"Akhirnya aku bisa bebas menguasai semua hartanya Gerry," ucap Trinita sembari menyesap segelas wine.
"Aku senang Tante mendengarkan saranku. Lagian kenapa dulu Tante setuju kalau Gerry menikah dengan wanita kampungan itu?" tanya seorang wanita muda yang bernama Gisela.
Trinita lantas berdecak keras sembari menatap tajam wanita itu.
"Aku sudah melarang Gerry untuk berhubungan dengan wanita kampungan itu, tapi anak itu bersikeras dengan keinginannya dan bahkan sampai mengancam akan kabur dari rumah."
Gisela semakin mengembangkan senyum saat mendengar ucapan Trinita.
"Tapi akhirnya Gerry sadar kalau wanita itu nggak layak untuknya. Buktinya dia bersedia berhubungan denganku dan berjanji
akan menceraikan wanita kampungan itu setelah kembali ke Indonesia."
"Kalau saja Gerry sempat ketemu kamu sebelum memutuskan menikahi wanita kampungan itu, sudah Tante bujuk dia agar menikahimu," ucap Trinita dengan nada menyesal.
"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, Tante. Aku bersedia menunggu Gerry menceraikan wanita kampungan itu," sahut Gisela dengan nada maklum.
"Ah. Sudahlah. Jangan lagi membicarakan wanita kampungan itu, membuat Tante kesal saja." Dengus Trinita yang kini menuang gelas wine kedua.
"Maafkan aku, Tante. Aku hanya terlalu bersemangat karena kita telah berhasil menyingkirkan wanita kampungan itu."
Gisela yang sadar sudah melakukan kesalahan, akhirnya kembali berbicara manis untuk menarik simpati Trinita.
"Baiklah. Sekarang cepat ikuti Tante ke kamar Gerry untuk mengambil semua surat berharga milik anak Tante," ucap Trinita.
Namun sebelum keduanya sempat berdiri dari duduknya, terdengar suara seorang wanita dengan nada sinis.
"Sepertinya aku mencium adanya persengkonkolan antara Ibu dan dia untuk menguasai harta Mas Gerry."
Trinita menoleh dan melihat Lucinda, putri bungsunya berdiri di ambang pintu dengan bertolak pinggang.
"Memangnya ada yang salah? Harta Gerry itu adalah harta keluarga ini juga. Enak saja kalau sampai wanita kampungan dan anaknya itu yang menikmati," desis Trinita.
"Tapi Kayla itu anaknya Mas Gerry. Kenapa Ibu tega mengambil hak cucu Ibu sendiri," protes Lucinda.
"Halah! Jangan banyak banyak omong. Ibu tahu kalau kamu sebenarnya juga mengincar hartanya Gerry."
Lucinda terdiam karena apa yang dikatakan oleh Trinita memang benar adanya.
"Tunggu apalagi. Kalau kamu memang menginginkan hartanya Gerry, ayo cepat ikuti Ibu dan Gisela," ucap Trinita dengan nada tajam.
Akhirnya Lucinda mengikuti langkah kaki keduanya, meskipun di dalam hati terus mengucap kata maaf untuk Erika dan Kayla.
Tapi apa boleh buat, dia membutuhkan dana untuk membayar hutang sang suami yang hampir mencapai 200 juta.
Dalam hati Lucinda berkata jika hidup ini begitu lucu, hanya demi harta yang tak dapat dibawa mati, manusia dapat menggunakan cara licik untuk mendapatkannya. Termasuk juga dengan ... dirinya.
Di dalam kamar, Trinita mulai membongkar lemari baju sang putra. Dia mengeluarkan semua barang dan mengakibatkan kamar itu berantakan seperti kapal pecah.
Namun bukannya berhenti, Trinita beralih membongkar meja rias dan lemari plastik yang ada di kamar Gerry.
Setelah menghabiskan waktu 30 menit, pencarian mereka bertiga berbuah nihil. Sebab tidak ada satupun surat berharga milik Gerry yang berhasil mereka temukan.
"Sialan! Ke mana surat-surat berharga itu? Seingat Ibu sebelum Gerry berangkat ke Belanda, dia bilang kalau menyimpan surat-surat itu di kamar."
