"Kamu?"
Alena terbelalak saat melihat siapa laki-laki yang duduk di kursi manager yang akan dia temui hari ini. Matanya belum rabun. Sekalipun sudah lama tak bertemu, dia yakin itu Adam, mantan suaminya.
"Hai Alen. How are you today?"
Adam tersenyum saat melihat wajah cantik itu terlihat kaget. Alena membuang wajah ke samping dan menarik napas dalam kemudian mengukir senyum ... terpaksa.
"Selamat pagi, Pak."
"Jangan terlalu formal. Apalagi sama orang yang pernah tidur seranjang."
Wanita itu mengumpat dalam hati. Ingin rasanya dia meremas mulut seksi dihadapannya karena mengucapkan kata-kata itu. Seksi? Ah, sia ... lagi-lagi dia mengumpat.
"Oke. Pagi Adam."
"Duduk, Len. Santai. Ini cuma interview biasa. Aku akan mengajukan beberapa pertanyaan umum." Adam menunjuk kursi di depannya.
Alena menarik kursi itu dan duduk dengan pelan, berusaha untuk tetap tenang padahal dalam hati berdebar kencang. Bagaimana jika Adam masih dendam dan tak meloloskannya sebagai karyawan di perusahaan ini?
Seperti dulu, saat tiba-tiba saja dia mengajukan surat perceraian di pengadilan agama, yang putusannya difinalkan tanpa kehadiran laki-laki itu.
Adam mengamuk dan sempat mencekik lehernya saat datang ke apartemen. Untunglah dia selamat. Jika tidak, bagaimana mereka bisa bertemu hari ini?
"Tarik napas. Kamu tegang banget." Adam mengulum senyum karena merasa di atas angin.
"Aku siap dengan semua pertanyaan kamu," katanya dengan serius.
"Oke. Kita mulai saja." Adam membuka CV yang terletak di meja dengan nama Alena Maharani.
'Saya terima nikahnya Alena Maharani binti Pandu Wibowo dengan mas kawin ....'
Adam menggelengkan kepala saat teringat akan hal itu. Delapan tahun silam, dia begitu percaya diri meminang gadis yang menjadi pujaan hati. Gadis manja dan lucu, namun berubah menjadi pembangkang setelah menjadi istri.
"Ada yang salah dengan CV-ku?" tanya Alen was-was. Dia harus lolos. Harus! Sekalipun setiap hari akan bertemu dengan laki-laki ini.
Sejak terkena pemutusan hubungan kerja tiga bulan lalu karena efisiensi perusahaan, dia menjadi pengangguran yang setiap harinya hanya menghabiskan sisa tabungan.
Malangnya lagi, papanya menghentikan tunjangan kartu kredit karena dia terlalu boros, padahal tagihan terus berjalan setiap bulan.
"Gak ada."
"So?"
"Yang salah ada di bagian lain."
"Apa?"
"Bibir seksi kamu."
Wajah wanita itu merona. Jika memang bibir mereka sama-sama seksi, kenapa tidak saling ....
Entah berapa banyak dia mengumpat dalam satu jam ini, sejak berhadapan dengan Adam. Semoga saja dosa-dosanya diampunkan.
"Kalau kamu cuma mau gombal, aku keluar sekarang!" ancamnya.
"Yakin?" kata laki-laki sedikit menggoda.
"Yap."
"Silakan." Adam menunjuk pintu.
Alen menarik napas lagi. Kali ini lebih dalam dan mengembuskannya pelan. Melihat itu Adam menahan tawa. Sejak dulu, mantan istrinya ini memang suka bertingkah aneh. Tapi, itulah alasannya mengapa dia sayang. Ralat, pernah sayang.
"Oke. Aku butuh."
Adam kembali melihat kertas itu dan membolak-baliknya.
"Status single?" tanya Adam.
"Ada masalah?" Alena bertanya balik.
"Aku pikir married."
"Kamu sendiri?"
"Lebih beruntung. In relationship."
Alena mencebik. Kali ini, Adam tergelak.
"Bisa dipercepat?"
"Oke. Berapa gaji yang kamu inginkan?" tanya Adam dengan serius.
Dia tahu, Alen salah satu penganut kaum Hedonisme. Sebuah prinsip yang mengutamakan kesenangan dalam menjalani hidup. Dan wanita di hadapannya ini rela mengeluarkan berapapun nominal uang untuk memenuhinya.
Alena pasti membutuhkan pekerjaan ini untuk melanjutkan hidup, sekalipun berasal dari keluarga kaya.
"Sesuai UMR," jawabnya.
"Gak mau lebih?"
"Boleh saja jika perusahaan bersedia."
