Masuk"Mbak Nita. Jangan tertawa emosi, kita 'kan bisa membicarakannya terlebih dahulu."
Sebuah suara kembali terdengar, membuat Trinita menoleh. Senyuman sinis tercipta di wajah wanita paruh baya itu. Kali ini dia akan mempermalukan Erika di depan adik ipar dan istrinya yang selama ini selalu membela menantunya ini.
"Jangan terbawa emosi katamu?! Apa kamu akan berkata seperti itu jika menantu kesayanganmu itu yang melakukannya," sindir Trinita yang membuat adik iparnya hanya terdiam.
"Meskipun Erika melakukan kesalahan, tetap saja dia tidak pantas diperlakukan kasar seperti ini, Mbak." Kali ini istri adik iparnya yang berbicara, membuat emosi Trinita kembali meluap.
"Diam kau! Dia ini adalah menantuku, bukan menantumu. Jadi kau tidak berhak mencampuri apa yang akan aku lakukan terhadap wanita murahan ini!"
Bentak Trinita yang membuat hati Erika semakin berdenyut nyeri. Sang mertua kini terang-terangan menunjukkan kebenciannya di depan semua orang.
Erika mengerjabkan mata, menahan air mata yang siap mengucur deras. Dia tidak boleh terlihat lemah saat ini, atau Trinita akan semakin menindasnya.
"Mbak Nita. Bagaimana aku bisa diam saja saat Mbak memperlakukan Erika dengan kasar? Dia itu adalah putri dari kakak ipar sepupuku, dan aku sudah mengenalnya sejak lama!" Bantah istri adik iparnya dengan tatapan kesal.
Trinita langsung berdecak keras saat mendengarnya, dia pun langsung menjawab perkataan adik iparnya dengan sinis.
"Kenal lama nggak menjadi jaminan kalau kau mengenalnya luar dalam."
"Mbak Nita, jangan sampai menyesali apa yang Mbak lakukan kepada Erika nantinya," sahut adik iparnya.
"Aku menyesal? Itu tidak akan pernah terjadi di dalam kamusku," ucap Trinita dengan angkuh.
"Sebaiknya kita harus memanggil semua keluarga besar berunding," usul sang adik yang membuat Trinita semakin mengembangkan senyumnya.
Akhirnya setelah sekian lama, Trinita dapat mengenyahkan keberadaan Erika dan Kayla di rumah ini.
Jika saja Erika melahirkan anak laki-laki, Trinita akan dengan senang hati merawat anak sang putra. Tapi menantu sialan itu malah melahirkan anak perempuan yang pasti akan menjadi beban di masa depan.
"Baiklah. Cepat kau kirimkan di grup agar semuanya berkumpul di rumah Gerry besok jam 10 pagi," ucap Trinita dengan nada memerintah.
Setelah mengatakan itu, Trinita menoleh ke arah Erika sembari mengacungkan telunjuknya.
"Jangan harap besok akan ada yang membelamu seperti hari ini."
Ucapan itu terdengar seperti musik sedih yang menyayat hati Erika, tapi sekuat tenaga dia menahan tangisannya. Meskipun bibir bawahnya harus berdarah, karena saking kuatnya dia menggigitnya.
"Sebaiknya Mbak Nita pulang dulu, kita semua sekarang dalam keadaan kacau. Rasanya tak baik jika kita berlama-lama di dalam satu tempat," usul sang adik yang membuat Trinita mendelik tajam.
"Aku tidak akan pulang, bisa jadi 'kan kalau selama ini wanita murahan ini mengundang pria asing masuk ke rumah Gerry."
Hati Erika semakin berdenyut nyeri saat mendengar tuduhan tak berdasar dari Trinita. Tanpa banyak bicara dia membawa Kayla yang masih menangis ke kamar dan mengunci pintu agar sang mertua tidak dapat masuk seenaknya.
Erika jelas tidak mau jika Trinita ikut masuk dan tidur di kamarnya dan Gerry, seperti saat dia baru saja selesai melahirkan.
"Hey! Buka pintunya, dasar menantu sialan! Lihat saja, besok aku akan membuatmu menangis darah!"
