Alena menepuk-nepuk sponge bedak supaya menempel dengan rata. Membalurkan blush on agar wajahnya terlihat lebih segar, juga lipstik merah menyala yang begitu kontras dengan kulit putihnya. Jangan lupakan semprotan parfum yang akan membuatnya wangi sepanjang hari.
Sebelum benar-benar berangkat, dia mematut diri sekali lagi di depan cermin. Tangan halusnya mengambil tas di nakas dan segera keluar dari kamar. Jarum jam di tangan menunjukkan angka tujuh kurang lima belas menit. Ini hari pertama bekerja dan dia tak ingin terlambat.
Sepatu dengan hak 7 cm terpasang dengan pas pada kakinya. Alena menyalakan mesin mobil dan membawanya dengan kecepatan sedang.
Sepanjang jalan dia bersenandung untuk menutupi rasa gugup. Harusnya bisa lebih tenang karena dia sudah di training selama satu minggu. Namun, tetap saja perasaan itu muncul. Rasanya setiap memasuki sebuah perusahaan baru, dia memang sedikit tegang seperti ini.
"Hai! Karyawan baru?" tanya seorang wanita saat dia ikut mengantre di depan finger print.
"Iya," jawab Alena dengan senyum ramah.
"Bagian?"
"Administrasi," jawabnya sambil menunjukkan name tag.
"Semoga betah."
Dia menyambut uluran tangan sebagai tanda perkenalan. Setelah selesai menyetorkan sidik jari, Alena kembali mengantre di depan lift untuk naik ke atas. Begitu dentingnya berbunyi dan pintu terbuka, wanita itu melangkahkan kaki dengan pelan.
Tiba di lantai tiga di mana ruangannya berada, Alena menarik napas dalam sebelum membuka pintu ruangan.
"Pagi." Begitulah sapaan dari beberapa karyawan yang lain.
Alena membalas dengan sapaan yang sama lalu duduk di meja kerjanya, yang sudah diinfokan saat training minggu lalu. Dia menyalakan PC dan mulai membuka email. Ada beberapa yang sudah masuk.
Pelan tapi pasti wanita itu mulai mengerjakan. Teliti, itulah kelebihannya dalam bekerja. Hanya sayang, di perusahaan yang lama dia harus mengalah kepada karyawan yang lebih senior.
"Pagi Alen. Ini laporan kamu." Seorang staf menyerahkan setumpuk kertas yang harus dia rekap hingga sore nanti.
"Makasih, Mbak."
"Selamat bekerja, ya. Sudah tau semua aturan, kan?"
"Sudah."
"Nanti jam satu siang tinggalin aja semua kerjaan. Kamu bisa naik ke lantai empat ada cafetaria kalau gak mau makan siangnya keluar dari kantor."
Alena mengangguk dan kembali fokus dengan pekerjaannya. Laporan semacam ini sudah biasa dia kerjakan sehingga tak terlalu sulit untuk diselesaikan. Hanya saja, tunjangan dan bonus di perusahaan ini memang lebih rendah dari pada yang sebelumnya.
Baginya tak mengapa, asalkan ada uang masuk setiap bulan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Mungkin nanti dia akan bicara dengan mama agar membujuk papa untuk kembali memberikan subsidi kartu kreditnya. Sungguh, dia galau kalau tidak bisa shopping.
Ponselnya berbunyi. Panggilan dari nomor tak dikenal. Alena menoleh ke kiri dan kanan, memastikan bahwa karyawan lain tidak menguping pembicaraannya nanti, lalu ... menjawabnya.
"Halo," bisiknya sambil menutup mulut agar samar-samar terdengar.
"Selamat pagi dengan Ibu Alena Maharani?"
"Ya benar."
"Kami dari bank ...."
"Kartu kredit, ya?"
"Iya. Ibu telah menunggak pembayaran bulan ini. Ka--"
"Saya gak punya duit."
Alena memutus panggilan begitu saja, lalu menarik napas panjang.
"Apes banget. Hari pertama kerja udah ditagih utang. Nasib, nasib," gerutunya.
Wanita itu kembali fokus setelah memperagakan gerakan yoga untuk relaksasi. Sepertinya Alena lupa kalau ada CCTV di ruangan ini. Dia mengangkat kaki di kursi dan mulai memejamkan mata.
Setelah merasa sedikit tenang, dia kembali mengerjakan laporan hingga jam makan siang tiba. Untunglah sebagian sudah selesai, hanya tersisa sedikit data yang belum direkap.