"Tapi ada syaratnya."
Dahi Alen berkerut. "Boleh tau apa?"
"Menemani manager personalia makan siang setiap hari," kata laki-laki itu genit.
Sengaja, ingin memancing emosi Alen dengan memainkan perasaannya. Seperti dulu, saat wanita ini melakukan hal yang sama.
Mata Alen menatap wajah itu dalam. Dari alis tebal, mata indah, hingga rahang kokoh yang ditumbuhi sedikit cambang halus. Adam banyak berubah. Dulu dia kekanakan dan emosional. Sekarang jauh berbeda, lebih dewasa dan matang.
"Oke. Cuma makan siang?"
"Bisa ditambah bobok siang juga."
Brak!
Wanita itu menggebrak meja. Ini pelecehan, dan dia berhak marah akan hal itu.
"Aku bisa melaporkan kamu kalau berani berkata-kata seperti itu lagi." Nada suara Alena meninggi.
Adam terkejut dan tak menyangka jika Alen sekarang banyak berubah. Well, manusia mahkluk yang dinamis, bukan? Karakter seseorang bisa berubah karena banyak faktor, kekecewaan misalnya.
"Sorry. Jangan ngamuk disini."
Alena kembali duduk, kali ini melipat tangan di dada. Itu membuat mata Adam berkeliaran menatap bagian depan tubuhnya.
"Mata tolong dijaga," tegur Alena saat menyadari hal itu.
"Rezeki gak boleh ditolak."
"Sia--"
"Oke. Aku udah lihat semua. Aku rasa kamu cocok menempati posisi administrasi yang dilamar berdasarkan pengalaman kerja sebelumnya. Kebetulan salah satu staf kami resign karena menikah dan harus ikut suaminya pindah keluar kota," jelasnya.
Ucapan Adam barusan memotong kata-katanya. Untung saja begitu, jika tidak laki-laki itu akan menerima umpatannya.
"Thanks."
"You're welcome."
"Mulai kapan?" tanya Alena to the point.
"Awal bulan depan. Tapi kamu boleh kok kalau mau lihat-lihat dulu situasi kantor ini."
"Itu aja?"
"Yap. Aku yakin kamu sangat kompeten dalam bidang ini. Jadi, bekerja samalah dengan baik dengan rekan-rekan yang lain," kata Adam sungguh-sungguh.
"Siap, Pak Adam," jawabnya.
"Oke, udah selesai. Adam menutup berkasnya dan menatap Alena dengan intens.
Memang banyak yang berubah dari mantan istrinya ini. Tak hanya sifat tapi juga fisik. Dulu dia kurus dan natural. Sekarang lebih berisi juga glamour.
Lihat saja baju dan tas yang dikenakan. Adam yakin, barang-barang itu hasil dari memalak orang tuanya. Papa Alena sangat memanjakan putrinya sehingga menuruti apa mau si anak semata wayang.
"Baik. Aku siap."
"Silakan isi form ini. Kamu boleh duduk di sofa. Kalau sudah selesai boleh dikembalikan supaya kami bisa proses."
Alena mengambil kertas itu dan meletakkan tubuhnya di sofa yang berada di sudut ruangan.
Wanita itu begitu serius mengisi dan menjawab pertanyaan yang tertulis disitu. Sementara itu, Adam diam-diam memperhatikannya dari jauh.
"Pagi, Sayang."
Pintu ruangan terbuka dan muncullah sesosok wanita cantik yang langsung menuju ke arah meja kerja Adam. Sepertinya, dia tak melihat ke arah Alena dan dengan santainya duduk di pangkuan kekasihnya.
"Kamu gak bilang mau datang. Aku ada interview," kata lelaki itu karena merasa tak enak hati dengan Alena.
Sebagai seorang yang memiliki jabatan penting di kantor ini, harusnya dia mencontohkan yang baik dengan tidak membawa hubungan pribadi ke tempat kerja. Namun, mau bagaimana lagi. Cintia, tunangannya, adalah anak dari pemilik perusaahaan ini.
"Cin, baiknya kamu keluar sekarang. Nanti kalau aku udah selesai boleh masuk lagi," tolaknya halus.
"Kok kamu gitu?"
"Aku lagi ada kerjaan, Sayang. Keluar dulu, ya," bujuknya.
Sebelum wanita itu benar-benar keluar, Alena berdiri dan berkata, "Saya sudah selesai, Pak."
Cintia menoleh dan menutup mulut. Dia benar-benar tidak tahu bahwa di ruangan ini ada orang lain selain mereka berdua.
"Sorry, aku gak ngeh tadi."
"Tadikan aku udah bilang," kata Adam dengan sedikit kesal.
