"Mas Sakti, kita di tunggu Pak Mahendra sekarang. Meeting diajukan," ucapku membuat dia berdiri dan tersenyum kepadaku sambil berkata, "Kamu sudah siap menghadapi singa perusahaan ini?"
Aku tersenyum dan mengangguk berusaha menguatkan dan menenangkan jantung yang berdetak kencang. Kucing kecil ini akan menunjukkan cakarnya di depan singa perusahaan ini.
'Siap!'
*"Kamu tidak usah kawatir. Siapapun dia, kita tetap sama. Sama-sama makan nasi!" kelakar Mas Sakti.
"Saya tidak kawatir," elakku.
"Tapi takut, kan?" ledeknya sekali lagi.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Persiapan mental, itu yang utama. Kalau keilmuan atau kreatifitas sudah ada di genggaman. Setiap di tempat kerja, aku mempunyai misi. Seorang perempuan pun berhak dan bisa menjadi seorang arsitek dengan kemampuan yang bisa diperhitungkan. Itulah yang menjadi semangat dan kekuatanku menghadapi siapapun di bidang ini.
"Kita ke sana sekarang. Dia paling tidak suka dengan ketidaktepatan waktu," ingat Pak Sakti.
"Kan Pak Mahendra sendiri yang tidak tepat waktu. Dia yang merubah jadwalnya secara mendadak!" bantahku.
"Ya, dimana-mana bos selalu benar, Litu!" ucapnya sambil beranjak keluar dari ruangan dan aku mengikutinya.
"Sssttt ... ingat, panggil aku Pak, ya! Dia lumayan kolot," bisik Mas Sakti di depan pintu sebelum masuk.
"Siap, Pak!" jawabmu dengan tersenyum mantap.
*"Ayo masuk, Litu!" teriak Mas Sakti, dari pintu pimpinan.
Setiba di ruangan tadi, Mas Sakti langsung diterima sekertaris dan dia dipersilahkan masuk terlebih dahulu. Aku disuruhnya menunggu di ruang tunggu terlebih dahulu.
"Litu! Cepetan!"
Aku langsung beranjak mendekati Mas Sakti dan kami masuk di ruangan Pimpinan.
"Pagi, Pak Mahendra!" sapaku, dia menatapku sekilas dan sedikit mengangguk.
Kami langsung duduk di sofa yang di depannya sudah ada Pak Mahendra yang duduk sambil menyilangkan kaki.
"Sebenarnya kalau tidak karena Sakti, aku tidak akan menerimamu. Perempuan biasanya merepotkan!"
Kalimat pembuka yang membuatku seakan terhempas. Benar-benar orang ini seperti vampir, dingin dan tidak berperasaan! Jangan-jangan memang begitu, wajahnya tampan dengan kulit putih pucat seperti tidak berdarah. Dengan postur badan yang tinggi dan wajah berhias jambang tipis, sangat pas kalau dia memakai tuxedo dengan taring sedikit keluar.
Huh!
Imaginasiku terlalu liar!"Litu! Panggilanmu Litu!? Nama yang aneh!" ucapnya sekali lagi. Tidak ada yang keluar dari mulutnya yang tidak sadis.
Aku harus menguatkan hatiku.
Jurus pemakluman yang aku pakai.Maklumlah, vampir yang tidak punya hati!"Iya, Pak. Nama orang tua saya memberi nama Lituhayu Mahiswara. Biasanya saya dipanggil Litu!" ucapku dengan tenang.
Benar, ternyata manjur jurus bekal dari Bapak. Itu yang dipakai juga untuk menghadapi Ibu yang super cerewet. Maklumlah, wanita memang ditakdirkan cerewet, kata bapak selalu.
Bekal Bapak memang manjur!"Saya yakin bisa menjadi team di sini," ucapku mantap.
"Heh, kenapa kamu bisa yakin? Kamu punya apa, sehingga saya harus yakin menginvestasikan uang banyak untuk rancangan orang seperti kamu! Kamu bisa menjamin tidak akan merugikan saya? Saya kok ragu!" cecarnya dengan raut wajah mencibir.
