Share

Bab 7. Perbincangan Panas

"Mas Sakti, kita di tunggu Pak Mahendra sekarang. Meeting diajukan," ucapku membuat dia berdiri dan tersenyum kepadaku sambil berkata, "Kamu sudah siap menghadapi singa perusahaan ini?"

Aku tersenyum dan mengangguk berusaha menguatkan dan menenangkan jantung yang berdetak kencang. Kucing kecil ini akan menunjukkan cakarnya di depan singa perusahaan ini.

'Siap!'

*

"Kamu tidak usah kawatir. Siapapun dia, kita tetap sama. Sama-sama makan nasi!" kelakar Mas Sakti. 

"Saya tidak kawatir," elakku.

"Tapi takut, kan?" ledeknya sekali lagi. 

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Persiapan mental, itu yang utama. Kalau keilmuan atau kreatifitas sudah ada di genggaman. Setiap di tempat kerja, aku mempunyai misi. Seorang perempuan pun berhak dan bisa menjadi seorang arsitek dengan kemampuan yang bisa diperhitungkan. Itulah yang menjadi semangat dan kekuatanku menghadapi siapapun di bidang ini.

"Kita ke sana sekarang. Dia paling tidak suka dengan ketidaktepatan waktu," ingat Pak Sakti.

"Kan Pak Mahendra sendiri yang tidak tepat waktu. Dia yang merubah jadwalnya secara mendadak!" bantahku. 

"Ya, dimana-mana bos selalu benar, Litu!" ucapnya sambil beranjak keluar dari ruangan dan aku mengikutinya.

"Sssttt ... ingat, panggil aku Pak, ya! Dia lumayan kolot," bisik Mas Sakti di depan pintu sebelum masuk.

"Siap, Pak!" jawabmu dengan tersenyum mantap.

*

"Ayo masuk, Litu!" teriak Mas Sakti, dari pintu pimpinan. 

Setiba di ruangan tadi, Mas Sakti langsung diterima sekertaris dan dia dipersilahkan masuk terlebih dahulu. Aku disuruhnya menunggu di ruang tunggu terlebih dahulu.

"Litu! Cepetan!" 

Aku langsung beranjak mendekati Mas Sakti dan kami masuk di ruangan Pimpinan.

"Pagi, Pak Mahendra!" sapaku, dia menatapku sekilas dan sedikit mengangguk. 

Kami langsung duduk di sofa yang di depannya sudah ada Pak Mahendra yang duduk sambil menyilangkan kaki. 

"Sebenarnya kalau tidak karena Sakti, aku tidak akan menerimamu. Perempuan biasanya merepotkan!" 

Kalimat pembuka yang membuatku seakan terhempas. Benar-benar orang ini seperti vampir, dingin dan tidak berperasaan! Jangan-jangan memang begitu, wajahnya tampan dengan kulit putih pucat seperti tidak berdarah. Dengan postur badan yang tinggi dan wajah berhias jambang tipis, sangat pas kalau dia memakai tuxedo dengan taring sedikit keluar. 

Huh! 

Imaginasiku terlalu liar!

"Litu! Panggilanmu Litu!? Nama yang aneh!" ucapnya sekali lagi. Tidak ada yang keluar dari mulutnya yang tidak sadis. 

Aku harus menguatkan hatiku. 

Jurus pemakluman yang aku pakai.

Maklumlah, vampir yang tidak punya hati!

"Iya, Pak. Nama orang tua saya memberi nama Lituhayu Mahiswara. Biasanya saya dipanggil Litu!" ucapku dengan tenang. 

Benar, ternyata manjur jurus bekal dari Bapak. Itu yang dipakai juga untuk menghadapi Ibu yang super cerewet. Maklumlah, wanita memang ditakdirkan cerewet, kata bapak selalu. 

Bekal Bapak memang manjur!

"Saya yakin bisa menjadi team di sini," ucapku mantap.

"Heh, kenapa kamu bisa yakin? Kamu punya apa, sehingga saya harus yakin menginvestasikan uang banyak untuk rancangan orang seperti kamu! Kamu bisa menjamin tidak akan merugikan saya? Saya kok ragu!" cecarnya dengan raut wajah mencibir. 

Hiihh, kalau ada asbak, pasti aku lempar. Adanya, meja saja. Haruskah aku?  

Huuft ....

Menghadapinya harus kuat mental. Aku lirik, Mas Sakti hanya senyum-senyum memperhatikan kami. 

"Saya yakin sekali. Sebagai arsitek saya mempunya ide liar yang sesuai dengan yang bapak butuhkan. Buktinya Pak Mahendra memilih saya karena melihat karya saya. Bukan karena biodata saya. Ini berarti Pak Mahendra menghargai seseorang berdasarkan kualitas dan kreatifitas orang tersebut, iya kan, Pak?" tanyaku memaksa persetujuannya.