Perutnya sudah berbunyi sejak tadi. Lalu dengan santai dia berjalan menuju lift dan naik ke lantai empat dimana cafetaria berada. Selama training, mereka disediakan nasi box sehingga belum pernah mengunjungi tempat ini.
Ada banyak pasang mata yang menatap ke arahnya saat masuk. Alena membalas dengan senyuman manis karena semua wajah masih terasa asing. Ada beberapa teman selama training tapi dia tak begitu akrab. Lagi pula wajah mereka tak terlihat di sini.
Wanita melihat satu persatu booth yang menawarkan makanan. Semua tampak lezat dan menggugah selera. Dia membuka dompet, memastikan bahwa uangnya cukup untuk membayar semua.
"Rice Bowl Wagyu satu, ya. Sama orange juice," katanya.
Setelah menyelesaikan transaksi di kasir dan mendapatkan pesanannya, mata cantik itu berkeliling mencari kursi yang kosong. Dapat, ada satu di sudut.
Alena mulai menikmati setiap suapan. Hampir separuh nasi berpindah ke dalam perut, ketika sebuah suara mengagetkannya.
"Makannya pelan-pelan, nanti keselek."
Wanita itu mengangkat wajah dan tampaklah Adam yang sedang menatapnya sambil tersenyum.
"Pak Adam," sapanya sopan.
"Mas Adam."
"Kayak nama suaminya Mbak Inul," kata Alena blak-blakan.
Adam tergelak mendengar itu. Dulu, karena kata-kata itulah mereka menjadi dekat dan akhirnya menikah.
"Nama boleh sama, orangnya jelas beda. Yang dihadapan kamu lebih jago," katanya menggoda.
"Jago apa? Ngibul?"
"Kamu taulah jago apa. Apa mau aku buktikan lagi?" pancing laki-laki itu.
Alena meletakkan sendok. Selera makannya hilang kalau sudah begini. Apa maksud Adam berdiri di depannya sambil mengoceh tidak jelas.
"Kalau Pak Adam kesini gak niat makan atau cuma mau usil sama karyawan, mending jauh-jauh dari saya," katanya dingin.
"Galak banget kamu sekarang."
"Saya serius," kata Alena setengah menahan emosi.
"Oke. Aku pesan dulu. Tapi kamu jangan kemana-mana. Kita makan bareng, ya."
Adam berjalan menuju booth, memesan seporsi nasi rawon lengkap lalu kembali duduk di depannya.
Air liur Alena hendak menetes saat mencium aroma rawon yang harum. Apalagi ada sebutir telur asin sebagai temannya.
"Mau?" tawar Adam.
Wanita itu menggeleng.
"Kalau mau ambil aja. Cicipi sedikit. Porsinya banyak, kok." Adam menyodorkan mangkuknya.
Ragu-ragu tapi akhirnya Alena menyendok sedikit dan mulai memakannya. Enak. Benar-benar enak. Dagingnya empuk. Dia menyuap lagi dan lagi, lupa kalau itu milik orang lain.
Adam kembali mengulum senyum. Ketika melihat Alena begitu lahap, dia berdiri dan memesan satu porsi lagi. Yang tadi? Jangan diharapkan karena setengah isinya sudah berpindah ke perut Alena.
"Sorry."
"Habiskan aja. Aku udah pesen yang baru," kata Adam tenang. Lalu dia mulai menikmati makanannya sendiri.
Alena dengan cuek menghabiskan semua termasuk sisa rice bowlnya tadi.
"Pantas body kamu semok. Makannya banyak banget." Mata Adam melirik nakal.
Alena tampak cantik memakai blouse lengan panjang yang pas di tubuh berwana putih dan rok selutut. Rambut panjangnya dikucir rapi. Tercium aroma harum dari tubuh wanita itu walaupun jarak mereka tak terlalu dekat.
"Hati senang terbebas dari suami yang menyebalkan."
Lelaki itu tersedak dan meneguk air mineral yang dipesannya tadi. Ucapan Alena tadi cukup menusuk hati.
"Bebas dari suami tapi masih bisa jalan-jalan kan enak. Tinggal minta orang tua," sindir Adam.
Salah satu penyebab pertengkaran mereka adalah karena ini. Laki-laki itu tidak suka jika Alena sedikit-sedikit menodong orang tua jika keadaan terdesak. Dia ingin istrinya lebih bisa mengatur keuangan, tapi wanita itu tak terima.