"Oke! Aku keluar sekarang," kata Cintia sembari turun dari pangkuan tunangannya.
"Gak usah. Biar saya saja yang keluar. Ini sudah selesai."
Alena meletakkan berkasnya di meja setelah mengisi dan memastikan semua data sudah sesuai, lalu melenggang keluar dengan santai. Melihat apa yang Adam dan pacarnya lakukan tadi membuatnya geli. Rasanya dia sudah tepat menceraikan laki-laki itu.
Alena menepuk-nepuk sponge bedak supaya menempel dengan rata. Membalurkan blush on agar wajahnya terlihat lebih segar, juga lipstik merah menyala yang begitu kontras dengan kulit putihnya. Jangan lupakan semprotan parfum yang akan membuatnya wangi sepanjang hari.Sebelum benar-benar berangkat, dia mematut diri sekali lagi di depan cermin. Tangan halusnya mengambil tas di nakas dan segera keluar dari kamar. Jarum jam di tangan menunjukkan angka tujuh kurang lima belas menit. Ini hari pertama bekerja dan dia tak ingin terlambat.Sepatu dengan hak 7 cm terpasang dengan pas pada kakinya. Alena menyalakan mesin mobil dan membawanya dengan kecepatan sedang.Sepanjang jalan dia bersenandung untuk menutupi rasa gugup. Harusnya bisa lebih tenang karena dia sudah di training selama satu minggu. Namun, tetap saja perasaan itu muncul. Rasanya setiap memasuki sebuah perusahaan baru, dia memang sedikit tegang seperti ini."Hai! Karyawan baru?" tanya seora
"Pagi Alena."Nama wanita itu langsung menjadi buah bibir di kantor. Kecantikan juga penampilan yang cukup glamour membuat banyak laki-laki tergoda. Apalagi dengan status janda kembang yang melekat pada dirinya."Pagi," jawabnya ramah.Bisik-bisik akan kembali terdengar. Sebagian wanita penghuni gedung ini ada yang merasa iri, tapi juga ada yang mendekati karena ingin berteman. Respons yang diberikan Alena? Cuek. Dia masih beradaptasi dan memantau, siapa yang benar-benar pantas dijadikan teman atau hanya sekadar sapa."Hai, Len."Wanita itu menoleh dan mendapati Adam sedang berdiri di belakangnya sama-sama mengantre di depan mesin absen."Pagi.""Beruntung banget aku hari ini. Bisa menyaksikan pemandangan indah dari belakang."Kata-kata Adam itu telinganya menjadi panas. Hari ini dia memang memakai rok selutut tapi pas di badan, sehingga bagian belakang tubuhnya yang seksi tercetak jelas.Alena mengabaikan ucapan laki
"Tumben kamu pulang ke rumah."Sindiran papa membuat Alena tersinggung. Wanita itu meletakkan sendok dan mengambil segelas air putih, lalu meneguknya pelan.Hari ini dia libur dan tiba-tiba saja rindu dengan kedua orang tuanya. Lebih tepatnya boleh dibilang rindu akan transferan dari mereka.Sejak dia diterima berkerja, sms banking dari papa jarang muncul. Ada satu kali itu juga nominalnya kecil, hanya cukup untuk makan siang di kantor. Sedangkan dia punya kebutuhan lain yaitu ke salon dan melihat harga diskonan dress terbaru di beberapa butik langganan.Lupakan liburan, tahun ini dia harus mengigit jari melihat teman-temannya yang sedang bersenang-senang ke luar negeri. Alena hanya bisa berdiam diri di apartemen sambil memutar channel favorit yang akan ditontonnya di waktu senggang."Papa kok gitu sama anaknya," sungut Alena."Biasanya memang begitu, kan?" tanya laki-laki paruh baya itu. Dia menarik kursi dan duduk di sebelah putrinya
Dahi Alena berkerut saat melihat ada sebuah undangan di meja kerjanya."Apaan, nih?" Dia bertanya kepada salah satu teman kerja yang duduk di sebelah."Undangan Pak Adam sama Mbak Cintia," jawab temannya itu."Nikahan?" tanya Alena lagi."Bukan. Tunangan.""Bukannya sudah?""Dulu cuma pertemuan keluarga. Kayaknya yang sekarang mau go public."Alena membuka bungkusnya. Seketika bau harum tercium. Undangan dengan design mewah begini pastilah mahal. Terang saja, calon istri baru Adam bukan orang sembarangan. Catat ya, anak direktur perusahaan.Mata cantik itu menelusuri setiap kata yang tertulis, rangkaian huruf yang indah, juga terselip sebuah doa. Tak lupa foto dua orang yang sedang tertawa bahagia.Ah, dia jadi teringat dengan pernikahan mereka dulu. Sama seperti ini, dimana mereka begitu bahagia dan mempersiapkannya secara matang."Nanti kamu pergi sama siapa?" tanya Alena."Belum tau. A
