"Saya menyuruh kamu mencari arsitek, bukan perempuan! Apalagi modelnya seperti dia!" teriak laki-laki berwajah keras.
Suara samar terdengar jelas di telingaku, walaupun ruangan ini terbatas kaca lebar. Dua laki-laki di dalam terlihat berdebat dengan mengacung-ngacungkan berkas di tangannya. Iya berkas portfolioku yang aku bawa hari ini.
Satu berkulit terang dengan baju rapi dengan dilengkapi jas, dan satunya lagi berkulit lebih terang berbaju rapi juga, tetapi tanpa menggunakan jas. Tidak begitu jelas wajah mereka dari luar sini. Namun, dari penampilan mereka menunjukkan posisi yang penting di perusahaan ini.
"Dia yang terpilih sesuai portfolio yang dikirim melalui email itu!" sanggah lelaki satunya.
Keadaan seperti yang biasa aku hadapi. Keraguan akan kemampuanku, hanya karena aku seorang perempuan. Di dunia yang mayoritas laki-laki ini, memang beresiko buatku sebagai perempuan. Kualitas kami yang tidak diperhitungkan, membuat aku lebih keras berusaha lagi, dan disinilah aku. Sebagai arsitek terpilih untuk mega proyek perusahaan ini.
*
Aku Lituhayu Mahiswara, arsitek lulusan dari perguruan tinggi negeri ternama di negara ini. Kecintaanku di dunia rancang bangunan sudah tumbuh sedari kecil. Bapak pembuat rumah-rumah kayu, khususnya rumah joglo. Mulai bangun tidur sampai tidur lagi, yang aku lihat adalah orang-orang sibuk membangun rumah. Dalam pikiranku, kenapa kita terpaku dengann bentuk rumah yang seperti itu? Apa tidak ada kejenuhan atau keinginan untuk terbebas dengan pakem yang ada? Itulah pijakan awalku mengambil pilihan ini.
Keputusanku memilih jurusan arsitek ditentang keras oleh ibu. Menurutnya, setinggi-tingginya perempuan sekolah jatuhnya juga di dapur dan kasur. Apalagi yang diambil jurusan yang dipenuhi laki-laki. Menurutnya, ini tidak berguna untuk mengurus suami dan anak. Untuk apa membuang waktu percuma? Bisa jadi, dunia baru ini yang aku tekuni merubahku menjadi perempuan yang tidak feminim lagi. Akhirnya, jauh jodoh seperti aku sekarang.
Kalau sudah bicara jodoh, ibu langsung menyalahkan bapak yang mengijinkan aku memilih dunia bangunan ini.
"Anak perempuan satu saja modelnya begajulan. Yang diurus bangunan terus. Mbok sekali-kali ke salon biar cantik. Tuh, satu lemari isinya celana panjang, kemeja, kaos. Tidak ada rok apalagi longdress. Namanya Lituhayu, maksud ibu supaya besarnya ayu. Ini, pakai bedak saja ogah, apalagi pakai lipstik. Bapak sih, menjerumuskan anaknya ke dunia laki-laki!" omelan ibu seperti biasanya.
Kalau sudah seperti itu, aku dan bapak hanya saling pandang, tersenyum dan kembali ke aktifitas semula, menyesap kopi hitam bersama. Aku memang anaknya Bapak.
*
"Saudari Lituhayu, ikuti saya!"
Laki-laki yang tanpa jas, menghampiriku dan bergegas ke luar ruangan besar ini.
Kami menuju ruangan agak jauh dari ruangan pertama, lebih kecil sedikit. Menariknya, ruangan ini penuh dengan peralatan tempur kami. Ada meja gambar lengkap di ujung sana, menghadap ke jendela besar. Rak buku tinggi dengan penuh buku-buku yang membuatku seketika lapar. Di ujung sana, ada rak tempat gulungan-gulungan gambar proyek.
Hhmm ... ini baru markas besar.
"Kenalkan, Saya Sakti Pratama, panggil saja Sakti. Selamat, kamu sudah bergabung dengan perusahaan ini! Silahkan duduk!"