Trinita yang kesal akhirnya mengumpat.
"Apa jangan-jangan wanita kampungan itu yang mengambilnya, Tante?" tanya Gisela sembari mengetuk-ngetuk telunjuk kanan pada ranjang.
"Wanita kampungan itu tidak mungkin melakukannya. Jelas-jelas Tante melihat apa yang dia bawa sebelum meninggalkan rumah ini," ucap Trinita dengan nada tajam.
"Kemungkinan itu pasti ada, Tante. Apalagi Gerry sudah tiga bulan berada di Belanda. Pasti dia yang menyembunyikannya," balas Gisela dengan nada tak kalah sinisnya.
'Bagaimana ini? Kalau benar Mbak Erika yang menyimpan semua surat itu, maka aku nggak akan bisa menjual satupun hartanya Mas Gerry,' gumam Lucinda di dalam hatinya.
"Kita coba cari di bagian lain rumah ini. Siapa tahu saja, Gerry yang memindahkannya tanpa sepengetahuan wanita kampungan itu."
Setelah mengucapkan itu, Trinita menuju kamar lain dan mulai membongkar semua yang ada di sana. Lagi-lagi wanita itu berteriak frustasi, sebab tidak menemukan apa yang dia cari.
"Sial! Ternyata Ibu terlalu meremehkan wanita kampungan itu. Sudah pasti dia yang membawa semua surat itu!" teriak Trinita dengan nada frustrasi.
Baik Lucinda maupun Gisela tidak berani bicara, karena tidak ingin terkena semburan amarah Trinita.
Belum juga reda kekesalan Trinita, terdengar suara bel. Wanita itu menggeram kesal dan memerintahkan Lucinda untuk membuka pintu.
Dengan hati dongkol, Lucinda menuruti perintah sang ibu. Meskipun gerutuan terus keluar dari bibirnya.
"Ya. Sebentar. Jadi orang kok nggak sabar banget ...."
Lucinda tak dapat melanjutkan perkataannya, sebab di ambang pintu telah berdiri seorang wanita seusia dengan Trinita.
"Di mana Erika dan cucuku?" tanya wanita yang adalah ibu Erika.
Lucinda yang tak dapat menjawab hanya terdiam, dan itu semakin menyulut emosi Yuni-ibu Erika. Wanita paruh baya itu mendorong adik ipar sang putri, agar dia dapat masuk ke dalam rumah.
"Erika! Kamu di mana?!" tanya Yuni dengan berteriak.
Trinita yang masih berada di dalam kamar langsung mendengus keras, merasa terganggu dengan tamu yang jelas-jelas tidak dia undang itu.
Dengan hentakan kaki keras, Trinita melangkah dan berhadapan dengan sang besan.
"Kebetulan sekali kau datang. Bilang sama anakmu untuk mengembalikan semua surat berharga Gerry. Jangan jadi pencuri!" teriak Trinita sembari menunjuk Yuni.
Meskipun sempat terkejut dengan sikap kurang ajar Trinita, pada akhirnya Yuni tersenyum lebar. Dia melangkah mendekati sang besan hingga wajah keduanya hanya berjarak beberapa centi.
"Kami sudah mengetahui apa yang terjadi dengan Erika, tadinya kami khawatir dengan nasib anak dan cucu kami ...."
Yuni sengaja menggantung kalimatnya, ingin mengetahui bagaimana reaksi Trinita. Dan saat melihat wanita itu yang kalang kabut seperti ini, membuatnya lebih bersemangat untuk memprovokasi sang besan.
"Tapi kami sekarang nggak perlu khawatir, karena Erika pasti berada di tempat yang aman," ucap Yuni sambil melipat tangan di dada, menyeringai penuh kemenangan.
Trinita segera menyambar ucapan Yuni. "Apa maksudmu?!"
"Maksud saya ... Erika dan Kayla pasti sudah berada di tempat yang aman beserta dengan surat-surat berharga itu. Dan jangan harap aku akan diam saja, saat anak dan cucuku diperlakukan dengan tidak adil."
Setelah mengatakan itu, Yuni segera meninggalkan rumah ini. Dan berbeda dengan yang diucapkannya di depan keluarga sang menantu, dia bertekad untuk mencari keberadaan Erika dan Kayla.