"Aku udah selesai makan. Duluan." Alena meninggalkan meja begitu saja. Malas berdebat dengan lelaki itu. Baginya, semua yang pernah terjadi di antara mereka hanya masa lalu yang tidak perlu diungkit.
Adam tersenyum kecut kemudian melanjutkan suapan hingga jam makan siang berakhir.
"Pagi Alena."Nama wanita itu langsung menjadi buah bibir di kantor. Kecantikan juga penampilan yang cukup glamour membuat banyak laki-laki tergoda. Apalagi dengan status janda kembang yang melekat pada dirinya."Pagi," jawabnya ramah.Bisik-bisik akan kembali terdengar. Sebagian wanita penghuni gedung ini ada yang merasa iri, tapi juga ada yang mendekati karena ingin berteman. Respons yang diberikan Alena? Cuek. Dia masih beradaptasi dan memantau, siapa yang benar-benar pantas dijadikan teman atau hanya sekadar sapa."Hai, Len."Wanita itu menoleh dan mendapati Adam sedang berdiri di belakangnya sama-sama mengantre di depan mesin absen."Pagi.""Beruntung banget aku hari ini. Bisa menyaksikan pemandangan indah dari belakang."Kata-kata Adam itu telinganya menjadi panas. Hari ini dia memang memakai rok selutut tapi pas di badan, sehingga bagian belakang tubuhnya yang seksi tercetak jelas.Alena mengabaikan ucapan laki
"Tumben kamu pulang ke rumah."Sindiran papa membuat Alena tersinggung. Wanita itu meletakkan sendok dan mengambil segelas air putih, lalu meneguknya pelan.Hari ini dia libur dan tiba-tiba saja rindu dengan kedua orang tuanya. Lebih tepatnya boleh dibilang rindu akan transferan dari mereka.Sejak dia diterima berkerja, sms banking dari papa jarang muncul. Ada satu kali itu juga nominalnya kecil, hanya cukup untuk makan siang di kantor. Sedangkan dia punya kebutuhan lain yaitu ke salon dan melihat harga diskonan dress terbaru di beberapa butik langganan.Lupakan liburan, tahun ini dia harus mengigit jari melihat teman-temannya yang sedang bersenang-senang ke luar negeri. Alena hanya bisa berdiam diri di apartemen sambil memutar channel favorit yang akan ditontonnya di waktu senggang."Papa kok gitu sama anaknya," sungut Alena."Biasanya memang begitu, kan?" tanya laki-laki paruh baya itu. Dia menarik kursi dan duduk di sebelah putrinya
Dahi Alena berkerut saat melihat ada sebuah undangan di meja kerjanya."Apaan, nih?" Dia bertanya kepada salah satu teman kerja yang duduk di sebelah."Undangan Pak Adam sama Mbak Cintia," jawab temannya itu."Nikahan?" tanya Alena lagi."Bukan. Tunangan.""Bukannya sudah?""Dulu cuma pertemuan keluarga. Kayaknya yang sekarang mau go public."Alena membuka bungkusnya. Seketika bau harum tercium. Undangan dengan design mewah begini pastilah mahal. Terang saja, calon istri baru Adam bukan orang sembarangan. Catat ya, anak direktur perusahaan.Mata cantik itu menelusuri setiap kata yang tertulis, rangkaian huruf yang indah, juga terselip sebuah doa. Tak lupa foto dua orang yang sedang tertawa bahagia.Ah, dia jadi teringat dengan pernikahan mereka dulu. Sama seperti ini, dimana mereka begitu bahagia dan mempersiapkannya secara matang."Nanti kamu pergi sama siapa?" tanya Alena."Belum tau. A
Alena membuka sebuah laci di dalam lemari dan mengeluarkan sebuah box berisi perhiasan, kemudian memilih mana yang akan dia pakai.Rasanya dia ingin menghindar, tapi semua karyawan diwajibkan datang. Pak Dirut ingin menjamu semua karyawan sekaligus meresmikan pertunangan putrinya.Tangan mungil itu mengambil sebuah kalung bermata berlian lalu memakainya. Terlalu penuh dan tidak cocok dengan gaun yang akan dia pakai nanti, lalu dia meletakannya kembali.Kemarin sore, Alena pergi ke butik langganan di salah satu mall. Hampir satu jam melihat, akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah dress berwarna biru selutut dengan lengan panjang. Bordiran cantik di bagian leher itu yang membuatnya jatuh hati.Alena tak mau berpenampilan seksi kali ini. Bahaya kalau sampai Adam menggodanya di depan orang banyak. Di kantor saja laki-laki itu tak tahu malu.Temannya juga batal pergi bersama karena akan pergi bersama orang lain. Sehingga Alena akan datang se