Kami duduk berhadapan dengan meja kerja di tengahnya.
"Terima kasih Pak Sakti. Panggil saya Litu," ucapku. Namanya bagus, sepertinya dari pembawaannya dia orang yang baik dan terlihat professional. Berbeda dengan laki-laki yang satunya, terlihat bukan orang lapangan.
"Yang tadi itu, Pimpinan kita bapak Mahendra Haryanto," tambahnya.
Oh, yang orang berkata tidak mencari perempuan itu pimpinan di sini. Seharusnya dia bisa menjaga sikap, sepertinya orangnya pemarah. Aku harus hati-hati menghadapinya. Sepertinya orangnya keras dan susah diajak bekerja sama. Huuft, biarlah. Toh, aku akan banyak bekerja dengan laki-laki di depanku ini.
"Saya sudah diskusi dengan Pak Mahendra, masa percobaan kamu tiga bulan. Apabila kerja kamu sesuai yang kami harapkan kita terus. Namun, apabila tidak, dengan sangat menyesal kami tidak bisa teruskan," terangnya.
"Maaf, bukankan penawaran di awal tidak seperti itu? Saya mengirim portfolio dan yang terpilih akan masuk di team perancang?"
"Betul, tetapi kami perlu pembuktian skill kamu. Kamu keberatan?" tanyanya dengan memincingkan mata.
"Saya tidak keberatan, karena saya yakin bisa melalui masa percobaan ini!" ucapku dengan yakin. Ini sama saja mereka menantang kemampuanku. Aku harus bisa mengalahkannya.
"Satu pertanyaan saya. Maaf, ya. Litu, ini benar karya kamu?" tanyanya dengan menatapku tajam, tangannya menunjukkan portfolioku yang sedari tadi dibawanya.
"Pak Sakti meragukan itu karya saya?"
*****
Duh, nyeseknya. Ketika kita mempunyai karya tetapi dipertanyakan. Apakah Lituhayu akan meneruskan kerja di tempat yang meragukannya? Ikuti cerita ini, ya.
"Satu pertanyaan saya. Maaf, ya. Litu, ini benar karya kamu?" tanyanya dengan menatapku tajam, tangannya menunjukkan portfolioku yang sedari tadi dibawanya."Pak Sakti meragukan ini karya saya?" Aku menyerngitkan dahi, keraguan kemampuan berdasarkan gendre aku pikir hanya terjadi di lapangan saja. Ternyata, di perusahaan yang bonafit seperti ini dan kabarnya sudah go internasional masih berfikir sempit seperti itu.Pak Sakti tersenyum dan menyandarkan punggungnya. Dia memiringkan kepalanya dengan masih menatapku. Ih, orang ini tidak tahu kalau aku kesal dengan keraguannya, malah tersenyum tidak jelas. Senyumnya ternyata manis juga dan wajahnya tidak seserius pada awalnya, lebih bersahabat."Saya tidak meragukan kamu, tetapi perlu bukti.""Itu sama saja, Pak. Apa yang harus saya lakukan untuk membuktikan itu karya saya? Soft copy sudah saya berikan, begitu juga hard copy. Sudah ditangan, kan?" ucapku melontarkan pertanyaan balik. Tangan ini tak terasa menggenggam erat, menahan kekesala
Aku diam sejenak, di depan pintu lift. Teringat apa yang dikatakan Pak Sakti."Saya tunggu makan siang. Cepat naik!" Dia bilang, naik ke atas. Jadi ada dua kemungkinan tempat makan, cafetaria di lantai sembilan atau top party di rooftop. Paling tepat cafetaria lantai di sembilan. Sip! Aku ke cafetaria. Tantangan cemen seperti ini, kalau salah membuat malu sekampung.TringPintu lift terbuka, aku langsung masuk, sendiri. Pencet naik angka sembilan. Pintu tertutup dan jalan.Terpantul bayanganku dari dinding yang full stainless, tinggi semampai berambut panjang, dan wajah lumayan tidak jelek. Hanya sering kali orang sekitarku mengatakan aku kurang riasan, terlihat pucat, kalau ibu bilang lebih sadis, 'nglubut' tingkatan diatasnya dekil. Untung secara fisik menyerupai Ibu yang dulunya kembang desa, putih dan ayu. Kalau mirip Bapak bisa-bisa harus pakai lampu karena terlalu gelap, itu becandaan Ibu kalau menggodaku.Karenanya sering diomeli, supaya kelihatan fash