Sesuai dugaan Erika, Trinita mencoba untuk masuk dan tidur di kamar ini. Jadi saat sang mertua terus menerus berteriak sembari menggedor pintu kamar, dia mencoba menguatkan hati. Meski rasa takut kian mendominasi dirinya.
Karena lelah menahan emosi, membuat Erika tertidur sesaat setelah merebahkan tubuh di ranjang.
***
Hari pun berganti, dan jam menunjukkan angka 6 pagi. Sementara Erika baru terbangun, karena Kayla yang sejak semalam terus menerus meminta ASI.
Padahal Erika sudah memastikan perut kecik Kayla kenyang dengan memakan bubur instan. Tapi ternyata putrinya terus menerus merengek.
Erika menduga jika Kayla memahami apa yang sedang terjadi, dan merasa tidak nyaman.
Suasana di ruang makan amat mencekam, Trinita dengan angkuhnya menatap Erika yang sedang menyuapi Kayla bubur bayi langganannya.
"Hebat. Kau masih bisa makan di situasi seperti ini. Benar-benar urat malumu sudah putus," sindir Trinita ketika melihat Erika baru saja menyuap makanannya.
Dengan menahan rasa sesak, Erika meneruskan sarapannya. Tak peduli jika tatapan mata Trinita seperti laser yang siap menembus kulitnya.
Yang Erika tahu, perutnya harus kenyang saat menghadapi persidangan keluarga yang sudah pasti memberatkan dirinya.
"Ya. Makanlah, selagi kau bisa makan." Trinita kembali menyindir Erika, saat menyadari intimidasi yang dia lakukan tak berhasil.
Perasaan Erika semakin tak karuan, saat satu persatu keluarga Gerry mulai berdatangan.
Dan saat anggota keluarga Gerry yang lebih tua dari Trinita mulai bicara, jantun Erika berdegup kencang. Tatapan mata penuh permusuhan dan intimidasi semakin kuat dia rasakan.
"Jadi apa yang mau kau katakan mengenai foto memalukan itu?"
"Wanita dalam foto itu bukan aku, Pakle. Aku difitnah," jawab Erika yang lagi-lagi menahan tangisnya.
"Halah. Alasan basi! Mana ada maling yang mau ngaku."
Bukan Trinita yang berbicara, tapi sepupu wanita Gerry yang memang dari awal membencinya.
"Iya, Mas. Aku juga yakin kalau wanita murahan ini berbohong. Padahal buktinya sudah jelas, tapi dia masih mengelak," ucap Trinita dengan nada sinis.
Setelahnya, Erika tak diizinkan untuk berbicara. Tak ada satupun dari mereka yang memedulikan perasaan Erika. Sebab mereka semua saling bersahutan, tak mau kalah dalam menghujat Erika.
Erika hanya terdiam, tak mampu untuk membela diri saat ini, bahkan sekadar menghela napas pun terasa seperti dosa.
Kayla yang duduk di pangkuannya menggeliat, lalu mulai menangis karena suasana yang begitu penuh tekanan. Erika segera memeluknya erat, seolah sang putri adalah satu-satunya alasan jika dia harus tetap kuat di tengah badai ini.
Tangisan Kayla yang kencang seperti menusuk gendang telinga semua orang di ruang tamu itu, namun tak seorang pun dari mereka mencoba mendekat atau menenangkan. Bahkan Trinita justru menatap tajam ke arah cucunya, seolah bayi mungil itu turut menjadi beban hidupnya.
"Sudah besar, tapi masih saja rewel. Persis seperti ibunya, cuma bisa menangis dan bikin masalah," gumam Trinita sambil melipat tangan di dada.
Erika menarik napas dalam-dalam. Dia membisikkan kalimat doa di dalam hati, meminta kekuatan agar bisa bertahan dalam tekanan luar biasa ini.
Gerry, satu-satunya harapan, masih ditugaskan oleh perusahaan tempatnya bekerja di negara kincir angin. Tak tahu menahu tentang tuduhan keji dan fitnah yang kini menghancurkan nama baik istrinya.
Erika terus mendekap Kayla erat, seolah tubuh kecil putrinya adalah satu-satunya perisai yang tersisa.
Suara-suara bising dari mulut keluarga besar Gerry seperti gemuruh badai yang menghantam batinnya bertubi-tubi.