Sesampainya di luar rumah Gerry, Yuni segera menghubungi sang suami dan berkata jika Erika dan Kayla sudah tidak berada di rumah itu.
"Papa tahu kekhawatiran Mama, tapi sekarang lebih baik Mama pulang dulu biar kita bisa menentukan langkah selanjutnya."
Yuni segera menghela napas panjang setelah mendengar ucapan sang suami. Dia segera menyalakan mobilnya.
"Oke. Mama akan segera pulang."
Setelah memastikan tak ada yang mencurigakan di sekitar rumah Gerry, Yuni pun beranjak pergi. Langkahnya cepat, seperti ingin lari dari kenyataan. Dia baru menyadari air matanya menetes ketika buliran itu mengenai punggung tangannya.
"Tuhan tolong lindungi anak dan cucu hamba. Jangan biarkan malapetaka menghampiri mereka."
Seiring dengan doa yang Yuni lantunkan, mobilnya meninggalkan kediaman Gerry dengan membawa beribu kekecewaan.
Melihat raut wajah kecewa yang ditunjukkan oleh Toni, membuat Rudy merasa bersalah. Dia segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Setelah bercakap via telepon selama beberapa menit, pria itu memutuskan sambungan telepon."Tapi aku tahu orang yang ahli di dalam bidang hukum. Aku akan membantumu melalui orang ini. Aku sudah menghubungi dan sebentar lagi dia akan datang."Raut wajah Toni seketika menjadi cerah saat mendengar ucapan Rudy. "Terima kasih, Rud," ucap Toni yang mulai dipenuhi dengan kelegaan."Tidak perlu sungkan begitu, kita ini teman. Sekarang kita makan dulu sembari menunggu orang itu datang," ujar Rudy.Toni memaksa untuk makan, meski lidahnya tidak merasakan kenikmatan makanan yang tersaji. Saat selesai mengunyah suapan terakhirnya, Rudy menepuk bahunya."Ton. Itu dia, orangnya sudah datang."Toni menoleh dan sontak membelalakan mata saat melihat siapa yang baru saja datang. Orang itu adalah Hosea, pria yang baru saja dia temui siang tadi.Raut masam segera t
Sementara itu, kepulangan Erika dan Kayla disambut baik oleh Yuni. Wanita itu bahkan segera memasak berbagai makanan, sebagai rasa syukur karena dengan putri dan cucunya."Taruh Kayla di sofa biar dia bisa berbaring nyaman. Papa akan segera menyiapkan kamarmu yang dulu untuk kalian," ucap Toni yang membuat Erika terharu.Tanpa sadar Erika meneteskan air matanya, dia merasa beruntung karena masih memiliki orang tua yang siap berdiri paling depan untuk melindungi dirinya dan Kayla.Yuni yang membawakan sepiring buah potong tentu saja terkejut saat melihat Erika yang menangis, dia segera duduk di samping sang putri. "Erika. Kenapa kamu nangis? Apa kamu sakit?""Aku nggak sakit, Mah. Hanya merasa terharu, karena ada Papa sama Mama. Terima kasih karena kalian masih mau menerima kami dengan lapang dada."Yuni langsung memeluk sang putri. Dengan menahan tangis, dia berbicara. "Kamu nggak usah berterima kasih, Erika. Karena kewajiban orang tua itu adalah melindungi anak-anaknya."Setelahnya Y
Gerry menunduk saat seluruh anggota keluarga menatapnya dengan tatapan penuh penghakiman. Dengan Revan dan Nita yang duduk di depannya, semakin membuat degup jantungnya berpacu cepat."Apa ada yang mau kamu katakan, Gerry?" tanya Revan dengan nada mengintimidasi."A-aku minta maaf karena sudah menabrak Mbak Nita," ucap Gerry dengan terbata.Trinita langsung melebarkan mata saat mendengarnya, dia segera menghambur ke arah Gerry dan mengguncang tubuh sang putra seraya berkata. "Kenapa kamu bisa menabrak Nita? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan kandungannya? Apa kamu mau bertanggung jawab? Makanya ada otak dipakai, dasar bodoh!"Gerry yang terdesak akan omelan Trinita akhirnya mengkambing hitamkan Erika."Ini semua karena Erika, Bu. Tadi aku nggak sengaja ketemu dia yang sedang bertemu dengan seorang pria. Aku rasa pria itu adalah kekasihnya."Akan tetapi, Revan dan Nita yang merasa aneh secara refleks saling berpandangan. Tak lama kemudian keduanya menghela nafas panjang, karena tahu
