“Apa? Bannya kempes?” Kirey terkejut. Masa sih?
“Ya sudah. Aku cari tambal ban dulu, ya. Kirey, bantuin dorong dong! Berat nih,” Sammy meminta bantuan lagi.
“Dorong?” ulang Kirey. Sambil menghela napas panjang. Seharian ini dia sudah kelelahan. Ditambah harus mendorong motor Sammy pula. Ya Tuhan, ada apa dengan hari ini? tanya Kirey dalam hati.
Mau tidak mau, Kirey ikut mendorong motor sembari melihat-lihat sekitar. Siapa tahu ada tukang tambal ban di sekitar sini, pikirnya.
Satu jam lamanya, Kirey menemani Sammy di tukang tambal ban. Katanya, ban motornya menginjak paku. Jadi harus ditambal. Oke, tidak masalah. Lakukan saja. Sialnya, setelah selesai tambal ban sekarang malah Kirey yang harus membayar ongkos tambalnya.
“Pinjam duit kamu dulu, ya. Nanti awal bulan kuganti semuanya,” kata Sammy dengan wajah memelas.
Kirey mendengus kesal. “Ini namanya perampokan,” gerutu Kirey.
Meski begitu, tetap saja Kirey membantu Sammy. Dia sangat menjunjung tinggi solidaritas dan setia kawan. Halah. Berlebihan.
“Kirey, thanks ya. Suatu hari aku akan membalas semua kebaikanmu, sobat!” ucap Sammy. Ketika Kirey hendak masuk ke dalam rumahnya yang berada di gang sempit.
Kirey hanya menampilkan senyum. Setelah itu, dia pulang ke rumahnya.
***
“Kirey!” panggil Bapak.
Seorang pria paruh baya berusia lima puluh tahunan memasuki kamar Kirey dengan raut wajah frustasi. Kirey yang sudah rapi dan siap berangkat bekerja menoleh ke arah Bapaknya. Pasti Bapaknya akan meminta uang lagi kepadanya.
“Pinjami Bapak uang! Nanti, bulan depan akan Bapak ganti,” kata Bapaknya dengan wajah memelas.
“Aku tidak punya uang lagi, Pak. Aku belum gajian,” sahut Kirey. Dia berjalan meninggalkan kamarnya dan melewati Bapaknya yang masih berdiri di depan pintu kamar.
“Tolonglah Bapak, Kirey! Bapak butuh sekali bantuanmu,” Bapak meraih tangan Kirey, memohon kepada putri sulungnya itu.
Kirey sudah menjadi tulang punggung keluarganya. Meski Bapak masih mampu bekerja. Hanya Kirey yang bisa diandalkan oleh Bapak, katanya.
Kirey menghela napas panjang. “Pak! Uang gajiku kemarin bukankah sudah kuberikan semuanya? Aku sudah tidak punya uang lagi di rekeningku. Aku hanya punya uang recehan untuk ongkos pulang pergi ke kantor.”
Bapak menundukkan pandangannya. “Maaf, Kirey. Bapak sudah menyusahkanmu. Tetapi, Bapak tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi selain kamu,” keluh Bapak.
Kirey sudah tidak mau mendengar keluhan Bapaknya lagi. Itu sering dilakukannya agar Kirey simpati kepada Bapak. Dia sudah muak dengan keadaan Bapaknya saat ini. Gali lobang tutup lobang. Membayar utang dengan utang lagi. Itu sama saja cari mati, batin Kirey menggerutu.
Kirey pergi saja dari rumah. Dia berjalan kaki hingga menemukan sebuah angkutan kota yang melewatinya. Padahal, kalau naik ojek online bisa cepat sampai di kantor. Sayang sekali, ongkos yang dia punya saja tidak mencukupi jika harus naik ojek online. Bisa-bisa, pulang kerja Kirey berjalan kaki sampai rumah.
Kirey harus kuat dan tabah menjalani kehidupannya yang serba susah. Usaha Bapak selama beberapa bulan terakhir ini terpaksa harus gulung tikar. Bapak ditipu seseorang yang menawarkan investasi bodong. Betapa polosnya Bapak sampai harus tertipu seperti itu.
Hingga akhirnya semua aset berharga keluarga Kirey disita oleh Bank. Rumah, mobil, sawah, semuanya habis. Bahkan, sekarang mereka bertahan hidup dengan mengontrak rumah sederhana di dalam sebuah gang sempit.
Kirey telah sampai di depan gedung kantor. Dia tidak sempat sarapan tadi di rumah. Jadi, dia meminum susu kotak yang dibelinya sebelum sampai di kantor.
SRUUUUTTT!
Kirey menyeruput susu kotaknya hingga habis tak tersisa. Lumayan, bisa mengganjal perut laparnya sampai jam makan siang nanti. Ini sudah kesekian kalinya, dia melewatkan sarapan paginya.
Sebelum memasuki ruang kerjanya, Kirey melihat tempat sampah yang terlewati. Dia membalikkan badan sejenak. Mengukur jarak tempat sampah dari posisinya. Pasti masuk, ujar Kirey optimis.