"Sudah! Dia tidak bisa memberikan penjelasan yang masuk akal. Untuk apa kita buang waktu?” ujar salah satu tante Gerry dengan wajah dingin.
"Setuju. Usir saja dia dari rumah ini. Biar tahu rasa! Sudah dapat hidup enak, malah mengkhianati!" sahut yang lain.
"Benar! Wanita seperti dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita!" timpal sepupu Gerry dengan nada menghina.
Setiap kata itu seperti paku-paku tajam yang menghujam langsung ke hati Erika. Namun dia tetap membisu. Tidak ada gunanya bicara jika telinga mereka sudah tertutup oleh prasangk
Yang mereka percaya hanyalah foto hasil rekayasa yang entah dari mana berasal.
Trinita tersenyum puas saat melihat ketidakberdayaan Erika. Dan inilah saat yang tepat untuk kembali melempar bom di tengah kekisruhan yang semakin menjadi.
"Pah. Maksudnya apa? Aku nggak ngerti ucapan Papa barusan," ucap Erika.Toni terdiam karena menyadari jika dia telah bertindak impulsif. "Papa cuma nggak ingin kamu merasa canggung ketika bicara dengan Hosea nanti," ujarnya memberi alasan.Erika tersenyum tipis, menyadari alasan kegugupan sang ayah. "Pah. Sepertinya Papa butuh ngopi biar nggak tegang. Mau aku buatin kopi apa pesan lewat aplikasi?""Memangnya kamu boleh ngopi selama menyusui Kayla?" tanya Toni dengan dahi berkerut."Papa ngopi, aku minum milkshake stoberi," jawab Erika sembari tertawa.Toni menatap Erika bangga, karena sang putri masih tetap berdiri tegar di tengah semua masalah yang mendera."Kalau gitu Papa mau minum kopi susu gerobak yang ada di depan gang sini. Kalau nggak salah dia juga ada minuman non kopi."Setelah mengatakan itu Toni beranjak ke garasi untuk mengambil motor. Meninggalkan tanda tanya di dalam hati Erika.***Waktu berlalu begitu cepat, dan jarum jam mendekati pukul lima sore. Erika sudah duduk d
Toni akhirnya berkata lirih, "Kamu memang nggak bisa mengubah masa lalu, Er. Tapi kamu bisa menentukan masa depan kamu dan Kayla. Biarkan saja Gerry bersama dengan wanita itu, yang terpenting kita harus menang dari Gerry nanti saat di persidangan."Erika mengangguk mantap. "Iya, Pah. Kak Hosea juga berjanji akan membantuku menghadapi tuntutan Gerry. Jadi aku rasa peluang kita menang itu besar."Sebagai seorang ayah, Toni menyadari perubahan ekspresi Erika saat membicarakan Hosea. Dia mengembuskan napas panjang, merasa dilema dengan situasi Erika. Alasan Toni dulu tidak menyetujui hubungan Erika dan Hosea, karena ayah dari pria itu yang terkenal suka bermain wanita. Toni khawatir jika di dalam darah Hosea mengalir darah pengkhianat, tapi ternyata apa yang dia pikirkan salah total.Hosea yang dia anggap bajingan ternyata adalah pria dengan integrasi tinggi, dan sepanjang kariernya sebagai pengacara, media tidak pernah menemukan kesalahan yang dapat menjatuhkan pria itu. Bahkan menuru
Setelah dirawat selama 4 hari, akhirnya Kayla diperbolehkan pulang, Sebab sang putri sudah sembuh dari sakit flu Singapura.Erika tentu saja merasa lega karena tidak perlu merasakan dinginnya AC rumah sakit saat malam hari. Toni dan Yuni ikut membantu membereskan barang-barang Erika dan Kayla. Sedangkan Hosea ada pertemuan dengan seorang jaksa untuk membahas kasus korupsi yang menimpa seorang pejabat."Akhirnya kita pulang juga, Nak. Kamu pasti bosan ya di rumah sakit," ucap Erika sembari mencium pipi gembul Kayla."Er. Untuk sementara ini, hindari bawa Kayla keluar rumah. Kondisi udara Jakarta juga lagi nggak bagus," celetuk Yuni setelah selesai memasukan baju kotor keduanya dalam satu tas."Iya, Mah. Aku nggak mau Kayla sakit lagi.""Iya, Mah. Aku nggak mau Kayla sakit lagi." Erika menatap wajah putrinya yang kini tampak lebih segar, meski masih ada bekas ruam di pipinya.Yuni tersenyum hangat sambil menepuk bahu putrinya. "Bagus. Kayla masih butuh pemulihan. Lagipula Papa kemarin
