"Sialan! Ternyata wanita itu lebih licik daripada yang Ibu kira!"
Teriakan Trinita menggelegar di ruang tamu. Matanya berkilat penuh dengan emosi.
Sementara itu Lucinda dan Gisela hanya terdiam, tak berani untuk bicara.
Tapi di dalam hatinya, Gisela memaki Erika. Angan-angannya untuk menikmati uang dari hasil penjualan aset Gerry harus tertunda, karena istri sang kekasih membawa surat-surat berharga pria itu.
"Bu ... apa Ibu sudah menelepon Mas Gerry dan memberitahu soal ini?" tanya Lucinda saat melihat amarah sang ibu mulai mereda.
Trinita menatap anak bungsunya dengan ekspresi bingung, seakan melupakan hal yang penting.
"Melihat Ibu yang hanya diam, aku yakin Ibu belum menghubungi Mas Gerry," ucap Lucinda setelah terdiam beberapa saat.
"Sekarang kira-kira di Belanda jam berapa, ya?" tanya Trinita yang kini mengambil ponselnya.
"Sekarang seharusnya masih jam 1 siang di sana, Bu," jawab Lucinda yang direspon anggukan kepala oleh Trinita.
Wanita itu segera menghubungi Gerry, baru panggilan pertama tapi rasanya seperti menunggu seabad. Didukung akan gerakan Trinita yang mengetuk-ngetuk jari ada meja kaca, membuat ruang tamu itu mencekam.
Dan ketika suara serak seorang pria terdengar, tanpa basa-basi Trinita segera menyemburkan amarahnya.
"Gerry! Kamu harus pulang sekarang. Istrimu sudah keterlaluan. Dia mencoreng nama baik keluarga kita dan bukan itu saja, wanita itu kabur dengan membawa Kayla dan surat-surat berharga milikmu!"
Tentu saja Gerry tak mengerti dengan apa yang diucapkan sang ibu, tapi mendengar sang istri yang membawa kabur surat-surat berharga miliknya, membuat tangan Gerry otomatis mengepal.
Dasar istri kurang ajar! Jadi selama ini wanita itu hanya mengincar hartanya saja?
"Bu! Tolong jelaskan pelan-pelan. Apa maksud Ibu berkata jika Erika kabur dengan Kayla dan juga surat-surat berharga milikku?" tanya Gerry dengan berdesis.
Karena emosi Trinita yang belum surut, membuat wanita itu kembali meradang saat mendengar Gerry membentaknya.
"Dasar anak durhaka! Beraninya kamu membentak Ibu. Seperti yang Ibu katakan tadi, Erika telah mencoreng nama baik keluarga kita. Ibu menasihatinya, tapi dia tak terima dan malah kabur," ucap Trinita yang sebagian adalah kebohongan.
Terdengar helaan napas dari balik sambungan telepon, dan Trinita hanya diam. Menunggu sang putra untuk bicara.
"Baiklah, Bu. Aku akan usahakan secepatnya untuk pulang."
"Tidak bisakah kamu pulang hari ini?" tanya Trinita dengan santai, seakan jarak Belanda dan Jakarta hanya sebatas ke Bandung.
"Bu! Jangan konyol. Memangnya Ibu pikir Belanda itu dekat?" ucap Gerry.
"Terserah kamu saja kalau gitu, yang pasti Ibu mau kamu secepatnya pulang. Cari wanita tak tahu malu itu dan beri pelajaran supaya dia tidak berani macam-macam sama kamu."
Setelah mengatakan itu, Trinita memutuskan sambungan telepon. Dia memandang Lucinda dengan sorot mata penuh amarah.
"Sekarang kita harus menemukan wanita sialan itu dan memaksanya untuk menyerahkan surat-surat berharga milik Gerry," ucap Trinita.
"Tapi nomornya tidak bisa dihubungi, Bu," ujar Lucinda.
Dia sudah berulang kali mencoba menghubungi Erika, namun selalu suara operator yang menjawabnya.
"Besok kita pergi ke rumah orang tuanya, pasti wanita sialan itu bersembunyi di sana," putus Trinita setelah berpikir beberapa saat.
"Apa besok aku boleh ikut, Tante?" tanya Gisela yang sebenarnya ingin mengambil semua surat-surat berharga Gerry.
"Tentu saja boleh, sekalian Tante juga mau tunjukkan sama wanita rendahan itu kalau kamu yang lebih pantas bersanding dengan Gerry."
Gisela semakin mengembangkan senyumnya, saat mengetahui jika Trinita semakin berpihak kepada dirinya.