"Kerja keras? Kalau memang benar itu hasil kerja kerasmu, seharusnya bisa bermanfaat, bukan malah menyengsarakan orang lain!!!"Teriakan Nita yang menggelegar membuat Gerry terdiam, wajahnya seketika memucat. Dan pengendara ojol yang masih berada di antara keduanya, merasa khawatir dengan keadaan ibu hamil yang wajahnya memerah itu.Baru saja pengendara ojol akan berbicara, Nita kembali membuka suaranya."Ingat, Ger, kamu bukan anak kecil lagi. Tabunganmu bisa dicari lagi, tapi nyawa orang? Kalau tadi aku dan bayi ini kenapa-kenapa, apa kamu bisa ganti dengan uangmu?"Gerry semakin tercekat. Kata-kata Nita menghantam tepat di dadanya. Tapi bukannya sadar, dia justru kembali menggertakkan gigi. "Aku juga nggak sengaja, Mbak. Jangan lebay!"Seketika suara-suara riuh terdengar. Beberapa warga yang masih berada di sana langsung bersuara."Eh, dasar pria nggak tahu diri!""Kalau bukan karena ditahan tadi, udah habis kamu, Bro!""Padahal itu istri saudaramu yang kau tabrak, tapi masih bisa b
"Sial! Kenapa aku seperti tidak mengenali Erika? Apa selama ini dia berpura-pura menjadi istri penurut?" Gerry meninggalkan restoran dengan amarah yang membara. Dia bahkan melajukan mobilnya secepat kilat.Cacian dan umpatan dari para pengguna jalan pun hanya diabaikan oleh Gerry. Karena yang ada di dalam benaknya tentu saja ingin cepat berada di rumah. Gerry akan membuktikan pada Erika, jika dia tidak hanya sekadar menggertak. Sebuah nama sudah terpikirkan di dalam benaknya untuk mengurus gugatan di persidangan."Lihat saja, akan aku buat kamu menyesal karena telah membawa kabur semua surat-surat berhargaku," gumamnya dengan seringai sinis.Terlalu fokus dengan amarahnya membuat Gerry tak menyadari jika lampu lalu lintas berubah menjadi merah, dan dia menabrak sebuah motor pengendara ojol yang sedang membawa seorang wanita hamil.Alhasil para pengguna jalan yang berada di sekitar kejadian mengamuk, dan memukuli mobil Gerry dengan benda tumpul."Ckck. Sial sekali aku hari ini. Ini s
"Erika, syukurlah Papa menemukan kalian. Mama sedang sakit, sepertinya kecapean dan stres mencari keberadaan kamu dan Kayla," ucap Toni dengan raut wajah lega."Sekarang bagaimana keadaan Mama, Pah?" Erika yang panik segera memegang lengan sang ayah."Keadaan Mama sudah membaik, Nak. Sekarang lebih baik kita pulang, biar Mama kamu tenang."Erika mengembuskan napas lega saat mendengarnya, dia lalu menoleh ke arah Hosea yang ternyata sedang berjalan ke tempatnya.Toni pun mengikuti arah pandang putri sulungnya, seketika raut wajahnya menegang saat melihat wajah yang tak asing. "Kamu, masih berhubungan dengan pria itu?" tanya Toni datar."Aku baru saja ketemu Kak Hosea beberapa hari yang lalu, Pah. Nanti di rumah akan aku ceritakan lebih lanjut," jawab Erika."Selamat sore, Om. Bagaimana kabarnya?" sapa Hosea dengan senyum lebar."Kabar saya baik," sahut Toni yang masih memasang wajah datarnya.Hosea hanya tersenyum simpul, menyadari keengganan Toni untuk berbicara. Karenanya pria itu m