Menahan rasa malu, aku langsung bergegas bersiap. Merapikan baju, rambut dan berias sedikit. Hanya bedak tipis dan lip gloss. Aku harus menjelaskan ke Pak Sakti, jangan sampai dia menganggapku menggodanya.Pak Sakti duduk di ruang makan, sudah ada makanan terhidangkan di sana. Ternyata, panggilan tadi untuk makan. "Pak Sakti, maaf tadi saya tidak sengaja. Bukan bermaksud untuk ....""Sudahlah. Saya sudah hafal dengan anatomi. Tidak usah dijelaskan, saya sudah kebal! Kalau tidak, sudah saya terkam kamu tadi!" ucapnya dengan tertawa. Aku pun ikut tertawa kikuk. Jangan-jangan Pak Sakti ini ....Ah, biarlah. Kalaupun iya, itu bagus untukku.Kami langsung menghabiskan makanan di depan kami, nasi uduk dengan lauk ayam goreng.***Setiba di ruang meeting, sudah berkumpul para tenaga sipil. Dari kepala proyek, kepala pengadaan barang sampai mandor. Kali ini, kami mengadakan pertemuan tentang proyek yang masih berjalan. Sebenarnya, aku belum mempunyai andil apapun dipertemukan, tetapi ini
Aku memantaskan diri di cermin. Mengenakan setelah celana kain berwarna merah maroon lengkap dengan blazernya. Dilengkapi dengan kemeja merah muda dengan renda di bagian dada. Terlihat simple tetapi fashionable. Sengaja sebelum berangkat ke Jakarta, aku memesan beberapa stel baju ke Alysia-teman kos ketika kuliah dulu. Saat ini dia mengembangkan butik warisan keluarga di ibu kota ini. Awalnya, aku merencanakan hanya tinggal sementara di tempat sahabatku itu sebelum mendapat tempat yang cocok. Namun, rencana diambil alih olehnya dengan berbagai alasan. Termasuk, tidak tega melepasku di kota besar ini. "Litu! Di sini jangan disamakan dengan Jogja, yang model orangnya santai. Kemana-mana pakai sandal jepit masih dihargai. Di sini, penampilan nomor satu. Kamu akan dilirik orang, kalau penampilanmu menarik. Setelah itu, baru kualitas kamu akan mendapatkan kesempatan untuk dinilai!' terangnya ketika aku baru sampai. Terdengar ngeri mendengar penjelasnya. Kalau tidak karena panggilan ke
Entah mengapa, setelahnya kami pun terdiam, hingga orang di lift sudah tinggal kami berdua. Setelah sampai di lantai tujuan, aku mengikuti Pak Sakti menuju ke ruangan kami. Tiba-tiba, dia berhenti dan membalikkan badan ke belakang. "Kamu kenapa berjalan di belakangku? Kita jalan seperti bebek dengan anaknya!" selorohnya dengan tertawa kecil. Aku menatap wajahnya dan ikut tertawa setelah memastikan tidak ada apa-apa karena kejadian tadi. "Kita jalan sambil berbincang. Ingat, kira rekan kerja bukan baginda raja dan bawahannya," ucapnya berjalan melambat mensejajari aku. "Siap, Pak!" ucapku bersikap kembali seperti semula. Saat ini, aku masih menjajaki Pak Sakti. Apakah dia termasuk golongan seperti rekan kampusku dulu, yang melihat kami bukan berdasar gendre, atau seperti laki-laki pada umumnya. "Bagus penampilanmu saat ini, daripada kemarin. Baju baru?" tanyanya, menoleh ke arahku. "Ini karena sahabatku, Alysia namanya. Kami tinggal bersama dan dia di sini mempunyai butik. Kar