Berbagai rencana untuk menjatuhkan Erika sudah dia susun rapi di dalam benaknya.
Namun lamunannya harus terganggu karena pertanyaan dari Lucinda.
"Kenapa Ibu tidak bertanya kepada Tante Yuni di mana keberadaan Mbak Erika?"
"Anak bodoh! Kalau Ibu bertanya kepada Yuni, sudah pasti dia akan berbohong. Setidaknya kita harus membuat lengan mereka lebih dahulu, baru menyerang secara tiba-tiba."
Lucinda hanya dapat terganga saat mendengar ucapan sang ibu, mereka hanya datang untuk mencari seseorang. Tapi Trinita malah membawa-bawa tentang menyerang. Memangnya mereka akan berperang?
"Malah bengong anak ini! Kamu cepat hubungi pakde-pakdemu. Bilang kita mau mencari wanita rendahan itu karena mencuri dari Gerry." Trinita yang kesal langsung membentak Lucinda.
"Tapi, Bu. Sepertinya nggak semua keluarga kita mau berurusan lagi dengan Mbak Erika," ucap Lucinda.
"Anak ini kok makin bodoh aja, sih?! Mereka pasti mau, karena ini berurusan juga dengan Gerry. Jadi cepat hubungi mereka dan bilang kalau besok kita mau ke rumah wanita sialan itu," ucap Trinita sembari menggeram.
Dengan setengah menggerutu, Lucinda mengetik pesan di grup W******p keluarga mereka. Tak butuh waktu lama, satu per satu anggota keluarga mulai merespon.
'Sudah diusir masih bisa membuat masalah? Wanita itu luar biasa licik.'
'Aku nggak mau ikut-ikutan. Mbak Nita urus saja sendiri.'
Lucinda meringis saat membaca sebagian pesan itu, karena sesuai dengan yang dia katakan kepada Trinita sebelumnya.
Namun, ada satu pesan yang membuatnya terbelalak. Tanpa sadar dia berteriak. "Tidak mungkin!"
"Sialan! Ternyata wanita itu lebih licik daripada yang Ibu kira!" Teriakan Trinita menggelegar di ruang tamu. Matanya berkilat penuh dengan emosi.Sementara itu Lucinda dan Gisela hanya terdiam, tak berani untuk bicara.Tapi di dalam hatinya, Gisela memaki Erika. Angan-angannya untuk menikmati uang dari hasil penjualan aset Gerry harus tertunda, karena istri sang kekasih membawa surat-surat berharga pria itu."Bu ... apa Ibu sudah menelepon Mas Gerry dan memberitahu soal ini?" tanya Lucinda saat melihat amarah sang ibu mulai mereda.Trinita menatap anak bungsunya dengan ekspresi bingung, seakan melupakan hal yang penting."Melihat Ibu yang hanya diam, aku yakin Ibu belum menghubungi Mas Gerry," ucap Lucinda setelah terdiam beberapa saat."Sekarang kira-kira di Belanda jam berapa, ya?" tanya Trinita yang kini mengambil ponselnya."Sekarang seharusnya masih jam 1 siang di sana, Bu," jawab Lucinda yang direspon anggukan kepala oleh Trinita.Wanita itu segera menghubungi Gerry, baru pang
"Akhirnya aku bisa bebas menguasai semua hartanya Gerry," ucap Trinita sembari menyesap segelas wine."Aku senang Tante mendengarkan saranku. Lagian kenapa dulu Tante setuju kalau Gerry menikah dengan wanita kampungan itu?" tanya seorang wanita muda yang bernama Gisela.Trinita lantas berdecak keras sembari menatap tajam wanita itu."Aku sudah melarang Gerry untuk berhubungan dengan wanita kampungan itu, tapi anak itu bersikeras dengan keinginannya dan bahkan sampai mengancam akan kabur dari rumah."Gisela semakin mengembangkan senyum saat mendengar ucapan Trinita."Tapi akhirnya Gerry sadar kalau wanita itu nggak layak untuknya. Buktinya dia bersedia berhubungan denganku dan berjanji akan menceraikan wanita kampungan itu setelah kembali ke Indonesia.""Kalau saja Gerry sempat ketemu kamu sebelum memutuskan menikahi wanita kampungan itu, sudah Tante bujuk dia agar menikahimu," ucap Trinita dengan nada menyesal."Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, Tante. Aku bersedia men