Hiihh, kalau ada asbak, pasti aku lempar. Adanya, meja saja. Haruskah aku?
Huuft ....Menghadapinya harus kuat mental. Aku lirik, Mas Sakti hanya senyum-senyum memperhatikan kami."Saya yakin sekali. Sebagai arsitek saya mempunya ide liar yang sesuai dengan yang bapak butuhkan. Buktinya Pak Mahendra memilih saya karena melihat karya saya. Bukan karena biodata saya. Ini berarti Pak Mahendra menghargai seseorang berdasarkan kualitas dan kreatifitas orang tersebut, iya kan, Pak?" tanyaku memaksa persetujuannya.
Pak Mahendra menoleh ke arah Mas Sakti dan dibalas dengan bahu yang dinaikkan bersama.
"Kamu berusaha menjilat saya?" tanyanya dengan mencondongkan badannya ke depan.
"Saya hanya menekankan kebenaran yang ada. Seperti Pak Mahendra yang selalu menekankan kata 'perempuan' kepada saya," jawabku dengan membalas tatapannya.
Dia hanya tersenyum tipis dan menoleh ke Mas Sakti yang sedari tadi tidak ada suaranya.
"Baiklah! Dia tanggung jawab kamu, Sakti! Kalau dia macam-macam, kamu yang saya gantung!" tegasnya dan dibalas senyum dikulum Mas Sakti.
"Siapkan dirimu, besuk pagi kita langsung survey lokasi!" ucapnya dengan berdiri dan melangkahkan kaki menuju meja kerjanya.
"Sekarang sudah cukup?" tanya Mas Sakti, kalimat pertama yang aku dengar.
"Sudah, suruh pergi sana!" jawabnya dengan mengibaskan tangannya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel yang dia pegang.
"Litu! Kamu kembali dulu ke ruangan!" perintah Mas Sakti.
"Siap Pak Sakti. Permisi Pak Mahendra," ucapku sambil mengangguk untuk permisi.
Dasar vampir! Nyuruh orang keluar seperti ngusir ayam! Apa orang tuanya tidak kasih pelajaran etika?Huuft ...!Walaupun tampan dan tajir, mana ada perempuan yang suka sama dia. Deketan saja sudah mati berdiri, bukan karena dihisap darahnya tetapi karena kejudesannya itu.
Aku menghempaskan bokong di kursi kerja, dan menselonjorkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala mengusir ingatanku akan percakapan tadi.Kutengadahkan kepalaku ke atas dengan memejamkan mata.
..*"Litu! Kamu kenapa? Nyerah?!" kata Mas Sakti ketika baru masuk ruangan dan melihat aksiku tadi.
Aku langsung duduk tegak sambil merapikan blazerku. "Tidaklah. Litu tidak segampang itu menyerah! Barusan cuma mengembalikan kenormalan hati."
"Memang tadi, hatimu tidak normal?" tanyanya sambil tersenyum geli.
"Tadi tidak pakai hati, Mas. Sekarang dinormalkan kembali!" ucapku dengan tertawa kecil. "Katanya meeting konsep rancangan yang disesuaikan dengan kakeknya. Tetapi, malah pembicaraan sadis seperti itu!" keluhku kesal.
"Hahahaha, ini baru pemanasan! Besuk baru ke tempat kerja sebenarnya. Kamu akan bertemu orang yang lebih aneh di bandingkan Mahendra!" celetuknya.
Memang, sih. Besuk kita survey ke lapangan. Bertemu banyak orang dan model dan latar belakang yang berbeda, termasuk beda kepentingan.
"Kalau orang lapangan, saya sudah biasa menghadapi. Seperti yang datang di meeting tadi malam, kan? Itu mah, sipil!" ucapku dengan menunjukkan telunjuk yang disatukan dengan jempol.