Alena membuka sebuah laci di dalam lemari dan mengeluarkan sebuah box berisi perhiasan, kemudian memilih mana yang akan dia pakai.Rasanya dia ingin menghindar, tapi semua karyawan diwajibkan datang. Pak Dirut ingin menjamu semua karyawan sekaligus meresmikan pertunangan putrinya.Tangan mungil itu mengambil sebuah kalung bermata berlian lalu memakainya. Terlalu penuh dan tidak cocok dengan gaun yang akan dia pakai nanti, lalu dia meletakannya kembali.Kemarin sore, Alena pergi ke butik langganan di salah satu mall. Hampir satu jam melihat, akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah dress berwarna biru selutut dengan lengan panjang. Bordiran cantik di bagian leher itu yang membuatnya jatuh hati.Alena tak mau berpenampilan seksi kali ini. Bahaya kalau sampai Adam menggodanya di depan orang banyak. Di kantor saja laki-laki itu tak tahu malu.Temannya juga batal pergi bersama karena akan pergi bersama orang lain. Sehingga Alena akan datang se
Cintia memasuki kantor dengan gelisah dan terburu-buru. Setelah malam pertunangannya yang berakhir dengan ketidak jelasan, juga aksi tutup mulut laki-laki itu dan calon mertua, dia memutuskan untuk datang pagi ini menemui papa dan meminta bantuan.Selama acara berlangsung, Adam menghindar dengan alasan tak ingin merusak suasana dan akan menjelaskannya nanti. Bahkan setelahnya, mereka sekeluarga langsung pulang padahal dia masih ingin bertanya mengenai Alena."Papa."Cintia membuka pintu ruangan setelah memastikan kepada sekretaris bahwa papanya sedang tidak sibuk dan bisa menerima tamu."Ada apa, Nak. Kok datang ke sini? Butik kamu tinggal?""Ada yang jagain, Pa. Aku mau tanya soal karyawan baru itu," katanya sambil duduk di sofa dan mengambil sebotol air mineral."Alena?""Iya.""Papa gak terlibat langsung dengan rekrutmen karyawan baru. Semua sudah diserahkan ke divisinya masing-masing," jawab laki-laki
'Weekend ini pulang ke rumah ya, Nak.'Begitulah pesan yang Alena terima dari mama. Sejak penghasilannya menurun karena papa memangkas subsidi, mau tak mau dia harus sering pulang untuk mengambil hati.Sekalipun papa sering menyindir, Alena harus menebalkan telinga. Sepertinya dia memang harus mencari tambang emas baru selain papa tentunya. Yoga, adalah pilihan yang tepat.'Iya, Alen pulang.'Hanya itu yang dia ketikkan sebagai balasan, lalu kembali fokus menghadap layar dan mengerjakan laporan.Setelah acara pertunangan malam itu, Adam sudah jarang mengganggu lagi. Mungkin dia sudah diberikan mukjizat supaya tidak menggombal dengan wanita lain. Lagi pula di kantor mereka juga tidak berhubungan langsung."Len, udah dengar kabar?" kata temannya.Alena menggeleng karena kapok ketahuan sedang bergosip di saat jam kerja. Dia sebenarnya pasrah seandainya memang tidak lulus masa percobaan. Namun setidaknya, selama dua
Adam memencet bel pintu rumah itu dan langsung disambut Cintia dengan malas."Tuan puteri udah siap?""Sekarang?""Iyalah. Masa' besok." Adam tergelak melihat wajah tunangannya yang cemberut.Setelah hari itu, dia bahkan menolak bertemu dengan Cintia sama sekali. Bukan menghindar, tapi karena kesibukan di kantor yang cukup padat. Perusahaan akan mengadakan gathering tahunan karyawan dan divisinya yang akan menyusun anggaran, juga pelaksanaannya."Aku ganti baju dulu. Kamu tunggu bentar." Cintia masuk ke dalam dan bersiap-siap.Adam berusaha menepati janji untuk mengajak wanita itu jalan-jalan sekalipun masih ada beberapa laporan yang belum selesai. Sepertinya dia akan lembur di hari senin nanti."Loh, ada kamu?" Papa Cintia keluar dan menemui calon menantunya. Laki-laki paruh baya itu dengan santainya duduk di sebelah Adam."Mau ajak Cintia jalan, Pa," jawab Adam."Ya refreshing. Jangan kerja t