan cukup jauh, Maria tidak sempat melaksanakan tugas itu. Sungguh dia sangat merasa bersalah terhadap neneknya.
Maria mulai memberseskan dan membersihkan rumah itu sampai menghabiskan waktu seharian penuh. Dia membaringkan badannya yang pegal
"Tuh Bun orangnya!" Nudy menunjuk Gudy yang baru saja sampai dirumahnya. Arum, orang yang dipanggil Bun oleh Nudy itu menoleh pada Gudy yang baru saja sampai. Arum berkacak pinggang sambil mengetuk-ngetukan kaki kanannya kelantai karena tidak sabar menunggu Gudy berjalan mendekatinya. "Hai Bun." Gudy menyapa sang Bunda dengan santai. Gudy sama sekali tidak menyadari bahwa sang Bunda kini tengah menahan geram ingin menggetuk kepala Gudy memakai spatula yang ada ditangannya. "Apa hai-hai...hai-hai..." Arum memelototi Gudy dengan galak. "Apaan sih Bun. Itu mata udah kaya mau loncat aja." Gudy risih dipandang tak ayalnya penjahat oleh Ibunya sendiri. Dia merasa, dirinya tidak berbuat apa-apa yang bisa membuat Binda kesayangannya itu marah. Arum, sang Ibu malah makin melebarkan matanya. Tanpa ba bi bu dia langsung menjewer telinga Gudy dengan kejam sampai si empunya menjerit kesakita
Keesokan harinya Maria bersiap untuk mengantar berkas yang diperlukan untuk melamar kerja. Setelah dirasa persiapannya sudah beres, dia mengecek sisa uang dalam dompet. 250 ribu, uang itu hanya cukup untuk makan kurang lebih dua minggu bila dapat membaginya secara cermat.Maria memutuskan untuk berjalan kaki menuju Minimarket yang temannya ajukan semalam berhubing uangnya tinggal sedikit. Saat Maria hendak menyebrang, dia melihat seorang Ibu-Ibu yang hampir terserempet motor. Dengan cepat Maria menariknya hingga mereka sama-sama terjatuh diatas aspal jalan."Ibu tidak apa-apa?" Maria sibuk mengecek keadaan tubuh Ibu yang ditolongnya tanpa menghiroukan dirinya sendiri.Arum, Ibu yang ditolong Maria hanya menggelengkan kepala. Namun matanya sontak membelalak begitu menyadari ada noda darah di siku lengan kanan gadis yang menolongnya. "KAMU TERLUKA!" Teriaknya heboh. Bahkan kini orang-orang yang mengerumun semakin banyak kare
Baru saja Maria sampai ke rumahnya, dia sudah di kagetkan dengan kedatangan Fiko yang sedang menunggunya didepan pintu. Maria bingung antara meneruskan langkahnya atau berbalik kembali. Dia memang tidak berniat untuk menghindari Fiko, namun bila harus bertemu dalam waktu dekat jelas dia tidak siap.Maria ingin berbalik, tapi urung saat Fiko keburu menyadarinya. Dengan mempersiapkan hati terlebih dahulu, Maria meneruskan langkahnya.Fiko yang melihat Maria berjalan mendekatinya sontak tersenyum sumringah. Dia sudah menunggu Maria selama 3 jam. Karena kemarin malam dia tidak bisa menemui Maria, maka dia memutuskan untuk kembali menemuinya hari ini."Maria." Fiko memanggil nama Maria dengan luapan penuh rindu. Seperti mimpi, kini dia dapat melihat
Mata coklat Maria yang bulat terpejam, menikmati ketenangan dari suasana sore bersama angin sepoi-sepoi. Rasanya Maria bahkan bisa mendengar bisikan angin sejuk membelai manja wajahnya.Maria menikmatinya, keindahan seperti ini memang tidak pernah ia rasakan lagi selama 3 tahun kebelakang. Ternyata berpisah dengan Fiko tidak semua membawa kesakitan, masih ada sebagian rasa bahagia seperti yang saat ini dia rasakan."Saya heran, kenapa kamu bisa sesantai ini ketika seseorang sudah menelponmu puluhan, tidak. bahkan mungkin ratusan kali?"Dan tiba-tiba suara bicara seorang laki-laki yang membawa jejak kejengkelan itu terdengar dari arah sampingnya membuat mata Maria otomatis terbuka.Maria melirik laki-laki yang menjulang tinggi sambil memasang wajah angkuh itu agak sinis. Kalau bukan karena laki-laki ini calon Bosnya, Maria mungkin sudah mengatainya pengganggu. Berhubung laki-laki ini berkemungkinan besar yang akan menjadi sumber pemasukan