"Litu! Kamu lapar? Cacingku sudah demo, nih Sudah waktunya istirahat siang!" teriak Mas Sakti.
"Sebenarnya, laparnya sudah dari tadi. Cacingku malah sudah mogok makan. Stres setelah keluar dari ruangan panas itu!" selorohku dan disambut tawa tergelak dia.
Komunikasi kami mulai cair.
Gaya obrolan kaum kami sudah mulai tercipta. Banyolan, ejekan dan hinaan, tetapi semua hanya candaan saja, tanpa ada kamus sakit hati. Itu biasanya yang kami pakai untuk merelaxkan pikiran dan memancing kreatifitas.***Tring!
Pintu lift terbuka. Kami berdua langsung menuju ke counter pemesanan.
"Mas Sakti!" panggil seorang karyawan mendatangi kami.
"Ada apa, Mbak Endah?"
"Eh, ini yang namanya Mbak Litu, ya? Pantesan, cantik. Kenalkan, saya Endah pengurus cafetaria ini!" ucapnya dengan menatapku kemudian menangkupkan kedua tangannya di dadanya.
"Mas Sakti dan Mbak Litu ditunggu Pak Bos di Ruang VIP," ucapnya dengan menatap aneh diriku kemudian mengedipkan mata ke Mas Sakti.
Aku menyerngitkan dahi dan menoleh ke Mas Sakti yang sudah senyum-senyum.
"Ada dua kabar. Satu, kita makan siang dengan menu enak-enak!" ucap Mas Sakti. "Kedua, dia menunggu kita untuk makan siang bersama," bisiknya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku.
"Maksudnya dia itu, Pak Mahendra?!" tanyaku dengan mata membulat sempurna ke arahnya.
'Aduh!'
******
"Kedua, dia menunggu kita untuk makan siang bersama," bisiknya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku."Maksudnya dia…. Pak Mahendra?!" tanyaku dengan mata membulat sempurna ke arahnya.'Aduh!'"Kenapa? Cacing kamu langsung mogok lagi?" ledek Mas Sakti terkekeh. Mungkin melihat wajahku yang sebelumnya semangat ingin makan, berubah terlihat aneh."Beneran, kita makan bersama Pak Mahendra yang tadi itu? Mas Sakti saja mungkin?" tanyaku tidak percaya. Bukannya tadi bicara denganku saja seperti mau muntah. Kenapa sekarang malah menghadirkanku di meja makannya? Jangan-jangan aku akan dimakan hidup-hidup dan dicabik-cabik oleh vampir itu."Sama kamu jugalah! Tadi sudah dibilang, kan," jawabnya sambil melangkah mengikuti Mbak Endah ke ruang VIP yang berada di ujung, aku berlari kecil untuk mensejajarinya."Hiiii," desisku sambil mengangkat bahu."Kenapa, Litu?" "Ngeri!" jawabku spontan. Mas Sakti terbahak mendengar ucapanku.Setiba di depan pintu, Mbak Endah membukakan pintu dan membungkuk m
Hari ini, aku bersiap untuk survey lapangan. Menggunakan baju senada seperti kemarin, hanya berbeda warna saja. Hari ini biru cerah, aku ingin kegiatan hari ini cerah sebiru bajuku. Aku menggunakan sepatu trepes, masih terlihat resmi tetapi lebih santai dan nyaman. Tidak ketinggalan, kaca mata hitam anti silau. Yang terakhir ini sebagai andalanku untuk meningkatkan penampilan. "Wah, sepertinya ada yang sudah tidak sabar lagi!" teriak Mas Sakti melihat aku sudah bersiap. Dia berpakaian lebih santai lagi, celana kain dan baju lengan panjang yang di gulung sampai siku. "Pagi Pak Sakti!" sapaku. "Hlo, kok Pak?" tanyanya heran. "Latihan. Supaya tidak keceplosan!" jawabku. Kemarin Mas Sakti sudah memberitahu, aku harus memanggilnya pak, di depan Pak Mahendra yang kolot itu. Jangan sampai salah, aku tidak mau ada ungkapan yang mematik keinginanku untuk menimpuk kepalanya. Terlalu ekstrim, ya? "Okey! Up to you, lah!" ucapnya sambil bersiap. Kami bergegas ke ruangan Pak Mahendra dan m