Jika dia membelakangi tempat sampah maka dia akan melempar kotak susu bekasnya tepat sasaran. Masuk ke dalam tempat sampah. Begitu perkiraan matematis Kirey. Ya, coba saja. Tanpa aba-aba, Kirey melempar susu kotaknya ke belakang.
TUK!
“Auuuwww!” Seseorang mengerang kesakitan tertimpuk sampah kotak susu. Apa-apaan ini? Dahi pria itu terkena lemparan susu kotak Kirey.
“Anda baik-baik saja, Pak?” Seorang wanita di sampingnya ikut membantu. Mengelap sisa cairan putih dan kental yang berasal dari kotak tersebut.
“Siapa yang berani melempar sampah di perusahaanku?” Suara seorang pria dengan nada tinggi sedang memaki.
Gawat! Kirey tidak berani menoleh ke belakang. Sebaiknya, dia pura-pura tidak tahu saja dan berjalan cepat menuju ruang kerjanya.
“Suara siapa tadi? Bapak Personalia atau…” Kirey tidak berani melanjutkan kalimatnya.
Fiuh! Kirey mengelus dada. Tenang. Semuanya akan baik-baik saja selama orang itu tidak mengadu atau melaporkan ulah Kirey kepada atasannya.
“Kurang ajar! Pasti wanita jelek itu yang telah melemparnya,” tuduhnya.
“Cari tahu semua hal tentang pegawai wanita itu. Laporkan kepadaku sekarang juga. Mengerti?” perintah Presdir kepada Sekretaris pribadinya, Nania. Dia melihat seorang wanita berambut ikal berlari terbirit-birit memasuki ruangannya.
“Dia akan tahu rasa. Karena berani melemparku dengan sampah,” gumam Presdir itu sambil melewati ruang kerja Kirey. Untungnya, Kirey tidak melihatnya. Dia sudah sibuk membuka layar komputernya.
***
Usai jam makan siang, Kirey dipanggil ke ruang Personalia. Ada apa? Tumben. Padahal, seingatnya, dia tidak pernah membuat masalah di kantor.
Tok-tok-tok!
Kirey mengetuk pintu ruang Personalia perlahan-lahan. Ketika pintu terkuak, Kirey masuk ke dalam.
“Bapak memanggil saya?” tanya Kirey memastikannya.
Kirey melihat Bapak Personalia sedang berdiri gemetaran di samping seorang pria yang kini menguasai kursi kebesarannya sambil menumpangkan kakinya di atas meja. Itu kan… pria semalam yang diantarnya ke hotel. Siapa pria sombong nan arogan itu? Kirey jadi ingin tahu.
“Pak Presdir, ini Kirey. Dia sudah datang menghadap Anda,” Bapak Personalia itu memberitahunya.
Tunggu! Siapa barusan? Presdir? Kirey membelalak. Dia tidak pernah menyangka sebelumnya. Bertemu langsung dengan Presdir di perusahaan tempatnya bekerja. Orang yang selama ini menutup diri dan tidak mau memerhatikan kesejahteraan pegawainya. Ternyata pria semalam yang sudah mengejeknya adalah…
“Pria songong itu… Presdir?”
***
“Kakek, maafkan Gio…” sesal Gio. Dia menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpa pada kakeknya. Tangan Tuan Gilberto merespon. Air mata menetes di pelupuk mata kakeknya. Gio menyekanya.“Gi… Gio…” Suara Tuan Gilberto terdengar memanggilnya. Gio mendengarnya dan segera mendekatkan diri di samping kakeknya yang sedang berusaha bicara padanya.“Iya, Kek,” sahut Gio.Perlahan-lahan, Tuan Gilberto membuka matanya. Dia melihat Gio berada di sampingnya.“Kem… bali…lah ke kan… tor,” pinta Tuan Gilberto agak terbata-bata. Agak sulit kakek mengatakannya pada Gio.“Tapi, Kek,” Gio hendak menolak permintaan kakeknya. Namun, Tuan Gilberto diwakilkan Nyonya Maria memohon pada Gio. Agar cucunya itu bisa segera kembali memimpin perusahaan yang sudah ditinggalkannya akhir-akhir ini.“Kakek sungguh ingin aku kembali?” Gio memastikannya
Kirey masih harus mendapatkan perawatan intensif ibu hamil di Rumah Sakit. Dia masih belum sadarkan diri dari tidurnya. Gio keluar dari ruang inap kelas satu. Di luar kamar inap, Sammy masih bersabar, menunggu kabar dari Gio.“Gimana keadaan Kirey?” Sammy langsung memburu Gio.“Kondisinya masih lemah dan dia harus banyak istirahat selama bedrest,” Gio memberitahu.“Apa kata dokter? Kirey sakit apa?” Sammy panik dan terus memburu Gio dengan banyak pertanyaan.“Kenapa kamu masih di sini? Bukannya kamu harus pergi bekerja?” Gio heran. Dia mengalihkan pembicaraan. Namun, Sammy tidak memedulikannya. Fokus perhatiannya masih tertuju pada Kirey.“Aku akan menemani Kirey selama dia berada di Rumah Sakit. Sebaiknya, Anda pulang saja. Biar saya yang menggantikannya,” kata Sammy mengusir Gio secara halus.Apa? Gio membelalak. Ada apa dengan Sammy? Kenapa dia bersikeras ingin menjaga Kirey di s