Maria melihat arloji di tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 6:31. Dia kini berdiri di depan pintu rumah besar bergaya Eropa. Setelah mengucapkan Basmalah terlebih dahulu, dia menekan bel yang terletak di sisi kiri pintu itu sekali. Setelah menunggu beberapa saat, pintu rumah terbuka menampilkan seorang wanita paruh baya yang pernah di tolongnya beberapa hari kebelakang.Maria cukup terkejut dengan kebetulan ini. Ibu-ibu yang di tolongnya waktu itu ternyata tinggal di rumahnya Gudy yang telah menjadi Bosnya saat ini. Maria hanya bisa tersenyum kecil ketika mendapati wajah terkejut Arum. "Assalamualaiku ibu." Sapanya mendahului, karena tidak ada tanda-tanda wanita paruh baya di depannya akan menyapa dalam waktu dekat.Arum mengembangkan senyumnya dengan lebar. Dia tidak menyangka akan di pertemukan kembali dengan perempuan yang menolongnya tempo hari itu. "Wa'alaikum salam. Kamu yang nolongin saya waktu itu, ya?"Maria mengangguk sambil tersenyum kec
Maria masuk ke dalam Minimarket mengikuti Gudy. Dia melihat-lihat sekelilingnya berharap menemukan Sinta. Karena tidak terlalu pokus dengan yang di depannya, dia sampai tidak menyadari Gudy berhenti di tempat membuat hidung dan dahi Maria menabrak punggung lebar Gudy. "Apa yang kamu pikirkan?" Rudy bertanya heran. Dia melihat Maria yang tingginya hanya sebahu itu tengah menggosok hidung dan dahinya, lalu mengernyit. Apa sebegitu kerasnya tadi Maria menabraknya? hidung dan dahinya sampai terlihat memerah. "Saya hanya sedang mencari teman." Maria menjawab sambil menahan ngilu. Dia merutuki punggung Gudy yang keras seperti tembok. Dia bertanya dalam hati, di kasih makan apa Gudy oleh Bu Arum sehingga dapat tumbuh tinggi besar seperti sekarang. "Siapa?" Mendadak Gudy kepo. Teman yang di cari Maria laki- laki atau perempuan. Tanpa dicegah, kepalanya celingukan kesana sini mencari seseorang yang kira-kira Maria cari. Maria agak memicingkam mata. Namun
Sedari pagi Gudy tidak bisa diam, 5 menit sekali matanya melirik Maria yang duduk tenang menekuri pekerjaannya. Berkali-kali Gudy menarik napas dan mengeluarkannya dengan kasar. Penampilan Gudy yang sehari-hari terlihat rapi, bersih, dan tampan kini terlihat sedikit kusut dan nampak lingkaran hitam di bawah matanya. Semalam Gudy tidak dapat untuk tidur karena kebanyakan berpikir, apa yang saat itu Maria pikirkan tentang dirinya yang setuju-setuju saja di suruh melamarnya? Apakah Maria tidak akan berpikir dia ini laki-laki gampangan? Uh, Bundanya memamg keterlaluan.Karena tidak dapat berkonsentrasi dalam pekerjaannya, Gudy memutuskan untuk keluar mencari udara segar. "Saya keluar dulu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menelpon saya. Dan jangan biarkan siapapun masuk kedalam ruangan ini. Mengerti?""Mengerti, Pak."Maria memandang punggung Gudy sampai menghilang di balik pintu. Dia mendesah pelan karena bingung dengan perubahan
Karena kejadian tadi siang, suasana di dalam mobil terasa begitu sunyi. Maria dan Gudy sama-sama tidak ada yang mau memulai siapa yang terlebih dahulu ingin membuka percakapan, keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing.Maria denga pemikirannya yang merasa bodoh karena telah meneriaki Bosnya, padahal Gudy hanya refleks memegangnya karena ingin menolong Maria agar kepalanya tidak terantuk aspal jalanan. Sedangkan Gudy tengah sibuk menenangkan jantungnya yang berdetak tidak seperti biasanya bila berdekatan dengan Maria. Gudy malu, dia takut suara jantungnya terdengar oleh Maria.Setelah mengucapkan terima kasih dan salam, dengan terburu-buru Maria keluar dari dalam mobil. Maria bahkan tidak mendengar Gudy yang memanggil sebab handpohon-nya tertinggal. Maria hanya pokus dengan dirinya agar segera lepas dari pandangan Gudy. Maria malu bukan main, bahkan rasanya bernapas saja susah bila berada di sekitar Gudy.Sesampainya di dalam rumah, barulah Maria dapat