"Kamu kenapa, Litu?" suara berat terdengar di sebelahku, membuatku kaget. Hampir saja ponsel di tanganku terpental. Ternyata kalau bersuara lirih, kedengaran di telinga berbeda. Ada rasa menggelitik di hati ini, menyelusup dan gimana gitu."Ti-tidak, Pak. Tadi minum kopi terlalu kental," jawabku asal nyomot. Tidak mungkin aku berterus terang penyebab sebenarnya. Bisa jadi, aku langsung di pecat. "Sakti, tadi kalian minum kopi tanpa makan apapun?!" tanyanya dengan suara agak keras. "Iya, tadi kita tunggu lebih setengah jam sambil minum kopi. Yang lebih kasihan itu Litu. Karena terlalu bersemangat, datangnya lebih awal. Pasti dia tidak sempat sarapan!" seloroh Mas Sakti berbalas pelototan mata dariku. Sialan aku dijadikan alasan. "Baik, aku minta maaf sudah terlambat. Kamu mau makan pagi apa, Litu? Saya traktir," ucapnya dengan menatapku. Aku langsung menatapnya balik, beneran yang bicara barusan si Vampir itu? Minta maaf? Dan, dengan suara pelan lagi. Lebih enak didengar tetapi te
"Ada apa, Sakti? " Suara yang menjadi mimpi buruk membuat badanku kaku seketika. ‘Duh, kenapa sampai ketahuan Si Vampir?’ Mas Sakti tertawa melihat wajahku yang memberi kode untuk tidak berkata sejujurnya. Alih-alih menutupi apa yang terjadi, dia justru berkata yang tidak-tidak. “Litu kawatir kalau aku tinggal dia pulang dengan siapa. Takut kamu tinggal. Kamu akan menunggunya, kan?” ucap Mas Sakti membuat mataku semakin melotot ke arahnya. Kenapa dia justru berkata kebalikannya? Bikin malu saja! “Ti-tidak, Pak. Saya tidak bilang seperti itu,” ucapku sembari membalikkan badan. Namun, yang dituju justru sudah melangkahkan kaki menjauh dari kami. ‘Ish … dasar bos tidak punya sopan santun. Orang belum selesai bicara sudah diringgal pergi!’ gerutuku dalam hati. *** Setelah beberapa waktu kami sibuk menggali data. Aku berbincang dengan Kepala Proyek, Mas Sakti sudah pergi dengan penanggung jawab pembangunan aparteman, sedangkan Pak Mahendra terlihat sibuk dengan ponselnya. "Bu Li
"Litu! Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Mas Sakti setiba aku di ruangan. Dia sudah sibuk di balik meja kerjanya dengan setumpuk berkas dihadapannya. "Tidak apa-apa bagaimana? Tadi saya mempertaruhkan nyawa!" jawabku sambil menghempaskan tubuh ini di kursi kerjaku. Dia langsung berdiri dan menghampiriku."Tadi kamu bertemu dengan Siska? Anak lapangan memberi tahu tadi." Jadi kejadian tadi sudah menyebar kemana-mana. Pantas saja, mereka bersikap seperti itu. Menatapku seakan menjadi tersangka pada sebuah kejadian."Siska? Perempuan itu, namanya Siska? Mas Sakti kenal?" tanyaku dan menegakkan dudukku. Jiwa penasaranku langsung bangkit, aku tatap Mas Sakti menuntut penjelasan."Kenapa? Kenapa kamu melotot kepadaku?" tanyanya dengan memundurkan wajahnya."Mas, ayolah. Beri saya penjelasan. Saya bisa mati penasaran kalau nantinya dicelakainya. Mas Sakti mau saya hantui?!" ucapku sambil menyeringai ke arahnya. Dia malah tertawa."Kamu sudah siap jadi hantu demi Mahendra? Hahaha ..." ledeknya