Cintia memasuki kantor dengan gelisah dan terburu-buru. Setelah malam pertunangannya yang berakhir dengan ketidak jelasan, juga aksi tutup mulut laki-laki itu dan calon mertua, dia memutuskan untuk datang pagi ini menemui papa dan meminta bantuan.Selama acara berlangsung, Adam menghindar dengan alasan tak ingin merusak suasana dan akan menjelaskannya nanti. Bahkan setelahnya, mereka sekeluarga langsung pulang padahal dia masih ingin bertanya mengenai Alena."Papa."Cintia membuka pintu ruangan setelah memastikan kepada sekretaris bahwa papanya sedang tidak sibuk dan bisa menerima tamu."Ada apa, Nak. Kok datang ke sini? Butik kamu tinggal?""Ada yang jagain, Pa. Aku mau tanya soal karyawan baru itu," katanya sambil duduk di sofa dan mengambil sebotol air mineral."Alena?""Iya.""Papa gak terlibat langsung dengan rekrutmen karyawan baru. Semua sudah diserahkan ke divisinya masing-masing," jawab laki-laki
'Weekend ini pulang ke rumah ya, Nak.'Begitulah pesan yang Alena terima dari mama. Sejak penghasilannya menurun karena papa memangkas subsidi, mau tak mau dia harus sering pulang untuk mengambil hati.Sekalipun papa sering menyindir, Alena harus menebalkan telinga. Sepertinya dia memang harus mencari tambang emas baru selain papa tentunya. Yoga, adalah pilihan yang tepat.'Iya, Alen pulang.'Hanya itu yang dia ketikkan sebagai balasan, lalu kembali fokus menghadap layar dan mengerjakan laporan.Setelah acara pertunangan malam itu, Adam sudah jarang mengganggu lagi. Mungkin dia sudah diberikan mukjizat supaya tidak menggombal dengan wanita lain. Lagi pula di kantor mereka juga tidak berhubungan langsung."Len, udah dengar kabar?" kata temannya.Alena menggeleng karena kapok ketahuan sedang bergosip di saat jam kerja. Dia sebenarnya pasrah seandainya memang tidak lulus masa percobaan. Namun setidaknya, selama dua
Adam memencet bel pintu rumah itu dan langsung disambut Cintia dengan malas."Tuan puteri udah siap?""Sekarang?""Iyalah. Masa' besok." Adam tergelak melihat wajah tunangannya yang cemberut.Setelah hari itu, dia bahkan menolak bertemu dengan Cintia sama sekali. Bukan menghindar, tapi karena kesibukan di kantor yang cukup padat. Perusahaan akan mengadakan gathering tahunan karyawan dan divisinya yang akan menyusun anggaran, juga pelaksanaannya."Aku ganti baju dulu. Kamu tunggu bentar." Cintia masuk ke dalam dan bersiap-siap.Adam berusaha menepati janji untuk mengajak wanita itu jalan-jalan sekalipun masih ada beberapa laporan yang belum selesai. Sepertinya dia akan lembur di hari senin nanti."Loh, ada kamu?" Papa Cintia keluar dan menemui calon menantunya. Laki-laki paruh baya itu dengan santainya duduk di sebelah Adam."Mau ajak Cintia jalan, Pa," jawab Adam."Ya refreshing. Jangan kerja t
Selamat datang peserta gatheringPT. Langit Jaya10-14 Februari 2021Begitulah kata-kata yang tertulis di banner The Ritz, sebuah hotel berbintang di kota itu. Seluruh staf dan karyawan pagi-pagi diberangkatkan karena acara akan diadakan full di tempat itu.Ada bagian dari hotel yang bisa digunakan untuk kegiatan outbond selain pool tentunya. Semua peserta begitu semangat saat keberangkatan, kecuali ... Alena. Pendekatannya dengan Aldo gagal karena ulah Adam. Sehingga setelah hari itu, dia bahkan merasa malas setiap kali bertemu dengan laki-laki itu.Aldo mungkin saja bisa menerima statusnya jika dijelaskan secara baik-baik, tapi bukan dengan cara seperti itu.Malam itu, mereka makan dalam diam hingga di dalam perjalanan pulang. Aldo juga bertanya secara detail siapa Yoga dan Adam. Alena berusaha menyampaikan dengan perlahan agar laki-laki itu tak salah paham.Awalnya Aldo terlihat bisa menerima. Namun, k