"Baiklah. Kalau itu mau Ibu, aku dan Kayla akan pergi dari rumah ini," ucap Erika dengan menahan isak tangisnya.Setidaknya saat ini, harga diri adalah satu-satunya hal yang tersisa pada diri Erika. Dan dia akan mempertahankannya sampai detik terakhir berada di rumah Gerry."Bagus kalau kau sudah mengerti. Sekarang cepat kemasi barang-barangmu dan tinggalkan rumah ini, karena aku sudah muak melihat mukamu yang lusuh itu," sindir Trinita yang merasa di atas angin.Erika segera masuk ke kamar, meletakkan Kayla di tengah ranjang. Dia mulai memasukkan barangnya dan sang putri yang seadanya ke dalam koper.Hatinya berdenyut nyeri, karena koper itu rencananya akan dia gunakan untuk berlibur ke luar negeri setelah Gerry kembali ke Indonesia. Tapi nyatanya, kini dia menggunakannya saat terusir dari rumah suaminya.Tak lama Trinita masuk ke kamar, wanita itu sudah seperti mandor yang mengawasi pekerjaan anak buahnya."Aku akan mengawasi apa yang boleh kau bawa pergi dari rumah ini," ucapnya de
"Aku sudah bilang sejak awal, kalau wanita ini tidak pantas untuk Gerry. Tapi kalian semua tertipu wajah polosnya dan malah membela dia. Sekarang kalian lihat sendiri 'kan akibatnya!"Trinita sengaja mengeraskan suaranya agar semua mengalihkan perhatian pada dirinya. Salah seorang paman Gerry yang dari tadi diam, akhirnya mengangkat tangan, sebagai isyarat agar semua diam."Sudah cukup! Kita semua berkumpul di sini untuk mencari solusi atas masalah yang menimpa Erika. Bukan malah menambah kekacauan."Beberapa merasa tertampar karena ucapan itu, tapi tak ada yang berani membantah. Karena pria yang sedang berbicara itu memang merupakan satu tokoh yang disegani."Jadi apa yang akan Mas lakukan untuk mengatasi masalah yang dilakukan oleh wanita itu," ucap Trinita dengan telunjuk mengacung ke arah Erika."Kita harus mendengarkan pembelaan dari Erika," ucap pria itu dengan nada datar.Erika menatap pria itu sejenak dan sedikit dapat menghela napas lega. Hanya tatapan netral itu yang tidak
"Mbak Nita. Jangan tertawa emosi, kita 'kan bisa membicarakannya terlebih dahulu."Sebuah suara kembali terdengar, membuat Trinita menoleh. Senyuman sinis tercipta di wajah wanita paruh baya itu. Kali ini dia akan mempermalukan Erika di depan adik ipar dan istrinya yang selama ini selalu membela menantunya ini."Jangan terbawa emosi katamu?! Apa kamu akan berkata seperti itu jika menantu kesayanganmu itu yang melakukannya," sindir Trinita yang membuat adik iparnya hanya terdiam."Meskipun Erika melakukan kesalahan, tetap saja dia tidak pantas diperlakukan kasar seperti ini, Mbak." Kali ini istri adik iparnya yang berbicara, membuat emosi Trinita kembali meluap."Diam kau! Dia ini adalah menantuku, bukan menantumu. Jadi kau tidak berhak mencampuri apa yang akan aku lakukan terhadap wanita murahan ini!" Bentak Trinita yang membuat hati Erika semakin berdenyut nyeri. Sang mertua kini terang-terangan menunjukkan kebenciannya di depan semua orang. Erika mengerjabkan mata, menahan air mat
"Erika!"Suara teriakan yang menggema terdengar di sebuah ruangan tamu. Trinita melangkah masuk dengan amarah yang terpancar pada wajahnya. Matanya memindai keadaan sekitar, lalu mendengus saat tak melihat keberadaan sang menantu yang paling dia benci."Erika! Kau ada di mana?!" Sekali lagi teriakan itu terdengar, dan kali ini Erika yang sedang menggendong Kayla, putrinya datang tergopoh-gopoh. Keringat pun bercucuran dari pelipisnya."Ada apa, Bu?" tanya Erika dengan napas tersengal."Dasar pemalas. Mentang-mentang Gerry nggak ada di sini, kerjamu hanya tidur saja!" teriak Trinita dengan suara menggelegar.Kayla yang baru saja terlelap, otomatis menangis karena kencangnya suara sang nenek. Dan Erika segera menenangkan putrinya yang baru berusia 6 bulan itu."Cepat tenangkan tangisan anak itu. Kepalaku pusing mendengarnya!" bentak Trinita sembari menutup kedua telinganya."Tapi Kayla demam semalam dan baru turun panasnya jam tiga subuh, Bu," ucap Erika memberikan pembelaan.Namun bu