"Weee! Melamun saja!" teriak Alysia mengagetkan aku. Entah kapan dia pulang ke rumah. Tiba-tiba sudah nongol di pintu kamar. Dia menghampiriku yang berbaring malas di tempat tidur. "Main, yuk! Pusing, aku!" teriaknya sambil meloncat berbaring di sebelahku. "Tumben pusing. Biasanya kamu orang yang tidak pernah pusing?" tanyaku melihat mukanya yang cemberut. Dari kuliah dulu, dia memang seperti ibu peri. Tempat berkeluh kesah dan pemberi semangat, dan sekarang kelihatan seperti orang kalah. "Kesal saja, ngadepin pelanggan yang ngeselin! Seperti dia saja yang punya uang. Gemes aku!" teriaknya sambil menggoyang-goyangkan kaki ke atas. Katanya kalau kesal, cara membuang energi dengan olah raga. Termasuk gerakan dia sekarang ini. Ada-ada saja! "Kalau gemes, cubit aja pipinya!" celetukku sambil tertawa. "Pipinya sudah kempot, Say! Sudah tua, tapi otaknya tidak jalan!" keluhnya. "Siapa, sih?!" tanyaku dengan memiringkan badan ke arahnya. Alysia mendapat pelanggan baru, orang berduit
Astaga!Dia perempuan yang berbaju merah yang membuatku takut tadi!Siska, mantan Pak Mahendra.Aduh ...!Bagaimana ini?Tanganku mendingin, ingatanku dengan wajah marahnya terbayang jelas. Bagaimana kalau dia bertemu denganku lagi? Bisa jadi aku dicincangnya. Ingatan itu membuatku begidik.Aku langsung menarik kepalaku dan meringkuk bersembunyi di balik tanaman tinggi. Alysia mengikuti apa yang aku lakukan."Kenapa kita bersembunyi?" tanya Alysia memegang tanganku. "Litu, kenapa kamu terlihat takut?" tanyanya sekali lagi "Ssstt ...! Dia itu Siska, yang aku ceritakan tadi," ucapku dengan berbisik. "Apa!" teriak Alysia kaget dan aku membungkam mulutnya sebelum bersuara keras lagi. "Ssstt ...!"Keributan itu masih terjadi, pegawai yang sepertinya supervisor tidak mampu menanganinya. Dia malah semakin menjadi, pegawai itu dibuatnya mati kutu. Dia baru berhenti setelah ada laki-laki berjaket kulit warna hitam, menghampiri mereka. Dia bersama beberapa laki-laki berbaju senada, hitam. Be
"Pak! Saya tidak mau di anggap perempuan tidak benar!" protesku. Tiba-tiba dia menghentikan mobilnya. Samar, dari terangnya lampu jalan terlihat rahangnya yang mengatup keras. Sempat rasa takut menghinggapi hati ini, tapi mengingat perlakuan yang seenaknya rasa kesal lebih menuntutku untuk bicara. "Lituhayu! Ingat, saya tidak pernah menganggapmu seperti itu! Aku hanya menyelamatkanmu!" "Menyelamatkan atau membahayakan saya? Saya merasa diculik. Tanpa saya tahu kenapa saya diposisi ini. Seperti pencuri saja," ucapku kesal. Rasa segan terkalahkan dengan kesalku. Percuma bicara dengan orang tanpa hati seperti vampir di sebelahku ini. "Itulah alasan kenapa saya tidak suka merekrut perempuan! Apalagi seperti kamu.” “Kenapa kalau perempuan, Pak? Saya harus terjebak dengan situasi yang saya tidak mengerti. Bahkan saya tidak melakukan kesalahan apapun!" ucapku membalas tatapannya yang tidak berpindah dariku. "Siapa bilang kamu tidak melakukan apapun? Segala yang kamu lakukan membuat