"Bukankan di sini ada LSM yang dipercayai bapak-bapak? Bagaimana kalau mereka ditunjuk sebagai pengawal dan membantu kami merumuskan konsep ini?" usulku sambil berdiri. "Baik, kami dari LSM Hijau bersedia mengawal proyek ini!" ucap seseorang berambut cepak dengan wajah yang bersih. Aku tersentak. suaranya seperti sangat aku kenal, tetapi siapa? Setelah negosiasi kembali, akhirnya diputuskan kami harus menunjukkan konsep kepada Desa melalui LSM Hijau. Akhirnya mereka pulang dan sekarang tertinggal perwakilan LSM dan kami. Aku penasaran dengan sosok yang duduk di seberangku. Sepertinya aku mengenal dia, aku pun sempat menangkap dia juga memperhatikanku. "Baiklah. Kita break sekarang untuk makan siang. Kami sudah siapkan semuanya!" ucap Mas Sakti kemudian berdiri. Pak Mahendra keluar ruangan diikuti kamk semua. "Litujayu!" Aku menengok seseorang yang memanggilku. Laki-laki berambut cepak tadi. Aku berhenti menunggu dia menghampiriku. "Iya, Pak?" jawabku sambil memicingkan mata.
"Kamu sudah mulai nakal, ya," bisiknya dengan mengecup keningku. Sorot mata meredup dan dengus napas masih memburu."Habisnya. Kak Mahe apa-apa marah. Bisakah ini dikendalikan? " tanyaku dengan menepuk dadanya yang keras. "Semua yang berhubungan denganmu selalu membuatku gila. Jangan diulangi lagi yang tadi. Kamu harus memberitahuku dulu saat berurusan dengan laki-laki siapapun. Kecuali, kamu sengaja membuatku marah," ucapnya dengan menangkup pipi ini dan menunjukkan selarik senyuman.Akhirnya amarahnya reda, walaupun aku harus melalukan sesuatu yang ekstrim. "Ya. Mulai sekarang, ponsel ini akan selalu menghubungi Kak Mahe. Aku bertemu siapa, akan kemana dan untuk apa, pasti akan info," ucapku tersenyum lega"Tetapi tidak apa-apa, sih, kalau cara menenangkanmu seperti barusan. Marah seribu kali pun, aku rela," ucapnya dengan mengedipkan mata."Kak! Jangan genit, tadi aku terpaksa," ucapku dengan mencembik."Yang aku rasa, tidak tuh. Eits, jangan begitu bibirnya. Aku cium lagi, mau?"
Yang diucapkan aku anggap hanya sekadar bercandaan saja. Mana ada dua ancaman yang harusnya berlawanan, tetapi bermuara di satu tujuan, pernikahan. Memang benar kata Mas Sakti, dia duda yang membahayakan.Dari pada berasumsi yang tidak-tidak, lebih baik aku fokus dengan pekerjaanku tang terbengkelai ini.Rancangan untuk proyek ini menuntut kami untuk lembur dan membuat penat pikiran. Kalau ditrawang, mungkin di atas kepala kami mulai mengeluarkan asap. Untuk otak tidak diberi kaki, sehingga tidak bisa melarikan diri. Proyek ini benar-benar memaksa mengeluarkan semua tenaga dan pikiran.Sesekali Pak Mahendra datang melihat perkembangan pekerjaan ini. Kami menjaga sikap profesional saat bekerja, dan bersikap hubungan kami sekedar bos dan anak buah. Dari ungkapan dan raut wajahnya kelihatan dia puas, dan berakhir tos dengan Mas Sakti setelah dia pergi. Aku tersenyum menatap meja gambarku. Terpuaskan semua keinginanku akan karyaku ini. Rancangan yang sarat dengan arti dan memuaskan mata
Bertemu dengan Mas Janan mengobati rasa rinduku akan kehidupan kampus dulu. Kami sering berbincang dan bercerita masa lalu. Tentunya disela-sela pembicaraan program desa. Tak jarang aku mengoloknya tentang sikap konyolnya dahulu. Sok berkuasa, ngatur ini dan itu. Yah, gaya khas senior dulu.Memang, kami berbeda jurusan walaupun sama-sama Fakultas Tehnik. Dia jurusan mesin dan aku arsitek, namun pandangan kami setipe, lebih melihat sesuatu berdasarkan logika. Tidak suka terjebak atau terkekang dengan hubungan rasa, mungkin itulah yang menyebabkan dia masih sendiri.Status Mas Janan ini yang sering dimasalahkan oleh Pak Mahendra. Dia menganggap dahulu kami mempunyai hubungan khusus dan sekarang masih menungguku. Dia tidak suka melihat kami berbincang dan tertawa bersama. Meskipun aku berusaha bersikap formal, tetap aja berujung dengan canda seperti dulu.Huuft ...!Mempunyai teman dekat yang tidak mengerti indahnya berteman itu susah! Harus menjelaskan dengan bukti dan memberi argumen y