“Apa maksudmu mengundurkan diri dari perusahaan?” Tuan Gilberto terkejut mendengar keputusan Gio. Menurut pria tua itu, Gio sangat ceroboh dan tergesa-gesa saat mengambil keputusan. Mendadak sekali Gio mengatakannya.“Iya, jika Kakek bersikeras memisahkanku dengan Kirey, maka aku tidak punya pilihan lain. Aku akan meninggalkan semua yang Kakek wariskan untukku.”“Memangnya kamu sudah siap miskin, Gio?” Tuan Gilberto meragukan Gio.“Aku tidak peduli. Asalkan bisa hidup bersama Kirey, aku rasa itu tidak masalah.”Gio dan Tuan Gilberto saling berdebat. “Anak bodoh! Tidak tahu berterima kasih,” umpat Tuan Gilberto.Di ruangan tersebut, mereka masih berdebat. Semua orang yang tengah menyaksikan keributan itu pun akhirnya terpaksa keluar, meninggalkan ruangan itu dan memberikan privasi untuk kakek dan cucu itu saat sedang bernegosiasi.“Baiklah. Jika itu keinginanmu. Kakek tidak aka
Malam itu, Gio diberitahu polisi bahwa Ellena mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggal dunia dalam perjalanan menuju Rumah Sakit. Sejak itulah, Gio merasa bersalah. Dia terus menerus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian kekasihnya, Ellena. Sampai-sampai setiap malam, Gio harus mengalami mimpi buruk dan berhalusinasi tentang Ellena.“Kamu, pria brengsek Gio!” kata Sephia.“Kenapa? Apa kamu menyesal sekarang sudah mengenalku?” tantang Gio.“Tetapi, aku selalu saja jatuh cinta padamu. Kamulah yang membuatku nekat seperti ini. Sepeninggalnya Ellena, bukannya memilihku kamu malah menikahi gadis kampung itu! Aku tidak rela, Gio!”Gio tersenyum sinis mendengarnya. “Aku sudah sering mengatakannya dengan sangat jelas, bahwa aku tidak pernah mencintaimu Sephia,” tegas Gio.“Itulah alasannya Gio.”“Kamu bukan tipeku, Sephia. Aku memiliki standar sendiri memilih wanita yang aka
Gio pergi terburu-buru menuju pabrik kosong itu. Setelah seorang detektif swasta suruhannya memberitahukan lokasinya, Gio pun melaju dengan cepat. Dia harus segera membereskan perkara ini. Jika ingin menyelamatkan Kirey dan bapak mertuanya dari tuduhan palsu kakeknya.Beberapa menit kemudian, Gio telah sampai di pabrik usang itu. Dia berjalan cepat menghampiri si penipu yang kondisinya sudah babak belur dihajar orang-orang suruhan Gio. Detektif swasta itu telah mengikat si penipu dengan tali yang cukup kencang di area tangan, kaki, juga bagian perutnya yang agak buncit.Tidak hanya itu, kedua mata si penipu pun ditutup kain berwarna putih sehingga dia tidak bisa melihat siapa pun yang akan mengeksekusinya malam ini. Gio harus menyembunyikan identitasnya saat hendak memberi pelajaran pada sampah itu.Detektif swasta dan beberapa orang suruhan Gio lainnya memberi hormat ketika Presdir Gio datang menghampiri mereka. Gio membuka maskernya dan memandangi wajah si pen
“Kenapa kamu diam saja Gio? Apa kamu tidak bisa memilih antara istrimu atau perusahaan yang merupakan seluruh aset kekayaanmu?” desak Tuan Gilberto.“Kakek!” hardik Gio di depan semua orang. “Menurutku itu bukan pilihan.”Anak bodoh! Tuan Gilberto mencibir Gio. Padahal kan Gio tinggal memilih saja. Itu menurut Tuan Gilberto. Tetapi bagi Gio, disuruh memilih antara Kirey dan seluruh warisannya merupakan pilihan yang sulit. Dua-duanya sudah menjadi kebutuhan hidup Gio sehari-hari. Dia tidak bisa hidup tanpa kekayaannya. Namun, dia juga tidak bisa tidur nyenyak tanpa Kirey ada di sampingnya.“Kenapa Kakek tidak mengerti perasaanku?” keluh Gio.“Perasaan macam apa yang kamu rasakan itu? Selama ini kamu sering main dengan wanita di luaran sana. Lalu, apa salahnya sekarang kamu menyingkirkan wanita itu dari hidupmu?” sindir Tuan Gilberto.“Kakek! Aku serius mencintai Kirey,” ungkap G