Gerry menatap wajah Gisela lama sebelum menjawab. "Aku percaya padamu, Gisel. Aku tadi cuma kaget.""Tetap saja kamu nggak percaya sama aku 'kan?" tanya Gisela ketus."Bukan begitu, Sayang. Mungkin ini efek aku yang masih capek. Lihat ini ...." Gerry menghentikan ucapannya dan memperlihatkan jari telunjuk kiri yang tertutup plester. "Aku sampai kena pisau saat sedang memasak mie."Wajah Gisela sontak berubah menjadi panik, dengan cepat dia menarik tangan Gerry dan memandanginya dengan iba. "Kenapa bisa kena pisau? Untung saja jarimu tidak terpotong."Gerry menghela napas kasar, dia balik menggenggam tangan Gisela. "Aku tadi terlalu tegang waktu makan malam dengan bosku dan pengacaranya."Gisela balik menatap Gerry dengan jengah, merasa nyali sang kekasih sangat kecil. Akan tetapi, dia menahan agar kalimat itu tak terlontar dari mulutnya. Dia tak ingin rencananya gagal total karena kesalahan sekecil mungkin. Karena itu Gisela segera memasang ekspresi simpati."Kasihan sekali kamu, Sa
"Ibu yakin semua orang pasti akan menganggap wanita itu murahan, Gerry. Postingan waktu itu saja banyak yang menghujatnya sebagai wanita penghibur, apalagi sekarang."Gerry menarik napas panjang, untuk urusan menjatuhkan mental orang ... Trinita dan Dimas memang mirip."Terserah Ibu mau berbuat apa, tapi pastikan keluarga kita tidak akan terkena dampaknya," ucap Gerry memberi ultimatum kepada sang ibu."Kalau itu kamu tenang saja, Gerry. Ibu pastikan semuanya aman," sahut Trinita dengan penuh keyakinan.Lagi-lagi Gerry menarik napas, berharap jika beban yang ada di hatinya terangkat sebagian. "Bu, aku mau ke rumah sakit sebentar. Mau ketemu Gisela," ucap Gerry."Tapi ini sudah malam Gerry, kenapa tidak besok saja sebelum kamu berangkat kerja?" tanya Trinita yang cemas saat melihat wajah pucat Gerry."Tapi aku kangen sama Gisel, Bu. Aku berniat untuk membawanya ke rumah ini setelah dia keluar dari rumah sakit," ujar Gerry memberi alasan.Trinita menatapnya lama, sebelum menarik napas
"Aduh!" teriakan Gerry yang menggelegar membuat Trinita terkesiap. Dia melangkah mendekati sang putra dan berdecak keras saat melihat darah menetes dari jari Gerry."Duduk di situ, biar Ibu obati luka kamu dan lanjutin masak mienya." Titah Trinita yang lalu mematikan kompor.Beberapa saat kemudian, Trinita membersihkan luka Gerry dengan cairan NaCl dan membalutnya dengan plester luka."Apa sih yang ada di pikiranmu sampai melamun seperti tadi, untung saja jarimu tidak terpotong," omel Trinita yang kini mencuci tangannya di sink."Banyak, Bu. Ternyata pengacara Erika adalah salah satu yang terbaik di negara ini. Sejujurnya aku ragu apakah bisa memenangkan tuntutan ini," ucap Gerry setelah menarik napas dalam. Trinita menoleh sekilas ke arah Gerry. "Pria itu pengacara terbaik? Apa kamu nggak salah, Ger?" tanyanya dengan nada panik. "Aku serius, Bu. Pria bernama Hosea itu adalah pengacara dengan integritas yang tinggi. Dia nggak akan segan-segan menyerang lawannya yang terbukti bersal