Lampu aku hidupkan dan benar Tanganku bersimbah darah karenanya. Darah itu merembes dari kemeja Pak Mahendra."Kak .... Kamu kenapa? Si-siapa yang berbuat jahat kepadamu?" ucapku dengan tangan gemetar membuka kancing bajunya."Tadi ada yang mencoba merampokku."Luka menganga lebar terlihat jelas dengan darah yang tidak berhenti keluar. Secepatnya aku ambil kotak obat di dashboard. Mengambil kasa, kapas dan plester. Luka aku tutup dan diplester untuk mengurangi keluarnya darah. Walaupun darah berkurang yang keluar, tapi luka ini harus dijahit. "Kak, kita harus ke rumah sakit," bisikku. "Kak Mahe tahan sakit sebentar, geser tempat duduknya," ucapku sambil membantunya untuk beringsut. Posisi kami yang berdekatan dengan kancing baju terbuka membuat hati ini berdesir."Litu .... Kamu harus ganti baju," ucapnya lirih dengan mata terbuka sendu, namun tangan satunya mencengkeram erat pinggangku.Duh! Aku lupa, karena terburu-buru keluar, aku masih menggunakan baju tidur. Ya, hanya baju tid
"Jangan! Nanti Mama marah!" teriak Pak Mahendra dengan menarik tangan Mas Sakti yang memegang ponsel. "Kalau tidak begini, kamu tidak akan nurut! Sudah dikasih tahu, tidak mau dengar omongan orang!" "Iya, ya. Aku salah. Tapi janji, rahasiakan ini dari Mama!" pinta Pak Mahendra."Apa yang dirahasiakan, Hendra?" suara lembut keibuan terdengar sesaat setelah pintu terbuka. Seorang wanita dengan tampilan elegan masuk ke dalam ruangan. Dibelakangnya dua orang laki-laki berjas hitam rapi mengikuti. Mereka bersiap tegap di sebelah pintu, seperti bodyguard di film-film.Ditangannya memegang gulungan koran yang diacungkan ke arah Pak Mahendra. Ibu ini yang disebut keduanya dengan panggilan Mama. Entah Mama dari siapa. Kalau Mama Pak Mahendra berarti .... Mati aku!"Kamu ditusuk orang, tapi tidak mengabari Mama? Dan kalian berniat merahasiakannya?" tanyanya sambil menatap Mas Sakti dan Pak Mahendra bergantian."Ma-maaf, Ma. Hendra bukan ....""Apa-apaan kamu! Terus ini siapa? Kamu juga merah
Resahku sekarang berganti. Bukan karena sakitnya Pak Mahendra, tetapi karena tiga hari lagi harus bertemu Mama Lia.Calon mertua.***Aku seperti jungkir balik mengatur jadwal. Jadwal yang ketat untuk proyek ini memaksaku harus menyelesaikan meninjauan hasil kerja team gambar yang menumpuk di mejaku. Pekerjaan yang seharusnya dibagi dengan Mas Sakti, harus aku selesaikan sendiri. Dia menggantikan pekerjaan Pak Mahendra yang masih harus dirawat di rumah sakit. Dan di sinilah aku, tenggelam dalam banjir pekerjaan.Tidak ada kata bersantai lagi. Bahkan untuk makan siangpun, Mbak Endah mengirimnya ke ruanganku. Itu, karena perintah Mas Sakti yang melihat aku tidak sempat ke cafetaria.Belum lagi Pak Mahendra yang menggangguku. Terkurungnya dia di rumah sakit tidak menghambat terornya. Aku diharuskan menerima panggilan video hanya sekedar alasan kangen. "Kak Mahe, saya tidak bisa lama-lama bicara. Bisa jadi saya harus lembur. Kak Mahe, mau?" tanyaku tanpa menoleh ke arah layar ponsel. A
"Sayang .... Kamu sudah tidur?" Suara Pak Mahendra terdengar dekat. Aku langsung memejamkan mata pura-pura tidur. Terasa ada yang duduk di tepi ranjang. Tidak selang beberapa lama seperti dia berbaring di belakangku."Kamu belum tidur, kan?" bisiknya ditelingaku dan sesekali mengecup rambut ini. "Kak .... tangannya," ucapku serak saat dia melingkarkannya diperutku. "Kamu belum tidur, kan?"Kali ini dia menyibak rambutku dan memberikan kecupan kecil. Jantungku yang tadi hampir terlepas, sekarang benar-benar lepas. Aku tercekat tidak kuasa menghindar, bahkan saat dia membalikkan tubuh ini. "Kak ...." Dia tersenyum dan bergerak cepat membungkamku. ..."Aduh!" teriakkannya.Ulah tanganku yang penasaran dengan pemandangan tadi membuat dia berteriak. "Maaf, Kak!"Aku langsung duduk dan membuka piyamanya memastikan lukanya aman. Tentunya serambi memuaskan penasaranku. Sepertinya aku sudah teracuni olehnya. "Tidak berdarah, sih. Aman. Kak Mahe, sih. Kenapa juga harus pindah tempat tid