"Mas Sakti, kita di tunggu Pak Mahendra sekarang. Meeting diajukan," ucapku membuat dia berdiri dan tersenyum kepadaku sambil berkata, "Kamu sudah siap menghadapi singa perusahaan ini?" Aku tersenyum dan mengangguk berusaha menguatkan dan menenangkan jantung yang berdetak kencang. Kucing kecil ini akan menunjukkan cakarnya di depan singa perusahaan ini. 'Siap!'* "Kamu tidak usah kawatir. Siapapun dia, kita tetap sama. Sama-sama makan nasi!" kelakar Mas Sakti. "Saya tidak kawatir," elakku. "Tapi takut, kan?" ledeknya sekali lagi. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Persiapan mental, itu yang utama. Kalau keilmuan atau kreatifitas sudah ada di genggaman. Setiap di tempat kerja, aku mempunyai misi. Seorang perempuan pun berhak dan bisa menjadi seorang arsitek dengan kemampuan yang bisa diperhitungkan. Itulah yang menjadi semangat dan kekuatanku menghadapi siapapun di bidang ini. "Kita ke sana sekarang. Dia paling tidak suka dengan ketidaktepatan waktu," ingat Pak Sakti. "Kan Pa
"Kedua, dia menunggu kita untuk makan siang bersama," bisiknya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku."Maksudnya dia…. Pak Mahendra?!" tanyaku dengan mata membulat sempurna ke arahnya.'Aduh!'"Kenapa? Cacing kamu langsung mogok lagi?" ledek Mas Sakti terkekeh. Mungkin melihat wajahku yang sebelumnya semangat ingin makan, berubah terlihat aneh."Beneran, kita makan bersama Pak Mahendra yang tadi itu? Mas Sakti saja mungkin?" tanyaku tidak percaya. Bukannya tadi bicara denganku saja seperti mau muntah. Kenapa sekarang malah menghadirkanku di meja makannya? Jangan-jangan aku akan dimakan hidup-hidup dan dicabik-cabik oleh vampir itu."Sama kamu jugalah! Tadi sudah dibilang, kan," jawabnya sambil melangkah mengikuti Mbak Endah ke ruang VIP yang berada di ujung, aku berlari kecil untuk mensejajarinya."Hiiii," desisku sambil mengangkat bahu."Kenapa, Litu?" "Ngeri!" jawabku spontan. Mas Sakti terbahak mendengar ucapanku.Setiba di depan pintu, Mbak Endah membukakan pintu dan membungkuk m
Hari ini, aku bersiap untuk survey lapangan. Menggunakan baju senada seperti kemarin, hanya berbeda warna saja. Hari ini biru cerah, aku ingin kegiatan hari ini cerah sebiru bajuku. Aku menggunakan sepatu trepes, masih terlihat resmi tetapi lebih santai dan nyaman. Tidak ketinggalan, kaca mata hitam anti silau. Yang terakhir ini sebagai andalanku untuk meningkatkan penampilan. "Wah, sepertinya ada yang sudah tidak sabar lagi!" teriak Mas Sakti melihat aku sudah bersiap. Dia berpakaian lebih santai lagi, celana kain dan baju lengan panjang yang di gulung sampai siku. "Pagi Pak Sakti!" sapaku. "Hlo, kok Pak?" tanyanya heran. "Latihan. Supaya tidak keceplosan!" jawabku. Kemarin Mas Sakti sudah memberitahu, aku harus memanggilnya pak, di depan Pak Mahendra yang kolot itu. Jangan sampai salah, aku tidak mau ada ungkapan yang mematik keinginanku untuk menimpuk kepalanya. Terlalu ekstrim, ya? "Okey! Up to you, lah!" ucapnya sambil bersiap. Kami bergegas ke ruangan Pak Mahendra dan m