Pak Mahendra menoleh ke arah Mas Sakti dan dibalas dengan bahu yang dinaikkan bersama.

"Kamu berusaha menjilat saya?" tanyanya dengan mencondongkan badannya ke depan.

"Saya hanya menekankan kebenaran yang ada. Seperti Pak Mahendra yang selalu menekankan kata 'perempuan' kepada saya," jawabku dengan membalas tatapannya.

Dia hanya tersenyum tipis dan menoleh ke Mas Sakti yang sedari tadi tidak ada suaranya.

"Baiklah! Dia tanggung jawab kamu, Sakti! Kalau dia macam-macam, kamu yang saya gantung!" tegasnya dan dibalas senyum dikulum Mas Sakti.

"Siapkan dirimu, besuk pagi kita langsung survey lokasi!" ucapnya dengan berdiri dan melangkahkan kaki menuju meja kerjanya. 

"Sekarang sudah cukup?" tanya Mas Sakti, kalimat pertama yang aku dengar. 

"Sudah, suruh pergi sana!" jawabnya dengan mengibaskan tangannya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel yang dia pegang.

"Litu! Kamu kembali dulu ke ruangan!" perintah Mas Sakti.

"Siap Pak Sakti. Permisi Pak Mahendra," ucapku sambil mengangguk untuk permisi.

Dasar vampir! Nyuruh orang keluar seperti ngusir ayam! Apa orang tuanya tidak kasih pelajaran etika?

Huuft ...!

Walaupun tampan dan tajir, mana ada perempuan yang suka sama dia. Deketan saja sudah mati berdiri, bukan karena dihisap darahnya tetapi karena kejudesannya itu.

Aku menghempaskan bokong di kursi kerja, dan menselonjorkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala mengusir ingatanku akan percakapan tadi. 

Kutengadahkan kepalaku ke atas dengan memejamkan mata.

.

.

*

"Litu! Kamu kenapa? Nyerah?!" kata Mas Sakti ketika baru masuk ruangan dan melihat aksiku tadi.

Aku langsung duduk tegak sambil merapikan blazerku. "Tidaklah. Litu tidak segampang itu menyerah! Barusan cuma mengembalikan kenormalan hati."

"Memang tadi, hatimu tidak normal?" tanyanya sambil tersenyum geli.

"Tadi tidak pakai hati, Mas. Sekarang dinormalkan kembali!" ucapku dengan tertawa kecil. "Katanya meeting konsep rancangan yang disesuaikan dengan kakeknya. Tetapi, malah pembicaraan sadis seperti itu!" keluhku kesal.

"Hahahaha, ini baru pemanasan! Besuk baru ke tempat kerja sebenarnya. Kamu akan bertemu orang yang lebih aneh di bandingkan Mahendra!" celetuknya. 

Memang, sih. Besuk kita survey ke lapangan. Bertemu banyak orang dan model dan latar belakang yang berbeda, termasuk beda kepentingan.

"Kalau orang lapangan, saya sudah biasa menghadapi. Seperti yang datang di meeting tadi malam, kan? Itu mah, sipil!" ucapku dengan menunjukkan telunjuk yang disatukan dengan jempol. 

"Litu! Kamu lapar? Cacingku sudah demo, nih Sudah waktunya istirahat siang!" teriak Mas Sakti.

"Sebenarnya, laparnya sudah dari tadi. Cacingku malah sudah mogok makan. Stres setelah keluar dari ruangan panas itu!" selorohku dan disambut tawa tergelak dia. 

Komunikasi kami mulai cair. 

Gaya obrolan kaum kami sudah mulai tercipta. Banyolan, ejekan dan hinaan, tetapi semua hanya candaan saja, tanpa ada kamus sakit hati. Itu biasanya yang kami pakai untuk merelaxkan pikiran dan memancing kreatifitas.

***

Tring!

Pintu lift terbuka. Kami berdua langsung menuju ke counter pemesanan.

"Mas Sakti!" panggil seorang karyawan mendatangi kami.

"Ada apa, Mbak Endah?" 

"Eh, ini yang namanya Mbak Litu, ya? Pantesan, cantik.  Kenalkan, saya Endah pengurus cafetaria ini!" ucapnya dengan menatapku kemudian menangkupkan kedua tangannya di dadanya.

"Mas Sakti dan Mbak Litu ditunggu Pak Bos di Ruang VIP," ucapnya dengan menatap aneh diriku kemudian mengedipkan mata ke Mas Sakti. 

Aku menyerngitkan dahi dan menoleh ke Mas Sakti yang sudah senyum-senyum.

"Ada dua kabar. Satu, kita makan siang dengan menu enak-enak!" ucap Mas Sakti.  "Kedua, dia menunggu kita untuk makan siang bersama," bisiknya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Maksudnya dia itu, Pak Mahendra?!" tanyaku dengan mata membulat sempurna ke arahnya.

'Aduh!'

******

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bibiana Bili
tdk sabar baca cerita selanjutnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status